BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com
Howdy, Stranger!
It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Quick Links
Categories
- 31.1K All Categories
- 24.4K BoyzLife!
- 5.5K BoyzStyle
- 1.9K BoyzStories
- 5K BoyzLove
- 5.9K BoyzRoom
- 2 *Members Only!
- 1 BoyzAlbum*
- 1 BoyzChat*
- 12.8K BoyzConnect!
- 6K Jabodetabek
- 3.9K Jawa
- 2.5K Nusantara
- 451 International
- 291 BoyzForum Info
- 8 Apa Itu BoyzForum?
Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.
Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.
Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.
Cinta Yang Tidak Semestinya [RECYCLE] by Ditya_L
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
#tp gw suka endingnya n pas bgt dgan tebakan gw
Blognya dimana? Minta alamatnya dong..
Hari ini giliran David ikut ke rumah Martin. Sebetulnya bukan niat sih. Gara-gara tadi di kafe sempat nggak ada kerjaan, mereka berdua iseng memutar film Jelangkung di komputer di ruangan David. Soal penakut, jangan di tanya. David cowok paling penakut sedunia. Hasilnya, dia nggak mau pulang ke apartemennya karena takut tidur sendirian. Pembantunya datang pagi pulang sore, jadi tiap malam David ya tidur sendirian. Kecuali Martin atau “seseorang” menginap.
David mengangkut tasnya dari bagasi mobil Martin. Si cowok satu ini mau menginap aja bawaanya banyak banget. Satu tas untuk laptop. Satu kotak berisi sepatunya. Satu tas berisi baju dan celana kantornya. Kesemuanya akan digunakan untuk keperluan kerja besok hari, mengingat efisiensi David besok akan berangkat kerja langsung dari rumah Martin.
“Ada siapa tuh?” David menunjuk motor sport yang parkir di depan garasi.
Martin mengangkat bahu. “Tau. Paling gandengan baru Sazi” katanya setelah melihat Honda City Sazi yang sudah terparkir manis di luar garasi. Mungkin itu anak sudah menyerah menguber-uber Deni, dan sekarang sudah dapat mangsa baru.
David mengikuti langkah Martin masuk lewat pintu depan yang terbuka. Tanda memang ada tamu.
Sepasang sneakers Converse juga parkir di atas keset depan pintu.
“Tumben kamu udah pulang jam segini, Saz” mata Martin akhirnya menangkap sosok Deni yang duduk di depan Sazi.
“Halo…” sapa Deni sopan.
David mengerjap-ngerjap. “Aduuuuh… kenapa sih tiap ketemu dia, gue pasti lagi bawa barang gerombolan gini. Mau bantuin lagi nggak nih?”
UPS!!! Gawat!!!
Mati Sazi menatap David dan Martin curiga.
Diam-diam Martin menginjak kaki David lalu berbisik sekilas. “Diem, Dav, diem.”
David menatap Martin bingung. Kemudian memutuskan diam, karena kayaknya ada situasi gawat.
“Kapan ketemu David bawa barang banyak?” pertanyaan Sazi buat Deni.
“Waktu itu, waktu gue ke Mall Kepala Gading itu lho. Tau-tau David lagi belanja. Bawaannya banyak banget. Makanya gue bantuin…” jawab Deni cepat.
“Ooo…” Sazi kelihatan nggak curiga. “Belanja sendiria, Dav?” mata Sazi memandang David. Sebetulnya sih pertanyaan biasa, tapi bisa gawat kalau jawabannya salah.
“Sendirian!” potong Deni cepat. Padahal David baru mangap mau menjawab. “Makanya gue bantuin dia. Ya kan, Dav?”
Beberapa detik David tampak bingung. “Iya, sendirian. Biasa, iseng,” jawab David ragu.
“Yuk, Dav.. kita ke kamar. Kalian santai-santai aja ya…” Martin menyeret David.
Martin menangkap senyum lucu Deni mengantar langkahnya dan David. Senyum kalau mereka punya rahasia. Martin mengedipkan sebelah mata, lalu mengacungkan kode “OK” dengan jempol diam-diam.
“Shhhh….” David mengelus-elus telapak kakinya yang merah akibat diinjak Martin. “Sakit banget sih nginjeknya”
Martin menyengir. “Habisnya. Daripada lo keburu ngomong”
“Ya bilang dari kemaren kemaren dong. Jadi gue udah tau nggak boleh cerita-cerita sama Sazi. Duuuhhh…” ringisnya sambil mengoleskan conterpain.
“Ya gue lupa. Merah begitu doang.” Martin mengganti bajunya dengan celana pendek dan T-shirt belel.
“Nggak ada camilan malam nih, Tin? Biasanya si mami bikin puding.” tanya David sambil sibuk mengganti bajunya.
Malas-malasan Martin bangkit dari duduknya. “Bentar deh… gue liat dulu di bawah”
Mami dan papi belum pulang dari acara makan malam sama klien bisnis papi. Biasanya jam segini mami asyik nonton sinetron di ruang keluarga.
Martin menarik gagang pintu kulkas. Ada empat potong puding mangga, tiga potong puding cokelat, dan satu setengah potong pizza. Pasti kerjaan Sazi. Jorok.
“Lapar?” suara Deni bikin Martin terlonjak kaget.
“Ngapain lo di dapur?” Martin menatap Deni heran. Niatnya memboyong semua camilan di kulkas ditunda.
Tangan Deni mengangkat gelas di tangan kanannya. “Haus. Sazi lagi nerima telepon di kamarnya. Katanya kalau pengin apa-apa ambil sendiri aja”
Martin minggir beberapa langkah dari depan kulkas. “Ooo… kenapa juga nggak minta bik ipah”
Deni tersenyum tenang. “Nggak pa-pa. Lumayan disuruh nganggep rumah segede ini rumah sendiri” katanya konyol.
Martin mengulurkan tangan. “Sini gelas lo. Mau minum apa ?”
“Tadinya sih mau ngambil air es aja. Tapi kalau ada yang lain boleh juga. Hehehe…” Deni garuk-garuk kepala.
“Jambu punch mau? Enak lho, kiriman dari saudara” tawar Martin.
“Boleh deh..”
Martin mengambil jus jambu lalu campuran sodanya. Dikocok-kocok, jadi deh jambu punch. “Nih… cobain dulu. Kurang nggak jusnya?”
Deni dengan patuh menyeruput punch -nya saat itu juga. Martin jadi senyam-senyum sendiri. Kalau orang lain kemungkinan bakal bilang nanti aja. Atau bilang udah pas padahal belum dicicipi.
“Enak. Kurang manis dikit sih” jawab Deni jujur.
Martin menggapai botol jusnya lagi. “Sini gelasnya…” Martin mengambil gelas dari tangan Deni. Tak sengaja tangannya dan tangan Deni bersentuhan. Jantung Martin tersentak. Apa-apaan sih?!
Begitu sadar Deni juga dalam kondisi bengong memandangi tangannya yang bersentuhan dengan tangan Martin.
“Eng, gelasnya…” ujart Martin karena Deni masih menggenggam erat gelasnya.
“Hah?... oh iya, sori. Ini” jawab Deni canggung sambil buru-buru menyodorkan gelasnya pada Martin.
Dengan gugup Martin menuangkan jus jambu ke gelas Deni. “Dicicipin lagi deh. Kali masih kurang manis”
Gerakan Deni kaku mirip robot waktu mencicipi punch -nya. “Manis.. udah cukup. Makasih ya”
Martin tersenyum. Perasaannya mulai normal lagi. Apa-apaan tadi dia pakai deg-degan segala Cuma gara-gara bersentuhan tangan sama cowok seumuran adiknya? Gila!
“Pada ngapain sih?” tiba-tiba Sazi berdiri di ambang pintu.
Kontan Martin dan Deni salah tingkah. Momen aneh tadi belum hilang sepenuhnya.
“Oh.. eh, ini, aku nawarin si Deni punch kiriman tante wiwik kemaren. Habis kasian banget, tamu kok Cuma di kasih air putih. Disuruh ngambil sendiri, lagi. Kebangetan kamu, Saz”
Sazi nyengir. “Sori deehh.. lagian aku lupa punch kiriman tante wiwik. Mana, sini aku ambilin”
“Ini udah kok” Deni menunjukan gelasnya yang berisi punch. “Dibikinin sama kakak lo. Untung ada dia. Kalau nggak gue minum air es doang deh”
Sazi menatap Deni. “Pantesan lama banget. Kirain lo nyasar nyariin dapur. Ke depan lagi yuk…” dengan santai Sazi menggapai tangan Deni dan menggandengnya.
Deni melirik Martin. “Thanks ya punch -nya...” ujar Deni sebelum akhirnya mengikuti langkah Sazi yang menyeretnya kembali ke ruang depan.
Martin terdiam sebentar. Lalu melangkah cepat kembali ke kamarnya.
“Lho, mana?” sambut David yang terlentang di atas kasur.
“Apanya?”
David menatap Martin heran. “Bukannya tadi ke bawah mau ambil camilan? Kulkas lo kosong sama sekali?!”
PLAK! Martin menepuk jidatnya sendiri. Saking kerasnya dia jadi pusing sedikit. “Ya ampun! Lupa”
David bengong. “Lupa? Kok bisa? Emangnya tadi ngapain dulu, say?”
Mata Martin membulat. “Jangan panggil say lagi” David memang sering memanggil Martin dengan sebutan ‘say’ di saat mereka memang benar-benar berdua. Menurut pengakuan David panggilan itu lebih praktis dan dianggap up to date. Martin saat itu hanya terdiam saja.
“Biarin dong, mulut-mulut gue, kan” ujar David membela. “Kenapa tadi lo di dapur sampai lupa?” lanjut David
“Tadi gue ketemu Deni di depan kulkas pas mau ngambil puding. Ya udah gue bikini punch dulu. Tau-tau Sazi nongol. Habis itu gue lupa, langsung naik ke sini”
“Lo bikin punch apa bikin punch buat Deni? Kok bisa sampe lupa tujuan gitu?” tanya David usil
Mata Martin membelalak. “Ya lupa”
David mencibir.
“Bawel ah! Ya udah, gue turun lagi ngambil...” Martin melesat lagi keluar kamar.
Tangan Martin sigap mengambil piring yang agak besar dari lemari. Maksudnya supaya pudding itu bisa dibawa dalam satu piring. Lumayan, masih muat untuk beberapa potong semangka plus melon.
“Lho?” tiba-tiba Deni berdiri di depan Martin.
“Ngapain lagi, den? Masih kurang ya punch -nya?” tanya Martin heran gara-gara Deni nonggol dari arah dapur kotor, tempat masak dan cuci piring.
“Dari kamar mandi”
“Kok dari arah dapur kotor?” alis Martin mengernyit heran.
“Kan WC-nya di belakang”
Martin cekikikan. “Itu WC bik ipah sama pak eko. WC tamu tuuhh… di situ” Martin menunjuk pintu di dekat tangga. “Sazi gimana sih, kok nunjukinnya nggak benar”
“Nggak pa-pa. sama aja WC. Yang penting udah bongkar muatan. Udah legaaa…” senyum Deni lebar. Giginya ternyata rapi juga. “Ngapain?” Deni menunjuk penuh puding di tangan Martin.
“Oh, ini. David kelaparan. Pengin ngemil. Tadi pas ketemu lo di sini niatnya mau ngambil ini. Gara-gara , bikini lo punch lupa deh” canda Martin. “Berhubung David masih teriak-teriak kelaparan kayak udah nggak makan tujuh purnama, ya gue balik lagi.
Ekspresi Deni berubah menyesal. “Sori ya.. gara-gara bikin punch..”
Martin ngakak. “Nggak, nggaaakk… bercanda kok. Emang gue aja yang pikun, Den. Nyantai aja. Oh ya, lain kali kalau mau ke WC yang itu ya? Lo nggak mau berhadapan sama beha bik ipah yang lagi dijemur di kamar mandi belakang, kan?”
Deni nyengir sambil garuk-garuk kepala.
“Udah mendingan lo balik ke ruang depan deh, sebelum Sazi nyusulin lo ke sini” usir Martin main-main.
“Iya juga. Tadinya gue ada latihan band sore ini. Tapi Sazi memelas minta tolong gue nyelesein tugasnya. Kayaknya gue mau balik sekarang. Udah selesai kok”
Martin geleng-geleng kepala. Tipikal Sazi. Dia nggak bakal nyerah begitu aja. Dia pasti mati-matian berusaha sampai tujuannya tercapai. “Dasar Sazi. Hobinya ngerepotin orang”
“Eh, tapi nggak pa-pa. gue seneng kok ada alasan ke sini. Bisa ketemu kakaknya Sazi yang asyik dan bisa bikin punch enak” ujar Deni kocak.
“Bisa aja lo” mendadak salah tingkatnya kumat lagi.
“Hati-hati, tin. Deni jago bikin orang ge-er lho”. Lagi-lagi Sazi sudah berdiri di belakang mereka. “Awas lo, den, jangan gangguin kakak gue. Baru batal tunangan tuh!” lanjut Sazi.
Martin melirik Sazi gemas. Makasih banget deh informasi “penting”-nya
“Gue ke atas dulu, Den. Awas ya kamu, saz…” Martin mencubit lengan Sazi lalu meninggalkan mereka di dapur.
“Ngomongin apa sih sama Martin?” samar-samar Martin masih bisa mendengar Sazi menginterogasi Deni. Masa sama kakaknya sendiri curiga? Dasar Sazi!
Tiba waktu yang dianggap Martin sebagai puncak penyelesaian masalah yakni dinner dengan mistress.
“Gawat!” muka David panik begitu nonggol dari kamar mandi Martin.
“Kenapa? Diare lo kambuh?”
David manyun. “Ya nggak lah! Bukan itu. Asal banget sih” dumel David.
“Habis apa dong?”
“Kita kena keadaan darurat emergency nih” repet David nggak jelas.
“Apa sih? Yang jelas dong, Dav. Lo tadi teleponan sama siapa sih?”
David memegang kedua bahu Martin lalu memandang Martin lekat-lekat. “Dimas nggak bisa pergi hari ini.”
Martin melotot. “Apaaa? Kenapaaa?” gantian Martin yang panik. Ini bukan gawat darurat lagi. Tapi ICU! ICU!
“Tadi dia yang nelepon. Katanya Atta, adik perempuannya, ketabrak motor di depan kompleks. Barusan aja. Makanya dia sekarang lagi jalan ke rumah sakit. Dia nggak bakal bisa bantuin kita. Dimas nyesel banget sampai-sampai minta maafnya ngotot bangeet..”
Martin terduduk lemas. Kacau nih. “Terus gimana dong? Tinggal sejam lagi gue harus berangkat nih. Gue pokoknya ogah kalau dinner berdua si bangkotan. Mending batalin aja sekalian”
David melompat panik ke samping Martin. “Jangan! Jangan di batalin dong, Tiin… lepas deh bonus kita.”
“Habis gimana? Masa lo tega ngumpanin gue?”
David berpikir keras. “Masa lo nggak ada cadangan orang lagi?”
Martin menggeleng pelan. “Mana bisa dipikirin mendadak gini. Ini udah jam enam sore, kali. Mepet bangeeett.”
Sekarang David malah mondar-mandir. Mikir gaya setrikaan. “Ikut mikir dong, Tin!” perintah David
Martin latah ikut mondar-mandir dengan hanya memakai boxer dan singlet.
“Gue bilang ikut mikir, bukannya ikut mondar-mandir” semprot David keki karena mereka kayak lagi main ular naga panjangnya.
Martin langsung manyun. “Lho, kan mikir sambil mondar-mandir kayak lo. Gimana sih.”
Akhirnya sepuluh menit mereka berdua mondar-mandir yang katanya sambil mikir.
“AH!” pekik Martin tiba-tiba.
“Gimana? Gimana? Apa? Ada ide, Tin?” sambut David heboh
“Mudah-mudahan aja bisa…” gumam Martin, menekan angka-angka di ponselnya sambil harap-harap cemas.
“Good luck” bisik David dengan muka khawatir. Memandang panik ke arah mobil. “Ngeri gue”
Martin menyikut David kesal. Bukannya malah mendukung malah bikin mental orang drop. “Udah deh, Dav.. untung ada dia”
“Iya.. iya.. pokoknya good luck”
Tiga langkah pertama Martin masih ragu-ragu. Selanjutnya… whatever wiil be will be deh. Semoga aja semua berjalan lancar. Dia betul-betul nggak mau dikejar-kejar si nenek-nenek genit itu. Dia harus bikin nenek itu mundur teratur. Jadi.. tujuan utamanya bukan Cuma sponsorship belaka, tapi juga penyelamatan diri dari rayuan nenek-nenek ganjen.
“I owe you big …” kata Martin ketika duduk di jok Defender putih.
Deni tersenyum kalem. “Santai aja, Tin.. gue senang bisa bantuin lo”
“Oh ya!” kata Martin cepat. “Selama di sana jangan ngomong lo-gue, panggil gue kamu, sebut diri lo sendiri aku. Kalau perlu kita pake sayang-sayangan. Pokoknya harus meyakinkan. Nenek yang satu ini bukan nenek biasa. Jadi tolong. kita harus meyakinkan”
Mata Deni menyipit lucu dapat penataran singkat dari Martin. Lalu ia terkekeh kocak. Martin baru sadar ada lesung pipi di pipi kiri Deni. “Tenang aja, Tin, gue, eh, aku… pernah masuk nominasi Oscar kok.”
Maksudnya Deni pasti bercanda. Tapi saking mulesnya karena panik, Martin sudah tak bisa lagi senyum apalagi tertawa. Dia betul-betul tegang. Dan matanya nyaris loncat keluar begitu sadar sesuatu setelah lama memandangi Deni. “Deni! Lo pake apa itu?!” Martin menunjuk kaki Deni.
“Sandal..”
OH MY GOD! Gawat! “Nggak bawa sepatu?!” pekik Martin panik.
Deni menggeleng heran. “Harus pake sepatu, ya”
Martin menghela napas putus asa. “Gue udah bilang kan kita bakal makan di Ichi?”
Deni mengangguk polos. “Iya. Emangnya kalau di Ichi kenapa? Restoran jepang gitu, kan? Di sana ada syarat pake sepatu, ya?”
Kayaknya Martin salah perhitungan. Dia kira Deni pasti ngerti waktu dia bilang Ichi. Dia memang pakai kemeja dan celana kain. Tapi sandal?! Yah… Deni kan baru semester 4 dan bisa di bilang baru masuk kuliah, dia pasti belum pernah “bergaul” sama Ichi dan teman-temannya. Dia pasti belum pernah makan di tempat yang harus pakai table manner. OH MY GOOOD!
“Jalan pincang!” perintah Martin waktu mereka turun di parkiran Ichi.
“Jalan pincang? Kenapa?”
NGEK !!
“AWWW!” Deni langsung terpincang-pincang begitu Martin dengan sadis dan tanpa aba-aba menginjak kaki Deni yang bersandal ria.
“Nah kayak gitu pincangnya. Pas tuh! Bagus banget! Ini baru masuk nominasi Oscar. Pokoknya gitu terus ya?” Martin menepuk-nepuk pundak Deni yang masih terpincang-pincang.
“Tapi…”
“Udah deh… ayo jalan” perintah Martin lagi.
Deni bejalan mengikuti Martin dengan patuh.
“Pincang!” desis Martin galak begitu melihat jalan Deni mulai normal.
Jadilah Deni pura-pura pincang tanpa mengerti kenapa dia harus jalan kayak begitu. Tapi daripada diinjak tanpa ampun lagi, mendingan nurut aja.
Mrs. Shinaya Sakatanya sudah duduk manis di ruangan VIP yang dia pesan. Baru ada dua gelas putih dan keripik di mejanya. Kayaknya dia menunggu Martin datang dulu baru pesan makanan. Tapi kok gelas air putihnya Cuma dua?
“Inget! Tetep pincang. Kalau perlu lebih pincang daripada tadi” bisik Martin tanpa menoleh ke arah Deni.
Deni pasrah dan terus acting terpincang-pincang. Padahal nyut-nyutan bekas diinjak Martin tadi sudah lenyap sama sekali.
“Welcome, Martin… please” sambut Mrs. Shinaya Sakatanya dalam bahasa inggirs terpatah-patah.
Martin tersenyum basa-basi. Deni juga.
Mata Mrs. Shinaya Sakatanya memandang heran ke arah sandal Deni. Mereka memang duduk lesehan dan harus lepas alas kaki. Tapi tetap saja, datang ke Ichi memakai sandal bisa bikin semua mata melotot.
“I’m sorry… my boyfriends foot was injured, he’s can’t wear shoes. It’s still swollen. Right?” Martin melirik Deni.
Ohhh, jadi itu maksudnya? Kamuflase sandal, pikir Deni dalam hati. Deni mengangguk.
Mrs. Shinaya Sakatanya bediri. Sesuai tata karma yang dia pegang teguh, dia harus berkenalan dulu dengan Deni yang baru pertama kali ditemuinnya. “How do you do?” kata Mrs. Shinaya Sakatanya menyalami Deni lalu membungkuk ala jepang.
“I’m fine, thank you.” Jawab Deni polos sambil ikut-ikutan membungkuk.
Martin nyaris cekikikan. Harusnya kan Deni menjawab “How do you do” lagi, bukannya “I’m fine, thank you.” Jelas aja jawaban itu bikin Mrs. Shinaya Sakatanya melongo.
“Please, sit down …” Mrs. Shinaya Sakatanya membungkuk-bungkuk ramah.
“Thank you, thank you …” Deni ikut menunduk-nunduk sambil masih terpincang-pincang karena “cedera” kakinya.
PAK! Martin menepuk bahu Deni pelan supaya berhenti meniru-niru gerakan Mrs. Shinaya dan menjawab asal-asalan.
Martin duduk berdampingan dengan Deni di hadapan Mrs. Shinaya.
“I’m sorry, I’ve only ordered two drinks. I thought Martin came alone” ujar Mrs. Shinaya cuek.
HUH! Dasar nenek-nenek ge-eran, rutuk Martin dalam hati. “I suppose David has told you that I will come with my boyfriend?” Karena memang berasa dari jepang, Mrs. Shinaya melihat Martin yang mempunyai pacar seorang laki-laki di anggap sebagai hal yang wajar. Hal ini di karenakan kebebasan yang di anut oleh bangsa jepang, walaupun negara jepang dianggap mempunyai kebudayaan timur yang kental. Bangsa jepang juga sangat menghormati setiap pilihan yang di jalanin oleh warga negaranya. Sehingga sangat tidak etis untuk mencampuri urusan orang lain.
Mrs. Shinaya senyam-senyum memamerkan kerutan-kerutan wajahnya yang menyebar ke segala arah. Bisa dibilang mukanya kerutan semua. “Yes.. yes I thought he was only joking. But it’s okay, I’ll ordered another one. And ordered the meals as well” Mrs. Shinaya memanggil pelayan berkimono yang khusus melayani mereka.
Martin membiarkan Mrs. Shinaya memesan buat mereka. Deni sebenarnya pengin pesan, tapi dia baru tahu ternyata Ichi berbeda dengan Hoka Hoka B*nto, jadi dia pasrah aja. Apa pun yang datang nantinya, dia makan.
“So.. how long have been together.. Mr ..?”
“Deni” jawab Deni.
“Mr. Deni, how long?”
Ups! Mereka lupa kompakan soal ini. Deni memandang Martin. Martin menatap Deni, mengirim sinyal kalau dia oke aja apa pun yang Deni katakan.
“About a year” jawab Deni sambil merangkul mesra Martin. “Right, honey?” jantung Martin nyaris copot saking kagetnya. Oh ya, tadi kan dia sendiri yang minta Deni supaya acting semeyakinkan mungkin.
“Yes…” jawab Martin, berusaha setenang mungkin.
Mrs. Shinaya mengangguk-anggul sambil tersenyum. “It’s been quite a while.”
“Yes. Of course” rangkulan Deni makin erat, bikin Martin serasa mau pingsan. “We love each other” lanjut Deni.
“UHUK! MPRRRT!” teh hijau yang baru diseruput Martin nyaris menyembur ala mbah dukun, kaget mendengar kata-kata Deni. Akting sih Akting, tapi SALING MENCINTAI?!
“Are you okay, dear?” dengan santai Deni mengusap-usap punggung Martin. Busyet! Jangan-jangan cowok ini betul-betul pernah masuk nominasi Oscar. Kalau nggak, gimana dia bisa acting sesantai ini? Gimana bisa aktingnya bikin jantung Martin nyaris pensiun dini?!
“Ehem… no.. I’m fine. I just choked a little bit.” Martin mengelap bibirnya pakai tisu.
“Would you like another drink?” tawar Mrs. Shinaya khawatir.
Martin menggeleng sopan. “No, thank you…”
Tangan Deni masih mengusap-usap punggung Martin mesra. “You should be careful next time, dear… luckily you don’t spill your drink on Mrs. Shinaya”
Kayaknya nggak salah Martin milih Deni sebagai pertolongan daruratnya. Kesalahan Deni Cuma satu. Sandal.
Tampaknya Mrs. Shinaya sudah termakan sandiwara picisan Martin dan Deni. Dia kelihatan percaya Deni betul-betul kekasih Martin. Kalau begitu, Martin bisa tarik napas lega karena bakal terbebas dari kejaran cinta sang bau tanah.
Setelah obrolan ngalor-ngidul, akhirnya mereka bisa beristirahat bentar karena Mrs. Shinaya bukan tipe orang yang suka makan sambil ngobrol.
Martin Cuma makan sedikit. Dia nggak begitu nafsu makan. Penginnya buru-buru pulang. Dia betul-betul nggak betah dipandangi Mrs. Shinaya. Memang sih dia percaya Martin memang kekasih Deni. Tapi kayaknya si tua ini nggak bisa menghilangkan hasratnya mengagumi Martin. Ih! Ih! Ih! Lagian, Martin juga mulai panas-dingin kalau harus meneruskan acting mesra-mesraannya dengan Deni.
“Makasih banget, Den. Kayaknya kita sukses” bisik Martin dalam bahasa Indonesia supaya si tua nggak ngerti. Demi menjaga keamanan, Martin berbisik tetap dengan muka ceria dan sok mesra.
Deni tersenyum mesra juga. “Oh ya? bagus deh. Maaf ya pake megang-megang segala…”
Martin meringis. Itu dia yang bikin dia meriang mendadak.
“So…” Mrs. Nenek tua mulai buka mulut lagi karena makannya sudah selesai. “Deni works in what area? Business?”
JEGEEERRR! Ini dia satu lagi keteledoran Martin dan Deni. Mereka sama sekali nggak mikirin apa “pekerjaan” Deni. Masa iya harus bilang Deni mahasiswa tingkat dua? Bisa-bisa Mrs. Shinaya langsung melamar Martin sekarang juga.
Untuk yang satu ini Deni betul-betul mati kutu. Dia memandang Martin minta pertolongan.
“Garage” jawab Martin setelah berpikir cepat. “He has a garage. He likes to modify cars. So he has a modifying garage for cars”
“Yes.. I love modifying cars. That’s why I decided to make a garage” dengan sigap Deni menimpali martin.
Mrs. Shinaya awalnya terlihat ragu. Tapi lagi-lagi percaya karena deni cukup meyakinkan ngoceh soal mobil. “a prospective business” komentarnya.
Deni tersenyum lega.
“Maybe next time I can come and modify my car in your garage”
Deni nyengir lagi. “Yes, but your car must be sedan, while my garage more focused in jeeps” elak Deni halus.
Mrs. Shinaya seperti biasa mengangguk-angguk “Maybe you know someone who could modify sedans?”
“If my friend is qualified, I’ll introduce him to you”
Si nenek tua tersenyum senang. Sementara Martin bernapas lega. Fiiuuuhh… untung Deni bisa diandalkan. Wanita keriput ini kayaknya mulai percaya seratus persen. “By the way, Martin…”
Martin menatap Mrs. Shinaya sambil pasang senyum garing. “Yes...”
“Please come by my office on Monday. I would like to discus about the sponsorship event in your café. Would it be okay?”
Yes! Kayaknya sukses berat nih! “On what time, Mrs. Shinaya?”
“Eleven p.m., would be fine”
Martin mengangguk mantap. “Very well, I’ll be there. But if was otherwise preoccupied, David could…”
Mrs. Shinaya menggeleng. “I want you to come. After all, you’re the one who’s having dinner to make a deal with me today. So I want this to become your project”
Martin mengangkat bahu. “okay”. Apa salahnya.. toh misi sudah berhasil. Mrs. Shinaya sudah menyaksikan sendiri “pacar” Martin. Jadi… sekarang pure bisnis, kan?
“Hahaha.. bisnis bengkel! Pas banget deh kamu cari idenya!” Deni ngakak.
“Kamu juga oke banget nimpalinnya! Sukses kita, Den!” Martin cekikikan geli.
Lalu mendadak mereka berpandangan kaget. Kenapa masih ngomong pakai aku-kamu?!
“Kok kamu masih aku-kamu? Kan udahan…” kata Martin sambil melirik Deni.
Deni balas melirik Martin. “Kamu juga…”
“Kamu juga…” kata Martin lalu cekikikan geli karena sadar dia juga melakukan hal yang sama. “Oh iya ya..”
“Ya udah.. aku-kamu aja deh. Kayaknya selama ini gue-elo nggak sopan ya? kamu kan kakaknya sazi” usul Deni.
Martin mengangkat bahu sekilas. “Terserah deh. Sama aja… asal jangan panggil ‘mbah’ aja”
Deni tertawa renyah.
Martin menoleh ke arah Deni. Menatap wajah cowok seumuran adiknya itu. Sebegitu meyakinkannyakah Deni jadi kekasihnya sampai-sampai Mrs. Shinaya kayaknya percaya banget?
“Kenapa ngeliatinnya kayak gitu?” tanya Deni yang sadar lagi dipandangi, bikin Martin gelagapan malu.
“Nggak… nggak makasih ya, Den. Kalau nggak ada lo, eh, kamu, nggak tahu deh apa jadinya. Gara-gara Dimas mendadak nggak bisa dating. Untung aku keingetan kamu. Kalau nggak aku bakal diuber-uber si nenek-nenek yang pengin membuktikan cintanya gitu… hiii..”
Deni membalas menatap Martin. “No problem.. aku senang kok” jawab Deni tulus. “Eh, ngomong-ngomong, selamat lho proyeknya jebol. Pasti rave party-nya bakal sukses. Sponsornya kelas kakap begitu… selamat ya..” entah sadar entah nggak Deni menepuk-nepuk pundak Martin lembut.
Tampaknya nggak sadar. Karena tiba-tiba Deni kaget sendiri dan menarik tangannya.
Akhirnya sisa perjalanan jadi canggung. Deni mati gaya. Martin apalagi.
“Eh, Den… jangan masuk ya. di sini aja” ujar Martin tiba-tiba begitu mereka sampai di depan rumah Martin.
“Lho.. masa aku nggak nganterin sampai dalam rumah?”
Sekarang Martin yang entah sadar atau nggak meremas pundak Deni pelan. Maksudnya sih meyakinkan kalau dia nggak apa-apa. “Nggak pa-pa.. Cuma tinggal masuk, kan”
Deni mengangguk setuju.
Martin baru sadar wajah Deni merah padam. Apa gara-gara remasan sekilas di pundaknya tadi? Sekarang muka Martin ikut-ikutan merah padam.
“Udah ya, Den. Makasih banyak… banyak banget” pamit Martin.
“Eh, eng.. anu, kapan pun perlu bantuan, bilang aja ya, tin?” kata Deni sebelum Martin melenggang masuk pagar.
Sebegitu desperate-nya kah Martin? Sebegitu haus belaian wanitakah Martin sampai-sampai sentuhan pura-pura Deni tadi bisa bikin dia serangan jantung ringan?
Martin tidur terlentang di kasurnya. Hangatnya telapak tangan Deni masih terasa di pundaknya dan punggungnya…
“Maarrttiiinn…!” DOGH DOGH DOGH! Tiba-tiba pintunya digedor diiringi suara cempreng adiknya yang genit itu.
“Udah tiduuurrr!” jawab Martin dari balik selimut.
“Bohoooong! Udah tidur kok bisa jawab siih! Buka dooong!” paksa Sazi .
Martin mendengus kesal. “Mo ngapain siih? Ngantuk niiihh… besok ajaa!”
Terdengar gerutuan kesal sazi. “Pengin pinjam laptop kamu!”
Martin bangkit dari kasurnya, berjalan cepat menuju meja kerja, mengambil laptop yang diminta sazi, lalu melangkah buru-buru ke pintu. “Nih..! selamat tidur!”
“Eh!” sazi menahan pintu yang nyaris di tutup Martin
“Apa lagi siiihh? Ngantuk niiiih…”
“Kamu dari mana?” interogasi Sazi.
Martin mengerutkan alis. “Kenapa nanya-nanya?”
“Nggaaak.. tumben aja langsung masuk kamar terus tidur nggak ganti baju. Nggak nonton HBO dulu nih?” tagih Sazi yang biasanya selalu punya teman nonton HBO malam-malam.
“Nggak ah! Udah sanaaa… aku ngantuk” usir Martin.
Sazi manyun kecewa. “Habis nge-date terus pengin melamun jorok ya? sama siapa sih?”
“Sazi!”
Sazi cekikikan. “Iya.. iya pinjem ya laptopnya. Besok mo dipake ngerjain tugas sama Deni nih!” katanya riang.
DEG! Jantungnya Martin lagi-lagi kena batunya. Kalau sazi tahu tadi Deni baru jadi “pacarnya”.. “Ya udah. Semoga sukses… daaah”
KLIK. Martin mengunci pintu.
Habis nge- date terus melamun pacar? Ide yang bagus.
Martin beringsut lagi ke balik selimut. Karena hari ini Deni “pacarnya”, yah… nggak salah juga dia melamunin Deni menjelang tidur….
Tapi tamatnya aku lupa,
Seingetku sih pas adiknya stuju kakaknya pacaran ama yg disukain adeknya