BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

The Jathilan Dancers [Side Story of Lelaki-lelaki Ponorogo] 12 August 2012

edited August 2012 in BoyzStories
Masih ingat dengan cerita “Lanang” yang dulu sempat di post di sini? Ini adalah side story kisah itu. Aku ambil sudut pandang Bowo disini. Tentang kisahnya sebelum perjumpaan nya dengan wendar.
«13

Comments

  • PROLOGUE
    Kau tahu apa itu kebebasan. Dulu, aku sempat berpikir tentang hal itu. Dan dulu, aku sempat merasa aku adalah orang paling bebas di dunia. Tapi itu dulu. Dulu. Sebelum semuanya terenggut, dan kisah piluku dimulai.


    PONOROGO, 1963
    Terkadang aku berpikir, matahari itu menyebalkan. Ketika tengah hari seperti ini, sinarnya biasanya akan terasa menyiksa. Sinarnya yang membakar itu sering membuat dedaunan jati berguguran. Juga kadang membuat rumput dan dedaunan mahoni layu, apalagi di musim kemarau yang tiada henti.

    Dan siang itu, aku kembali merutuk tentang matahari. Bel sekolahku yang terbuat dari besi rel kereta itu baru saja berbunyi. Dan seketika saja anak-anak berhambur keluar. Mereka berlomba. Berkejaran dengan dengan perut yang sudah tak mau berkompromi lagi.

    Sementara aku hanya terpaku di depan kelasku, menatap terik matahari yang tak kunjung usai. Sinarnya silau, membuatku malas untuk beranjak dari sini. Kakiku yang telanjang masih terlalu malas untuk melangkah melewati satu kilometer jarak menuju rumah. Kau tahu, kadang aku merasa sebal. Disaat teman-temanku sibuk menunggui jemputan onthel atau andong orang tuanya, aku malah harus menerima kenyataan bahwa orang tuaku lebih memilih berkutat dengan gaplek dibanding menjemputku. Ya, aku memang sadar, menjemur gaplek memang menghasilkan uang. Sedangkan menjemputku hanya mengundang lelah. Lagipula aku lelaki, rasanya terlalu manja jika harus merengek meminta bapak atau simbok ku menjemput dengan onthel nya. Kami tak punya dokar. Yang kami miliki hanya onthel usang, gubuk reyot bernama rumah, dan tentunya kami punya satu hal: harga diri. Hal yang sudah sangat jarang ditemui di negeri ini.

    “Nunggu jemputan Wo? haha,” Nandar, temanku itu mengejekku. Aku hanya tersenyum kecut.
  • PROLOGUE
    Kau tahu apa itu kebebasan. Dulu, aku sempat berpikir tentang hal itu. Dan dulu, aku sempat merasa aku adalah orang paling bebas di dunia. Tapi itu dulu. Dulu. Sebelum semuanya terenggut, dan kisah piluku dimulai.


    PONOROGO, 1963
    Terkadang aku berpikir, matahari itu menyebalkan. Ketika tengah hari seperti ini, sinarnya biasanya akan terasa menyiksa. Sinarnya yang membakar itu sering membuat dedaunan jati berguguran. Juga kadang membuat rumput dan dedaunan mahoni layu, apalagi di musim kemarau yang tiada henti.

    Dan siang itu, aku kembali merutuk tentang matahari. Bel sekolahku yang terbuat dari besi rel kereta itu baru saja berbunyi. Dan seketika saja anak-anak berhambur keluar. Mereka berlomba. Berkejaran dengan dengan perut yang sudah tak mau berkompromi lagi.

    Sementara aku hanya terpaku di depan kelasku, menatap terik matahari yang tak kunjung usai. Sinarnya silau, membuatku malas untuk beranjak dari sini. Kakiku yang telanjang masih terlalu malas untuk melangkah melewati satu kilometer jarak menuju rumah. Kau tahu, kadang aku merasa sebal. Disaat teman-temanku sibuk menunggui jemputan onthel atau andong orang tuanya, aku malah harus menerima kenyataan bahwa orang tuaku lebih memilih berkutat dengan gaplek dibanding menjemputku. Ya, aku memang sadar, menjemur gaplek memang menghasilkan uang. Sedangkan menjemputku hanya mengundang lelah. Lagipula aku lelaki, rasanya terlalu manja jika harus merengek meminta bapak atau simbok ku menjemput dengan onthel nya. Kami tak punya dokar. Yang kami miliki hanya onthel usang, gubuk reyot bernama rumah, dan tentunya kami punya satu hal: harga diri. Hal yang sudah sangat jarang ditemui di negeri ini.

    “Nunggu jemputan Wo? haha,” Nandar, temanku itu mengejekku. Aku hanya tersenyum
  • PROLOGUE
    Kau tahu apa itu kebebasan. Dulu, aku sempat berpikir tentang hal itu. Dan dulu, aku sempat merasa aku adalah orang paling bebas di dunia. Tapi itu dulu. Dulu. Sebelum semuanya terenggut, dan kisah piluku dimulai.


    PONOROGO, 1963
    Terkadang aku berpikir, matahari itu menyebalkan. Ketika tengah hari seperti ini, sinarnya biasanya akan terasa menyiksa. Sinarnya yang membakar itu sering membuat dedaunan jati berguguran. Juga kadang membuat rumput dan dedaunan mahoni layu, apalagi di musim kemarau yang tiada henti.

    Dan siang itu, aku kembali merutuk tentang matahari. Bel sekolahku yang terbuat dari besi rel kereta itu baru saja berbunyi. Dan seketika saja anak-anak berhambur keluar. Mereka berlomba. Berkejaran dengan dengan perut yang sudah tak mau berkompromi lagi.

    Sementara aku hanya terpaku di depan kelasku, menatap terik matahari yang tak kunjung usai. Sinarnya silau, membuatku malas untuk beranjak dari sini. Kakiku yang telanjang masih terlalu malas untuk melangkah melewati satu kilometer jarak menuju rumah. Kau tahu, kadang aku merasa sebal. Disaat teman-temanku sibuk menunggui jemputan onthel atau andong orang tuanya, aku malah harus menerima kenyataan bahwa orang tuaku lebih memilih berkutat dengan gaplek dibanding menjemputku. Ya, aku memang sadar, menjemur gaplek memang menghasilkan uang. Sedangkan menjemputku hanya mengundang lelah. Lagipula aku lelaki, rasanya terlalu manja jika harus merengek meminta bapak atau simbok ku menjemput dengan onthel nya. Kami tak punya dokar. Yang kami miliki hanya onthel usang, gubuk reyot bernama rumah, dan tentunya kami punya satu hal: harga diri. Hal yang sudah sangat jarang ditemui di negeri ini.

    “Nunggu jemputan Wo? haha,” Nandar, temanku itu mengejekku. Aku hanya tersenyum
  • Aku hanya tersenyum mendengar ucapan Nandar barusan.

    “Di jemput gundhulmu? Simbokku mesti lagi ngulik gaplek saiki, haha” celosku.

    [Dijemput kepalamu? Ibukku pasti lagi sibuk dengan gaplek (singkong yang dikeringkan) nya sekarang, haha]

    Kulihat Nandar terkikik, lalu berjalan menuju ayahnya yang telah menungguinya di depan gerbang.

    “Yawes nek ngono aku dhisik ya Wo?” ujarnya sebelum lalu.

    [Ya udah kalau begitu aku duluan ya Wo?]

    “Iya, hati-hati” balasku menatap Nandar diatas onthel yang penuh dengan keranjang sayuran.

    Sesaat aku menghela nafas. Dan detik berikutnya aku terhenyak. Apa mataku tidak salah? Apa aku sedang mengigau? Aku melihat bapak ku setengah terburu mengendarai onthel menujuku. Aku terdiam menatap bapak yang kesusahan menghentikan onthelnya karena remnya hanya sandal karet yang dijejalkan diantara pelek roda. Jadi, laju roda akan berhenti karena terganjal sandal karet yang diinjak.

    “Ayo pulang, nungguin opo kamu disitu?” panggil bapak begitu onthelnya sukses berhenti di hadapanku.

    “Eh.. dingaren (tumben) bapak jemput” ujarku nyengir.

    “Iki penting! Dadi kowe kudu cepet muleh neng omah! Makane bapak jemput kowe!”

    [Ini penting! Jadi kamu harus cepat pulang ke rumah! Jadi bapak jemput kamu!]

    “Emang ada apa to Pak?”

    “Udah ndak usah banyak nanya, cepat naik!”

    Maka tanpa banyak basa-basi lagi aku bergegas menuju bapak dan menghempaskan pantaku pada jok onthel yang keras. Sebenarnya aku sedikit penasaran. Tidak biasanya bapak sampai menjemputku ke sekolah. Aku juga penasaran apa yang membuat bapak menyuruhku cepat pulang. Tapi sudahlah, toh nanti aku juga bakal tahu apa yang dimaksudkan bapak tadi. Maka dengan setengah susah payah, bapak mulai menggenjot pedal onthel menyusuri jalanan berbatu di tengah terik siang itu.
  • SATU
    PINANGAN MENGGIURKAN

    Ada yang berbeda dengan rumahku siang itu. Aku melihat andong mewah terparkir dekat pohon jambu depan rumahku. Tak ketinggalan pula tiga ekor sapi yang nampak gemuk diikat disana. Onthel yang dikemudikan bapakku berhenti dengan tidak mulus. Sedikit gagal dari pemberhentian bapak di sekolahku tadi. Aku menjejak tanah, turun dari onthel dengan beribu tanya. Aku melongo. Punya siapakah andong mewah dan sapi-sapi ini? Milik saudara yang sedang berkunjung kah? Tapi aku sangsi. Rasanya kami tak pernah punya kerabat sekaya ini. Membawa andong dan sapi. Rasanya kami tak punya saudara seperti itu.
  • keren!!
    dari sini kayanya bakal seru nih ceritanya. lanjutkan!!!
  • lanjut gan !
  • Prolognya kurang greget. Kalimat ke1 lalu ke2 nggak nyambung. Rada aneh juga bro tito -.-

    Lalu selanjutnya tiga paragraf awal agak gimana. Aku baca agak terhenti. Yang daun jati jatuh karena panas matahari (bukannya itu siklus alami jati dengan meranggas, lalu jatuhnya dauh biasanya akibat angin atau jaringan ikat di daun putus).

    Ke belakang udah mulai panas dan lancar. :)
  • Dedo69 wrote: »
    keren!!
    dari sini kayanya bakal seru nih ceritanya. lanjutkan!!!
    oke, ditggu.
  • gr3yboy wrote: »
    Prolognya kurang greget. Kalimat ke1 lalu ke2 nggak nyambung. Rada aneh juga bro tito -.-

    Lalu selanjutnya tiga paragraf awal agak gimana. Aku baca agak terhenti. Yang daun jati jatuh karena panas matahari (bukannya itu siklus alami jati dengan meranggas, lalu jatuhnya dauh biasanya akibat angin atau jaringan ikat di daun putus).

    Ke belakang udah mulai panas dan lancar. :)

    hahaha, dr awal lgsung Kena semprot. soal daun jati, emang sech salah. Tapi bayangin aja narasi it adalah pemikiran bocah kampung kelas 5 SD di pedesaan. hehe
  • Coba baca Laskar Pelangi. Tokohnya juga SD, dia sebagai juru bercerita, bahasanya juga aduhai..
  • “Ini punya siapa Pak?” tanyaku penasaran seraya menunjuk dokar dan sapi-sapi itu.

    Tapi Bapak tidak langsung menjawab. Ia malah menarik tanganku dengan kasar.“Sudahlah ndak usah banyak tanya. Nanti kamu juga tahu!” celosnya sambil terus menarik tanganku masuk kedalam rumah.

    Dan sesampainya didalam, aku menemukan Simbok yang tengah terpekur pada kursi anyam. Sementara disampingnya, duduk seorang lelaki berwajah asing. Umurnya sekitar empat puluhan. Garis wajahnya yang keras nampak diselimuti kumis dan jenggot tebal yang membuatnya terlihat berwibawa. Blangkon batik membebat rambutnya yang pekat. Sementara tubuhnya yang gempal, diselimuti basofi hitam yang nampak mewah. Aku yakin, dia bukan lelaki biasa selayak kami. Ia pasti orang penting di kabupaten. Atau setidaknya, sesepuh di sanggar-sanggar reog.

    “Eh, kamu sudah pulang Wo?” sapa Simbok begitu menyadari kehadiranku. Bapak masih memegangiku, sementara kulihat lelaki itu nampak tersenyum melihatku.

    “Sudah Mbok,” jawabku singkat. “Ini sebenarnya ada apa to Mbok? Diluar itu dokar sama sapi nya siapa?” jeda. “Terus ini kenapa banyak banget palawija?” pungkasku seraya menunjuk karung-karung besar berisi palawija di dekat pintu.

    Tapi Simbok tak langsung menjawab. Kulihat ia nampak berbisik pada lelaki disebelahnya, memohon diri. Kemudian tanpa basa- basi menghampiriku dan menarik tanganku menuju pawon (dapur). Bagai kerbau dicocok hidung, aku hanya menurut saja melihat tindakan Simbok dan Bapak yang mendadak aneh itu.


    “Sebenarnya ada apa sih Mbok? Bisa Simbok jelaskan semuanya?” pekikku pelan sembari melepas genggaman Simbok pada pergelanganku. Aku sudah tak tahan dengan semua keanehan ini. Aku butuh penjelasan. Kenapa tiba-tiba saja semua jadi aneh seperti. ini.

    Simbok nampak kikuk, rautnya diliputi keraguan.

  • up up up...
  • “Sebelumnya maafkan Simbok, Wo.. maafkan Simbok” ucap Simbok lirik. Raut mukanya diselubungi kekakuan. “Simbok terpaksa melakukan ini semua.”

    Aku terdiam, tak memahami apa yang dikatakan Simbok barusan.

    “Simbok sudah berpikir hampir ribuan kali le, Simbok memang harus melakukan ini.”

    Aku termangu, “Melakukan apa? Aku tak mengerti maksud Simbok!”

    “Kamu tahu kan Wo kalau kita ini bukan orang berpunya? Kita ini orang miskin! Buat makan saja Simbok sama Bapakmu harus menjemur gaplek! Dan sebentar lagi kamu lulus SD, Simbok ndak yakin apa Simbok bisa melanjutkan pendidikan mu ” Simbok mendesah berat.

    Aku terdiam. Tercekat. Antara memahami dan tidak.

    “Kamu tahu lelaki yang sekarang duduk di ruang tamu itu?” lanjut Simbok setengah berbisik.

    Aku menggeleng. Tak mengenali sosok asing yang kini tengah duduk di kursi anyam itu.

    “Dia itu Warok Joyo, konglomerat kaya pemilik sanggar reog di Ngaseman” jelas wanita kurus itu pelan. “Tadi pagi dia datang kesini dan menawarkan pinangan menggiurkan sama Simbok.”

    Aku mendelik, “Pinangan?”

    Sesaat, Simbok menghela nafas. Berat.

    “Warok Joyo menawarkan masa depan buat kamu. Dia menawarkan banyak hal untuk keluarga kita. Dia bawa tiga ekor sapi buat Bapakmu. Dia juga bawa palawija-palawija itu buat Simbok. Adikmu Utari juga bakal disekolahkan sampai tamat sama dia. Asal kamu...” Simbok memberi jeda.


    “Asal aku kenapa Mbok?” tanyaku penasaran.

    “Asal kamu mau dipinang Warok Joyo dan diboyong ke Ngaseman buat jadi penari Jathilan.”
Sign In or Register to comment.