It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Egak kak. Itu loh di potret 2 ^^.. Yg namanya YANTO, dan 2 temennya.. Ehhehehe..
Tapi gak apa. Gak sama kok ama kctt, apalgi yg potret selanjutnya udah jauh beda.. Makasih ya udah di tag
Mgkn terlalu sadis mengkritik begini smntra gw bacanya gratis. Bukan gak tahu diri, tapi ya skdr share aja unek2 gw. Syukur2 diterima sbg masukan.
Soal gaya bahasa, no complain.
Keep writing! Kembangkan bakatnya.
Thanks masukannya. Lain kali akan lebih baik lagi. (maklum pemula)
@earthymooned. Tapi untuk saat ini Potret Hidupku akan break dulu. Karena cerbungku yang Kisah Kasihku di Indonesia belum tuntas. Hehe, kasih kritik di cerbung itu juga ya.
Tapi kalau boleh menjawab, aku kurang setuju dengan kritikan tentang prolog. Prolog itu adalah awal kisah dimana isinya memperkenalkan 'keadaan', 'nama', atau apapun untuk mengawali cerita. Karena ke-kreativan itu dilihat dari jalan cerita, alur, konflik, atau cara penulisan.
Tapi aku setuju dengan "Tinggi, ganteng bla bla bla." karena setiap tokoh itu harus ada penggambaran yang spesifik dan berbeda tentunya.
Sebuah Rahasia
"Kamu menangis lagi?" aku terhenyak dari lamunanku. Raka menatapku dengan tatapan iba.
"Gue gak kenapa-napa kok." Aku menjawab dengan gelengan kepala. Kuhapus air mataku lalu menatap Raka dan Restin secara bergantian.
"Apa yang ada dipikiran kamu, Restan?" tanya Rehan. Aku menggeleng lagi.
"Hanya ingat masa lalu." Aku pergi ke dapur untuk mengambil segelas air Putih.
"Masa lalu?" Raka mengernyit. "Kalau boleh saran, ingat masa lalu berarti rindu akan suatu hal. Cari tempat atau hal yang menjadi masa lalu mu. Agar kamu menjadi lebih tenang," lanjut Raka. Dia berkata aku-kamu dalam setiap pembicaraan. Baiklah... aku juga akan begitu.
"Apakah kamu mau mengantar, Raka?" tanyaku.
"Kenapa tidak?" aku tersenyum tipis mendengar hal itu. Beda sekali dengan Rehan yang terlihat... sinis kepada Raka.
"Kamu juga boleh ikut, Rehan."
**
Sekarang aku berada di SMP 2. Sekolahku yang dulu. Dimana di tempat ini aku menemukan kenangan yang indah dan buruk. Memang tujuanku ke tempat ini bukan untuk mengenang masa SMP, tapi melainkan pergi ke suatu tempat dimana adikku suka sekali diam di tempat itu. Yaitu kursi di belakang lab Fisika. Di belakang kursi itu terdapat pohon apel yang menurut rumor ada hantunya. Tapi tetap saja adikku selalu betah diam di tempat itu.
"Jadi ini tempat yang membuat kamu menangis, Restan?" aku mendengar Raka berbicara. Tapi kuhiraukan karena aku memikirkan sesuatu. Yaitu kenapa adikku suka diam di tempat ini.
Aku menghempaskan pantat ku ke kursi yang berkarat. Bentuk dan warnanya sama seperti dulu. Tidak ada yang berubah. Kecuali, pohon apel yang semakin rindang. Rasanya saja, aku tidak nyaman duduk disini. Apa enaknya? Kecuali... oh Tuhan! Indah sekali pemandangan yang kulihat...
Ketika aku menengadahkan kepalaku ke atas, semburat awan jingga telah bermunculan. Memang hari sudah beranjak sore. Jadi aku bisa melihat awan jingga yang begitu alami. Tidak hanya itu, aku bisa melihat indahnya gunung batu dan bukit yang berada tak jauh dari pandanganku. Bukit itu adalah pohon yang isinya pohon jeruk semua. Kenapa aku gak pernah menyadarinya?
"Indah..." Lirih Raka. Kurasa Rehan juga tertegun.
"Pantes saja adik kamu suka berdiam disini," ujar Rehan.
"Oh iya, dimana adik kamu, Restan?" aku menatap Raka bingung. Siapa dia? Kenapa seolah-olah dia telah mengenalku?
"Siapa kamu, Raka?" lagi-lagi dia melemparkan senyum. Aku terus menatap dia. Tapi yang dia lakukan adalah mengangkat tangannya.
"Kou menyebalkan, Raka!" aku kembali menatap langit.
"Disini, aku pernah memukul adikmu." Aku menengok ke arah Rehan.
"Yup. Sampai sekarang aku belum tau alasannya kenapa," balasku. "Memang kenapa?"
"Karena gue..." Rehan menggantungkan kata-katanya. Perlahan, dia mendekat lalu... menciumku.
"Hentikan Rehan. Atau kupukul kou!" aku mengancam karena dia terus menciumku. Melihat dia yang sudah tidak terkendali, aku mendorong hingga jarak kami tidak terlalu dekat.
"Apa yang kou lakukan!" bentakku ke Rehan.
"Itu kenapa aku memukul adikmu. Dia terlalu mendramatisir keadaan yang akhirnya membuatmu susah."
"Bukan itu! Kenapa kamu menciumku!"
"Kamu bodoh, Restan." Dia tertawa. "Karena aku mencintaimu!" sekarang nada dia mulai meninggi.
"Cinta? Lalu... kenapa kou mencium pacarku Riko! Harusnya, aku yang kou cium!" sekarang aku benar-benar bengis. Tapi, rupanya dia tidak takut sama sekali dengan tatapanku.
"Aku? Mencium Riko? Hahahaha!" dia tertawa dengan lantang. "Karena aku... juga mencintainya."
Bukk!
Aku meninju perut Rehan. Dia pikir, cinta itu segampang itu hah?
"Hey... Kalian tenang sedikit!" aku melihat Raka membantu Rehan untuk berdiri. Lalu ia sandarkan ke kursi dan menatapku. "Ini masalah pribadi kalian. Akan sangat tidak sopan jika aku ikut berbaung," ucapnya lalu pergi.
"Kamu... aku tidak percaya dengan apa yang kamu katakan, Rehan!" rupanya amarahku belum surut juga. "Kenapa? Apakah itu yang disebut cinta?"
"Cih!" decak Rehan. "Harusnya aku yang tanya, apakah itu yang disebut cinta? Kou seolah-olah tidak menganggapku. Bahkan, hanya untuk membalas perasaanku." Aku tidak mengerti dengan kata-kata Rehan. Aku pun mengangkat tanganku dan menaikan kedua alis.
"Kamu pintar Restan! Janganlah kamu seolah-olah menjadi orang bodoh!" teriaknya. "Dulu, bukannya kou menerima surat cintaku? Tapi kenapa!? Kenapa kamu malah pacaran sama Riko!" aku menatap bola matanya. Entah kenapa, seperti ada rasa sakit disana.
"Aku... aku... Maaf Rehan. Surat itu, tidak dapat kubaca. Saat itu hujan deras." Aku menunduk. "Harusnya, kamu tidak menggunakan surat itu untuk menyatakan perasaanmu!" aku menatap tajam lagi ke Rehan. "Jadi, apakah itu bentuk kecewa mu terhadapku!? Yaitu membuat hubunganku dan Riko hancur!?"
"Kalau boleh jujur, memang iya." Aku kembali lagi mengepalkan tanganku. "Tapi, itu salah paham, Restan. Kukira, surat itu sudah kamu baca!" aku kembali lagi menunduk.
Perlahan, Rehan mendekat untuk kemudian merapat. Dia merangkul pundakku dan mencium rambutku. "Dulu kita sahabat. Bisakah kita mulai dari awal?" aku menatap bola mata Rehan lekat. Kulihat disana ada pancaran memohon.
"Baiklah..." Aku menatap kembali awan jingga. Lalu mendengar ucapan Rehan yang begitu lirih.
"Apakah... kamu bisa membuka hati untukku?" dari perkataannya, aku mendapat kesungguhan yang aku sendiri tidak bisa menolaknya.
Sekarang kepalaku dipegang. Lalu dipaksa untuk menatap Rehan. Dia menunjukan ekpresi memelas. Jujur saja, aku tidak bisa berkutik dengan tatapan itu. Ditambah, wajah Rehan perlahan mendekat. Ingin rasanya aku menolak. Tapi... aku gak bisa!
Akhirnya aku pasrah terhadap apa yang Rehan lakukan. Ciuman kami berpagut namun tak pernah kubalas. Nafasnya mulai tidak teratur. Membuatku sedikit membuka mulut dan menelusupkan lidahku untuk ia santap. Melihatku melakukan itu, langsung ia terima dengan cepatnya. Bahkan, aku hampir kehabisan nafas dengan apa yang dia lakukan.
Aku menghentikan ciuman itu karena ada beberapa pasang mata yang melihat. Tentunya mereka langsung pergi. Mungkin takut. "Kenapa, Restan?"
"Nothing..."
"Aku akan selalu suka dengan lidahmu. Rasanya manis." Aku tertawa kecil mendengar hal itu. "Jadi?"
"Jadi apa?"
"Apakah kamu bersedia?" mendengar hal itu, lidahku rasanya kelu. Mungkin akan lebih ringan jika Raka tidak hadir. Karena jujur saja, aku masih berharaf bahwa Raka itu adalah Riko. Aku selalu tenang jika melihat wajahku.
"Entahlah... kamu terlambat Rehan." Aku melihat ada kekecewaan di wajah Rehan.
"Apakah gara-gara kehadiran Raka?" dia bertanya, tapi tidak kujawab.
"Kalau iya, biarkan aku berjuang."
**
Aku pergi ke rumah tepat pukul 6 sore. Setelah kumasuk, ternyata ada Raka dan ibu disana. "Raka, ngapain kamu disini?"
"Gak baik memperlakukan tamu seperti itu, nak." Ibu mengingatkan.
"Aku takut, Restan. Kamu sudah tau kan di rumahku gak ada siapa-siapa?" aku mengangguk.
"Lalu?"
"Aku ingin nginap disini. Jika kamu mengijinkan." Aku bergeming. Lalu menatap ibu untuk mendapat persetujuan.
"Saya sudah meminta ijin kepada ibumu," ucap Raka cepat. Seakan dia telah membaca apa yang sedang aku pikirkan. "Dan beliau mengijinkan."
"Baiklah... tapi, jangan menyesal jika kamu tidak bisa tidur dengan nyaman." Rehan mengangguk sembari tersenyum.
"Lebih baik kamu nginap di rumah Raka," ucap ibu. "Ibu percaya sama kamu, Riko. Kalian sahabatan udah dari SMP." Aku mematung tanpa memberi suara. Rupanya ibu belum tau jika Rako sudah tiada.
"Baik, bu."
Aku memasukan buku dan membawa sweater ke dalam tas. Ternyata dibalik sifat menyebalkan Raka, aku melihat sifat pribadinya yang lain. Yaitu penakut. Tadi saja, muka dia berubah pucat ketika aku menceritakan kisah horror. Jujur saja, aku suka. Meskipun suka-ku disini terlihat ambigu, tapi aku yakin rasa suka ini sama terhadap rasa suka-ku ke Riko.
"Res, ambil aja uangnya di kamar! Ibu lagi cuci piring!" teriak Ibu ketika aku hendak mau pergi.
"Iya bu!" aku masuk ke kamar Ibu dan mengambil uang 3000 ribu rupiah. Ini adalah kali pertama aku masuk ke kamar ibu. Barang-barangnya tertata rapi. Apalagi semua kerajinan tangan yang kuyakin itu buatan ibu.
Ketika aku mau menaruh dompet itu kembali, pandanganku tertuju pada sebuah kertas yang ada di bawah kasur. Karena penasaran, akhirnya ku ambil kertas itu. Awalnya yang kulihat hanya kertas kosong. Tapi setelah kubalik, ada deretan kata yang panjang. Dari tulisannya, aku yakin bahwa ini bukan tulisan ibu. Tapi siapa? Bukannya ini... tulisan Restin? Yup. Ini memang tulisan Restin.
Ketika pintu kamar terbuka, aku langsung memasukan kertas itu ke dalam jaket sweaterku. "Udah di ambil?" tanya ibu.
"Udah. Restan ngambil 3000." Sebisa mungkin aku mencoba agar tidak terlihat gugup.
"Ambil 5000 aja, Res. Sekalian untuk ongkos," ucap ibu. Aku menggeleng cepat.
"Mungkin Raka akan jadi ojeg sementara Restan. Yasudah, Restan pergi dulu ya bu." Aku mencium punggung tangan ibu untuk kemudian beranjak pergi menemui Raka.
"Sudah siap?" aku mengangguk.
Di perjalanan, tidak ada yang memulai pembicaraan. Baik aku dan Raka. Kami berdua bungkam. Akhirnya, aku melihat kembali kertas yang kuyakin itu adalah tulisan adikku. Hingga di awal tulisan aku membaca...
Potret Hidupku...
Aku... adalah Rertin. Tidak ada yang istimema pada diriku. Sejujurnya, aku benci terhadap buku diary. Karena orang yang selalu mencurahkan isi hatinya dalam sebuah buku, itu adalah orang bodoh. Mereka menangis, tersenyum, atau bahagia setelah menulis dibuku diary. Tapi... apa yang mereka dapatkan? Apakah buku diary akan membalas curahan mereka yang notabennya adalah orang menulis?
Tapi sayang...
Tuhan berkata lain. Buktinya, sekarang akulah orang si bodoh yang suka menulis dalam sebuah buku. Yang akan kusimpan rapat-rapat disuatu tempat.
Curahan di kertas ini hanya sebuah gambaran. Bahwa peliknya hidup ini. Tak ada kebahagiaan yang kudapat. Itu mengapa, semuanya kutuangkan dalam sebuah buku. Mulai dari hidup, cinta dan sahabat. Semuanya kutuangkan dalam sebuah buku.
Haha. Cinta yang berbeda, hidup seperti lembah hitam, dan sahabat yang penuh dengan kebohongan. Membuat rasa sakit yang begitu lengkap.
Mungkin, tidak akan orang yang mengerti bahwa aku itu...
Glek!
Kertas yang kupegang terlepas dari tanganku. Penyebapnya adalah jalanan yang begitu rusak. Ditambah, angin malam ini begitu kencang. "Raka berhenti!" teriakku. Raka memarkirkan motornya di pinggir jalan.
"Whats happen?"
"Kertas yang ku pegang terbang, Raka." Aku menunjuk kertas putih yang kini entah kemana.
"Memang kertas apa?"
"Pokoknya kertas itu harus ketemu! Kamu sih, kalau ngendarain jangan kenceng!" aku menatap tajam Raka. Dia mengangkat tangan seolah tidak peduli. Argh! Dia memang menyebalkan!
Sesampainya di rumah Raka—letaknya di daerah Bukanegara—aku kembali lagi teringat dengan kertas itu. Apa yang Restin tulis? Dari tulisannya, aku yakin bahwa dia menulis sesuatu dibuku diary-nya. Tentunya sesuatu itu adalah hal yang menyakitkan. Bagaimanapun, aku penasaran apa penyebap adikku itu menjadi seorang yang pendiam. Tapi... dimana letak buku itu?
"Arrgh! Semua ini gara-gara kamu, Raka!" ucapku bengis. Baiklah... aku akan mencari apa yang dirahasiakan adikku.
To be continued
@tamagokill
@dekisugi
@Zhar12
@Klanting801
@heavenstar @Sicnus
@rubysuryo
@Hyu_ghy
@Adam08
@callme_DIAZ
@jokerz @Joy_juandre25 @tjokro @esadewantara88 @earthymooned
@jack_smile07 @tamagokill @dekisugi
@Zhar12
@Klanting801
@heavenstar @Sicnus
@rubysuryo @Hyu_ghy
@Adam08 @callme_DIAZ @jokerz @greenbubles @Joy_juandre25
@Rynku @arieat
@edogawa_lupin
@chibipmahu @rizal21 @erickhidayat
@Aii @Bintang96 @zeamays
@mr_Kim @agungrahmat @Gigiharis_Krist @BejatYU @aicasukakonde @gu2ntea
@inlove @Taylorheaven @half_blood @boyzfath @onew @yuzz
Maaf aku menarik kalian diceritaku ini. Jangan baca tidak tidak berminat. Kritik apapun itu akan kuterima. Hehe.
dari SMP." Aku mematung tanpa memberi suara.
Rupanya ibu belum tau jika Rako sudah tiada.
Sory. Harusnya :
"Ibu percaya sama kamu, Restan. Kalian sahabatan udah
dari SMP." Aku mematung tanpa memberi suara.
Rupanya ibu belum tau jika Riko sudah tiada.
tenyata membuat nama tokoh hampir sama itu susah. Selalu ketukar atau salah penulisan. Haha
Tapi ceritanya berpotensi, bagus kalo di kembangkan, cuma itu tuh nama nya pahili wae euy...
Kalo buntu,abang yakin ne cerita ga bakalan nyampe ending...
Restan- Restin - Raka - Riko - Rehan .. itu aja kan tokohnya? Atau ada yg gw ketinggalan?
Riko pacarnya Restan, meninggal krn kecelakaan yg scra tdk langsung dsbbkan rehan. Trus bisa minta tolong jelasin ga hubungan antar tokoh selalin itu?
Restin itu adeknya Restan kan ya?
Sori, otak gw agak loading nih.. wkwk
Btw, tetep semangat yaa!