It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
"Kita masih bisa berkomunikasi kan? Toh ini baru Jakarta New York, masih sama -sama di bumi ini, hehehe,"aku mencoba terkekeh, setidaknya untuk saat ini. "Ada Facebook jika kau kangen sama aku. Ada Ymail jika kau rindu bersurat-suratan denganku, ada Twitter, ada....."
"Tapi tak ada yang bisa menjagamau disini!," Juna kontan memotong ucapanku.
Aku-sekali lagi- tersenyum. "Aku sudah bukan anak kecil lagi Jun.... Lihatlah diriku sekarang, aku sudah kelas 3 SMU. Sudah bukan umur yang muda lagi kan buat seorang lelaki?."
Akhirnya Juna menyerah. Dia akhirnya mengangguk dan tersenyum.
"Jadi kapan kau akan berangkat?".
"Minggu ini, kalau tak ada halangan."
"Ya, kuharap , heheh...."
Dan akhirnya, kami berdua tersenyum kaku. Menikmati senja yang mulai menampakkan rona kemerahan di ufuk barat.
The Boy From The Past
Suara lantang, cempereng bin memekakkan telinga itu terdengar sampai senatero kelasku. Siapa lagi yang bisa berteriak kencang kayak gitu kalau bukan si Ardian Ariyo Bimo. Enggak tahu kenapa paska terpisah kelas denganku dia jadi suka teriak- teriak jika ketemu denganku. Dia sekarang duduk di kelas IPA . Sedang aku, yang sama sekali tak pandai di amata pelajaran eksak hanya mampu merenungi nasib karena terlempar di kelas IPS. Kata orang, kelas IPA itu lebih pintar daripada kelas IPS. Tapi... semoga saja pemikiran itu salah.
Dan, pagi ini. Suara teriakan itu kembali terdengar, membuatku yang lagi bad mood gara- gara kepikiran tentang kepergian Juna ke Amerika.
"Kenapa sih Bim, pagi- pagi udah teriak- teriak aja Gue rasa makin ahari tenggorokkan lo makin aus deh gara- gara kebanyakan teriak!'" pekikku setengah kesal pada Bimo yang-masya allah-nyengir kuda di sampingku.
Dan aku balas menoyor bahu Bimo. "Heh dasar kantong keresek! Kemaren gue tuh udah nungguin elo sampai setengah jem tau! Eh elonya gak nongol-nongol, yaudah gue cabut aja, lagian Juna juga udah njemput gue! Lagian emang kenapa sih pake acara ketemu-ketemuan di perpus segala!", omelku dengan gemas mirip nenek-nenek diperkosa rampok.
Namun sekali lagi Bimo kembali nyengir , menampakkan deretan giginya yang sedari dulu amat sangat malas mendeskripsikannya.
"Gue cuma mau curhat soal Iraz... hehe"
WHAT! APA!
Cuma mau curhat tentang si kutubuku Iraz. Gubrak! Rasanya ingin kuceburkan saja tubuhku kedalam jurang. Gak nyangka kalau otak pilon Bimo gak sembuh- sembuh. Lagian curhat lewat telepon kan bisa.
"Pulsa Gua abis, hehe."
"Beli donk!"
"Duit jajan gue abis buat nraktir Iraz,"
"Salah lo sendiri!"
"Yaelah Tito... Lo kenapa sih jutek banget hari ini? Lo lagi dapet yach??? Dari tadi gue perhatiin ngomel- ngomel mulu kayak kambing mau beranak!", Bimo akhirnya sadar juga ada yang berbeda denganku hari ini. "Lo lagi ada masalah? Curhat lah ke gue."
Beberapa detik aku hanya memandang wajah Bimo. Ada binar ketulusan tersirat disana. Itulah yang membuatku betah berteman dengannya meskipun sifatnya lebih nyebelin dari anak setan sekalipun. Dia selalu care kalau aku lagi ada masalah.
Aku hanya menghela nafas berat dan mulai menceritakan rencana Juna yang akan pergi ke Amerika dalam rangka dapat beasiswa disana.
"Jadi cuma gara- gara itu?".
Aku langsung mendelik kejam begitu Bimo menyelesaikan perkataannya. Apa katanya. Begitu mudah dia mengucap kata 'cuma'. Aku aja yang sudah mencoba berusaha tegar tetep aja mewek tiap kali mau tidur karena kepikirn terus.
"Lo kayak anak kecil aja gitu pake dipikirin, toh kalian cuma terpisah jarak kan, repot banget." tambah Bimo ketus.
"Tapi gimana kalo gue kangen Juna, gimana kalo gue rindu, siapa yang bakal meluk gue dan nguatin gue," ujarku manja .
"Yaelahh..."Bimo menyenggol bahuku. "Lebay deh lo.."
"Ini bukan lebay, ini masalah perasaan, jangan pernah menyebutku lebay,"
"Tapi emang kenyataannya lo lebay kan, wek wek, hahah...."
"Ih dasar Bimo nyebelin,"ucapku jengkel.
Sebenernya aku pengen banget meremas- remas bibirnya biar gak seenaknya mencibir dan meledekku. Namun sudahlah, toh aku sudah terlalu bosan buat berkelahi dengan Bimo. Jika kusadari, agendaku tiap hari cuma bertengkar dengan ni cowok.
Dan bel pun berbunyi tepat ketika Bimo mengakhiri tawa menjijikannya.
"Noh udah bel, buruan balik ke kelad lo gih, males gue ngelirik muka lo lebih lama," kataku sambil setengah mendorong tubuh Bimo menuju pintu kelasku. Namun Bimo malah nyengir sambil meledekku dengan menjulurkan lidahnya padaku. Ingin rasanya kutarik lidahnya biar dia kapok. Namun sudahlah, gak ada gunanya. Toh, Pak Toha, guru Matematika berkacamata silinder yang maha kolot itu sudah datang. Jadi aku nggak mau banyak gelagat. Bisa mampus aja aku kalo denger ocehannya dia yang udah kayak pembukaan undang- undang dasar 1945. Panjang bin ngbetein minta ampun.
"Selamat pagi anak- anak!", sapa Pak Toha dengan suara yang kata si Nicky Minaj Superbass banget.
"Pagiii pakkkk......" jawab kami serempak.
"Okey, sebelum bapak memulai pelajaran pagi ini, bapak ingin mengenalkan seseorang pada kalian."
Dan kelas pun segera gaduh dengan suara bisik- bisik tetangga temanku yang pada ngomong "eh, ada siswa baru lagi?". Sementara aku, sama sekali nggak peduli. Karena yang ada di pikiranku skarang, hanyalah Juna, Juna dan Juna. Nanti sore dia bakal berangkat ke Amerika, dan pulangs ekolah nanti pengen banget rasanya aku buru- buru pulang dan ,mengantarkan Juna ke Bandara. Meskipun hatiku nanti pasti bakal tercabik- cabik, tapi ya... itung- itung mlihat Juna sebelum dia benar benar pergi dari dekatku.
"Perkenalkan, ini Neo, mulai hari ini, dia akan jadi bgian dari kelas ini", ujar Pak Toha sembari menyuruh seorang cowok untuk berdiri di sampingnya. "Nah, Neo, silahkan perkenalkan dirimu."
Kemudian si cowok yang belum kuketahui wujudnya itu mulai berjalan menuju depan kelas. Serius aku belum tahu wajahnya karena aku sibuk ngelliatin foto Juna yang kuselipkan diantara buku diktat matematikaku. Si cowok kemudian mulai berbicara.
"Halo semua, perkenalkan, aku Bruneo Ardiansyah. Lahir di Surabaya 1o April, sembilan belas tahun yang lalu. Aku pindahan dari SMU BINA BANGSA. Salam kenal dan moohon bantuan dari kalian semuanya."
Aku tercekat dan kontan mendongak begitu itu cowok selesai mengenalkan dirinya. WHATT??? BRUNEO ARDIANSYAH? Pindahan SMU BINA BANGSA? Lahir 10 April 19 tahun yang lalu??? JANGAN JANGAN.....
Maka aku segera mengarahkan tatapanku kearah itu cowok. Dan......
"RUNO!", Pekikku terkaget.
"TITO? balas ituh cowok gak kalah kagetnya.
Teriakku dengan suara yang nyaris sebanding dengan gempa 50 skala ritcher sambil mendorong tubuh Runo ke toilet sekolah yang sepi. Aku benar- benar gak nyangka bakal ketemu dia lagi disini. SEE? Kalau kalian pengen tahu, Runo yang nama aslinya Bruneo Aldiansyah ini adalah teman SMP ku jaman di Surabaya. Dia adalah kakak kelasku jaman SMP yang suka banget ngegodain dan ngerjain aku. Sebenarnya dia lumayan cakep. Dengan rambut cepak yang manly banget. Body yahud yang kebentuk karen ekskul basket. Aku yakin cewek manapun bakal naksir abis- abisan sama dia. Tapi nggak berlaku buatku. INGET, GAK BERLAKU BUATKU!. Karena di otakku, dia cuma cowok nyebelin yang tlah berani ngerjain aku sepanjang sejarah per-SMP-an ku. Aku masih ingat banget dia pernah hampir merkosa aku di gudang sekolah saking gemesnya sama aku. Dari dulu dia ngebet banget sama aku, namun aku sama sekali gak menanggapi. Alasannya simple, meskipun secara body dan penampilan dia perfect, tapi otaknya gak satu paket. Maksudku, dalam bahasa yang kasar dia rada 'telmi'. Dia sampai 2 kali gak naik kelas gara- gara gak apal- apal rumus peluang. Dan sekarang, aku gak heran kalau dia pindah disini. Mungkin semua sekolah di Surabaya sudah gak ada yang mau nampung dia. Dan alhasil dia malah nyangsang di kelas tempatku berada saat ini.
"Emang kenapa sih, gak boleh ya kalo aku satu sekolah lagi sama kamu?", tanyanya dengan wajah pilon super ngegemesin. Maksudku, gemed pengen ngebejek- bejk.
"Ya gue yang gak suka sama kehadiran lo. Kenapa meski ke sekolah gue dih lo pindahnya? Arghhh... gue gak ridho.. gue gak ridho.....", teriakku mirip orang kesetanan.
"Apa lo masih takut gue bakal merkosa lo lagi?". Ujar Runo tiba- tiba yang membuatku kontan terdiam.