It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Overall, meskipun minim deskripsi karakter, cukup bisa membuat pembaca berimajinasi. Kedepannya, tolong karakterisasi diperhatikan. Soalnya ad 5 tokoh, pasti ribet kalau sifatnya sama semua.
Oke, mungkin segitu dulu. Selanjutnya, dipantau deh. Semangat! Tetep berkarya.
5 tokoh rencana bakal punya karakter yang beda-beda sih. Tapi thank banget dah diingetin.
Thank ya buat masukannya . Semoga bisa menghibur.
Begitu rinci bapak produser ini menjelaskan detil mengenai boyband ini. Ya tentu saja dia punya ambisi yang besar akan boyband ini. Itu bisa terlihat dari cara dia menyampaikan segala hal yang selalu disisipi motivasi diantaranya. Entah berapa lama dia sudah berbicara namun harus diakui dia punya kemampuan public speaking yang baik. Sejak tadi ia berbicara tapi aku belum merasa bosan, dan bukan cuma aku nampaknya keempat rekanku yang lain juga masih memusatkan perhatian padanya.
“Oke jadi itu kurang lebih yang bisa saya sampaikan hari ini. Oh iya satu lagi saya mau sampaikan bahwa boyband atau grup berbeda dengan solo. Untuk bisa terdengar satu kalian harus punya chemistry yang baik antara satu anggota dengan yang lainnya. Jadi sebagai kegiatan pertama kalian, dari pihak manajemen akan membawa kalian ke puncak selama satu bulan. Di sana kalian akan mendapat arahan vokal dan juga bekal teknis lain. Tentu saja intinya bukan hanya teknik tapi yang jauh lebih penting adalah menjalin kedekatan di antara kalian.”
“Maaf pak terus untuk kita yang masih sekolah gimana?”
“Oh iya Ardo dan Fadi masih sekolah ya, jadi nantinya kalian akan dimintakan ijin ke pihak sekolah untuk menempuh home schooling selama sebulan. Masalah perijinannya nanti pihak manajemen yang akan urus. Jadi kalian tenang dan konsen aja selama di sana ya.”
Sam : “Jadi bentuknya semacam karantina ya pak?”
Produser : “Nggak murni karantina kalian masih tetap bisa bepergian tapi tentu saja dibatasi. Karena apa artinya kita mengumpulkan kalian kalau toh kalian malah pergi sendiri-sendiri.
Aku : “ Acara di puncaknya mulai kapan pak?”
Produser : “Kepastian ada di manajemen tapi jika tidak berubah tiga hari lagi kalian akan berangkat. Lebih cepat lebih baik bukan. Masih ada pertanyaan lagi kah?....... Oke kalo tidak ada mungkin meeting hari ini bisa kita akhiri. Kalian bisa mempersiapkan diri sebelum kalian berangkat ke puncak. Terima kasih buat perhatiannya.”
Setelah menutup rapat kami semua bersalaman dan pak produser itupun meninggalkan ruangan meeting. Sekarang tersisa kami berlima dalam ruangan ini yang juga sudah mulai membereskan barang-barang kami. Suasanya masih terasa sangat kaku diantara kami. Ya wajarlah kami baru pertama kalinya bertemu satu ruangan satu sama lain, kecuali aku dan Fadli.
Sam : “Riko kamu sama Fadli sudah kenal lama ya? Kok telatnya bisa barengan gitu.”
Aku : “Oh iya kita ketemu waktu sama-sama audisi buat Jakarta.”
Sam : “Oh kalian sama-sama dari Jakarta ya.”
Fadli : “Iya, makanya nih rada males ketemu ama si Riko mulu.”
Aku : “Ah sialan lo. Emang kamu dari mana Sam?”
Sam : “Aku sih dari Palembang asalnya, cuma kuliah di Jakarta.”
Ardo : “Baru masuk ya Sam berarti?”
Sam : “Iya baru mulai satu bulan kuliah, udah mau ijin aja nih kayanya hahaha.”
Ardo : “Repot juga ya kalo gini. Gw pikir jadi artis gampang hahahha.”
Tawapun pecah diantara kami. Sekarang nampaknya suasana agak sedikit cair. Semua ini berkat Sam yang nampaknya memang pandai mencairkan suasana diantara kami.
Sam : “Kalo kamu asal dari mana Ben?”
Ben : “Aku dari Jogja.”
Oh dari Jogja ternyata dia. Gila dari Jogja aja tengilnya ngelebihin gw yang dari Jakarta, kataku dalam hati.
Fadli : “Wah jauh juga ya, kesini naik apa? Kan baru dikabari kemarin. Jangan-jangan lo punya jet pribadi ya.”
Ben : “Haha, nggak lah. Aku naik kereta kok semalem. Soalnya kalo naik jet ntar kepala kepentok lagi saking cepet jetnya.”
Semua orang tertawa mendengar lelucon Ben, kecuali aku. Bagaimana aku bisa tertawa sementara lelucon Ben barusan diiringi peragaannya memegang kepalanya sambil melihat ke arahku dan tersenyum kecil. Entah kenapa leluconnya barusan benar-benar menyinggungku. Ada masalah apa dengan orang ini, nampaknya dia memang sengaja mengibarkan bendera perang denganku.
Argo : “Oke deh, temen-temen gw duluan ya soalnya mesti balik ke sekolah lagi nih gw.”
Aku : “Oh iya Fad bukannya lo juga sekolah hari ini?”
Fadli : “Iya sih tapi bolos sekalian aja ah nanggung.”
Aku : “Ah dasar lo males nih kecil-kecil.”
Sam : “Haha iya nih kalah sama yang masih 16 tahun.”
Ardo : “Weits, jangan bawa-bawa umur biar masih muda tapi nggak bisa diremehin lo.”
Aku : “Ciee iya deh.”
Ardo : “Hahaha, ya udah duluan ya semua.”
Sam : “Iya aku juga sekalian mau pulang kok.”
Fadli : “Ya udah yuk bareng aja kayanya semua dah mau pulang kan.”
Kamipun menutup semua tas dan bawaan kami. Satu per satu mulai meninggalkan ruangan. Mulai dari Argo yang sudah sejak tadi nampaknya tergesa-gesa. Kemudian disusul Sam. Aku lihat si Ben masih sibuk membereskan bawaanya.
Fadli : “Ko buruan yuk.”
Aku : “Duluan gih Fad, ntar ketemu di depan aja.”
Fadli : “Ya udah gw mau ke toilet dulu ya.”
Aku : “OK sip deh, ntar ketemu di lobby aja.”
Fadli pun keluar dari ruangan dan sekarang tinggal aku dan Ben di ruangan ini. Kesempatan bagus buatku menginterogasi Ben.
Aku : “Hi Ben.” Ini benar-benar basa-basi ku. Sebenarnya ingin langsung aku mendaratkan kepalan tangan ini di mukanya.
Ben : “Oh Hi.”
Aku : “Nggak merasa perlu minta maaf ya.” Aku sedikit menyindirnya semoga saja dia masih punya sedikit sensitivitas untuk menyadarinya.
Ben : “Minta maaf buat?”
Aku : “Lo pasti sadarkan di toilet tadi lo buka pintu dan pintunya kena kepala gw.”
Ben : “Iya terus,… kan aku juga nggak sengaja.” Dengan wajah datarnya dia mengacuhkanku. Dia menggendong tasnya dan terus berjalan kearah lobby.
Aku : “Gw tau lo nggak sengaja tapi emang seberat itu ya minta maaf.”
Ben : “Nggak usah terlalu dibuat ribet lah.”
Aku : “Eh lo bisa nggak sih kalo orang ngomong nggak jalan terus…. Woi!” aku menarik pundaknya untuk menghentikan langkahnya. Namun tiba-tiba dia berbalik dan memandang tajam ke arahku, tepat 5 cm di depan mukaku dan sekarang aku bisa melihat dengan jelas wajahnya. Aku yang tadinya marah menggebu-gebu sekarang jadi salah tingkah.
Ben : “Terus sekarang mau lo gimana?”
Aku : “Ya gw…….. jelas lah…… Jelas gw mau lo minta maaf!”
Dia kemudian berbalik kembali dan berjalan dengan cepat. Aku sempat terdiam sementara karena bingung akan sikapku sendiri kenapa tadi aku bisa jadi salah tingkah, padahal itu saat yang pas buat mendaratkan tinju di muka Ben. Setelah tersadar Ben sudah berada beberapa meter didepanku. Aku kembali mengejarnya.
Aku : “Ben tunggu!”
Fadli : “Ko… ko… woi!”
Aku : “Apa sih Fad.”
Fadli : “Lah kok apa gimana sih, kan gw lagi nungguin lo. Eh lonya malah nyelonong, ya gw panggil.”
Aduh, bagaimana ya caranya menjelaskan semuanya ke Fadli. Semuanya jadi begitu rumit di hari pertamaku bertemu dengan rekan-rekan satu bandku.
Aku : “Ah ya udah deh yuk ah pulang.”
Fadli : “Loh kan emang ini mau pulang, gimana sih ni anak. Kena amnesia apa ya suka tiba-tiba lupa.”
Aku : “Nih amnesia!” Kataku sambil melempar kertas tisu yang sejak tadi aku genggam karena menahan amarahku pada Ben. Yah, paling tidak kawanku yang satu ini masih bisa menghiburku dengan tingkah konyolnya di hari yang entah baik atau buruk buatku. Tapi Ben! Tunggu ya di puncak nanti pasti aku bisa buat dia minta maaf.
Pertanyaan Sam lagi-lagi memecah kebekuan suasana di antara kami dalam mobil ini. Sudah 3 menit berlalu sejak pintu mobil ini ditutup untuk membawa kami berlima ke puncak. Menuju hari-hari karantina kami. Yah walaupun mereka nggak mau kalau acara ini dibilang karantina. Aku dan Sam duduk di belakang, sedangkan Fadli, Argo dan Ben duduk di tengah.
Ardo : “Haha maklum anak muda banyak keperluannya.”
Fadli : “Ah gw anak muda nggak banyak juga bawaannya.”
Ardo : “Berarti harus lebih muda dikit Fad, seumuran gw baru banyak keperluannya. Hahaha”
Sam : “Ada aja alasan kamu Do.”
Ardo : “Ah lagian nggak beda jauh amat kok ama si Ben noh.” Bantah Ardo seraya menunjuk ke arah tas Ben yang diletakkan di bawah kakinya
Aku : “Banyak peralatan make-up nya kali. Hahaha.” Kami pun tertawa. Jelas dibalik leluconku barusan tersimpan sindiran yang sengaja aku arahkan ke Ben. Nampaknya Ben pun bisa menangkap sindiranku. Terbukti dia hanya tersenyum kecut ke arahku di saat teman yang lain tertawa lepas.
Ardo : “Lagian sebenernya wajar kali bawaan kita banyak. Kan emang kita bakalan sebulan di puncak.”
Fadli : “Ngomong-ngomong soal puncak ada yang bawa kartu nggak? Kan daripada suntuk kalo malem kita bisa main kartu nih.”
Aku : “Gw bawa kok Fad, UNO juga gw bawa.”
Sam : “Wah kalian persiapannya mateng gitu ya. Ready to the war nih kayanya.”
Aku : “Iya donk Sam. Siapa tau aja beneran bakal terjadi peperangan di puncak. Hehe.” Ben melihat tajam ke arahku saat ini. Terlihat emosi di matanya. Dia yang mulai, jangan dipikir aku takut meladeni.
Sam : “Eh Riko, muka kamu tuh kalo diliat-liat masih kaya anak SMP ya, imut.” Sam pun memulai obrolan kecil denganku karena memang posisi kami di belakang bersebalahan.
Aku : “Oh iya Sam, banyak yang bilang muka gw baby face. Padahal umur udah tuir. Hahah.”
Sam : “Emang lo anak ke berapa?”
Aku : “Anak pertama, kalo lo?”
Sam : “Aku anak bungsu. Sodara ada dua.”
Aku : “Gila lo anak bungsu tapi nggak ada manja-manjanya ya.”
Sam : “Yak an anak bungsu nggak harus manja juga, lagian kan kakak ku dua-duanya cewe jadi yang ada mereka yang manja. Hahaha.”
Aku : “Oh gitu, adik gw juga cewe Sam. Tapi untung dia nggak manja haha.”
Sam : “Eh lo dah ada cewe belum?”
Aku : “Belum Sam lo?”
Sam : “Sama nih masih jomblo. Hahah.”
Aku : “Kok bisa sih, muka lo kan keren. Kalo gw cewe kayanya gw pasti naksir ama lo.”
Ini memang pujian tulus buat si Sam. Karena memang wajah Sam bisa dibilang sangat memikat. Alis tebalnya itu pasti bisa bikin cewe manapun “klepek-klepek” dibuatnya. Apalagi ditambah personaliti dia yang memang sangat nyaman buat orang lain.
Sam : “Ah masa sih? Tapi lo nggak suka gw beneran kan?”
Aku : “Haha ya nggak lah, gw masih normal bro. Cuma bener emang tampang lo keren.”
Sam : “Nggak tau belum ada yang mau kayanya.”
Aku : “Ntar deh kalo kita dah ngetop pasti dapat gebetan yang OK.”
Sam : “Amin aja deh. Hahah”
Sepanjang perjalanan ku habiskan mengobrol kecil bersama Sam. Dia orang yang ramah memang, selain itu nampak dewasa di mataku. Makanya walaupun sejak tadi mengobrol aku tidak bosan. Mungkin juga karena Sam adalah anggota bandku yang umurnya plaing dekat denganku, jadi frekuensi otak kami mirip. Banyak info yang aku dapat tentang dirinya. Mulai dari dia anak bungsu, hobinya bermain piano, sampai hal-hal kecil seperti makanan kesukaannya.
Fadli : “Eh dah nyampe nih, buset vilanya OK punya bro. Bisa buat main petak umpet nih kayanya.”
Aku : “Hahaha, bener banget Fad. Tapi gw ga mau jadi yang jaga ya.” Terang saja dengan lahan seluas ini nampaknya kami akan butuh waktu lama untuk mengelilinginya.
“Mari masuk teman-teman. Di dalam nanti ada kak Nita yang akan menjelaskan semua kegiatan, dan juga detil yang perlu kalian tau selama tinggal disini. Mari ikut saya.”
Kami pun mengikuti Pak Feri. Pak Feri ini salah satu orang dari pihak managemen kami. Aku sendiri nggak terlalu jelas posisi dia di kantor sebagai apa.
Fadli : “Ko, ni vila bukan vila berdarah kan ya? Parno gw.”
Aku : “Bukan Fad, kayanya vila kuntilanak.”
Fadli : “Ah sialan lo ah.”
Aku : “Ya elo, aneh-aneh aja. Kebanyakan nonton film lo ah. Vila keren gini dibilang vila berdarah.”
Fadli : “Loh jangan salah bro, vila berdarah yang gw liat di film juga selalu keren.”
“Selamat pagi temen-temen” Tiba-tiba saja perdebatan anehku dengan Fadli terhenti mendengar seorang wanita menyapa kami. Wanita ini nampaknya adalah kak Nita yang tadi disebutkan pak Feri. Aku tidak tahu pasti usianya, namun dilihat dari wajahnya seharusnya tidak jauh berbeda dari kami. Dan satu lagi kak Nita ini cantiknya setaraf artis film. Mungkin ada sedikit kemiripan dengan Mariana Renata. Bukan cuma aku nampaknya yang terkesima, nampaknya yang lain pun terkesima dengan kecantikannya. Terlihat dari senyum mesum di bibir mereka, kecuali Sam yang tetap terlihat sopan dengan senyumnya dan Ben yang tetap cool tanpa senyuman. Dasar batu.
“Perkenalkan nama saya Anita Putri, kalian panggil saja Nita biar lebih akrab. Saya bakal jadi ibu asuh kalian dalam tanda kutip selama kalian disini. Jadi kalau ada keperluan apapun kalian bisa hubungi saya. Bisa lewat telpon atau datang langsung ke kamar saya di cottage depan itu.” Kak Nita menunjuk ke arah cottage di sebelah kiri vila ini, masih dalam satu komplek hanya saja terpisah dari rumah utama.
“Nomor HP nya berapa kak?” dengan gesit Ardo mulai melontarkan pertanyaan dengan senyuman genitnya.
“Nah ini ada semacam modul, di modul ini ada penjelasan mengenai kegiatan kalian secara detil selama di sini. Di bagian belakang ada nomor telpon yang bisa kalian hubungi termasuk nomor saya. Oh iya peta vila ini juga ada ya di dalam jadi kalian bisa lihat-lihat modulnya.”
Kak Nita pun membagikan modul di tangannya kepada kami. Aku sempat melihat Ardo mengulurkan tangan kepada kak Nita untuk berkenalan. Dasar anak ini genitnya bukan main.
“Sambil jalan masuk yuk, biar saya jelasin detil ruangan-ruangan di dalam. Sekalian kamar kalian biar kalian bisa taruh barang kalian dulu.”
Kami pun berjalan perlahan mengikuti kak Nita. Dia menjelaskan satu persatu kamar di vila megah ini. Mulai dari kamar tamu di depan, dapur di belakang, ruang baca, ruang latihan fisik atau gym dan kolam renang di lantai satu. Kemudian kami naik ke lantai dua. Di sini ada ruang santai yang dilengkapi dengan home theatre dan juga video game tentunya, ruang latihan vokal, dan dua kamar tidur yang luar biasa nyaman. Kemudian kami naik ke lantai tiga lantai terakhir. Di sini ada balkon yang dilengkapi dengan taman kecil, dan dua kamar tidur.
Sam: “Loh kak Nita kok kamarnya cuma ada empat?”
Kak Nita : “Nah itu dia, kamar yang terakhir ini akan diisi buat dua orang soalnya kamarnya cukup besar. Jadi Fadli dan Argo nanti menempati kamar di lantai dua. Kemudian Sam di kamar sebelah sana. Jadi Ben dan Riko nanti kalian nggak apa ya tidur berdua di kamar yang ini.”
Aku : “Apa!!”
Kak Nita : “Kenapa Riko?”
Ekspresi barusan benar-benar ekspresi spontan yang terlontar karena kak Nita menginformasikan bahwa aku bakal sekamar dengan manusia batu Ben. Aduh bagaimana mungkin aku bisa menikmati kehidupanku sebulan ke depan jika aku harus berbagi kamar dengan Ben. Tapi tidak mungkin juga aku mengutarakan apa yang terjadi di antara kami ke pihak manajemen. Mereka membawa kami kesini untuk mengakrabkan kami mana mungkin aku menolak untuk sekamar dengan teman satu band ku. Tapi kenapa harus Ben.
Riko : “Nggak kak nggak apa kok. Hehe.”
Kak Nita : “ Berarti nggak keberatan kan ya Riko, kalo Ben gimana nggak apa kan?”
Tolak Ben, semoga dia keberatan. Ayo.. ayo tolak.
Ben : “OK kok kak nggak apa.”
Hah! Sial Ben nggak menolak. Apa ya yang dia rencanakan sebenarnya. Pasti dia punya rencana busuk buatku nanti. Atau dia juga enggan untuk menolak permintaan kak Nita sama sepertiku. Aduh nampaknya satu bulan yang suram sudah di depan mata. Kata-kata ocehanku selama di mobil menjadi kenyataan sekarang. Perang dingin benar-benar akan terjadi di vila ini.
Makasih @Just_PJ
soalnya jujur aja itu kalo dialognya gk ada namanya pasti gk akan ketauan itu siapa yg ngomong... >-