It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
thanks evannnnn
itu membuat cerita benar2 tak tenggelam love yaaaaa
Part 4
–––TOLONG BERIKAN KEPADA ALANSYAH ARDI FURIZ...-––
Keringat sudah membanjiri seluruh pelipisku, membuat poniku terasa lepek. Ironis, dimalam yang dingin ini, malah aku merasa kepanasan yang luar biasa. Sedari tadi kuku-ku telah menjadi pelampiasan dari rasa takut yang menjalar sampai keubun-ubun–tak berbentuk lagi. kebiasaan baruku, selalu menggigiti kuku bila merasa dalam keadaan yang mencekam. Berbalik 180 derajat, Jhon malah bersikap tenang-tenang saja. bahkan Jhon masih sempat mendendangkan sebuah lagu dari siulan-siulan asalnya.
TOK TOK TOK
Dengan santainya, Jhon menggedor pintu besar rumah Oma. Aku masih bergumul dengan kuku-ku yang rasanya semakin lama semakin nikmat.
TOK TOK TOK
Aku harus menghadapi ini semua, karena memang ini keputusanku bukan? Ah, Oma tak akan membawa golok tajam, basoka, ataupun samurai. Tidak, Oma tidak akan melakukan itu, tapi...
“ sudah jam berapa ini..?, ” seperti biasa, satu kelebihan Oma, dia tak akan memukul –apalagi menyantet– tapi nada dingin yang terkandung dalam untaian kata Oma , yang akan membuatku merasa bersalah –also.
Aku menundukkan kepala, tak berani menatap Oma.
“ halo Oma cantik,” suara kurang ajar itu membuatku menggadahkan mukaku kearah Jhon. Mendelik. Jhon mengangkat bahu, dan kembali tersenyum kearah Oma.
Oma menatap tajam bergantian kearahku dan Jhon. Meminta penjelasan, siapa pria bertubuh besar yang kubawa ini. Aku tak membalas tatapan itu. “ Tadi, aku sama Nanza –,”
Belum sempat Jhon mengucapkan satu kalimat utuh, lansung dipotong oleh Oma “ Nanza, kamu masuk,” ujar Oma dengan nada dinginnya. Aku kenal nada itu, itu bukan hal yang baik.
Tanpa perlu diberi aba-aba kedua kalinya, aku lansung menuju kedalam rumah. Berlari sekencang mungkin kearah kamar. Mendesah berkali-kali. Berharap agar Jhon tidak kena semprot sama Oma.
Dalam waktu yang singkat, aku sudah sampai dikamarku. Tak merasa letih karena harus menaiki tangga yang lumayan menyeramkan.
Aku mendesah lagi, menggaruk kepalaku, menggigiti kuku, dan akhirnya terduduk lemas. Semoga Jhon baik-baik saja.
Seandainya tadi aku tak tidur, seandainya tadi aku tak ikut dengan Jhon, seandainya tadi aku menolak tawaran Jhon. SAUS TATAR! Hipotesis yang gila! Semua sudah terlanjur.
Sudah lebih dari 20 menit aku duduk diatas tempat tidur. Bingung apa yang telah terjadi. Mengapa mereka lama sekali berbicara?
“ NANZA..,” Oma sudah ada dibalik pintuku. Menatap tajam kearahku. Berjalan tergopoh-gopoh dengan tongkatnya. Ternyata, Jhon sudah pulang.
“ apa Jhon sudah pulang Oma?,”
“ Jhono..?,” Oma berfikir sejenak.
“ Jhon, Oma. Bukan Jhono,”
“ ah-ya. Anak muda yang bertubuh besar tadi. Ya. Dia sudah pulang. Oma mengusirnya,” ujar Oma. Aku menelan ludah. “ Oma tidak suka kamu pulang malam-malam seperti ini!,”
Aku menatap sekilas wajah Oma. Oh tuhan, tidak lagi..
–oOo–
Tak ada lagi kata yang dapat terucap, kota ini sangat indah dipelupuk mata. Begitu indah ketika semburat matahari muncul dikejauhan horizon cakrawala. Membuat jingga hamparan laut yang bergelombang, dan beriak tenang. Indah pagi. Ketika semilir angin menyusup dipelupuk bukit. Menyembul pelan menyentuh tubuh. Membungkus separuh kota, membiarkan embun pekat menikmati pagi bebas. Ah, kota dengan pagi yang indah.
Burung-burung camar berteriak melengking mengisi senyapnya pagi. Mendendangkan lagu indah bersama hiliran daun nyiur ditepi pantai. Pagi indah, sebentar lagi, aktifitas warga akan menghapus kelabut embun dirumput. Membiarkan tawa mereka mengalahkan lengkingan suara camar. Pagi yang indah, ketika tembusan cahaya menyeruak masuk dari balik kaca kamarku.
“ Ah Tuhan...,” tak seperti biasanya. Dua kata itu tak pernah terucap mengawali pagiku. Setidaknya, aku tak tidur nyenyak semalam. Tepatnya, itu adalah desahan keputus asaan. Aku menarik selimut dan berjalan tergopoh-gopoh menuju jendela. Mengibaskan tirai putihku. Membiarkan sapuan sinar mentari masuk kedalam kamar. Aku tersenyum sekilas. Warga-warga disini tampak ramah, berjalan bersamaan dengan keluarga yang berbahagia. “Seandainya saja–,“
Ah tidak, aku sudah cukup bahagia hidup dengan Oma. Walaupun semalam, aku berdebat dengan Oma. Aku yakin Oma melarangku pulang malam karena memang dia sangat mencintaiku. Oma tak mau aku terhasut dan terbawa kedalam pergaulan yang kurang baik. Ya sudah, itu semalam. Yang lalu biarlah berlalu.
“ Sarapannya udah siap Bonanza,” Bibi Indah melongok dibalik pintu. Aku tersenyum dan mengangguk sekilas. Seperti perintahku, aku tak suka bila dipanggil dengan sebutan Den, Mas, Tuan atau apalah. Aku lebih suka dipanggil dengan namaku. Bonanza Geralli Ekstrada.
Aneh? Apakah namaku terdengar aneh? Tidak. namaku cukup enak didengar dan diucap. Nama depan yang diberi oleh Ibu, nama tengah oleh Oma. Dan nama akhir, uhm, adalah marga dari ayah.
“ Morgen Nanza,” Oma tersenyum kearahku seolah tak ada perdebatan tadi malam. Aku mengangguk sekilas. Dan duduk dimeja makan. Berhadapan persis didepan Oma. “ makanlah yang banyak, agar tubuhmu tak kecil seperti itu,”
“ apa? Kecil? Oma, tinggiku 173 dan beratku 60. Apakah itu kecil?,” aku tak terima. Oma menaruhkan roti dengan selai kacang kedalam piringku. Menuangkan segelas susu untukku, dan menyodorkannya.
“ ya. Kau sangat kecil. Lihatlah kawanmu yang kemarin malam mengantarmu. Kau hanya sedagunya saja,” Oma selesai menaruh porsi untukku. Sedikit lebih banyak, dibanding porsi-porsiku sebelumnya.
“ Oma.. Memang badannya saja yang sangat besar. Terlalu besar malah. Itu karena dia anak basket Oma. Sedangkan aku? Seorang remaja tanggung yang selalu dikurung dirumah oleh Omanya dirumah,” ujarku tak bersahabat. Tampaknya, perang semalam akan terulang kembali.
Oma mendesah pelan. Aku mengigit rotiku. Mengunyahnya dengan tak sabaran. Bukan karena lapar, namun karena ketidak enakan hatiku. Oma terdiam, tidak melanjutkan memakan rotinya. Bergumul dengan gelas susu. Medesah perlahan. Dan berfikir, menerawang sesuatu.
Hening.
Sarapan pagi ini sungguh tak nikmat. Bagaimana tidak? aku telah membuat nafsu makan Oma hilang. Jahatkah aku? Ya, aku memang jahat. Well, nanti malam aku akan minta maaf. Tidak sekarang.
“ Oma! Aku berangkat dulu,” pamitku dengan cepat. Dan lansung memeluk ransel. Menuju keluar rumah.
“ Nanza!,” Oma memanggilku. aku menoleh kebelakang. Oma berjalan kearahku dan tersenyum sekilas.
“ Apa lagi Oma? Baiklah... aku tak akan pulang malam. Tak akan berteman dengan siapapun. Tak akan melanggar peraturan yang Oma berikan semalam,”
“ Tidak-tidak..,” Oma meluruskan pandangannya kearahku. Menggenggam bahuku. “ Pergilah bermain basket dengan Jhon. Bergaulah dengan siapapun –kecuali orang jahat. Dan kau boleh pulang larut. Tapi tidak sampai pukul 9 malam,” Oma mengedipkan matanya kearahku.
Aku menganga lebar. “ OMA?!,” aku masih belum percaya.
“ pergi bermainlah. Maaf oma selama ini mengekangmu,”
“ Oma! Sungguh, aku tak bermaksud seperti itu, aku... aku hanya ,”ujarku terbata-bata
“kemarilah anak muda, orang tua ini membutuhkan pelukan pagi,” Oma membuka tangannya. Aku dengan sigap memeluk tubuh rapuh Oma.
“ Oma... sungguh. Aku minta maaf bila tadi pagi merusak sarapan Oma dengan kata-kata tak sopanku. Sungguh aku minta maaf,” aku mencoret jadwal minta maafku nanti malam, inilah waktu yang tepat.
“ Nevermind. Setidaknya, Ibumu dulu juga bersikap seperti itu. Sama sepertimu. Tak mau dikekang,”
“ Oma...,”
“ sudah-sudah anak muda. Kau bisa membuat basah dasterku,” Oma terkekeh. Aku melerai pelukan. Aku tak menangis. Ahh. Dasar Oma usil, Aku lelaki tangguh. Tetapi seusil apapun Oma, aku tetap menyayagi Oma, sangat, dan selalu.
“ Ingat.. Oma hanya memberi anjuran bermain basket,” ujar oma, aku mengangguk. Aku tersenyum sekilas.
“ Oma. You’re Rock!,” ujarku sambil membentuk tanda metal ditanganku.
Kembali, pagi itu. Pagi itu kembali indah.
–oOo–
“ sungguh????!!! Oma berkata seperti itu?!,” Jhon terbelalak. Kedua matanya hampir terlontar keluar. Bule yang jelek nan tampan. Ehh. Pilihan kata yang buruk.
“ iya Jhon. Setidaknya, kau harus mengajariku bermain basket!,” aku tak kalah semangat. Jhon tersenyum. Mendecak-decak sekilas. Dan kembali meneguk kaleng coke. Coke, persediaanku untuk nanti menunggu pria itu. Eh tunggu! cokeku? “ Heiii!! Itu milikku bedebah!,” aku meraih coke yang hampir ludes isinya. “ ini milikku, untuk nanti pulang sekolah,”
“ ahh... sudahlah. Itu tidak penting. Aku mampu membelikanmu se-dus penuh minuman kaleng seperti itu,”
“ kalau begitu, kenapa kau tidak membelinya sekarang kekantin Bi Manda?,” aku memukul-mukul bahunya.
“ Heiiiiii stop-stop-stop,” ujar Jhon. Aku menghentikan aksiku. “ aku anggap coke itu tadi untuk biaya pendaftaran. Setelahnya, kau harus menyediakan kaleng-kaleng coke untukku setiap hari –dan itu aku anggap sebagai uang les perbulannya,”
“ HA? Bisa tumpur aku!,”
“ terserah padamu. Bila kau tak sanggup, jangan pinta aku jadi pelatihmu!,” Jhon mulai bangkit dari tempat duduknya. Ah-ya. Aku hampir lupa. Aku dan Jhon sedang duduk dibawah naungan pohon saga. Ini jam istirahat kedua. Hanya tinggal beberapa les lagi menuju jam pulang.
Aku dengan sigap menarik lengan putih Jhon. “ eeeeeee! Baiklah! Fine! Kau mendapatkan cokeku!,” ujarku. Jhon tertawa kuat.
“ Hai Jhonn...,” itu sapaan dari Minah, gadis manis berdarah Yogyakarta. Well, dia juga sering mengisi loker Jhon dengan coklat-coklat batangan.
“ hai.,” sapa Jhon sekilas. Lalu Minah tersenyum kearahku, aku membalasnya.
“ Jhon, Nanza. Minah balek kekelas ndulu yaa,” Logat Yogya Minah terdengar sangat kental. Jhon mengangguk.
“ iya minah,” ujarku.
Bayangan minah sudah hilang dari pandangan kami. Jhon tertawa lepas. “ kau mau coklat?,” tanya Jhon.
“ semua orang suka coklat,” ujarku out of topic.
“ aku tanya kau suka coklat atau tidak,”
“ ah-ya. Jelas suka,” ujarku kikuk. Jhon terkekeh.
“ Yup! Mari kita memeriksa lokerku, tadi pagi aku tak sempat membongkarnya. Siapa tau kita beruntung mendapatkan coklat!,” ujar Jhon. Aku tertawa.
“ sure!,” aku dan Jhon berdiri. Meninggalkan tempat duduk kami dan juga meninggalkan gelas coke yang sudah mengosong.
“ TARA!!!,” Jhon membuka lokernya. Well, seperti biasa. Lokernya penuh dengan Coklat, bunga, ataupun handuk-handuk wangi. Jhon tersenyum penuh kemenangan. Aku tertawa sekilas. Dan berfikir sejenak, dari mana bisa orang-orang memasukkan sebuah coklat kedalam loker Jhon?
Jhon sedang sibuk mengosongkan lokernya. Memilih-milih coklat yang cukup mahal dan enak –tentu saja. dan membiarkan yang lainnya menyampah begitu saja. aku berjalan beberapa langkah menuju lokerku. Dan mengeluarkan kunci loker, dan membukanya. Tara... seperti biasa, kosong melompong. Hanya ada beberpan persedian cokeku dan tumpukan kamus-kamus.
“ kau dapat sesuatu?,” Jhon sudah berada disampingku. Aku menggeleng lemah. Dan berbalik arah, menghadap Jhon. Seluruh kantongnya terasa sesak karena terisi oleh coklat-coklat bermerek.
“ bagaimana bisa, lokermu selalu diisi oleh hadiah. Sedangkan lokerku selalu kosong melompong!,” ujarku tak terima.
Jhon tersenyum. Lalu meraih bahuku. “ hei Buddy! Coba, lalukan hal sama sepertiku. Membiarkan lokermu tidak terkunci. So, siapapun mampu mengisi hadiah didalamnya,”
Aku mendecak. “ Astaga! Itu berarti, kau selalu membiarkan lokermu tidak terkunci?,”
“ Yup. Bila aku menguncinya, bagaimana mungkin orang akan memasukkan hadiah kedalam,”
Aku menepuk jidatku. “ aku memang bodoh! Dan, bagaiman dengan barang-barangmu yang diloker, apa kau tak takut ada yang mencurinya?,” tanyaku
“ kau selalu bodoh memang. Well, untuk orang dengan IQ 122 sepertimu, kau terdengar sangat idiot. Tidak mungkin aku menaruh barang-barangku didalam!,” Jhon tertawa. Disusul dengan tawa dan anggukan bodohku.
Ah-ya. Bagaimana mungkin aku tak berfikir sejauh itu.
“ so, dont lock yours. And, you will get something. Sesuatu yang spesial,” Jhon berujar takzim. Aku mengangguk-angguk. Baiklah, aku akan tidak mengunci lokerku lagi –tentu saja setalah membawa barang-barang berhargaku.
“ mau coklat Black Mountz atau Geay Montaski?,” Jhon menawarkan coklat kearahku.
–oOo–
Terik matahari membuka lebar awan. Membiarkan cahaya tak bersahabat menembus kulit. Peluh berjatuhan bersamaan dengan hentakan-hentakan kakiku yang menyentuh lapangan.
Sudah 2 hari ini, aku selalu belajar bermain basket. Tentu dilatih oleh pelatih andalanku, Jhon. Tertawa lepas ketika pertama kali tidak pandai melakukan pantulan-pantulan kelapangan.
Well, lupakan sejenak tentang kegiatanku menunggu pria dibawah pohon saga.
“Yup, lari dengan Dribble. Pantulkan lebih kuat!!,” Jhon berteriak kencang. Mengisi kelenggangan lapangan sekolah. Ini sudah sore, anak-anak sudah berpulangan kerumah masing-masing. “ shot sekarang! arah bolanya harus membentuk kurva parabolic dan jangan lupa FOKUS. FOKUS!,” ujar Jhon ketika aku sudah sampai didekat ring.
Dan...
HAPPPPPPP
“ GREAT NANZA!!! TEMBAKAN BAGUS!!,” ujar Jhon sambil berlari kearahku. Aku seketika duduk terkulai ditengah lapangan. Melerai nafas yang tak karuan. Jhon menepuk-nepuk punggungku. “ sungguh! Tembakanmu sangat bagus!,”
Aku tersenyum sekilas. Senyumku kalah oleh dengusan keletihanku. “ Aku capekk,” rengekku. “ aku mau segera pulanggggg!!!,”
Jhon terkikik. “ terkabulkan!,” Jhon meraih tubuhku dan mengangkatku didalam gendongannya. Bau dan keringatku tak dihiraukannya.
“ Jhon! Lepaskan aku! Kau membuatku seperti orang yang lumpuh!,” ujarku. Aku tak sanggup lagi memukul tubuh Jhon lagi. seluruh kekuatanku habis, habis dibawa oleh pantulan bola yang sekarang menggelinding ditengah lapangan.
“ anggap saja ini hadiah dariku. Atas bola yang berhasil kau masukkan ke-ring,”
“ ah.. terserah padamu-lah!,” ujarku. Jhon tertawa. Lalu berjalan menuju lokernya. Aku mengalungkan lenganku dileher Jhon.
“ Kau bau juga rupanya,” ujar Jhon.
“ kalau aku bau, lepaskan sekarang juga..!,”
“ tapi aku suka baumu,” Jhon terkikik. Aku ikut tertawa pula. lalu aku mendesah perlahan. Siang ini, entah dari mana rasa itu berasal. Aku merasa tersesat disamudra raya, terombang-ambing diantara bongkahan es kutub –walau panas terik. Namun ketersesatanku itu, membuat ku bahagia. Membuatku merasa nyaman. Entahlah, aku tak mampu menggambarkan rasa itu. Aku nyaman, nyaman digendongan Jhon.
“ Nah, ini handuk untukmu,” ujar Jhon sambil menyodorkan handuk kebelakang. Aku meraihnya dan mengusap tubuhku yang berkeringat. “ baiklah. Kita akan melihat lokermu, apakah ada hadiah didalam..?,” Jhon beralih kelokerku. Membukanya, tentu aku sudah tak mengunci lokerku lagi. “ Oh buddy. Ironis, tidak ada barang apapun didalamnya. Itu berarti, akulah yang lebih tampan dibandingkan denganmu,” Jhon terkekeh.
Sejengkal rasa kecewa berada dipelupukku. Namun sisanya terasa bahagia, ketika melihat senyum merona Jhon. Aku tertawa sekilas. Suaraku tak mau keluar lagi. biarlah...
Aku mengeratkan pelukan tanganku dileher kokoh Jhon. Lalu membenamkan kepalaku dipudaknya. Aku menyukai aroma Jhon, aku menyukai hembusan angin yang membuatku bebas menghirup aroma tubuh yang lembut tercium dari tubuh Jhon. Aku semakin mengeratkan pelukanku.
“ ahh.. teranyata pebasketku sudah mulai nakal!,” Jhon terkekeh lalu menepuk-nepuk bokongku. Aku tertawa pula, tanpa berusaha sedikitpun untuk melerai pukulan itu.
Jhon masih menggendongku, bahkan sampai kepelataran parkir. Sudah menjadi tugas Jhon, mengantarkanku pulang kerumah. Siang yang terik, namun hatiku terasa sejuk.
Tuhan, apa arti rasa ini? Bisakah kau menjawab sebutir pertanyaanku? Aku tak meminta lebih, hanya sebutir. AH-YA, kau maha tau. Dan aku yakin, aku akan mengerti rasa ini. Apapun itu, aku akan menerimanya, Tuhan.
–oOo–
Selamat siang..
Inilah kisah yang mulai aku tulis. Dilembaran pertama ini. Dengan penuh pertanyaan yang tak mungkin terjawab. Setidaknya, aku sudah letih bergumul dengan buku-buku diperpus. Mencari-cari istilah yang tak terjabarkan. Melenguh kesal, karena tak kunjung mendapat pencerahan. Dan mendesah kuat, melihat tumpukan buku yang sudah menggunung di hadapanku.
Oke, buku terakhir.
Ini adalah buku yang mengandung istilah-istilah tentang cinta. Cukup menarik. Aku membuka lembaran pertama. Tentang cinta luar biasa. Deretan-deretan huruf yang sudah meluntur tampak mengisi lembaran-lembaran yang juga tampak usang. Buku lama. Tak ada yang terarik.
Dengan putus asa, aku menyudahi buku itu. Malas melanjut kebacaan yang lain. Namu n angin, memberi jalan. Meruak masuk melalui celah-celah jendela Perpustakaan. Membuka halaman yang tampak –sengaja– dilipat. Aku menoleh.
CINTA LUAR BIASA.
“ Cinta dimana kita merasa aneh, berada disamping seseorang. Yang, mungkin adalah orang yang terlalu muda untuk kita, terlalu tua, terlalu jelek, dan terlalu-terlalu lainnya,” kalimat pembukaan itu membuatku tertarik.
Aku duduk kembali, dan membuka lembaran berikutnya.
“ cinta itu aneh –sometimes. Karena, aku, sang penulis buku ini, juga tak menemukan pencerahan tentang arti cinta yang kuanut sekarang. Tentang definisinya. Aku masih tabu. Namun semua sekarang telah terjelaskan,”
Aku semakin tertarik.
“ cintaku sekarang adalah cinta yang luar biasa aneh. Dimana, hal-hal diatas sebenarnya tak terjadi. Lebih parah malah, aku merasakan getaran aneh ketika berada disamping seseorang. Merasa nyaman luar biasa ketika berada dalam rengkuhannya. Well, itu sudah tentu cinta. Dan cinta itu jatuh ditempat yang salah. Rasa itu, jatuh kepada seseorang, sesorang yang sama denganku. Sejenis denganku.”
Aku semakin memicingkan mata. Ini benar-benar mengena dengan keadaanku. Tinggal satu baris lagi. makan semua akan tercerahkan. Sebuah kalimat akhir yang tertulis rapi dibagian bawah buku itu. Dihalam terakhir. Dengan sigap aku melanjutkan bacaanku.
“ Maka, aku dengan segala perngertian cinta luarbiasaku, mengatakan, dan berani mengakui bahwa aku adalah G–––,”
“ Nanza! Kemari bentar nak!,” dengan sigap aku menutup bukuku. Padahal hampir baris terakhir. Hanya tinggal satu kata lagi. Sial!
Akupun mengutuk dalam hati. Lalu berlari kearah meja penjaga perpus. Tempat dimana seorang Ibu berwajah tirus. Menggunakan kacamata minus dan berlipstik merah terah sedang mengacungkan secarik amplop berwarna putih susu. “ Apa Ibu Sri?,” ujarku dengan sabar. Sabar setelah diganggu membaca oleh Ibu Sri.
“ Ini nak, tolong antarkan amplop ini kepada ALANSYAH ARDI FURIZ.” Ujar Ibu Sri. Aku menaikkan alisku. Siapa orang dengan nama itu? Aku tak mengenalnya.
Ibu Sri membaca air mukaku. “ murid 11 IPA 2, kakak kelasmu,” ujar Ibu Sri. Aku mengangguk sekilas. Paham. Lalu mengambil amplop itu dari tangan Ibu Sri. Dan Berjalan keluar, menuruni koridor-koridor. Setelah ini,aku berjanji akan kembali keperpus itu, untuk meminjam dan menyelesaikan buku tertunda tadi.
KRIINNGGGGGG
Sial! Bel pulang sudah berkumandang. Itu berarti aku tak punya banyak waktu untuk menemui orang ini.
Akupun berlari menyusuri kelas-kelas. Bertabrakan dengan beberapa siswa. Dan mengelus dada ketika mendapat sumpah serapah. Kembali berlari. Lagi-Lagi. namun sayang. Jarak antara perpus dan ruang 11 IPA 2 sangatlah jauh. Aku harus membutuhkan tenaga ekstra.
11 IPA 2.
Aku sudah berada didepan kelas yang kosong. Oh Tuhan, aku benar-benar terlambat. Aku memaki dalam hati.
“ ada apa Nanza?,” itu suara kak Petty. Kakak yang belakangan ini dikatakan sedang mengejar cinta Jhon. Ah-Ya. Hari ini aku pulang sendiri, Jhon tadi pagi dipermisikan oleh Guru penjas kami untuk menghadiri turnamen basket. Tentu karena memang dia pebasket handal, dan juga pebasket hatiku. Eh..
“ ini kak... tadi Ibu sri nyuruh ngasih amplop ini sama kakak Alansyah. Tapi, kelasnya udah kosong,” ujarku penuh kekecewaan. Kak Petty tersenyum sekilas.
“ sepertinya, kamu masih beruntung Nanza. Alansyah belum pulang, itu tasnya..,” ujar kak Petty. “ Nah itu orangnya,” kak Petty menunjuk kearah tengah lapangan. Tepat dimana seorang pria bertubuh tinggi dan hampir berbadan besar seperti Jhon berdiri. Berdiri mengahadap tiang bendera.
“ Loh..?,” aku bingung.
Kak Petty tersenyum. “ HE-Eh, itu dia. Dia lagi dihukum, karena bolos pelajaran Agama Islam tadi,” kak Petty terbahak. Aku turut terbahak. “ ya sudah kalau begitu. Kakak pulang dulu ya. Nanti Mama kakak nyariin.,” ujar kak Petty.
“ oke kak. Thanks yaa,” ujarku kearag kak Petty yang sudah menjauh.
Lalu aku tersenyum sekilas. Dan kembali terngiang akan mandat yang diberikan Ibu Sri kepadaku.
Tanpa berfikir lama. Aku lansung berlari kearah orang yang dikatakan Alan itu. Dengan tergopoh-gopoh dan menutup sebagian wajahku yang terekpos oleh matahari dengan telapak tanganku. Dan akhirnya, sampai tepat dibelakang pria yang tinggi itu. Tingginya sama dengan tinggi Jhon.
“ Kak Alansyah Ardi Furiz,” ujarku memastikan. Dan lelaki itu berbalik.
Horizon cakrawala itu, kita membalik, menutup lembaran terik matahari. Membuat angin menderu kencang. Dengungan suara lebah mengejek kebisuanku. Membiarkan seluruh angin bermain diujung rambut. Oh Tuhan, setelah lama mencari tau, setelah lama menanti dipohon Saga. Setelah lama tak bisa tidur nyenyak. Akhirnya, kau menjawab sebagian doaku.
Tepat dibawah pantulan bayangan tiang bendera. Aku menghadap kepada pria itu. Pria dengan wajah melampaui malakait. Wajah itu sangat tampan. Putih. Tinggi menjulang. Hidung yang indah dan bibir yang ranum. Pelipisnya bersimbah keringat, tak mengusir secuilpun ketampanannya.
Demi nama Tuhan, dialah lelaki tertampan yang pernah kulihat seumur hidupku. Dadaku bergerumuh membentuk rasa yang sesak. Membuat aliran darahku mengalir dengan kencang. Membuat nafasku tertahan ditenggorokan. Bibirku bergetar hebat. Gengaman tanganku mengendur. Membuat amplo ditangan jatuh ditanah.
“ eh!,” Pria itu dengan sigap membungkukkan badannya dan mengambil amplop itu. “ ada apa?,” Oh tuhan, suaranya, suara yang sama saat hujan itu . suara yang indah, melampaui indahnya lonceng gereja.
Aku bergetar. Berusaha mengumpulkan kembali kekuatanku yang terhambur berserakan. “ ii.. ituu.. tadi.. Ibu Sri..,”
Pria itu mengangguk. Oh tidak. Alansyah mengangguk. “ Ya-Ya, aku tau,” ujarnya terkekeh. Aku masih terpaku. “ kalau begitu terima kasih ya.,” ujarnya. Aku mengangguk kikuk.
Aku tak sanggup berdiri lama disini. Aku segera mengatur langkah, sebelum aku benar-benar meleleh. “ hei! Terimakasih sekali lagi, Adik kaleng coke!,”
Demi mendengar kaleng coke. Aku menghentikan langkahku. Kembali ribuan pertanyaan menyembul difikiranku. Dari mana dia tau bahwa aku suka minum coke? Bukankah selama 2 bulan berada disekolah ini, aku tak pernah berjumpa dengannya. Hanya pada saat dipos satpam itu.
Aku mengangguk lagi. dan berlari menjauh. Aku tak tahan berdiri lama-lama disini. Lupakan bahwa aku harus keperpus. Lupakan!
Oh dear..
Aku sudah gila. Sedari tadi, hatiku masih bergerumuh hebat. Dan hal bodoh lain, aku sedari tadi tak pulang. Melainkan bersembunyi dibalik pohon saga. Mengintip kearah Alansyah yang masih dihukum. Sungguh malang nasibnya, ingin rasanya aku mengusap peluhnya, tapi itu tidak mungkin. Sedangkan berada beberapa kaki dengannya saja hatiku segemuruh ini. Apalagi bila harus menyikut peluhnya. Aku yakin hatiku akan terlontar keluar.
Saat itulah, aku bergabung dengan ribuan semut. Mengintip sang Malaikat itu. Mengintip sampai pergi dan terbebas dari hukumannya. Bahkan sampai dia menujun parkir dan mengidupkan motornya.
Sampai bayangan itu lenyap diujung Gang Sekolah...
––-Selamat pagi, kaleng Cokeku.––
Selamat pagi..
Sudah bosan aku menulis tentang pagi diceritaku ini. Sudah tak terhingga aku memuja keindahan langit Rinjani pada pagi hari.
Diantara potongan 24 jam, pagi adalah waktu yang paling membuatku bersemangat. Bersemangat menyambut hantaran cahaya mentari. Menyaksikan keindahan cahaya mentari di Horizon cakrawala. Tersenyum senang, mendengar nyanyian ribuan formasi pelikan burung camar.
Pagi, diantara potongan 23 jam lebih. Ketika semua aktifitas baru akan tertulis. Ketika desahan mimpi buruk malam telah berlalu. Pagi, selalu indah.
Entah atas inisiatif apa, aku datang sepagi ini disekolah. Bahkan sekolah masih tampak menyepi. Tujuan pertamaku adalah Loker. Memeriksa, apa ada yang tetinggal disana.
Dengan sabar, aku membuka lokerku yang tak terkunci.
Pagi selalu indahkan?
Inilah pagiku. Pagiku ini dijamin sebagai pagi terindah yang pernah ada –karena memang pagi itu selalu indah untukku.
Aku tersenyum bahagia. Tak dapat kupungkiri, rasa bahagiaku itu muncul dengan sempurna ketika kotak-kotak coklat itu tersusun rapi dilokerku. Seandainya Jhon disini, maka aku akan pamer..
Aku meraih salah satu coklat batangan. Oh trims...
Namun ada satu benda yang terlihat berbeda dari yang lain dilokerku. Bukan sebuah coklat, komik, bunga, ataupun handuk. Sebuah benda yang terletak pada sudut kiri, paling sudut. Sebuah kaleng Coke yang biasanya kuminum.
Aku merasa bahwa aku sudah meneguk habis coke itu semalam, dibalik pohon saga,sambil menyaksikan pangeran hatiku menghabiskan masa hukumanya.
Aku meraih kaleng itu.
Sebuah notes terekat dibadan kaleng coke itu. Bertuliskan:
“SELAMAT PAGI KALENG COKEKU,”
Aku menelan ludah. Siapa yang menaruh ini?
Gmn liburanya ? Pasti enak banget sampe ga update
Di lanjut ya @Pieterrr
hahah, butuh pencerahann,
iya nih, tetap setia dengan karakteristik tsb.. Soalnya menggambarkan aku bgt #eh pengakuanterlarang.com
wooww,, emeziing bg,
wkwkk, iini nih lagi sibuk menjelajahi pulau sumatera,
pasti bg, miss u
Yo jaga kesehatan klo lg menjelajah pulau, always di tunggu lho next nya g usah buru" yg penting di update, tp jgn lama" jg *rindu ini menyiksaku#apasih )
sama2 @Pieterrr ,, hahaaa love you too piet :-*
o o o oooooooo,, ternyata lelaki tampan di waktu hujan itu adlh ALANSYAH ARDI FURIZ.
hayi hayyooooo nanza,, kmna kan hati mu akan berlabuh nantinya.. Alan kah? Jhon kah? atau Vino kah? hahahaaa.
pantesan agak lama update nya kmu piet,lagi asyik berpetualang di sumatra rupanya.,, huwaaaaaaa, penen jugaaaa.. tp ama kmu piet, blh? hahaaa.
ditunggu next part nya @Pieterrr sayang,, :x
Ayo dilanjut, @pieterrr...
Makasih ya udh di mention....
lanjutkan !!!
Sungguh