BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

T.R.O.U.B.L.E

1252628303153

Comments

  • thanks bang @yuzz udah disempetin mention.. *ciyum seRT*
  • lanjut
  • ahirny bs ngejar @tamagokill ama @yuzz
  • thank .... udah d mention :) ... love this story .... :) .. can't wait for more updates .... by the way ... good job .... arghhh Damien ........ :) ....
  • belum lanjut :(
    ( ∩_∩ )づ Ħăiii˚ bang @yuzz bang @totalfreak & mas @piocaprio
  • Mention lagi ya kalo update :) @yuzz @procyon thx , four thumbs up for this story, love it :*
  • @tamagokill q br nyampe td malam. Yg laen jd telantar dah
  • aw aw aw damien .... i miss u ... :bz
  • semangat buat TS nya :) d tnggu klanjutany
  • edited June 2013
    Damien’s:

    “Damien?”
    Aku menoleh ringan ke arah Victoria. Hari ini kami –Aku, Victoria, dan beberapa anak klub termasuk Sebastian— memutuskan untuk refreshing. Mengadakan pesta barbeque di danau di dekat kampus. Ternyata ini untuk merayakan ulang tahunku.

    Bukan hanya Armando saja yang tahu ulang tahunku ternyata.

    “Ya?”
    “Kau tampak tidak bersemangat.” Jawabnya sambil memberikan piring berisi daging dan sosis panggang kepadaku. Bau saus rumahan yang di bawa salah satu teman menyeruak dan mengundang.

    Aku? Apakah aku terlihat tidak bersemangat?

    “Tidak apa-apa. Aku hanya kurang tidur.” aku menyingkirkan piring yang diberikan Victoria di meja dan meneguk sodaku. Aku sangat suka steik, sebenarnya. Tapi entah kenapa walaupun sudah dilumuri saus yang terlihat sangat enak itu aku sama sekali tidak lapar. Atau lebih tepatnya tidak tertarik.

    Victoria tampak menikmati dessert yang juga sumbangan itu. Seharusnya aku juga seperti dia, banyak yang mempersiapkan pesta kecil ini untukku. Akulah yang punya pesta dan seharusnya akulah yang paling menikmatinya.

    Tapi wajah marah dan terluka Goldstein kemarin membuatku muak akan diriku sendiri.Sialan sekali. Entah kenapa aku harus mangatakan hal yang bisa membuatnya memberikan ekspresi seperti itu.

    Waktu itu untuk sesaat aku tanpa sadar ingin menyentuh Goldstein.
    Menciumnya di bibir.

    Tapi saat tersadar aku justru menahan diriku sendiri dan menatap matanya yang seperti almond dan berwarna hitam itu, seakan bisa menelanku di dalamnya. Dan saat itulah aku tidak bisa menjawab wajah bingungnya. Jadi aku mengeluarkan kalimat yang justru membuatnya langsung meninggalkanku begitu saja.

    Seandainya aku mengatakan ‘Ada noda di hidungmu’ atau sejenisnya. Tapi aku sudah biasa berkata kasar kepada orang.

    “Tumben kau mengucir rambutmu. Hei, kau mau kuambilkan dessert?” Victoria masih menikmati dessertnya; cream sorbet.
    “Aku tidak suka yang manis, jadi soda sudah cukup.” aku lalu teringat. Aku masih memakai kuciran yang dipakaikan Goldstein kemarin. Aku memang tidak pernah peduli dengan penampilan jadi tidak pernah berkaca. Dan anehnya aku tidak merasa risih saat tidur dengan kuciran ini.

    “Tapi itu berantakan.” Victoria mencoba merapikannya, lalu kutepis halus.
    “Biarkan saja. Aku suka yang ini.” Aku tersenyum padanya. Victoria mengangkat bahu lalu memandang piringku “Kau tidak mau makan? Mau kuhabiskan?”
    Aku segera mengambilkan piringku kepada Victoria “selera makanmu besar juga.”
    “Aku anggap itu pujian” dia tertawa “aku memang suka makan. Makanya aku suka pesta barbeque. Kau bisa makan sepuasnya.”
    “Itu bagus. Kau tidak perlu menyiksa dirimu dengan hanya makan selada dan tomat serta air.”
    “Sayur juga bagus Damien, tapi aku tidak pilih-pilih makanan.” Victoria sudah menghabiskan dagingnya. Sausnya sedikit menodai pipinya. Aku segera mengambil sapu tanganku dan menyekanya.

    “Th—Thanks.” jawab Victoria tergagap, agak kaget dengan perlakuanku.
    “Sama-sama.”
    “Hei, lihat siapa yang baru saja jadian!” Martin, salah satu teman satu klub tiba-tiba menyorakiku dan Victoria, diiringi siulan anak-anak lain.
    “Kalian memang di takdirkan bersama.” Sebastian menimpali sambil membakar beberapa daging. Aku segera melemparinya dengan gumpalan tisu dan meleset, membuatnya –dan anak-anak lain—semakin gencar mengolok-olok kami.
    “Hei, kalian jangan bikin gossip.” Victoria menyahut, sedikit salah tingkah. Aku tertawa menanggapi mereka, “kami hanya teman.”

    Victoria kembali menikmati makanannya dan memilih membiarkan anak-anak menggoda kami.
    “Mereka tidak tahu kita bahkan pernah hampir tidur bersama. Kalau mereka tahu, habislah kita jadi bahan ejekan berhari-hari.” aku menyeletuk Victoria dengan nada pelan.
    “Oh sudahlah, ini rahasia kita berdua saja. Lagipula kau saat itu bukan seperti dirimu. Kau seperti… yah… cangkang hidup.” Victoria meninju bahuku.
    Benarkah saat itu aku tidak seperti diriku?
    “Pasti kau sakit hati, ya?” tanyaku “kau kan feminis.”
    Ah Goldstein kecil itu juga feminis…

    “Aku memang feminis Damien. Dan kuakui aku sedikit tersinggung. Tapi kau saat itu sedang tidak seperti dirimu. Aku yakin kau bukan setipe dengan Ben, jadi kumaafkan. Mungkin kau akan mendapat gadis yang tepat nantinya.” ujar Victoria “Yah, kuharap nggak cepat-cepat juga, aku kan masih menyukaimu.” Victoria menggodaku dan mengedipkan matanya nakal.

    Aku tertawa, lalu mencium pipi Victoria lembut dan bersahabat “kau baik sekali. Seandainya kau dilahirkan menjadi adikku. Aku pasti bahagia memiliki saudara perempuan sepertimu.”
    “Ugh.. aku harus merasa senang atau kesal sih? Aku kan menginginkan jadi istrimu.”
    Lalu kami tertawa.
    Victoria adalah gadis yang baik. Kuharap suatu saat perasaanku yang masih berkabut ini berbelok ke arahnya.
    Jun’s:

    Aku memandang layar handphone ku berkali-kali.

    Anderson, Sam
    XXXXXXXXXXX

    Astaga memiliki nomornya seperti ini tidak kusangka memiliki efek tersendiri.

    Kemarin siang saat aku sudah dapat mengontrol emosiku, kami ngobrol panjang. Sam mengobrol tentang sepupunya dan saudara tirinya yang di Kanada. Dia bercerita bahwa Ayah dan Ibunya bercerai saat ia masih kecil dan ia serta adik laki-lakinya ikut Ayahnya ke California, Amerika. Ibunya yang asli Kanada kembali ke Kanada membawa serta kakak laki-laki dan kakak perempuannya. Walaupun bercerai dan memiliki keluarga baru, Ayah dan Ibu mereka tetap berhubungan baik, bahkan setiap akhir bulan saat liburan mereka saling ‘bertukar anak’. Jadi hubungan antar saudara tersebut tetap akrab hingga sekarang bahkan dengan saudara tiri masing-masing. Sam akrab dengan kakak tirinya yang bernama Fred, atau saudara tirinya di Kanada yang bernama Gina—yang saat ini masih di tingkat sebelas dan tergila-gila dengan tindikan—. Bahkan baginya Fred dan Gina bukan seperti saudara tiri. Jadi jika ada perayaan tertentu dua keluarga tersebut berkumpul merayakan bersama.

    Kadang aku merasa aneh dengan kehidupan damai dan masih saling peduli seperti itu.

    Ayah ketika meninggalkan kami hanya peduli kepadaku tetapi bersikap memusuhi Ibu. Dia berupaya mengajakku tetapi aku berhasil meyakinkan Ayah aku akan baik-baik saja.
    Aku hanya tidak mau Ibu semakin parah dengan gangguannya. Aku yakin Ibu akan mencintaiku karena terbiasa. Walau aku tahu Ibu tidak pernah sembuh.

    Aku memandang layar handphone lagi. Nomor-nomor di layar tampak terasa seperti nomor lottere.Tapi, apa yang harus kulakukan? Menelepon? Mengirim SMS? Atau email? Tapi apa yang akan kubicarakan dengannya? Apa tentang green house? Ah kami sudah sama-sama paham akan hal itu. Tentang tadi siang saat dia berusaha menghiburku? Manis sekali.

    Sudahlah. Toh nomor ini bisa dihubungi kapan saja.

    Lalu tanganku bergetar.
    Sam calling.

    Aku segera bangkit dengan tergopoh-gopoh, setengah berlari keluar kamar dan segera menjawab telepon Sam di dapur asrama “Ha..Halo..”
    “Hai Jun, sedang apa?”
    Astaga… sedang apa? Sedang menjawab teleponmu dengan perasaan aneh.
    “Di dapur. Membuat susu hangat.” aku segera berusaha sibuk dengan mencari gelas dan susu cair di lemari es dengan gesture salah tingkah. Gosh ada apa denganku ini? Bukannya Sam tidak akan melihatku dan tahu apa yang sedang kulakukan?

    “Mau cake?”
    Hah?
    “Aku sedang ingin makan cake. Jadi aku membelinya dan ternyata kebanyakan. Mau membantu menghabiskan? Kutunggu di lorong dekat kapel. Aku ada di sana sekarang.”
    “O.. Oke..”
    “Kutunggu, cepat ya.”
    Lalu sambungan terputus. Aku langsung melesat keluar dapur dan hampir menabrak seseorang dan tidak kupedulikan siapa. Kembali ke kamar dan menyambar jaket hoodie ku dan memakai sneakers dengan terburu-buru.
    dan aku berlari. Iya berlari kencang layaknya mengejar jadwal penerbangan.

    Dan ketika sampai di lorong itulah aku menemukannya, Sam Anderson. Memakai jaket kulit yang melekat di tubuhnya, celana jeans dan dengan kacamata frameless.
    Dia lalu melihatku, tersenyum lalu melambaikan tangan.

    “Hebat, tidak ada lima menit.Jangan-jangan kau jelmaan Flash” ujarnya kagum.
    Yang benar saja. aku berlari, Bodoh.
    “Mana cake nya?” aku bertanya seakan aku datang berlari hanya untuk cake.
    “Sabar Jun, Kau boleh memilikinya nanti. Kemarilah minum limun dulu.”
    Aku memandang gelas limun. Ada sekitar enam sampai empat gelas. Kenapa banyak sekali? Perasaanku tidak enak.

    “Kenapa gelasnya banyak sekali?” tanyaku memastikan.
    “Sebenarnya,” Sam menyusun beberapa makanan kecil “kemarin ulang tahun Damien. Dulu kami sering merayakannya bersama saat masih bertetangga. Mumpung kami bertemu lagi, aku ingin mengingat momen itu.”
    Tuh kan… Ugh… Kenapa selalu begini????

    “Aku… Apakah aku harus ikut? Maksudku, aku kan’ tidak dekat dengan Damien.”
    “Kau kan dekat denganku.” jawab Sam santai.
    Dekat?
    “Tapi aku tidak ingin mengganggu momen kalian. Lebih baik aku kembali saja.” aku buru-buru balik badan dan segera berlalu, tapi Sam mencegahku. Ia segera berdiri dan mencengkeran pergelangan tanganku

    “Hei, sudahlah… Kau kan kenal Damien.” ujar Sam.
    “Aku memang kenal dia tapi aku rasa aku tidak pantas merayakan ulang tahunnya saat ini.” aku menolak dengan sedikit nada emosi, berharap aku tidak harus tinggal dan merayakan ulang tahun seseorang yang menganggapku sampah. Dan aku tidak bermaksud emosi kepada Sam.
    “Kenapa merasa begitu?” Sam tetap menodongku. Ugh. Apa harus aku katakan?
    “Jangan paksa aku Sam, aku hanya tidak berhak merayakan ulang tahun orang lain yang tidak kukenal. “ ujarku putus asa “secara dekat.”
    “Dan hak ku juga mengundang siapa saja. Ini pestaku, walau Damien lah objek pestanya. Lagipula Damien bukan orang yang memusuhi orang lain karena tidak kenal dekat.”

    Bukan itu maksudku! Damien membenciku karena hal lain.

    “Kenapa sih kau paksa aku?”
    “Lalu kenapa kau tidak mau?”
    “Apakah alasan tadi belum jelas?”
    “Kalimatmu dari tadi tidak menjelaskan apapun!”
    Tidak menjelaskan? Kalimatku sedari tadi adalah eufimisme dari kata ‘aku- tidak- mau- berada di- dekat- Damien’. Kenapa dia ingin tahu akan kelanjutan dan kejelasan lainnya? Bukankah itu sudah cukup? Kenapa dia memaksa sekali hari ini.

    Ya Tuhan, aku baru saja hampir bertengkar dengan Sam. Aku tidak mau itu.

    “Karena apa kau tidak mau?” Sam mengulang pertanyaannya.
    Aku menghela nafas sejenak. Yah lebih baik kuucapkan saja kan? Tidak ada pengaruhnya dan aku akan bisa pergi dari sini.
    “Karena dia homophobia. Sedangkan aku adalah gay. Apakah itu memberikan jawaban yang kau minta?” aku bersedekap. Memandang wajah Sam yang berubah menjadi dingin.

    Lalu hening. Kurasa Sam sudah mengerti.

    “Oke, aku balik saja. Kita makan cake kapan-kapan.” aku berbalik.
    “Kurasa Damien bukan orang seperti itu.”
    Sam menuturkannya dengan tenang. Aku berbalik dengan emosi. Bukan orang seperti itu? Apa dia tahu sendiri? Aku yang mengalaminya! Aku yang diberi kata-kata pedas oleh Damien!

    “Oh ya? Aku lah yang gay dan dia mengatakan sendiri kalau dia tidak mau aku terlalu dekat dengannya atau menyentuhnya! Asal kau tahu itu! Jangan karena dia temanmu lantas kau membelanya mati-matian.” aku mengamuk, sungguh hal yang tidak ingin kulakukan pada Sam. Tapi Sam juga tidak boleh bersikap berat sebelah kan?

    “Aku membelanya bukan karena kami bersahabat Jun.” Sam masih tetap tenang. Tapi pandangannya menerawang “aku kenal Damien.”

    Itu sama saja kan?

    Aku menantang Sam dengan pandangan nyalangku yang ingin menangis. Tapi Sam justru menatapku dengan lembut.
    “Damien bukan homophobia.” dia tetap bersikeras.
    “Oh yeah? Buktinya? Karena ‘Kau—kenal—dia’?”

    “Karena aku gay.”
    Procyon says: Iya saya tahu kok ini dikit, Iya saya tahu yang begini ni kayak baca iklan layanan masyarakat bukan cerbung.
    apa daya, saya lagi drop nih T_T terkena serangan demam hebat *berlebihan* semoga selanjutnya bisa lebih puaaaaanjaaaaaaaang ....*nyari dukun..eh...
  • lama bwanget update'nya mana dikit lagi, sebel.. #baladafansyangsebeldigantung
  • lebih baik daripada tidak post sama sekalai ok !:D
  • Semangat aja buat update terus # bakar menyan :p
Sign In or Register to comment.