It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
“Hajar saja, Gam!” sahut cowok dengan tampang oriental dibelakangnya. Mencoba memanas-manasi cowok spike yang bernama Gama itu.
Perlahan, Gama mulai melangkahkan kaki kearah aku dan Marlo yang semakin bergetar. Nafasnya yang sudah empot-empotan nyaris seperti mobil bemo yang bensinnya hampir habis. Sementara aku, masih pada posisi yang sama seperti tadi, mencoba setenang mungkin menghadapi cowok-cowok menyebalkan ini.
“Jadi ini, ya, mainan baru yang dikirimkan sekolah untuk kami?” ucap Gama begitu kedua kakinya terhenti tepat di hadapanku dan Marlo. “Well, lumayan juga, setidaknya nggak jelek-jelek banget.”
Aku menelan ludah mendengar cowok keren itu menyebutku ‘mainan.’“Apa maksudmu?”
Dan Gama malah tertawa lantang begitu aku menyelesaikan pertanyaanku. Kulihat ia menjentikkan jarinya-mengisyaratkan ketiga temannya agar mendekat kearahnya. Dan segera, ketiga cowok yang nggak kalah kerennya dengan si Gama mendekatkan diri sehingga mereka berempat sukses mengerubungi aku dan Marlo. Tiba-tiba saja, aku jadi seperti Geum Jan Di yang sedang dikerubungi oleh cowok-cowok F-4 dalam serial Boys Before Flower.
“Look at this guys!” ucap Gama memulai percakapan. “Sepertinya mainan kita yang satu ini masih agak sedikit liar. Jadi rasanya kita akan perlu mengajarkan kepada dia cara untuk menghormati G-4, bukan begitu guys?”
Dan terdengar jawaban serempak dari ketiga cowok dibelakang Gama.
“Oh,iya, sebelumnya boleh aku tahu siapa namamu?” sambung Gama sembari membungkuk agar wajahnya sejajar denganku. Aku-untuk kesekian kalinya- hanya berpura-pura ketus agar tak terlihat takut. Padahal jantungku berpacu kencang gara-gara nafas harumnya.
“Hahahaha!” terdengar cowok-cowok G-4 tertawa. Jujur aku sedikit tersulut emosi karena mereka berani mentertawakan nama yang telah susah payah diberikan orang tuaku. Namun aku tetap berusaha diam.
“Sepertinya, nama itu memang pantas diberikan padamu, karena aku yakin, kau juga pasti sama dengan tumbuhan kerdil dan lemah itu, hahaha!”
“Stop kalian mentertawakanku!” teriakan kencang itu dengan mulus meluncur dari kerongkonganku, yang langsung dibalas dengan tatapan tajam dan membunuh dari Gama. Detik kemudian, aku menyesal telah mengatakan kalimat itu karena Gama dan G-4 akan membunuhku.
“Sepertinya kau bukan hanya liar, semanggi! Tapi kau juga kurang ajar!” umpat Gama seraya mengangkat tinjunya tinggi dihadapanku. Namun hendak ia melayangkan tinjunya padaku, terdengar suara bel masuk diikuti teriakan anak-anak dari kelas lain, membuat Gama mengurungkan niatnya dan menyimpan kembali tinjunya. Aku menghela nafas lega, sementara ia mengumpat sebal sembari memutar langkahnya.
“Well, sepertinya kau beruntung kali ini, tapi aku bersumpah, hari-hari selanjutnya akan menjadi neraka bagimu. Aku akan membuatmu menyesal karena telah berani melawan G-4, aku janji!” ancam Gama seraya melangkahkan kaki bersama ketiga anggota G-4. Kulihat guru Bahasa Inggris kami sudah berdiri di depan pintu kelas.
***
“Kau hebat Clover! Kau benar-benar hebat!”
Sekali lagi aku tersipu mendengar kata-kata Marlo tersebut. Kami sedang berada di kafetaria sekolah ketika untuk kelima kalinya-kalau aku tak salah-ia memujiku karena berani melawan G-4 yang katanya nightmare itu.
“Aku hanya melakukan apa yang biasa orang lain lakukan,” jawabku enteng sembari menghabsikan mie ayamku yang tinggal separuh.
“Tapi kau benar-benar hebat Clover! G-4 itu genk paling ditakuti di sekolah ini, dan kau berani menentang mereka. Kau hebat!”
Sejenak aku menyeruput es jerukku. Lalu mengalihkan tatapanku ke arah Marlo yang masih terkagum dengan begitu hiperbolisnya.
Marlo nampak berpikir sejenak, kemudian mencoba membenarkan letak kacamata yang tak salah sama sekali. “Karena mereka...,” Marlo menggantung kalimatnya.
“Mereka kenapa?”
“Mereka adalah cowok yang paling berpengaruh di sekolah ini. Orang tua mereka adalah pemilik saham sekaligus penyumbang terbesar disini. Mereka kaya, tampan, dan high class. Namun mereka suka semena-mena dan hobi melakukan bully-ing terhadap siswa lain.”
Aku hanya mengangguk mendengar penjelasan Marlo yang panjang lebar.
“Jadi cuma karena itu kalian menakuti mereka?”
Marlo merenung sebentar, “Begitulah... kami selalu merasa lemah jika harus melawan mereka. Kami tak punya keberanian.”
Aku tersentak. “Kenapa?”
“Karena kami tahu, bahwa G-4 (yang kepanjangannya Georgeous Four). Mereka tidak akan tinggal diam jika ada seorang siswa yang berani menentang mereka. Mereka akan melakukan segala cara untuk membuat orang yang berani membuat orang yang berani kepada mereka menyesal dan kapok.”
“Apa pernah mereka melakukan hal yang parah?”
“Pernah,” jawab Marlo mantap. “Dulu pernah ada siswa yang hampir bunuh diri karena depresi diganggu terus oleh G-4. Siswa itu awalnya berani terhadap G-4, dan kemudian ia sering jadi korban bully-ing. Kau tahu? Berani terhadap mereka, sama saja bunuh diri!”
Untuk kedua kalinya aku tersentak, “Separah itukah?”
Marlo hanya mengangguk lemah. “Karena itulah, tak ada seorangpun yang berani melawan G-4”
Aku seakan tertampar mendengar penjelasan Marlo barusan. Separah itukah ulah cowok-cowok menyebalkan bernama G-4 itu? Aku benar-benar tak bisa mempercayainya.“Lantas, apakah guru guru juga diam saja terhadap ulah mereka.”
Marlo mengangkat bahu, “Kurasa masih banyak guru yang takut dipecat dari sekolah ini.”
“Dan satu hal lagi yang perlu kau ketahui tentang G-4 Clover,” sambung Marlo kemudian. Kali ini rautnya nampak lebih serius.
“Apa itu?”
“Mereka berempat itu gay!”
“What?!” ujarku seraya melotot dan -tanpa sadar-menyemburkan es jerukku. Pernyataan Marlo barusan spontan berhasil membuatku terkaget tingkat dewa. Jadi...G-4 itu... Gay Four!
Lanjut deh...
AMIN...
THE BATTLE BEGINS
Aku menghempaskan tubuhku yang masih terbalut seragam pada kasur empuk di kamarku. Rasanya, badanku remuk redam. Apa yang seharian tadi terjadi di sekolah baruku cukup menguras tenaga. Apalagi sebelum pulang tadi, Marlo mengajakku berkeliling agar aku hapal dimana letak perpustakaan, laboratorium, dan tempat tempat penting lainnya.
Aku melirik kearah jam dinding di tembok kamarku. Pukul tiga seperempat. Rasanya masih terlalu awal untuk mandi jam segini. Toh, nanti pasti badanku bakal berkeringat lagi. Maka kuputuskan untuk mengambil handphoneku, membuka menu multimedia, dan memutar lagu-lagu favoritku untuk sekedar melepas rasa penat. Dan kupilih lagu Someone Like You milik Adele.
『I’ve heard that you settled down
That you found a girl, and you’re married now..』
Sembari menikmati denting piano dalam lagu tersebut, pikiranku melayang kembali ke kejadian di sekolah tadi. Aku masih ingat betul perkataan Marlo di kantin tadi siang. 'Mereka berempat itu gay!', begitu kata Marlo. Aku menghela nafas, apa iya, cowok keren dan cool seperti mereka adalah cowok cowok penyuka sesama jenis. Aku agak ragu sih. Pasalnya, mereka nggak ngondek sama sekali, masa iya mereka homo. Kalaupun iya, berarti aku punya kesempatan dong!hehehe..
But! Sadar Clover! aku meyakinkan diriku sendiri. Mereka berempat telah dengan jelas memberikan pernyataan perang padaku. Jadi jangan pernah berharap untuk mengincar mereka. Lagipula mereka telah dengan sengaja menyebutku 'semanggi' dan 'lemah'. Masa aku masih mau sih sama cowok yang telah dengan sengaja meremehkanku. Oh! No way! Lebih baik aku terjun dari lantai lima saja.
“Okey! Gue terima tantangan kalian!Gue nggak takut!” ucapku sembari mengacung acungkan bantalku keatas.
Ayo lanjuuut...