BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Selasar CINTA

24

Comments

  • Aku akan mulai dari sini......

    =Damar=
    Aku berdiri dipojok sekolah dengan getar dahsyat didadaku. Memandang adegan yang tak pernah aku sangka sama sekali. Tadi samar samar tapi sekarang jelas apa yang mereka bahas.
    "emangnya kenapa?" Lusi melengos meninggalkan Damar yang berusaha menahannya.
    "kamu masih marah sama aku?"
    "marah? Harusnya tanya pada dirimu sendiri, cewek mana yang nggak akan sepertiku ditinggalin begitu saja? Apalagi hanya alasan sepele dan tidak masuk akal" dengusnya menepiskan tangan Damar.
    "pantaskah cowok meninggalkan ceweknya begitu saja hanya karna sahabatnya minta tolong?"
    "oh my god" Dadaku bergeretak hebat. Laksana dihantam godam. Aku sadar, akulah penyebab pertengkaran mereka. Aku tak tahu harus bagaimana. Kemarin sore aku meminta Damar untuk menemaniku ke pasar semut buat beli kado ulang tahun kak Devon. Aku tak menyangka akan seperti ini. Kupingku terasa terbakar, tapi
    Akibat ulahku hubungan Damar sama Lusi genting. Aku terpaku tanpa kata. Aku bisa lihat ekspresi Damar benar benar kacau. Dia sempat menatapku sekilas lalu pergi menuju arah yang berbeda dari Lusi tadi. Bahunya yang kokoh menjadi lunglai tak bertenaga. Aku yakin hatinya benar benar kacau. Aku merasa berdosa karna permasalahan mereka berpangkal dariku. Aku memejamkan mata. Oh tuhan. Jangan biarkan dia merasakan kesedihan. Harapku dalam hati.

    Sampai pelajaran terakhir Damar gak muncul dikelas. Aku gelisah. Tak biasanya Damar begini. Selama pelajaran sosiologi tak satupun yang nyantol diotakku. Pak Kocho seperti atraksi film bisu mondar mandir didepan kelas dengan bibir yang komat kamit. Semua tenggelam dalam gegapnya pikiranku. Tentang Damar dan Lusi.

    Bel kepulangan sudah berbunyi sepuluh menit yang lalu. Anak anak telah beranjak pulang. Rifai yang sempat mengajakku pulang aku hanya menggeleng kepala. Apang kau lakukan Damar? Perih aku rasakan lebih sakit karena aku tahu sahabatku lagi dalam masalah besar.

    Damar begitu mencintai Lusi. Aku tahu aku cemburu, tapi aku sadar tak pantas aku berharap mereka pisah agar Damar bisa kembali seperti Damarku sebelumnya. Tapi, dalam hati kecilku berharap sebaliknya. Kupandangi tas Ransel yang bertengger dikursi Damar. Aku makin semakin merasa bersalah.

    Aku berdiri dan meraih tas Damar dan meninggalkan kelas yang telah kosong dari tadi. Hapeku bergetar. Ada panggilan dari pak Sukri.
    "ya pak, Dev sudah pulang bareng teman" Kataku berbohong. Lalu aku berjalan menyusuri selasar sekolah. Aku tahu kemana dia pergi.
    Suara bola yang memantul kedinding. Diselingi suara sepatu yang bergesekan dengan lantai. Aku berhenti disamping pintu gedung serba guna. Keringat membanjiri tubuh Damar. Tubuh mudanya yang proposional lincah bergerak.
    "hai, sini" Damar melempar bola volley aku kaget dan melemparkan tas miliknya dan punyaku serempak. Wajahnya terlihat ekspesi ceria yang dipaksakan.
    "mar, ma..."
    "hush" dia menggeleng
    "lebih baik kita cari keringat" dia menyodorkan bola lalu dia bergerak kelapangan sebelah. Satu lawan satu. Dia kembali seperti Damarku meski aku tahu tetap ada kecewa didalam hatinya.
    Pagi ini aku ingin berangklat pagi pagi sekali kesekolah untuk menyelesaikan masalah yang timbul karena aku. Tepatnya aku ikut ambil membuat mereka menjadi ribut seperti ini. Aku yang biasanya malas mengerjaka PR, aku berusaha menyelesaikan sebisa mungkin karena nati dikelas tidak lagi sibuk mencari contekkan. Aku hanya sarapan segelas susu yang disediakan oleh mbok Isah. Aku selempangkan tas punggung dan berlalu dari ruang makan. Tak lupa aku ambil sepotong roi untuk aku makan di mobil.
    “dah siap pak Sukri?”
    “siap bos” jawab Pak sukri sambil membungkkuan badan dan membuka pinyu mobil. Akh seperti putri saja. Hadeh pikir apa aku ini. Masa ada Putri bertanduk heheheh.
    Aku berusaha menyusun kata apa yang akan aku sampaikan pada Lusi nanti. “Lusi aku minta maaf karena membuat Damar sibuk menemaniku, padahal kamu lebih berhak unuk ditemani. Aku Cuma sahabatnya tidak semesinya mencuri waktunya yang seharusnya kamu miliki. Aku akan mengurangi kebersamaanku dengannya”. Aku membayangkan wajah Lusi yang kucel kemudian tersenyum ipis padaku. Damar dan Lusi sudah empat bulan berpacaran seharusnya disaat seprti itu mereka asyik pacaran dan mempunyai waktu yang luang. Dasa kau Dev akamu bukan siapa siapanya Damar kecuali kamu sahabanya. Tidak, aku mencintai Damar bisik hatiku yang lain. Tapi kau tak mungkin memiliki hatinya karna dia tidak seperimu.
    “Akhhhh……” Aku mengacak rambutku yang tidak gatal.
    “ada apa koh”
    “gapapa pak sukri” Aku pura pura sibuk mencari sesuatu didalam tasku. Tidak tersa mobil telah sampai di depan sekolah.
    “nanti jemput jam empat ya pak, setelah latihan volley” kataku menundukkan kepala ke jendela mobil.
    “siap bos” Pak Sukri tersenyum sambil mengangkat tangannya.

    Sekolah masih sepi. Belum seorangpun yang datang sepagi ini gumamku. Aku menyusuri selasar sekolah menuju kelasku yang beada nomor dua dari barat dan melewati beberapa ruangan dan satu taman kecil. Tapi saat aku melewati taman aku mendengara sayup sayup orang yang berbicara. Apa mungkin ada penunggu sekolah yang kesiangan? Ataukah aku yang terlalu kepagian datang sehingga mengganggu mereka. Anehnya aku tidak merinding seperti saat aku merasakan ketakutan. Tapi lama lama terdengar makin jelas dan itu dua orang yang berdebat. Cewek dan cowok. Aku berusaha menyimak siapa yang datang lebih pagiu dariku. Dan…
    “kamu seharusnya berpikir mengapa aku mengambil keputusan ini. Aku tak ingin kecewa lagi mar, aku tak mau diduakan lagi olehnya” suara cewek seperti menekan kata katanya.
    “dia sahabatku Lus” Suara cowok iu seperinya aku kenal. Aku beranjak kekelas karena lebih dekat dari pembicaraan mereka. Insting gosip menyerangku.
    “tapi bukan berati kau menduakanku dan menomor satukan dia” ada isak tangis didalamnya.
    “aku jadi berpikir, pacarmu aku atau dia” Hening.
    “mungkin sebaiknya aku harus melupakan aku pernah mencintaimu” suaranya disela isak tangisnya.
    “aku begitu tak berarti dimatamu..” Diam.
    “mungkin dengan begini kita bisa saling memahami” terdengar suara keresek menandakan salah satu dari mereka bangkit.
    "Lusi..." Deg jantungku tertonjok. Ternta itu Lusi dan Damar
    "selama empat bulan kita pacaran waktumu lebih banyak untuknya daripada waktumu untukku..." suara Lusi serak, dia mulai menangis. Aku membeku dibalik tembok sekolah.
    "kemarin kau tak berusaha menahanku.."
    "slrupp.." itu pasti suara ingusnya yang dia seka.
    "sepulang sekolah aku menunggumu mengantarku pulang... kau malah bersamanya bertawa ria di GSB" Lirihnya.
    "sebenarnya pacarmu dia atau aku?"
    "dugh" dadaku terasa ada yang menonjok. Sakit.
    "dia sahabatku, kau tahu itu" Suara Damar tegas.
    "aku tahu" tukas Lusi
    "tapi yang aku tidak tahu, sejauh mana istimewa dia dihatimu hingga pacarmu sendiri kau kesampingkan"
    "aku akan berusaha..." Sendu suara Damar.
    "gak usah berjanji kalau kau tak bisa menepatinya. Ingat ini kesekian kali kau mengucapkan berusaha, berusaha, berusaha.." Ada tarikan napas dari Lusi.
    "daripada aku makan hati terus, mending aku putus sama kamu" Lusi meninggalkan Damar yang terpaku sendiri. Sekali lagi aku tak bisa berbuat apa apa untuk Damar. Aku memang pembuat masalah diantara mereka. Tak terasa airmataku mengalir.
    "Damar" Menyebut namanya dengan lirih.
    "Lepasin" Lusi menyentakkan tangan Damar. Dia benar benar marah pada Damar.
    "nggak, sebelum kau mencabut lagi kata katamu" Suara kembali tegas.
    "urus saja dia.."
    "Lus..."
    "jangan membuatku lebih membencimu... aww, sakiit.."
    "plakk" aku yakin itu suara tanparan. Sunyi. Beku. Aku membatu.


  • edited May 2013
    .
  • double post
    thanks dah di delete
  • makasih bro, buat update an dan mentionnya,,
    part yg ini agak datar ya, tp ttp semangat brother. gw ttp nantiin update an lo
  • Aku bingung .
    Cerita pertama kali pemainnya Rik , jotha , & lintang .

    Eh kok yang ke dua Damar sama dev?
    Bisa dijelasin? Apaa aku yang lola? X$x
  • @bintang96 It dimasa skarang, sedangkan Damar dan Arga itu sumber dari kejadian yang aku jalani saat ini..
    jotha hanya sebagai pelepah..
    Sedangkan Damar dan Arga sebagai hulu dinamit yang akan meledak dalam satu fase kehidupanku..
    Maaf mungkin kisahku akan bergerak lambat diawal krna Dev akan mengupas apa dan bgaimana Damar dan Arga..
    Juga akan ada beberapa karakter yang memoles dari aku yg biasa saja menjadi liar..
  • Emm .
    Kalau bisa sih agak diperjelas ajaa .
    Msalnya "flashback" dan juga kash tau sudut pandang siapa , biar akunya ngerti :)

    #justsaran
  • @Bintang96 ini menggunakan satu sudut yaitu Dev sendri... karena ini sedikit banyak mengisahkan perjalanan hidup...
  • "hei Dev, pinjam PR Fisikanya ya" Itu suara Retno. Aku cepat cepat menghapus airmataku.
    "banyak debu ya disini" Aku berusaha agar dia tak mengetahui kalau aku meneteskan airmata.

    Bel istrahat berbunyi. Damar diam disampingku. Aku tak mau mengganggu kediamannya. Seperti biasanya jika Damar punya masalah selalu seperti itu. Bagai Arca yang dipajang. Aku seperti menjadi arca yang kedua.
    "hai Devdam kekantin yuk" Yusuf mengajak kami berdua. Aku menggeleng dan memberi isyarat agar tak mengganggu Damar.
    “Damar..” Aku hanya bisa diam tanpa tahu harus ngomong apa. Jika selama ini dia yang selalu meyediakan pundaknya tempat aku bersandar, kini aku bingung dia tak mau memberi sedikit beban agar aku bisa merasakan apa yang dia rasakan. Seperti yang sering dia katakan. Berikan padaku sebagian beban yang kau miliki, meski tak bisa menghilangkan rasa sakitmu tapi setidaknya ada tempat kau bersandar. Tapi disaat dia yang mengalami hal seperti ini. Mengapa dia tak mau berbagi? Disisa jam pelajaran terakhir tak satupun yang bisa aku ibgat. Hanya Lusi dan Damar yang ada di kepalku. Oh Tuhan, mengapa aku yang harus menjadi sumber perselisihan mereka?
    Bell pulang berbunyi, semua bergegas meninggalkan kerangkeng. Suara keceriaan kembali hidup seakan terbenam oleh pelajaran. Aku kembali mengok Damar dan anehnya Damar bersikap biasa saja, layaknya tidak mengalami masalah apapun. Padahal beberapa jam yang lalu dia baru putus dari Lusi pacarnya dan aku tahu dia cinta banget pada cewek bintang sekolah itu. Selama latihan Volley pun dia seperti biasa,
    bahkan lebih aktraktif dari biasanya. Butir butir keringat menambah daya pesona dirinya. Aneh anak ini hatinya terbuat dari apa?
    Jangankan rasa sedih, guratan yang menggambarkan itupun tak nampak sama sekali. Wajahnya tetap bersinar, sebegitu sempurna dia menyimpan beban dalam hati. Aku saja jika lagi galau atau sedih dia tahu cara ampuh untuk mengurangi bahkan menghilangkan semua sedih yang aku miliki.
    "hai nglamun ae bray" tepukan dipundakku.
    "ehh..." Aku tersentak dan menutupinya aku segera bilang



    "aku bareng" Ucapku. Kulihat dia selesai berkemas dan memasukan semua pakaian kotor dalam tas.
    "gak dijemput?"
    "gak"
    "mamimu..."
    "sudah ijin" selaku
    "benar?"
    "ia akh..."
    "hari ini aku ingin menmpung semua air yang akan keluar adaei matamu" pungkasku sebelum Damar menyelesaikan kalimatnya.
    "hallah, lebay, bukannya kamu yang begitu?" Dia memeletkan lidahnya. Iya juga seeh
    "temanku telah kembali?" seharusnya aku yang mengucapkan kata itu. Damar bangkit lalu mengacak rambutku.
    "hayuk" dia meraih tas dan menuju parkiran.

    "mar, maaf ya" aku berbisik sambil memeluk pinggangnya. Seperti biasa Damar membawa motor bagaikan perawan yang belajar.
    "what for?"
    "lusi" kataku
    "gak usah dibahas"
    "karna Dev kan?"
    "bukan"
    "Dev dengar sem..." Tiba tiba motor berhenti.
    "Dev tau Damar kan?" kalau dia dah menyebut potongan namaku menandakan dia gak suka dengan apa yang aku katakan. Aku diam. Dia mendesah. Yang aku lakukan hanya kembali memeluknya. Motornya kembali berjalan. Aku mencium aroma tubuhnya ya laki banget.
    Tahukah kau mar, disini disudut hatiku terkoyak oleh rasa bersalahku. Aku memang mencintaimu tapi aku lebih memilih menutup semua sela dalam hatiku untuk membuatmu bisa bahagia.

  • Oh david, ternyata kamu penulis to...
    Lanjuutt..akan terus kupantau termasuk penulisnya haha.
  • Oh mas @seno ato lik No, ini hanya guratan yang tak jelas mungkin.. Krna sbnarnya Dev bukan tipe org yg bs gampang mengungkapkn sesuatu apalagi seperti kisah ini..
    Amburadul pastinya..
    Makasih sudah menyempatkan diri memantau...
    Harap beri masukannya Mas
  • ketika sayapku kian mengepak...

    Disisa perjalanan kami hanya diam. Aku tak ingin bertanya lagi. Toh dia sendiri yang akan membuka pembicaraan jika memang dia sudah igin bicara. Kami sampai dirumah setelah tadi mampir di KFC ahmad yani. Restoran cepat saji yang ditata seperti kafe karna berdiri dekat DBL arena tempat nongkrong anak Muda Surabaya. Khususnya yang suka basket, volley dan olahraga yang diadakan secara indoor. Bangunan yang dikelola oleh kaum mda yang tergabung dalam kolom yang berada dalam jaringan JPNN. Koran berskala nasional yang kebetulan dikelola oleh kaum muda yang dinamis dan dipegang langsung oleh anak dari ceo Jawa pos pak Dahlan iskan.
    Sesampainya dikamar Damar langsung melepaskan semua pakaian tanpa sungkan.
    “eits, aku dulu…” Aku menerobos masuk kekamar mandi.
    “dasar” Aku tahu tahu dia kesel, tapi hal seperti aku suka darinya. Tak bertahan lama. Aku cepat cepat menyiram tubuh karna lengket sehabis latihan Volley tadi. Padahal selama di KFC juga pede pede saja. Tapi aku tak ingin dijahilin Damar jiak dia mandi dulu dengan mengatakan aku sebagai tong sampah karena dia lebih dulu mandi. Kena dia sekarang.
    “woooyyy…, mandi apa ngelap saja?” Setelah aku kelur tujuh menit kemudian. Damar memgang hidung.
    “mbok Isah lupa buang sampah rek” tangannya dikibaskan seakan bau sampah tercium sampai kamar. Padagal kamar ini bau wangi.
    “dasar” aku cuek dan mengambil pakaian dalam lemari. Damar yang giliran mandi. Aku mempersiapkan boxer dan T-shirtnya sekalian. Aku ingin membuat dia nyaman senyaman mungkin pasca putusnya hubungan dengan Lusi.
    “taraaaaaaaaaaaaaaa….” Damar melompat seperti kodok dari kamar mamdi.
    Aku terpana dengan penampilan Damar. Tubuh polosnya dengan butir butir air yang masih bertengger menambah indah diatas bodinya yang mulai terbentuk. Badannya yang kenyal karna aku sering memeluknya. Handuk yang melilit dipinggangnya dengan bulge membuat mataku tak bisa tidak terpaku pada jendolannya yang lumayan besar. Oh tuhan, penghuni surgamu telah hilang satu karna kini dia berada dikamarku. Glekk.
    "bagus kan?"
    "eh.. iya.. apa?" Aku tergagap setengah mendengar suaranya. Damar menunjukkan lengannya yang lebih berotot dariku.
    "ini.. ini juga kan" aku melotot saat dia menggerakkan perutnya. Yang bergerak malah si yunior membuatku tambah kebat kebat. Okh Damar jangan siksa aku dong. Aku berteriak dalam hati. Tanpa basa basi dia langsung melompat diatas bedku.
    "hei hei hei, jangan gito dong ntar basah semua" aku bermaksud menyuruhnya berdiri tapi tangan Darma sukses menarikku dan aku mendarat tepat diatas tubuh polosnya. Sial sial sial. Aku merasakan sedikit tidak nyaman karna yuniorku dah minta perhatian dari tadi. hufft jangan sampai dia tahu. Wajahku terasa panas. Dadaku telah terpacu seperti berlari puluhan kilo meter. Senyap. Tatapan matanya menggerus jiwaku menekan hingga titik dasar kulminasi.

    Aku tersadar ini tidak boleh dibiarkan terjadi, dia tak boleh tahu aku telah terbakar karnanya.

    Aku bangkit dan melemparkan boxer dan kaos.
    "neh pake" Kataku lalu pura pura membetulkan seprei padahal ingin menyembunyikan si Yunior yang pingin bebas.
    "tuan muda..." Mbok isah mengetuk pintu kamar.
    "ya mbok" sahutku lalu menghela napas secara perlahan.
    "kata nyonya ajak den Damar makan, di meja sudah siap" balasnya lembut.
    "iya, makasih ya mbok"
    "hihihi"
    "napa?" suaraku kubuat ketus.
    "bisa lembut gitu ama mbok isah?" wajahnya menahan tawa yang lebih besar lagi.
    "kau" Aku ambil bantal dan menimpuk kepalanya. Damar menghindar. Astaga astaga astaga. Batang singkongnya berkibar kemana mana. Oh my god. Meski lemas tapi bentuknya besar. Bulu bulu halus dari pusarnya terpampang jelas dan bersumbu pada batang singkongnya. Tuhan jangan biarkan aku pingsan.
    "ndang pake baju" aku bangkit dan menuju pintu sebenarnya untuk menekan gejolak yang timbul. Aku tak ingin dinamit hatiku meledak dan memporak porandakan segalanya.
    "halah sama cowok ja masa risih, cuk" Damar malah menggoyangkan badannya dan membiarkan batang singkongnya bergoyang. Aku membayangkan bisa menyentuh, membelai dan mengerami. Shit. Pikir apa aku ini?.
    "kamu suka ya" damar menggodaku.
    "dah ah.. mama menyuruh kita makan" Aku mengalihkan pembicaraan yang mulai gak benar. Padahal aku pingiiiin.
    Damar manut juga dengan kataku. Aku tahu dia sangat sungkan dengan Mama yang selalu cerewet tapi baik. Menurut dia seh. Dia mengambil boxer dan baju yang aku letakkan dipojok bed dan itu malah mempertontonkan bokongnya yang padat. Saat dia jongkok belahan pantatnya makin menantang indra penglihanku. Garis tegas dengan sisira bulu bulu mengikuti alur tenganh sampai pada kantong zakarnya yang menggelantung bebas. Tuhan jemputlah dia agar tak menjebloskanku pada lembah asmara hitam. Akh lebay. Pinggulnya bergoyang kiri kanan menggoda imanku. Untuk manipulasi rasa jengahku aku meraih hape dan mengutak atik keypadnya, tapi tak satupun kata yang muncul saat aku menulis masage. Deretan huruf huruf yang takkan mungkin bisa dikatakan.
    Sesekali aku menikmati wajah sahabatku tercinta dan memang aku cintai. Alis matanya yang tebal dan tumbuh rapi dengan ujungnya yang berdiri dipangkal tengahnya menandakan sipemiliknya tegas tegar dan kuat. Apalagi sorot matanya yang tajam dikuatkan pula dengan pupil yang hitam membuatnya menjadi sosok yang disegani oleh lawan bicaranya. Kulitnya yang putih padat membuatnya kian memiliki pesona.
    "hai hayo" Damar menepuk boköngku. Apa maksudnya, coba.

    Kami makan hanya berdua..
    Pepes nila yang menjadi makanan kesukaanku dan Damar. Ayam goreng juga ada tapi kami lebih suka Nila pepes bikinan mbok isah yang super pedas membuat napsu makan berlipat lipat. Apalagi sehabis latìhan yang menguras energi. Damar sampai tambah dua kali. Aku tersenyum melihatnya.Damar telah menganggap rumah kami selayaknya rumah sendiri sepertiku jika berada dirumahnya. Tak ada yang membuat kami ragu untuk melakukan apapun kecuali jika mama lagi kambuh cerewetnya. Damar langsung ngacir. Selain itu tidak ada. Apalagi aku dirumahnya benar benar seperti anak dari orang tua Damar. Bahkan Damar pernah protes pada orang tuanya karna merasa seperti akulah yang jadi anak kandung mereka. Itu dulu. Saat baru masuk SMP saat kami melakukan tindakan khas anak anak pra ABG mencoba coba rokok yang berujung pada suaraku hilang hingga tiga hari. Tiap aku datang ke rumah Damar. Membuatnya menjadi sasaran omelan. Aku hanya tersenyum. Damar menunjukan wajah kecut seperti biasanya.
    "sono, sungkem ma orangtuamu" katanya saat kami pamit berangkat sekolah.
    Akhirnya prosesi makan selesai. Pepes ikan ludes dan beberapa potong ayam telah pindah kedalam perut ditambah lagi masing masing segelas susu yang menjadi minuman wajib buatku. Jika Damar ikut makan dia juga harus merelakan tenggorokannya dilewati oleh minuman yang tak disukainya. Demi menuruti nasihat mama dengan rela (terpaksa?)
    Aku menunggu Damar membahas masalahnya dengan Lusi. Tapi, gak ada tanda tanda Damar mau curhat. Aku tahu kebiasaannya yang tak suka berbagi kalau dia bersedìh tpi jika rasa senang dan bahagia aku orang yang pertama mendapatkan kebahagiaan serupa. Berbeda dia sedih Damar bagaikan tembok china yang kokoh dan tak akan runtuh meski gempa. Itulah Damar. Dibalik bibirnya yang sering mengumbar senyum berton ton jangan harap sepercik duka timbul disana.

    Setelah membahas masalah yang gak begitu penting akhirnya kami beranjak tidur. Seperti kebiasaanku aku hanya mengenakan kolor kalau tidur. Karna hawa surabaya sumer dan gerah walau AC dihidupkan. Begitu juga Damar, seperti ada aturan tidak tertulis jika kami tidur melakukan ritual yang sama. Melepaskan apa yang ada ditubuh dan menyisakan selembar kolor saja. Tanpa celana dalam. Sampai dua tahun yang lalu tak terjadi apa apa atau tepatnya aku tidak merasakan getaran yang seperti sekarang aku rasakan. Aku merasakan keanehan seminggu setelah ultahku yang ketigabelas, atau tepatnya dua tahun yang lalu. Aku juga mendapatkan perhatian yang lebih dari damar meski dengan cara yang sama.
    Damar tidur tengkurap dengan posisi diagonal. Tangan dan kakinya terbentang kesegala penjuru.
    "woi, tidur yang benar, cuk"
    "bodo" katanya cuek.
    "ntar kuperkosa"
    "hallah koyok jantan ae, cuk" damar melihatku sejenak lalu menenggelamkan wajahnya kebantal. Boköngnya diangkat lalu digoyang goyang. Anjrit ini bocah pingin diperkaos beneran rupanya.
    "badan kayak botol susu gito mana sanggup merobohkan tugu pahlawan gene" Benar benar anak ini bikin libidoku naik tanpa ampun lagi. Sebelum si Yunior tambah demo aku tarik kakinya lalu menghempaskan kesamping
    Aku mamatikan lampu dan menggantikanya deng lampu tidur warna hijau. Aku langsung menghempaskan tubuhku tepat disamping Damar.
    "pelan pelan cuk" sentak Damar aku tahu dia bercanda.
    "yeah, bawel.." aku mengacak rambutnya. Lalu aku berbalik memunggungi Damar. Damar ikut berbalik dan. Hap. Dia menggigit kupingku.
    Aku mamatikan lampu dan menggantikanya deng lampu tidur warna hijau. Aku langsung menghempaskan tubuhku tepat disamping Damar.
    "pelan pelan cuk" sentak Damar aku tahu dia bercanda.
    "yeah, bawel.." aku mengacak rambutnya. Lalu aku berbalik memunggungi Damar. Damar ikut berbalik dan. Hap. Dia menggigit kupingku.
    Aku seperti tersengat listrik. Tubuhku memberi reaksi berlebihan dan yang pasti bulu buluku pada berdansa serentak oleh musik senyap yang trcipta dalam hitungan sepersekian detik. Aku memejamkan mata tanpa berani bergerak.
    Ghost.. jangan berkeliaran disekitarku. Sentuhan kulit tubuh Damar yang menempel dipunggungku memetik irama dansa didadaku. Oh tuhan jangan kau biarkan detak ini membeludak begini. Semakin aku berusaha menutupi dengan selimut semakin kuat daya letupan membahana. Tuhan aku tahu ini rasa yang salah, tapi salahkah aku jika berusaha menikmati keindahan ini.
    "Dev..." Damar mengguncang bahuku.
    "lho kok nangis cuk" sial mengapa dia harus menerobos keluar. Padahal aku berusaha menutup rapat agar tak merembes.
    "eh... oh.. a aku ingat Lusi" patahan kataku keluar dengan susah payah. Ada serak menjerat setitap vokal yang terucap.
    "hei kok malah kamu yang mellow, ter" Ternyata dia percaya dengan kataku. Tahukah kamu Mar, aku bersyukur pada tuhan diberikan seorang sahabat sepertimu. Apalagi dekat begini tak ada yang sanggup memberikan keindahan yang lebih dari ini. Tidak juga Salsa sicewek ganjen itu. Tidakkah kau tau , Mar aku menyayangimu lebih dari aku sayang pada diriku sendiri. Tapi cinta ini merupakan ketakutanku yang paling besar. Cinta yang tak seharusnya ada. Tak seharusnya tumbuh ditempat yang salah. Tapi apakah cinta itu bisa salah memilih? Aku tak tahu. Aku capek memerangi rasaku sendiri. Setelah kepergian kak Devon enam bulan lalu hidupku menjadi sepi tapi rasa sayangku padamu kian dalam.
    Damar menghapus air disudut mataku. Tindakan itu makin membuatku tertikam dalam gelisah. Aku tak mau dia tahu air mata ini adalah airmata bahagia.
    "udah yuk, tidur" Bisiknya lalu menarik selimut untuk menutupi tubuh telanjang kami. Damar kemudian tidur menyamping dan membelakangiku. Aku diam. Dia terdiam dengan pikirannya. Aku menatap punggungnya yang berbentuk.
    Merasa ditatap Damar membalikan badannya.
    "lum tidur..?" aku tersenyum lalu pura pura menguap.
    Damar mengambil tanganku dan badannya kembali keposisi awal. Aku yang malah memeluknya dari belakang. Parahnya lagi yang dibawah malah ingin menyentuh bokong Darma. Aku gelisah yang dibawah lebih lebih tambah gelisah.
    Sementara damar malah mengelus punggung tanganku. Apa artinya ini? Aku menciup tengkuknya. Aroma sabun masih terasa. Damar makin mengeratkan tanganku kedadanya. Ada damai disana, tapi disini dihati ini percik percik gairah memantik. Tubuhku terasa hangat oleh aliran listrik yang ditimbulkan oleh bulu bulu halus didadanya. Ghost. Mulailah menari malam ini. Aku sedikit menggeser tanganku, mencari arah sesuai naluri. Disana didada bidangnya. Nah ini dia, aku menemukan sesuatu yang berbentuk biji jagun. Sinyak yang terkirim lewat ujung jari terkumpul disumbu otakku. Nafasku semakin berat oleh tekanan nafsu birahi. Aku mengelus lembut dan aku mencium tengkuknya sekali lagi. Si yunior kian berkedut mencari celah yang nyaman. Terdengar suara lembut napas Damar.

    Ternyata Damar tertidur. Shit. Sial. Ternyata dia dah terbang sendiri dengan mimpi yang entah apa aku tak tahu. Aku. Terbakar dengan pikiranku sendiri. Aku ingin melakukannya tapi aku tak mau menimbulkan kekacauan dalam hubungan persahabatan dan persaudaraanku dengannya.

    Aku bangkit lalu kekamar mandi melepaskan beban dan menjinakkan si Yunior yang sempat berontak. Akh nasib jadi gay. Akh apakah benar aku gay? Aku rasa tidak. Aku hanya tertarik dan sayang pada Damar. Cowok lain tak pernah membuatku tertarik seperti yang aku rasakan ke Damar. Tapi mengapa ke cewekpun tak tertarik secara seksualitas. Aku bingung.

  • sipppp
    lanjuttt penasaran nichh
Sign In or Register to comment.