BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Lost Secret - Chapter 3-4 : Rival Hunter!

12022242526

Comments


  • Chapter 3-4 : Rival Hunter!
    YASHIN



    Sekitarku menjadi gelap. Seperti ada pusaran energi yang menyelubungi. Aku bisa melihat luar pusaran. Dan nampak seperti tak terjadi apa-apa. Mungkin Fee sengaja membuat selubung hingga tak seorangpun bisa melihat ke dalam. Tubuh Fee semakin dingin. Matanya terus saja bercahaya bahkan kian terang. Aku mulai panik.

    “Dia kenapa Shin?” Mira memegangi lengan Deva sambil menunjukkan wajah takutnya. Aku masih berusaha memegang tubuh Fee yang semakin berat. Seperti ingin terangkat ke atas tapi aku terus memegangnya agar tak terlempar.

    “Kita tunggu saja dulu. Aku juga tidak tahu apa yang harus dilakukan.”

    “Dia tidak akan mati kan?”

    Aku menggeleng tak mantap.

    Fee merintih. Dia berusaha mengatakan sesuatu dengan kesadaran nyaris tak ada. Aku dekatkan telinga ke mulutnya. Dia berbisik. Lirih sekali. Tapi aku paham apa yang ia katakan. Aku melakukan apa yang ia minta.

    Aku mengambil buku yang ada di tas Fee. Meski ia sudah memakai baju manusia, tas yang ia bawa tak pernah dilepas. Perlahan aku buka lembar ke sebelas. Seperti yang Fee bisikkan kepadaku. Aku dapati lembaran kosong. Hanya ada simbol menyerupai sayap dari Fee.

    Perlahan aku masukkan jari ke mulut. Aku basahi dengan liurku hingga permukaan jariku tak kering lagi. Dengan sedikit berkonsentrasi aku sapukan jariku di atas kertas. Aku mulai dari tengah buku yang ada simbolnya. Selang beberapa menit, ada serat mirip akar yang mengisi buku hingga muncul tulisan.

    Permukaan kertas jadi timbul.

    “Apa yang kau lakukan Shin?” Deva menepuk berusaha membuyarkan konsentrasiku. Aku diam tak menanggapinya. Aku berusaha mengeja tiap aksara yang muncul pada buku itu.

    Tapi tak terbaca olehku.

    Mataku terus mengamati tulisan itu dan menekan permukaan yang timbul. Sesaat ada sensasi geli pada ujung tanganku. Akar-akar yang membentuk tulisan merambat ke jariku. Aku menahan nafas antara takut dan ingin tahu apa yang terjadi. Akar akar itu seperti berseluncur di kulit tanganku.

    Tangan terkibas begitu saja menuju tengah kening Fee. Akar itu mengalir menuju tubuh Fee hingga ia makin kejang. Deva dan Mira berusaha memegangi tubuh Fee yang terasa memberontak.

    “Rhy wist kurra!” Fee memekik. Tubuhnya berselimut kabut biru. Lalu ia lemas.

    “Fee, kau tak apa-apa? Fee?”

    Aku terus menggoyangkan badannya. Tangannya memegang erat lenganku. Lalu tersenyum kecil.

    “Yashin! Yashin! Fee tidak apa-apa.” Aku langsung lemas dan bersimpuh di sampingnya.

    Pusaran hitam di sekitar kita semua lenyap. Fee meloncak seperti tidak terjadi apa-apa. Dia masih seperti biasanya. Tak pernah lekang senyumnya. Sebenarnya itu tadi apa?

    “Fee, apa kau bisa jelaskan tadi terjadi apa?” Aku menatapnya dalam-dalam. Berharap segera mendapatkan penjelasan yang masuk akal.

    “Fee tidak apa-apa.” Dia tersenyum makin renyah.

    “Fee jelaskan!”

    Dia seperti berpikir sebelum menjawab pertanyaanku. Matanya berputar ke kiri dan ke kanan. Begitu memandangku dia manyun lalu tersenyum.

    “Aku perlu suplai energi. Aku bisa hidup dan melakukan semuanya di sini karena adanya sihir. Setiap lima belas hari sekali harus diganti. Karena sihir untuk bertahan hidup sudah tak berlaku lagi. Makanya perlu seorang pembaca buku agar mengganti sihir yang membantuku hidup. Aku dan seorang pembaca buku tak bisa dipisahkan. Untuk itu, Yashin tak boleh jauh dari aku.” Fee menjelaskan sambil memicingkan mukanya.

    “Kenapa tidak sejak awal tidak menjelaskan kepada kami semua?” Deva memotong sebelum Fee hendak menjelakan lagi.

    “Tidak, lebih baik kalian langsung mengetahui sendiri.”

    Fee memakan apel yang sempat jatuh ke tanah. Lalu meringis lagi.

    “Kita ke rumah Bro Brian saja secepatnya. perasaanku tidak enak.” Fee langsung berjalan menuju arah jalanan yang aku tak tahu akan menuju kemana.

    Aku masih terdiam dengan peristiwa dadakan yang nyaris membuat jantungku berdetak sangat cepat. Tanganku memberi kode agar Deva dan Mira mau mengikuti Fee berjalan. Di depan sana Fee berjalan berirama. Kadang melonjak kecil dan memandang ke belakang.

    “Ikuti aku saja! Aku tahu rumah Bro Brian!”

    Mengikuti Fee sebenarnya sedikit membawa bencana. Dia berjalan melewati pelosok dan jalanan setapak. Matahari mulai naik dan membuat udara semakin panas. Nyaris sejam kita semua berjalan tak tentu arah. Fee berjalan sesuka hatinya. Ini sudah nyaris sejam aku berjalan tanpa istirahat sedikitpun.

    “Hoy Fee! Kapan kita sampai ke rumah Pak Brian?”

    “Sabar dong Yashin! Sebentar lagi akan sampai.” Dia melonjak terus selama sejam ini tanpa lelah. Jangan samakan stamina manusia dan stamina makhluk sihir. Jelas beda.

    “Kita tidak tersesat kan Fee?” Mira berlari kecil dan berjalan segaris dengan Fee.

    “Tentu tidak. Itu jalanan yang berbelok itu. Kita berjalan hingga habis. Maka akan menemukan rumah Bro Brian.”

    Aku mendengus kesal. Keringat mulai membanjiri mukaku.
    Memang Fee bilang jika perjalanan akan segera selesai sampai jalan habis. Itupun memakan waktu setengah jam lebih dari ujung jalan ke ujung jalan. Nafasku saja nyaris putus tak bersambung karena capek dan udara yang mulai memanas.

    “Itu rumah bro Brian!” Fee menunjuk rumah sederhana dengan halaman cukup luas yang dipenuhi macam-macam bunga.

    “Yakin jika itu rumahnya?” Aku meyakinkan kembali apa yang sudah Fee katakan. Aku tidak mau dibuat capek lagi sekarang.

    “Tentu saja Yashin!”

    Kita semua langsung menepi dan berjalan menuju halaman rumah itu. Sekilas mirip bangunan kuno jaman kolonial. Ditandai dengan pintu dan jendela yang amat sangat lebar. Bangunannya juga masih tak terubah. Rumah Pak Unyu benar-benar kuno bin nyentrik.

    Ada sebuah kolam kecil dengan bungai lotus warna pink sedang berkembang. Deretan bunga anturium dan mawar berjajar mewarnikan pinggiran kolam. Sebuah pohon besar cukup merindangkan depan rumahnya.

    Mira yang mengambil inisiatif untuk mengetok pintu rumah yang masih tertutup. Sebenarnya ada semacam lonceng kecil mirip yang dikalungkan di leher sapi. Tapi Mira terlanjur mengetuk pintu jati yang terlihat sangat tua dan tebal.

    “Pak Brian! Apa kau ada di dalam?” Mira berseru sembali terus mengetuk pintunya. Aku mengamati sekitar rumah yang sepi. Tetangga pak Unyu juga tak membuka pintunya. Siang hari mirip seperti desa mati.

    “Spada! Any body home?” Fee menimpali kata-kata Mira sambil cekikikan.

    Selang sepuluh menit tak juga ada jawaban dari dalam rumah. Mira lalu menarik lonceng itu dan membunyikannya asal-asalan.

    “Helo Pak Brian! Apa kau ada di rumah! Ini ada artis!”

    “Iya ini ada artis cowok yang cakep!” Fee ikut-ikutan gila.

    Wait! Jadi Fee adalah cowok. Sebenarnya aku tak yakin dalam klasifikasi dunia permakhluk-anehan ada juga penggolongan kelamin. Tapi terserahlah dia mau bilang apa. Makhluk itu sudah terlalu memanusia.

    “Mau mencari siapa?” seorang gadis kecil kepang dua mendadak membuka pintu hingga membuat kita semua terkaget.

    “Anu, mau mencari Pak Brian? Apa dia ada di dalam?”

    “Oh mencari Mas Brian. Dia ada di dalam tidur. Lagi sakit sepertinya. Kalian semua murid mas aku ya?”

    Kita semua mengangguk serempak. Termasuk Fee.

    “Boleh masuk?” sergahku langsung sebelum anak kecil itu berbicara lagi.

    “Iya silakan masuk. Maaf rumahnya berantakan. Aku panggilkan mas Brian dulu.” Gadis kecil itu langsng membuka lebar pintunya dan mempersilakan kita semuanya masuk.

    “Biar kita tunggu saja pak brian bangun tidurnya dek. Nanti malah ganggu istirahatnya lagi.” Deva akhirnya angkat bicara juga setelah berjam-jam cuma berfiuh ria karena kecapekan.

    Kita duduk pada ruangan yang cukup lebar. Kursi dari anyaman rotan dan mejanya berlapis marmer putih bulat. Sebuah lampu hiasan menggantung di atasnya. Kusen kayu dan meja semuanya ukiran. Rumah ini benar-benar kuno sekali.

    Pada dinding terdapat beberapa foto orang berpakaian kuno. Berjajar dari kiri ke kanan. Mirip foto dari generasi ke generasi. Pada pojok kecil terdapat foto pak unyu waktu jaman SMP. Terlihat dari celana biru pendek bersama temannya. Seorang cewek dan cowok. Mereka berangkulan.

    Lantai rumah ini berpetak-petak. Bukan porselen memang tapi seperti dari batu alam yang tertata sangat rapi. Dalam ruang tamu ini sejuk menuju dingin. Tidak lembab tapi terasa seperti saat mebuka pintu kulkas.

    “Kalian semua mau minum apa? Biar sekalian aku buatkan sambil menunggu mas bangun tidur.” Adik kecil yang belum kami tahu namanya itu keluar lagi setelah masuk ke dalam ruangan dalam.

    “Nggak usah repot-repot dek.” Sahutku langsung sembari terus mengamati seluruh ruangan hingga pada detil-detil kecil.

    “Wina ambilkan sari apel saja ya. Kebetulan baru panen kemarin sore dan dibuat sari apelnya di pabrik sana.”

    Jadi nama anak itu adalah Wina. Sangat lincah dan tidak pemalu. Mungkin usianya sekitar sepuluh tahun. Wajahnya mirip dengan pak unyu. Hidungnya mancung dengan bibir mungil berwarna merah. Aku yakin jika besar nanti dia akan menjadi gadis yang sangat rupawan.

    “Makasih ya Win!” dia cuma tersenyum kecil lalu meninggalkan kami semua.

    Pak unyu ternyata sakit. Tapi perasaan, kemarin itu dia baik-naik saja. Dia sakit apa ya? Apa mungkin karena kecapekan. Atau juga tertekan karena masalah yang kita semua alami bersama-sama. Padahal pak unyu adalah orang paling kuat dan suka menyemangati.

    “Ini mas dan mbak. Diminum saja semua. Seadanya saja ya.” Dia meletakkan secerek besar minuman sari apel. Dua bungkus keripik tempe dan gorengan.

    “Malah merepotkan kamu Win.”

    “Santai saja mas. Jarang-jarang ada yang mencari mas Brian hingga ke rumah. Jadi Wina senang sekali mas Brian ada yang nyambangi ke rumah.”

    Wina duduk di depanku sambil terus mengumbar senyum.

    “Kamu kelas berapa Win?” aku mencoba membuka pembicaraan agar tidak terjadi kecanggungan diantara semua.

    Fee sudah menjamah minuman sari apelnya, juga keripik tempe. Makanan baru yang mungkin akan asing buatnya. Deva dan Mira juga ikut-ikutan makan. Aku masih penasaran dengan Wina.

    “Kelas 3 SD mas. Tapi hari ini tidak masuk sekolah dulu. Karena harus jaga mas Brian yang lagi sakit. Ibu sama bapak sedang ke Bali ada urusan. Terpaksa aku harus merawatnya sendiri.”

    Aku cuma manggut-manggut mendengarkan Wina menjelaskan. Anak ini sepertinya memiliki pikiran yang sangat dewasa. Tak sesuai dengan umur dan badannya yang sangat mungil.

    “Yasudah kalau Wina ada aktivitas lain boleh kok pergi. Mas dan teman-teman akan menjaga rumah sembari menunggu pak Brian bangun.” Aku mencomot keripik tempe dari tangan Fee hingga ia manyun lucu sekali.

    “Baiklah mas, Wina mau mengunjungi kebun dahulu. Kalau lapar bisa langsung ambil makan di dapur. Wina tadi pagi memsak tumis sayur kangkung dan menggoreng ayam.” Aku tersenyum sambil melihat Wina keluar rumah sambil memakai capil dan membawa sebotol minuman di tangannya.

    Nyaris dua jam kita menunggu pak unyu sampai dia bangun. Tapi tak juga ada kabar dia akan segera bangun. Jam di dinding sudah menunjuk pukul tiga sore. Aku bingung memutuskan akan segera pulang atau menunggu himgga pak unyu bangun dan menyapa kami.

    “Bagaimana? Sudah jam tiga. Kita pulang atau bagaimana?”

    “Kita tunggu sajalah, sudah jauh-jauh juga kita kemari setidaknya bertatap muka dulu dengan pak Brian.” Deva menghempaskan tubuhnya pada kursi sambil menghembuskan nafas panjang-panjang.

    “Iya Shin kita tunggu saja sampai dia bangun. Lagian juga jalanan sangat jauh. Kita tidak tahu akan naik apa jika pulang dari sini. Fee sih tadi mutar-mutar tak jelas. Aku jadi tak bisa menghafalkan jalannya.” Mira manyun sambil memandang sinis ke Fee

    Fee cuma terdiam dan terus mencoba semua makanan yang ada di atas meja. Jangan-jangan Fee nanti pulang ke alamnya membawa oleh-oleh keripik tempe dan sari apel. Dia sangat menyukai segala bentuk makanan manusia. Luar biasa kemampuan adaptasinya terhadap lingkungan, termasuk makanan dan minumannya.

    “Yashin! Yashin! Aku masih lapar. Apa tidak ada makanan lagi?”

    Aku lupa jika makhluk seperti Fee belum pernah diajari tentang tata krama. Sudah mending diberi makanan sebanyak ini. Masih saja merasa lapar. Makin ngelunjak saja ini mahkluk bersayap.

    “Sudah makan itu saja. nanti kalau pak Brian sudah bangun kamu minta makan saja sama dia. Oke?”

    Agak lama sebelum akhirnya Fee mengangguk terpaksa setuju.

    Aku terus saja memandangi ornamen pada rumah ini. kali ini aku berani berjalan pada sekitar ruangan. Aku telusuri semuanya dari paling depan yang terdapat lemari kaca yang penuh dengan piring perak kuno. Juga beberapa benda yang tak aku tahu namanya. Mungkin hanya digunakan saat jaman dahulu saja.

    Sebuah guci besar bertutup mengisi pojokan ruang ini. aku tak berani membukanya. Karena begitu mendekat tengkukuku dingin dan menebal. Langit-langit rumah ini dibiarkan terbuka tanpa ada tripleks. Aku bisa melihat deretan genteng yang tersusun sangat rapi. Tiang yang membentang juga berukir meski sedikit pudar dan terlihat aus.

    Pada sisi agak dalam terdapat sepeda kuno. Sepeda onthel itu terdapat lampu yang menyerupai garuda. Lambu dinamo yang akan menyala jika roda digerakkan. Semua benda dalam rumah ini sangat kuno. Mungkin juga punya nilai historis yang tinggi.

    “Wina, nduk! Apa kamu di luar?”

    Mendadak ada suara pak Unyu mendekat. Sontak aku segera duduk dan menyuruh semuanya berlaku sopan.

    “Win, kamu dimana nduk?”

    Tubuhku kaku. Mataku terasa beku. Di depanku, aku melihat Pak Unyu hanya memakai kain jarit tipis disampirkan pada tubuh polosnya. Matanya merah. Ada semacam tonjolan tulang di sisi kanan kepala dan pundaknya.

    Mirip cula.
  • arieat wrote: »
    @gr3yboy kemana ya?
    °=-?..нмм..=-?°
    <8-|
    >

    ,

    @arieat dimari saya, heheheh ada apah?
  • Kapan d lanjut. Penasaran.

    @tony_chopper sudah dilanjut heheheheh
  • touch wrote: »
    up up up

    @touch halo bro udah nih heheheh
  • ayo om @gr3boy cepetan di update napa.,kburu jamuran

    Iyaa om @redo_dejavu udah nih :p
  • Ρ̥̥ε̲̣̣̣̥Lυ̲̣̥к̲̣̣̥ ({}) :* ρ̥̥ε̲̣̣̣̥Lυ̲̣̥к̲̣̣̥ ({}) :* ρ̥̥ε̲̣̣̣̥Lυ̲̣̥к̲̣̣̥ ({}) dulu ah @gr3yboy
  • wah... masa pa unyunya becula jadi gx unyu lg donk.....Lanjut makin penasaran......
  • hmmm....apa yg terjadi dgn pak unyu?
  • pk unyu jd mirip hellboy y? hadeuh knp tuh?
  • tanggungggg.....

    pa unyu knapa tuh? gr3yboy cepet apdet lagi yah...
  • tanggung bgt bang,,,
  • Ih pak unyu kenapa tuh? :o
  • Om @gr3yboy.....Pa Unyu nya kena kutukan atau jangan2 monster
  • Wuahh gokill . Seruu !! ƪ(ˇ▼ˇ)¬. Itu si Pak unyu berubah jd apa ? -,-' udah kadaluarsa ya !
Sign In or Register to comment.