Dear all,
Sesuai dengan judul topik, gw disini sekedar menumpahkan uneg-uneg yang semakin lama semakin bikin eneg ini.
Sebagai bagian dari kelompok minoritas LGBTIQ, gw khawatir melihat kegiatan-kegiatan organisasi-organisasi LGBTIQ yang semakin hari semakin tidak berkuku alias tidak efektif alias tidak menyentuh hal-hal yang esensial. Padahal, keadaan sudah semakin ekstrim. Satu contoh yang menurut gw indikasi jelas adalah hilangnya Q! Film Festival pasca penyerangan FPI tahun 2010. Tentu saja gw tau kalok QFF masih berlangsung sampai tahun lalu. Maksud gw dengan menyebut kata 'hilang' adalah QFF kini seperti bergerilya.
Apakah yang esensial menurut pendapat saya? Penerimaan masyarakat umum. Itu saja dulu. Penerimaan itu berarti diterima. Diterima itu berarti banyak. Misalnya, tidak diserang ketika bikin festival film, atau ketika diskusi, atau ketika mengungkap identitas, atau kehilangan pekerjaan ketika mengungkap identitas, atau ... (isi sendiri). Nah, pengecualian ada pada legalisasi pernikahan antar sesama jenis. Itu binatang lain lagi yang penaklukkannya butuh kerja ekstra.
Satu-satunya sosok vokal di Indonesia yang pernah mengemuka hanyalah Dede Oetomo, penggiat GAYa Nusantara. Beliau ini pun sekarang hilang suaranya. Oktober lalu gw sempat girang sekaligus H2C karena beliau mendaftarkan diri ke komisi III DPR RI (FYI, komisi III DPR RI itu menangani HAM). Boleh diperiksa ke website DPR. Nama beliau tidak tercantum disana. Sedih.
Festival film, nobar film, pelatihan ini-itu, kumpul-kumpul LGBTIQ, semua adalah kegiatan baik dan positif yang perlu diapresiasi secara positif pula serta diacungi jempol. Apakah penerimaan masyarakat umum akan kaum LGBTIQ membaik sebagai akibat langsung dari kegiatan-kegiatan tersebut? Gw rasa jawabannya tidak.
Kenapa? Ini rasanya pertanyaan yang perlu dipikirkan jawabannya oleh para penggiat organisasi-organisasi macam Q-munity (penyelenggara Q! Film Festival), GAYa Nusantara, Our Voice Indonesia, QCenter Counseling Indonesia, de el el.
Perkembangan (progress) itu harus terukur. Lebih lagi, hasilnya seharusnya signifikan/definitif kalau bukan gemilang. Kenapa? Karena berbagai jenis kegiatan yang terorganisasi hampir selalu melibatkan uang yang jumlahnya relatif besar. Hasil signifikan adalah bentuk pertanggung jawaban, tentu saja.
Sebagai awam yang hanya mengukur lewat hal-hal yang remeh dan nyata terlihat, gw rasa penerimaan terhadap kaum LGBTIQ tidak membaik secara signifikan pasca penyelenggaraan acara-acara yang diadakan oleh organisasi-organisasi tersebut di atas. Coba saja cari tau lewat google tentang LGBTIQ di Indonesia dengan berbagai variasi kata kunci. Hampir selalu nadanya negatif. Nada yang positif keluar hanya dari pihak LGBTIQ.
Lima tahun terakhir apakah ada pemberitaan dengan nada positif dari pihak yang berdiri di luar LGBTIQ, di media nasional (selain promosi tentang acara-acara semacam Q!FF, lho)? Menurut penelusuran gw, ga ada.
"Extremis malis extrema remedia "Desperate times call for desperate measures." "Keadaan ekstrim butuh tindakan ekstrim."
Penyerangan oleh FPI mestinya tidak mengecilkan skala kegiatan. Penyerangan oleh FPI, menurut gw, bisa dikategorikan keadaan ekstrim. Keadaan ekstrim butuh tindakan ekstrim pula. Ketika hak kita diserang, kita harus maju tanpa gentar. Penerimaan rasanya bukan hal (hak) yang muluk-muluk, bukan?
Mengapa organisasi-organisasi LGBTIQ tidak melakukan woro-woro secara nasional ketika hendak berkegiatan?
Anak muda jaman sekarang sering melakukan flash mob. Kenapa tidak merancang kegiatan serupa sebagai 'awareness campaign'?
Greenpeace, WWF, Palang Merah Indonesia, UNICEF, adalah beberapa organisasi yang sering membuat booth (apa nih bahasa Indonesianya?) di mal-mal, jembatan penyeberangan busway, dan ruang publik lainnya untuk promosi kegiatan sekaligus minta dukungan dana. Mengapa tidak melakukan hal serupa?
Menurut gw, jalin kerjasama sebanyak mungkin dengan masyarakat umum yang berdiri di luar LGBTIQ. Kita HARUS bekerjasama dengan mereka supaya bisa diterima, akan tetapi...
LGBTIQ harus MEMIMPIN di depan.
Hal paling sederhana yang bisa dilakukan adalah: beranikan diri untuk 'come out'.
Pernah nonton film MILK yang diangkat dari kisah nyata seorang politikus AS pertama yang terang-terangan akan preferensi seksualnya, Harvey Milk? Aksi-aksi organisasi yang dimotori alm. Harvey Milk itu rasanya perlu dicontoh organisasi-organisasi yang gw sebut di atas.
PS: Gw sendiri sudah sejak 4 tahun lalu terbuka tentang preferensi seksual gw. Saat ini gw sedang dalam tahap mengumpulkan teman-teman sevisi tentang LGBTIQ awareness di Indonesia ini. Apabila berminat, sila kontak. Trims.
Comments
1. Gak susah, pak. Cuma, memang butuh biji peler yang banyak alias berani. Pemikiran yang masak juga. Itu jelas. 'Coming out' memang bukan buat semua orang, sayangnya.
2. Yang ditampilkan ke masyarakat memang hal negatif. LOL! "Masyarakat" yang lo maksud di sini gw asumsikan masyarakat hetero. Emangnya kelakuan mereka lebih baik? They take their sexuality for granted and then by seeing us they suddenly feel much better even when they are doing the exact same negative thing.
Pandangan negatif bisa diubah ke positif, kok. That is actually the EASIEST part. Serius, deh. Lebih susah adalah membuat temen-temen2 LGBTIQ ini keluar kandang dan mulai "memberikan wajah" pada LGBTIQ yang selama ini dipandang abstrak oleh masyarakat.
Kalau lo berharap supaya masyarakat mau ngerti, do this one brave step first: come out to the people closest to you.
Biasanya nih (mnrt pengalaman bbrp temen2 gw dan gw sendiri), orang-orang yg paling deket sama lo itu biasanya udah tauk, kok. Minimal menduga-duga.
@Hitam_Terlarang & @dantososo
Terima kasih banyak sudah meluangkan waktu baca dan komen ke cuap-cuap gue.
Have a nice weekend!
kalo masalah itu aja belum terpecahkan, ga usah deh ngimpi ke yang lain2. percuma kalo kata gw.
dan, yeah, ron bener, harvey milk akhirnya dibunuh, dan gw pikir ga ada seorang pun yg menginginkan akhir hidupnya seperti itu.
*jgn bikin gw ketawa dg bilang , itu resiko perjuangan.
If you read and learn history, their open-mindedness did come with a price. A price that certain brave people were willing to pay. An example of which I'm sure many are very familiar with. Galileo Galilei spent the last 9 years of his life in prison for standing for what he thinks is right: it is the earth that circles the sun, not the other way around (heliocentrism). Surely, there are so many other people later who followed his footsteps. They are the ones who paved the way for Europeans open-mindedness.
I will give you more examples just to give you an idea what History has in store for us to learn about the price people pay for freedom.
Jesus. Assassinated. Abraham Lincoln. Assassinated. Martin Luther King. Assassinated. Dame Aung San Suu Kyi, imprisonment so long she wasn't able to be at her husband deathbed and to see her children grow up. Numerous college students and civilians in China (Tiananmen Square). Assassinated. Numerous college students and civilians in Indonesia in 1998. Assassinated. The list is endless.
@LittlePigeon
Kalau begitu, tolong terangkan, pak. Seberapa banyak kah gay yang bisa nerima dirinya apa adanya? Seberapa banyak kah gay yang tidak discreet? I know you meant that as a rhetoric, but, it could also be a valid question WHEN we want to start making a change.
Gw juga paham maksud lo dengan mengajukan retorika itu, tapi, pada saat yang sama, gw berharap lo bisa liat bahwa pertanyaan lo itu retoris ketika lo liat dengan sentimen negatif. Dengan sentimen positif, retorika itu jadi pertanyaan valid yang jawabannya bisa informasi yang bisa menolong kita untuk pelan-pelan merubah keadaan.
Pertanyaannya lalu, mau atau tidak kita merubah keadaan? Apabila keadaan berubah ke arah yang kita inginkan, siapakah yang diuntungkan? (dua pertanyaan ini gw maksudkan sebagai pertanyaan dan bukan retorika).
Harvey Milk akhirnya dibunuh. Betul. Itulah nasib Harvey Milk, yang tidak serta-merta jadi nasib setiap orang yang ingin berubah. Siapa sih yang INGIN mati nahas? Pastinya ga ada. Tapi, setelah mati, Tn. Milk, oleh sebagian besar orang, dianggap pahlawan.
Mati pada waktunya, tetapi sesudahnya dianggap orang sebagai lelucon menurut gw lebih nahas.
Gw ga akan bikin lo ketawa karena memang sekarang ini gw ga berniat melucu. Memang ga ada yang lucu dengan hidup yang dihabiskan dalam kepura-puraan. Memang gak lucu rasanya menahan celaan orang atas sesuatu yang terjadi di luar kuasa kita. Memang gak lucu pastinya sibuk melatih diri supaya defensif kalok ada yang menuduh kita macam-macam. Gw memang sedang tidak melucu, pak.
Tapi...
Seperti respon gw untuk bro @yeltz di atas. Nothing in this life comes for free, dear sir, I'm sure you'd agree. Apalagi barang mewah. Sejarah menunjukkan, persamaan hak dan kebebasan itu adalah dua hal yang amat mewah.
Respon gw ini gw tutup dengan beberapa kutipan sebagai jawaban atas kalimat yang, menurut gw, bertujuan menyurutkan semangat gw, "ga usah ngimpi ke yang lain-lain."
1) "Yes: I am a dreamer. For a dreamer is one who can only find his way by moonlight, and his punishment is that he sees the dawn before the rest of the world."
"Ya: saya memang pemimpi. Karena cuma pemimpi yang tetap bisa melihat jalan hanya dengan cahaya bulan, dan, hukuman yang kelak ia peroleh adalah bisa melihat fajar sebelum dunia bisa melihatnya."
- Oscar Wilde
2) "There is only one thing that makes a dream impossible to achieve: the fear of failure."
"Hanya ada satu hal yang membuat sebuah mimpi mustahil diraih: ketakutan akan kegagalan."
- Paulo Coelho
3) "We dream to give ourselves hope. To stop dreaming - well, that’s like saying you can never change your fate."
"Kita bermimpi demi memberi harapan pada diri kita sendiri. Berhenti bermimpi - yah, itu seperti mengatakan kalau kita tidak akan pernah bisa merubah nasib kita."
- Amy Tan
4) "You are never too old set another goal or to dream a new dream."
"Engkau tidak akan pernah terlalu tua untuk mempunyai tujuan yang baru atau mengimpikan impian yang baru."
- C.S. Lewis
5) "A dream you dream alone is only a dream. A dream you dream together is reality."
"Mimpi yang kau impikan sendirian itu mimpi belaka. Mimpi yang kau impikan bersama-sama adalah kenyataan."
- John Lennon
Jadi, pak. Lo boleh bilang gw pemimpi. Tapi gw yakin gw bukan satu-satunya (yang punya mimpi begini). Gw harap suatu hari lo mau ikutan, sehingga akhirnya kita bisa bersatu.
Ups. Itu kutipan lagi.
"You may say I'm a dreamer. But I'm not the only one. I hope someday you'll join us. And the world will live as one."
- John Lennon, Imagine
Terima kasih @FAITH @yeltz @ron89 dan @LittlePigeon, sudah mau repot-repot baca dan merespon cuap-cuap gw.
I sincerely do hope you guys have a great weekend.
kalo elu bilang g sanggup berjuang sendiri, awalny milk jg sendiri kan?
dah mungkin elu bener2 jd milk-ny indonesia. beneran, gw berharap.
I'm a discreet type of people, if you want to categorized people like that. And honestly anybody, anyday, would like to be what he/she wants for his/her life, including me.
By being in the closet I may seem not brave enough or coward or chicken out or whatever. But don't discount the struggle we have in our heart everyday 24/7, for trying to aligned what our heart says about love with what our believe told us not to and come up with a conclusion other than suicide...
I'm not really a religious person, but I believe.
And in no way I would come out of the closet unless my believe told me it's okay and it's right. And this contradictory inside my heart may lasts forever. A never ending battle of me and my believe.
I'm in no position to judge anyone that has come out of the closet for having lack of spiritual believe. It's just, don't think it's easy being in the closet, let alone come out of it.
This is a very good thread btw.
Never in my craziest mind would I dismiss the struggle you are having on a daily basis, 24/7. I am also gay, bruh. I'm one of you as well, and, once, I was also a part of your closeted club, too. I know the feeling; the torment.
You guys study harder than anybody sometimes, just to prove that you are better than anyone, not for the sake of the knowledge itself (you know, in case somebody found out).
You guys try to please as many people as you could so people will like you for who you are in the façade, not who you really are inside.
You hate yourself when you watch porn, and right after every orgasm.
You secretly feel guilty in front of your parents and family, who love you for who you are (in the façade).
You feel too sinful praying in the face of God, as you glued your face to the sajadah or as you take the holy communion in your mouth (or any other gestures in other religion).
Then you finally find somebody whom you love so much, and who love you back. You feel like your heart is light as a feather and you feel like suddenly you have wings and you'd like to fly every time you meet him, every time your lips meet. Then, you meet your friends (and family) and all that goes in smoke. You can't share the love you're feeling with your loved ones. The ones that have loved you long before this guy came to your life.
@ron89, believe me, I so know the agony. I used to experience all that for years, and years.
No. Nobody in his/her right mind would ever discount it.
Please. I beg you, too, to not discount my share of the pain-in-the-heart fakeness just because I'm out of the closet. Please remember that, I, too, had my own part of the struggle.
It was a distressing heartbreak beyond compare, but it shaped me, partly, to become who I am right now.
I was, finally and simply... liberated. The GOD that I worship gave me that. And meeting with other liberated gay people from other religion who shared my story, they too are liberated by the GOD they worship. I could never be more sure that GOD is, in fact, ONE. I don't know it. I EXPERIENCED it.
Was it easy AFTER my liberation (I prefer this term than "out")? GOD is good, GOD is great. I can describe what happened, but, I think this isn't the right place. Suffice it to share that the news wasn't a surprise at all to most of my friends and all of my family. They love me still despite the news. And, on the Sunday right after the breaking news, I went to church. For the first time, I was crying because I realize I'm not worthy of such Love from GOD. I'm a sinner touched by his Creator.
@ron89, you said that you believe. I say, believe what you must. But above anything else, please believe this: that God loves you the way you are. He created everything and he makes no mistake. Therefore, you are not a mistake.
Love thy self first. That's the only proper beginning to loving anyone else.
Ketikan-ketikan gw ini adalah salah satu perjuangan gw, bro. Mempertanggungjawabkan apa yang gw percayai sebagai benar.
Mungkin gak keliatan grande atau berdarah-darah. Gw percaya, semua ada gilirannya. Berdarah-darah betulan sekarang ini masih konyol. Lelucon.
Gw tauk persis, resistensi pertama yang akan gw dapet bukanlah dari kalangan luar LGBTIQ. Justru dari dalem.
And, oh, how I was right.
Tapi, itu salah satu resiko ringan yang sedia gw tanggung dengan senang hati.
Sampai sekarang gw memang masih sendirian. Rencana gw adalah mengajak temen lesbian (semata-mata karena gw kenal lebih banyak lesbi yang open daripada gay yang open) dan teman straight yang sama gilanya sama gw.
Sebuah respon, betapa pun negatif nadanya, adalah satu langkah maju buat gw.
Harapan lo bahwa gw jadi Milk-nya Indonesia jadi semangat. Gol gw sementara adalah memenangkan dukungan sebanyak mungkin dari dalam dulu sebelum ke luar.
Oleh karena itu, @LittlePigeon, gw sungguhan tulus berterima kasih atas dukungan lo itu.
Gw semakin percaya bahwa orang yang peduli akan hal ini sebetulnya banyak.
Sekali lagi, terima kasih. Have a nice Sunday!
I believe you should actually say, "...my ass won't cash."
There is a big difference between ability (can) and willingness (will).
But, I think I understand what you mean.
Have a great sunday!
Semestinya Paradigma ini yang mesti diubah bahwa kaum gay /homoseksual tidak sama dengan penyakit kelamin yang menempel pada kaum gay/ homoseksual