BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

[MultiChaptered - IF I LOVE YOU TOO?] ~ 130612- (COMPLETED)

1101113151632

Comments

  • Dih gemes sm c Willi..cr yg laen kek jgn Niel.
    *esmosi,terbw perasaan kya Ibu2 pngamat sinetron
  • lanjut...
  • @05nov1991 aya naon main narik2 nih :)
    @rieyo626 mantap kang ceritanya :)
  • @DItyadrew2 enak gak di tarik2 ??? wkwkkww
  • thanks for the updated,dear...

    klo niel-levi yg bot levi kan?tp klo will-niel yg bot niel?humm..lebh cocok niel jd top...
    kasian niel, bener2 dilema buat dia..
  • edited December 2013
    A/N: holla. makasih semuanya yg udah mampir. makasih bwt komen2nya. u guys r awesome ;) ini lanjutannya, enjoy!

    [#9 – An Angel]

    Masih belum terlalu sore ketika aku tiba di ruang ganti. Masih sepi, karena sepertinya anak-anak masih ada yang kuliah. Aku menghela nafas dan menyimpan tas ransel ku di atas bangku. Badanku rasanya tak enak dari sejak tadi pagi, begitu juga saat sedang menyimak semua mata kuliah. Untung Levi duduk di sebelahku dan seperti biasa mau membagi catatannya.

    Beberapa saat aku malah duduk melamun disana, sambil mengamati sekeliling ruang ganti yang belakangan ini jadi seperti tempat yang menyebalkan bagiku. Mengingatkan aku pada kecurangan yang sudah aku lakukan di belakang Levi. Tapi walau begitu, aku tetap tak bisa meninggalkan tempat ini. Selain karena sekarang aku adalah wakil kapten tim basket kampus, aku juga memang sangat mencintai basket. Aku tak mau, masalah sepele dan konyol yang sudah dibuat William, harus membuatku mengorbankan apa yang aku sukai.

    Ahk, c’mon… where is that strong Adniel Prawira that I used to know!?

    Aku menggerutu sendiri sambil mengacak-ngacak rambut spike-ku, lalu beranjak berdiri untuk mengganti pakaian saja dengan baju basket. It’s not the time to feel gloomy. Daripada aku hanya meratap dan malah semakin pusing, lebih baik aku menunjukkan diriku yang seperti biasanya. Aku cowok, dan ini hanya masalah kecil!

    Selesai mengganti baju, aku melakukan stretching-stretching kecil untuk menghilangkan pegal di badanku. Tadi pagi Mbak Lidya menanyakan apa aku sudah baikan, karena menurutnya, semalam aku agak sakit. Tapi aku tidak bilang, kalau sebenarnya badanku memang masih tidak enak. Aku rasa, kalau dipakai berolahraga, aku pasti akan lebih segar lagi.

    Tidak puas hanya dengan stretching, aku melanjutkan dengan push-up. Sudah lama rasanya aku tidak melatih otot tangan dan kaki ku dengan cara seperti ini. Seperti biasa, aku berhasil melakukan push-up sampai hitungan 50, meski memang, ada yang agak berbeda – kali ini rasanya sedikit lebih lambat dan aku seperti sedikit bersusah payah. Damn, is there really something wrong with my body!?

    “Argh” aku mengerang pelan sambil ambruk ke atas lantai. Beberapa saat aku terbaring dengan tertelungkup disana, rasanya cukup nyaman. Mungkin, aku memang butuh istirahat…

    Baru saja aku seperti akan tertidur, tiba-tiba badanku dibalik oleh seseorang. Aku tersentak, sudah nyaris akan melawan – tapi tidak jadi, ketika aku melihat siapa yang sedang menjebak tubuhku disana.

    “Levi…” gumamku, nyaris mendesah.

    Levi yang tengah berada di atas tubuhku, tersenyum lembut. Rasanya seperti mimpi. Aku tidak mendengar dia datang barusan, jangan-jangan ini memang hanya halusinasi ku. Aku mengerjapkan mata berkali-kali, berpikir Levi mungkin akan menghilang, tapi ternyata tidak.

    “Kenapa tiduran di lantai, Niel?” tanyanya sambil membelai kepalaku, selembut senyumannya.

    “Ng- nggak… gue abis push-up” jawabku setelah beberapa detik meyakinkan diri kalau yang aku lihat ini nyata. “Kok kamu bisa ada disini? Kapan masuk?”

    Levi tertawa pelan.

    “Tadi. Kamu gak nyadar aja, keenakan tiduran” katanya.

    Aku menghela nafas lega di dalam hati, it’s not only a dream anyway.

    “Katanya kamu ada match sama tim kampus laen ya? Aku mau nonton” lanjut Levi lagi, masih sambil memainkan rambutku dengan jemarinya.

    “Oh iya, itu nanti sore… kamu bukannya ada kerjaan di senat?”

    “Hm iya sih, tapi aku bisa nyempetin nonton…”

    Aku mengedipkan mata ku dan teringat dengan permintaan William semalam di telepon. Aku harus membuat alasan pada Levi agar dia tak harus menungguku sampai match selesai.

    “Match-nya sampe malem, Lev. Kamu… pulang sendiri, gak apa-apa kan?”

    Levi tampak berpikir beberapa detik.

    “Aku bisa nunggu kok”

    Duh.

    “Ng- nggak usah. Kamu kan pasti capek, mending pulang duluan aja…”

    Grrgh, am I too obvious? Dari dulu aku memang paling payah untuk urusan membuat alasan yang dibuat-buat, apalagi pada orang yang penting. Aku harap Levi tidak membaca gelagat aneh dariku.

    “Emang sampe malem banget?” tanyanya.

    “Yah—justru, waktu pastinya gue gak tau. Terus katanya mau ada acara traktir-traktiran dulu dari yang menang…”

    Ck. Trust me, it’s hard to make such an excuse that we really don’t want to make.

    “Oh. Ya udah, nanti aku pulang duluan”

    Aku menarik nafas lega dalam hati karena tampaknya Levi tidak menyimpan curiga atau apapun. Sepertinya ini memang hanya ketakutanku sendiri akibat rasa bersalah yang aku punya. Screw yourself, Niel.

    Kami kemudian jadi terdiam dengan jarak yang sangat dekat dan mata yang saling menatap. Levi masih mengulas senyumannya padaku. He’s so damn gorgeous, his smiles never failed me. So soft and warm, just like an angel.

    Mungkin aku memang terkesan berlebihan menggambarkan sosok Levi, but I really can’t help it. The more I know him is the more that I adore and love him. Aku sudah janji pada ibunya juga pada diriku sendiri, kalau aku akan melindungi dia. Tapi, pilihanku untuk melindungi Levi dengan menyerahkan diri pada William – rasanya tidak sepenuhnya benar. Bagaimanapun, aku tetap menjadi pengkhianat dan kalau Levi tau, dia pasti akan sangat terluka… God, what am I supposed to do?

    “Niel…”

    Aku mengedipkan mata ku, membuyarkan pikiran-pikiran memusingkan di benakku. Aku sepertinya memang harus jujur, atau aku akan menyesal seumur hidupku. Tapi bagaimana kalau William serius dan benar-benar mengganggu Levi? Aku tidak tau kejahatan macam apa yang akan dilakukannya lagi nanti, aku tak mau melihat Levi sakit hati lagi seperti waktu itu.

    Astaga, I’m so damn confused and… blank.

    “Katanya semalem kamu kangen aku” kata Levi lagi.

    Memang, setelah semalam aku menelepon dan bermanja padanya, sejak tadi pagi aku malah tidak bisa menyalurkan kemesraanku secara langsung karena jadwal kuliah yang padat. Paling tadi aku hanya menggodanya kecil-kecilan di kelas.

    “Hm, gue kangen banget” sahutku, sambil melingkarkan lenganku di badannya.

    Levi tersenyum lebih lebar.

    “Aku juga…” ujarnya, sambil agak berbisik. Dia pun mengigit bibirnya pelan, dan terus memandangku dengan sepasang mata besarnya yang imut. I got the signal, but I don’t know why I keep silent and just staring back at him. Well, aku kalut.

    Levi pun mengambil inisiatif lebih dulu, dia lebih mendekatkan wajahnya padaku hingga ujung hidung kami bersentuhan. Tapi kemudian dia memiringkan sedikit kepalanya untuk mencium pipi kiri ku. Mungkin karena melihat aku yang tidak bereaksi, dia jadi canggung sendiri untuk mencium bibirku.

    Aku masih terdiam beberapa detik, memejamkan mata ku merasakan ciuman lembutnya di pipi ku dan menghirup wangi khasnya yang menghampiri hidungku. Aku jadi mengeratkan pelukanku di badannya dan perlahan menyimpan dagu ku di pundaknya. Levi pun membalas pelukanku.

    This is what I need since last night. His present, his warm, his softness…

    “Kamu ngunci pintu nya gak?” tanyaku, memecah keheningan diantara kami.

    “Udah” jawab Levi agak pelan.

    Aku pun merenggangkan pelukanku untuk kembali memandangnya. Dia masih saja tersenyum, tampak paham dengan pertanyaan random-ku barusan.

    Tanpa perlu berpikir lagi, aku pun menciumnya. Dia langsung menyambut ciumanku, hingga tak butuh waktu lama bagi kami untuk meningkatkan ciuman yang dimulai dengan lembut ini. Aku kembali berbaring di lantai sambil menarik tubuhnya dan tanpa melepaskan ciuman kami.

    He’s a good kisser. Really. Aku sampai harus merasakan lemas di lututku setiap kali dia menciumku seperti ini, untung kali ini posisi kami sudah mendukung hanya saja memang aku harus sedikit berhati-hati dengan gerakan tubuhnya diatas tubuhku. It could makes us too excited then we could be wanting more, sedangkan untuk sesuatu yang lebih, aku dan Levi masih belum mau terburu-buru.

    Levi menggumam di antara ciuman kami, tapi aku belum mau berhenti untuk melumat bibirnya yang selalu terasa manis. Dia mencoba melepaskan bibirnya perlahan untuk menghirup udara sesaat, sebelum kemudian kembali menciumku.

    Tanganku mulai mengusap pinggangnya, dan sedikit masuk ke balik kemejanya. It’s too hot, should I stop it? Or try a bit more? Just a little bit…

    Aku melepaskan ciuman, dan menurunkan bibirku ke dagunya. Levi lebih memiringkan kepalanya hingga memudahkanku untuk semakin turun ke lehernya juga. Aku menciumi kulit lehernya perlahan, hembusan nafasnya yang agak tersengal mengenai telingaku. I know, he loves it.

    “Niel…” bisiknya.

    “Hm?” sahutku, bergumam saja disela bibirku yang masih menempel di lehernya.

    “Should we…?”

    Aku menghentikan ciumanku mendengar pertanyaan Levi yang menggantung. Huh? Should we stop or should we go on? Aku merasakan jemari Levi meremas rambutku. What signal is that? Grrgh, aku malah blank.

    Aku pun menggerakkan tubuhku untuk bangun dan duduk, masih dengan Levi yang ada di pangkuanku. Dia memandangku masih dengan tatapan imutnya tadi. Wajahnya memerah dan bibirnya terlihat lebih bengkak karena ciuman kami.

    The tension just grow up. Hot, excited dan Levi tampak belum mau menyudahinya. Is that mean, we should go on? Trying something more? Disini!?

    Deg deg deg deg deg.

    Dada ku mulai berdebar kencang sekali. Nyaman dan membuat hasratku terasa membumbung tinggi. Levi bergerak dengan berbahaya diatas pangkuanku. Aku tau dia sengaja, terlihat dari tatapannya yang masih tak mau lepas dari mataku.

    Shit, he’s tempting me for sure. Aku menelan ludahku diam-diam. Jelas saja aku gugup. Levi tak pernah bertingkah seperti ini sebelumnya. Aku diantara khawatir, tak biasa, tapi ingin. Levi selain bisa melelehkanku dengan kebaikan hatinya, dia juga bisa membunuhku dengan sentuhannya. I know I want him as he wants me.

    But… do I deserve it?

    Levi sudah percaya sepenuhnya padaku, tapi aku tidak sepenuhnya menjaga kepercayaannya. How bad I am.

    “Bentar lagi, temen-temen gue dateng” kata ku akhirnya, setelah beberapa saat aku bertempur dengan benakku sendiri.

    “Terus?” Levi malah bertanya, masih sambil mengusap-usap kepala ku. Aku jadi semakin tak tega untuk melepaskan tanganku dari pinggangnya. I want more, he wants more, we desperately want more.

    “Kita gak bisa lama-lama ngunci pintunya” jawabku, jujur dan pasti menghancurkan mood nya. Ya, aku terpaksa.

    Levi tersenyum. Dia mendekatkan lagi wajahnya, memainkan hidung mancungnya dengan hidungku. Lalu menciumi wajahku perlahan; dari pipi kananku, ke hidungku, ke keningku, ke pipi kiriku, ke dagu ku, dan berakhir di bibirku. Ciuman-ciuman singkat ini menjelaskan sekali, kalau dia memang sedang menginginkanku, namun dia terpaksa menahan diri.

    “Ok, aku juga harus balik ke kantor senat” katanya, lalu bersiap beranjak dari atas tubuhku. Tapi aku menahannya sebentar, dan memberikan ciuman lagi di bibirnya beberapa detik – well, untuk membayar rasa bersalahku meski memang tidak terbayar semua. Setidaknya, aku menunjukkan kalau aku sebenarnya mau, hanya tidak mungkin sekarang.

    Levi membelai kepalaku lagi sebentar, sebelum kemudian benar-benar berdiri dan berjalan menuju pintu. Dia berbalik sesaat sebelum keluar, memberiku senyuman malaikatnya lagi. Penyesalan yang tak bisa aku jelaskan pun, menyeruak begitu saja.

    I can’t do this. He is just too precious. He’s like an angel to me.

    Oh God...

    = = = = =

    “Niel!” teriakan Roby tak aku gubris ketika dia mencoba mengoper bola padaku, hingga aku tak sempat menangkap dan bola pun berpindah ke tim lawan. Aku mendengar teman-temanku mengerang kecewa, tapi aku tak peduli dan hanya menundukkan badan, menyimpan kedua tanganku di atas lutut. Kepalaku pusing. Nafasku terasa tidak enak, badanku sungguh tidak bisa diajak kompromi lagi. Aku pun memberi tanda untuk meminta diganti pada wasit. Tanpa menunggu reaksinya, aku langsung berjalan mendekati bangku dimana tim ku berada, aku butuh duduk, sebelum tergolek di lapangan.

    “Lu gak apa-apa?” tanya William yang langsung mendekat dan menepuk pundakku. Aku hanya menggelengkan kepala, dan melihat sekilas raut cemas di wajahnya. Tapi dia tak bisa lama-lama menghampiriku karena wasit kembali meniup peluit, tanda permainan kembali dimulai.

    Aku duduk di bangku, menunduk lagi untuk menenangkan tubuhku yang seperti gemetar juga bergejolak di dalam. Sakit.

    “Kenapa Niel?” tepukan di pundakku, membuat aku membuka mata. Ada Fery yang tadi memang sudah diganti lebih dulu. Dia memberikan handuk kecil padaku, lalu memberiku botol air mineral, aku mengambilnya. Aku minum dan mengelapi keringatku yang terasa dingin – tak terasa segar seperti biasanya.

    “Lu gak semangat ya, gara-gara gak ditonton pacar?” ujar Fery lagi, karena belum mendapatkan tanggapan dariku.

    Aku melihat padanya, dia tersenyum jail dan menyenggol-nyenggol bahuku dengan kepalan tangannya. Aku hanya membalas dengan mencibirnya, lesu.

    “Eh Niel, gue baru sadar sesuatu. Kayaknya dulu kita ditipu si Roby”

    “Soal apa?”

    “Soal taruhan dulu… yang dia bilang Leviandra ada disini terus buat nonton William, padahal dia mau nonton elu kan!?” jelas Fery.

    Aku tertawa meski masih lesu. Akhirnya mereka menyadari juga dengan sendirinya.

    “Iya itu akal-akalan si Roby. Soalnya Levi gak jawab apa-apa pas dulu si Roby nanya” kata ku, akhirnya membuka juga cerita yang dulu sempat aku lupa.

    “Akh anjrit emang tu anak!” seru Fery sebal.

    Aku tertawa lagi. Fery kemudian memandangku dan kembali tersenyum jail.

    “Heh, elu pasti kesel banget pas dulu denger kalo katanya Leviandra ada disini buat nonton William. Gue inget, waktu itu lu langsung maen pergi aja” katanya.

    Aku hanya tersenyum.

    “Kalian udah jadian waktu itu?”

    “Udah”

    “Anjrit…” Fery menggumam lagi sambil agak tertawa dan meninju lenganku pelan. “Tapi, gue gak heran lah Niel, lu mau pacaran sama dia” katanya tiba-tiba merubah nada suaranya jadi lebih serius.

    Aku memandangnya, meminta dia melanjutkan perkataannya.

    “Yah, Leviandra itu… keren kalo menurut gue” Fery pun melanjutkan.

    “Maksudnya?”

    “Dia gay, dia kadang dipandang sebelah mata sama orang, tapi dia bisa ngebuktiin kalo dia itu lebih baik dari orang-orang yang meremehkan dia. Lu ngerti kan maksud gue?”

    Aku terdiam sebentar. Kata-kata Fery begitu mengena.

    “Ya, lo bener” sahut ku agak pelan.

    “Dia sebenernya bikin gue kagum. Coba kalo gue yang jadi dia, gue belum tentu bisa ngadepin hidup. Gue mungkin bakal depresi dan gak bisa ngatasin pandangan orang-orang”

    Aku terdiam lagi meresapi kata-kata Fery. He’s so right, dan aku tak menyangka salah satu dari temanku ternyata ada juga yang bisa berpikiran waras.

    “Lo… beneran suka sama pacar gue?” tanyaku sengaja menggodanya.

    Fery melihat padaku dan wajahnya tampak memerah. Dia sedikit salah tingkah, namun terus mengulas senyum.

    “Kalo gue bilang… siapa yang gak akan suka sama Leviandra. Dia cakep, pinter, baik, supel, enak diajak temenan…” jawabnya kemudian. “Logisnya gitu aja Niel, gak akan ada yang gak suka sama pacar lu”

    Aku tersenyum lagi. Perkataan Fery sangat jujur dan tulus, aku bisa melihatnya.

    “Jadi lu emang suka sama dia?” aku melanjutkan menggodanya.

    Fery tertawa, lalu meninju lenganku lagi. Wajahnya semakin memerah.

    “Tenang Niel, gue gak kepikiran buat ngerebut kok. Lagian, Leviandra pasti gak mau sama gue… dan kalopun dia mau, gue gak yakin bisa setegas lu” ujarnya.

    Dia memandangku dengan serius lagi, namun masih sambil tersenyum. Tangannya sekarang menepuk-nepuk pundakku.

    “Gue salut sama kalian berdua” lanjutnya lagi. “Kalian saling ngasih pengaruh baik satu sama lain. Kalian berani ngambil jalan yang emang bisa bikin kalian bahagia, tanpa harus peduli sama gunjingan orang yang gak paham hidup kalian. Gue tau perjuangan lu waktu itu gak gampang, Niel. Gimana perasaan takut lu dan lain-lain. Tapi sekarang, semuanya udah lebih baik. Bagusnya, lu jangan pernah ngerusak apa yang udah lu perjuangin ini”

    Jleb.

    Perkataan panjang lebar Fery terasa seperti sebuah nasihat yang sangat menusukku. Padahal dia jelas tidak tau apapun tentang masalah yang sedang aku hadapi sekarang, tapi dia menyadarkanku. Benar sekali kalau aku seharusnya tidak merusak lagi semua yang sudah aku perjuangkan waktu itu.

    Seharusnya aku bisa mengatasi William dengan tidak memilih satu pun dari option yang dia beri. Kenapa saat itu aku begitu penurut dan bodoh? Aku malah sempat menganggap keadaan yang terjadi ini adalah sesuatu yang menarik. F-ck me.

    “Niel?” Fery memegang bahuku agak kuat karena tanpa sadar, aku malah akan terjatuh ke depan. “Lu pusing? Sakit ya?” nada suaranya berubah menjadi cemas.

    Aku tak menjawab dan nyaris tak ingat apapun lagi. Aku hanya mengingat Levi lalu semuanya pun… gelap.

    - - - - -

    “… lu sakit malah maksain maen”

    Omelan itu masih terdengar ketika aku membuka mata untuk kedua kalinya setelah barusan sempat terlelap lagi selama beberapa detik. William masih ada disana tengah membasahi kain dengan air hangat untuk di usapkan lagi ke leher dan keningku.

    “Kan lucu tadi lu pingsan pas lagi duduk gitu. Tapi lebih gak banget kalo pingsan di lapangan… haha” dia melanjutkan bicara malah sambil agak meledekku.

    Aku mengernyitkan kening dan menggerakkan sedikit badanku yang sejak tadi terus-terusan dalam posisi yang sama.

    “Rumah lu dimana? Gua mau anter lu pulang” kata William lagi, kali ini sambil benar-benar melihat padaku. Tangannya asik mengusapkan kain basah ke leher sampai ke dadaku.

    “Gue bisa pulang sendiri” jawabku, agak parau.

    Dia tertawa.

    “Gak usah sok-sokan. Lu gak mungkin bisa pulang bawa motor sendiri. Gua anter lu pake mobil gua, motor biar ditinggal dulu”

    “Gak usah…”

    “Jangan keras kepala, Niel”

    “Gue gak mau, Will. Lo gak usah peduli lagi sama gue, gue cuma butuh Levi” sahutku mencoba tegas meski masih terdengar lesu.

    “Leviandra pasti udah pulang. Anak-anak juga udah gua suruh pulang duluan. Lu cuma bisa bergantung sama gua sekarang”

    Aku menggelengkan kepalaku, tiba-tiba ingin sekali terus memberontak.
    “Gue gak butuh lo, Will” racau ku, lalu membalikkan badan untuk membelakanginya.

    “Niel…” aku merasakan dia menyentuh kepalaku, tapi aku menepis tangannya.

    “Lo pengen ngehancurin hubungan gue sama Levi. Lo gak usah baik gini sama gue”

    “Niel, gua suka sama lu. Makanya gua—“

    Aku bangun, lalu menatap tajam pada William. Dia tampak terkejut dan jadi menghentikan sendiri kalimatnya.

    “Gue gak mau lagi nurutin permainan lo yang konyol Will” kataku, lebih tegas dari sebelumnya. “Udah cukup, dan gue tarik kata-kata gue buat nyerahin diri sama lo. Gue juga gak akan ngebiarin lo ganggu Levi gue…”

    William tampak terpaku. Entah dia terpengaruh oleh ucapanku, atau dia sedang berpikir untuk memberikanku ancaman lain.

    Tanpa mau menunggu dia bereaksi dulu, aku pun memilih turun dari tempat tidur di ruang kesehatan ini. Aku merasa badanku cukup kuat sekarang.

    “Niel, lu masih sakit!” William cepat beranjak juga dan membantuku yang ingin keluar dari sana.

    “Gue gak apa-apa!” aku menepisnya lagi, tapi dia tak membiarkanku.

    “Gua anter lu pulang” dia masih memaksa.

    “Will, gue gak mau lo—“

    “Ok, nggak! Ini gak ada hubungannya sama perjanjian kita kemaren. Gua bantuin lu sekarang karena gua beneran khawatir kalo lu jalan sendiri. Lu bisa bahayain diri lu!” potong William tiba-tiba, sedikit membentakku.

    Aku diam. Dia tampak kesal, tapi dia bersikeras tak mau membiarkanku sendirian. Dia membawakan tas ku dan menyuruhku untuk naik ke mobilnya. Baiklah, aku mau percaya sekarang saja. Dia tampak serius dan tulus.

    = = = = =

    Dara menyelipkan rambut lurusnya ke balik telinga, lalu berjalan dengan agak ragu menghampiri William yang sedang mencatat sesuatu di salah satu meja perpustakaan. Dia menarik kursi disamping kakak tingkatnya itu dan duduk disana.

    “Hey Kak Will…” sapanya tanpa bermaksud mengganggu.

    “Hey Dara” sahut William setelah meliriknya sekilas.

    “Gue ganggu gak?” tanya Dara lagi.

    “Ada yang mau lu omongin sama gua?” William balik bertanya masih sambil fokus dengan tulisannya.

    “I- iya”

    “Soal apa?” William berhenti menulis dan melihat pada cewek cantik itu.

    Dara memasang senyuman agak kaku.

    “Soal lo sama Adniel”

    William terdiam sebentar, sebelum kemudian mengalihkan kembali perhatiannya pada buku di depannya, tapi dia tidak mencatat lagi. Tampaknya dia sudah tak bisa berkonsentrasi.

    “Gue liat lo pulang bareng dia kemaren malem” lanjut Dara. “Gue bukan mau mencurigai atau apapun. Tapi lo sama dia…”

    “Just whatever you thought” sergah William, berpura-pura seperti tak peduli.

    Dara mengernyitkan keningnya.

    “Lo gak mungkin—“

    “Kenapa nggak?” William memotong lagi perkataan Dara. Kali ini dia kembali melihat pada cewek itu. “Gua emang suka sama Adniel. Lu mau musuhin gua kayak lu musuhin Leviandra?” tantangnya pula.

    Dara terperanjat. That’s crazy. Dia memang sempat berpikir begitu saat kemarin melihat William dan Adniel pulang bersama, tapi dia tak berpikir kalau ini serius.

    “Kak…” gumam Dara, tak tau harus berkata apa.

    “Dia ngingetin gua sama sahabat gua yang udah meninggal, Ra. Gua jadi pengen deket dia terus, ngejagain dia…” jelas William, jujur.

    “Tapi… Adniel kan sama Leviandra…”

    William menghela nafas, lalu tersenyum pahit pada Dara.

    “Sekarang gua paham perasaan lu yang waktu itu pengen banget misahin mereka” cetusnya.

    “Tapi sekarang gue gak gitu, Kak” sahut Dara cepat. “Gue udah ngedukung mereka dan… sorry, tapi gue gak mau lo ganggu hubungan mereka”

    William tertawa pelan.

    “Lu berubah secepet ini?!”

    “Iya, karena gue sadar, gue gak akan pernah bisa misahin mereka. Leviandra adalah orang yang tepat buat Adniel, setidaknya untuk saat ini”

    William tertawa lagi, sedikit meledek.

    “Lu kok nyerah gitu aja, Ra…” komentarnya.

    “Lo pasti bakal nyerah dengan senang hati kalo lo udah ngenal sendiri gimana hubungan mereka”

    Kali ini William yang mengernyitkan kening, tak percaya begitu saja.

    “Gue serius, Kak” tambah Dara. “Daripada lo makin sakit hati ngarep yang gak mungkin, lo mendingan mundur dan gak usah ganggu hubungan mereka”

    “Lu gak usah sok-sokan ngajarin gua, Ra…”

    “Gue ngasih tau lo” sahut Dara semakin mantap. Dia memandang dengan meyakinkan pada cowok ganteng di depannya itu. “Lagian, lo kan bukan gay dan anti-gay pula, kenapa lo…”

    “Ceritanya panjang dan gua males cerita sama lu” sahut William agak ketus.

    Dara tersenyum kecut.

    “Pokonya gue udah ngasih tau lo. Nasib kita sama, Kak. Gak ada salahnya lo dengerin saran gue”

    William tak menyahut lagi. Dia jadi terdiam, berpikir dengan tak enak hati. Kemarin malam, Adniel memang sudah menunjukkan penolakan yang keras padanya, tapi William pikir itu karena Adniel sedang sakit. Itu juga sebabnya ia tak begitu menanggapi dan memilih untuk seolah-olah sudah menyerah. Namun perkataan Dara cukup menggugahnya sekarang. Apa memang dia harus menyerah saja, saat dia sudah merasa menemukan kembali adanya seseorang yang bisa dia perhatikan setelah hampir 4 tahun dia di tinggalkan sahabat kesayangannya.

    Tapi bagaimanapun Dara memang benar, kenyataannya, Adniel sudah dimiliki orang lain. Dia seharusnya tidak menjadi pengganggu, he’s not a kind of person.
    = = = = =

    Badanku terasa lebih baik setelah aku minum obat dan tidur seharian. Mbak Lidya yang merawatku dan menelepon teman-temanku, mengabarkan kalau aku sakit hingga aku tak bisa masuk kuliah dulu. Walau sedikit dengan omelan khas emak-emak, Mbak Lidya tetap telaten merawatku sampai akhirnya aku bisa jadi lebih segar sekarang.

    Dengan agak diseret, aku berjalan turun dari kamarku menuju dapur. Disana aku mendengar ada 2 orang yang sedang mengobrol dan tertawa-tawa, aku pikir Mbak Lidya sedang ditemani Mas Tyo – pacarnya, tapi ternyata malah pacarku yang ada disana. Levi sedang membantu Mbak Lidya memotong-motong sayuran.

    “Ehm…” aku berdehem, setelah bersandar di ambang pintu dapur dan melipatkan kedua lenganku di depan dada. Mereka menoleh nyaris bersamaan.

    “Niel? Udah baikan?” Mbak Lidya langsung berkata padaku. “Duh, lu ditengokin pacar nih, bukannya rapi-rapihin muka dulu!” ledeknya pula.

    Levi tersenyum padaku mendengar perkataan Mbak Lidya. Aku jadi malu juga dan malah semakin mengacak rambutku. Aku tau muka ku pasti kusut sekali.

    “Gak apa Mbak, tetep ganteng kok” komentar Levi tiba-tiba sambil sekali lagi memberikan senyuman menggoda padaku.

    Ergh, he’s so cute.

    “Ih najis” ujar Mbak Lidya sambil memutarkan bola matanya.

    Levi tertawa dan aku hanya tersenyum datar.

    “Gue laper Mbak” kata ku pula.

    “Gue lagi bikin sop ayam nih, bentar ya. Lu cuci muka dulu sana!” sahut Mbak Lidya.

    “Lev, ikut ke kamar yuk, gak usah bantuin si Mbak” ajak ku dengan acuhnya.

    Levi yang sudah selesai memotong-motong sayuran, jadi melihat pada Mbak Lidya.

    “Ya udah, gih!” kata Mbak Lidya akhirnya, mengijinkan Levi untuk ikut aku ke kamar.

    Aku tersenyum lagi sambil berlalu lebih dulu, kembali ke kamar. Dan Levi mengikutiku.

    ~

    “Kamu kok gak bilang kalo kemaren itu udah gak enak badan?” tanya Levi setelah aku kembali dari kamar mandi, selesai mencuci muka ku.

    “Ah gue kan gak apa-apa” jawabku cuek sambil menjatuhkan badanku ke atas ranjang lagi. Levi duduk di dekatku. Dia mengulurkan tangannya dan mengusap keningku.

    “Hm, udah gak panas” gumamnya. “Untung Mbak Lidya baik banget sama kamu”

    “Iya lah, kalo nggak, dia bisa di marahin nyokap gue terus diusir dari sini” sahutku sekenanya.

    Levi hanya mendecakkan lidahnya sambil mengulum senyum. Tangannya yang tadi memegang keningku, sekarang jadi memainkan rambutku yang berantakan. Aku memandangi dia sepuasnya, sementara tanganku mengusap-usap pinggangnya.

    Aku agak mengangkat tubuhku agar sejajar dengannya, dan sebelum Levi sempat menduga-duga apa yang akan aku lakukan – aku sudah mencium bibirnya begitu saja. Dia tampak terdiam dulu, namun kemudian membalas ciumanku.

    “Bibir kamu anget, Niel” katanya setelah kami selesai berciuman selama beberapa detik.

    Dengan bodohnya, aku jadi meraba-raba bibirku sendiri. Levi tertawa.

    “Demam gue bakal nular gak ya?” tanyaku pula.

    “Kamu gak pilek, kayaknya gak akan nular” jawab Levi, polos.

    Aku pun tersenyum tipis dan kembali mendekatinya. Tapi kali ini aku memeluk dan menciumi pipinya. Dia balas memelukku saja.

    “Lev…”

    “Hm?”

    “Gue mau nanya sesuatu”

    “Tanya aja Niel”

    Aku terdiam sebentar, tiba-tiba memang mendadak ingin menanyakan hal yang sudah cukup lama membuatku penasaran, tapi sering aku abaikan.

    “Kamu pernah ngapain aja sama mantan-mantan pacar kamu dulu?” tanya ku akhirnya sambil membelai rambut halusnya.

    Dia yang tadi agak membenamkan wajahnya di pundakku, jadi merenggangkannya dan memandangku.

    “Tumben nanya itu” katanya.

    “Mau tau aja… itu juga kalo kamu mau cerita”

    “Hm, sama aja kayak yang pernah kita lakuin”

    “Hugging?”

    “Yes”

    “Kissing?”

    “Yes”

    Aku menganggukkan kepalaku.

    “Lebih dari itu?” tanyaku lagi.

    Dia memandangku lebih lekat.

    “What do you think?” tanyanya, malah memintaku untuk menebak.

    Aku mengangkat kedua bahu ku.

    “I don’t know. Kalo gue tau, gue gak akan nanya…”

    “Guess it, will you?”

    Aku mengernyitkan keningku, lalu mengamatinya. Terus terang, di awal aku mengenalnya dan tau kalau dia adalah gay, pikiran-pikiran buruk jelas sudah lebih dulu mengganggu benakku. Aku menduga dia seperti gay yang aku tau. Meski memang dia anak baik-baik, dia dari keluarga terpandang dan dia pintar – but who knows!? Saat dia kesepian dan membutuhkan seseorang, dia bisa menjadi intim dengan siapapun yang sedang dekat dengannya saat itu, bukan? Contohnya seperti dengan aku sekarang. Seperti kejadian tempo hari di ruang ganti, dia menunjukkan dengan natural kalau dia sangat menginginkan dan membutuhkanku.

    “I think you already…”

    “What?” dia memandangku dengan tatapan lucunya.

    Aku jadi tersenyum kecut dan mendecakkan lidahku.

    “Gak tau ah” kata ku akhirnya. “Gue males nebak-nebak”

    “Kamu perlu bukti?”

    “Hah?”

    Levi malah tersenyum mencurigakan padaku. Dia juga menggigit bibirnya, genit.

    Glek.

    Jangan bilang, dia menyuruhku membuktikan sendiri apa dia masih perawan atau tidak. Hey, I don’t understand about that! >_<

    “Gak usah aneh-aneh Lev…” cetusku akhirnya, menutupi gugup.

    Levi tertawa pelan, seperti puas sudah mengerjaiku. Dia lalu mengusap bahuku.

    “I’ve never had sex…” bisiknya. “Kalo kamu? sama mantan-mantan kamu?” tanyanya pula dan memandangku lebih lekat.

    Aku yang barusan sempat terpana, cepat menggelengkan kepalaku.

    “Gue belum cukup umur, Lev. I’m only 20”

    “Emang cukup umurnya berapa? 21?”

    “Hm…” aku bingung sendiri dengan jawabanku.

    Levi tertawa lagi.

    “Aku udah 21, berarti aku udah cukup umur… dan boleh?” katanya, setengah bertanya.

    Aku memandangnya lebih lekat lagi.

    “Emangnya kamu mau?” aku balik bertanya.

    “Kamu?” dia bertanya lagi.

    Kami sama-sama diam dan terus saling memandang. Lalu entah bisikan dari mana dan entah apa yang merasuki ku, setelah beberapa saat aku hanya menatap wajah manisnya – aku mulai kehilangan akal sehatku.

    Pembicaraan kami sudah menjurus, lalu otakku tak bisa berpikir jernih lagi.

    Aku kembali menciumnya.

    Tidak dengan lembut seperti biasanya. Aku langsung mendesaknya, hingga membuat dia berbaring diatas tempat tidurku dan aku perlahan menjebaknya diatas.

    Levi mencoba mengimbangi ciumanku yang begitu mendominasi dan mendesak. Dia meraba piyamaku, juga menjambak sedikit rambutku. Aku melepas bibirnya sebentar, kami menarik udara sebanyak mungkin, namun tak lama dan aku kembali melumat bibirnya tanpa ampun.

    Tubuhku memanas lagi. Bukan seperti kemarin-kemarin yang panasnya sangat tidak menyenangkan. Panas kali ini adalah karena tubuhku terbakar oleh api yang aku kobarkan sendiri dari dalam diriku. My passion.

    “Eumh…” Levi melenguh pelan begitu aku menurunkan ciuman ke lehernya, aku agak menarik kerah kaosnya agar memudahkan bibirku untuk menjelajahi kulitnya. Dan tanganku yang lain, mulai masuk ke balik kaosnya juga dari bawah.

    “Niel… gerah” bisiknya disela dia mendesah.

    Aku melihat padanya, dan perlahan tanganku melepas kancing piyamaku. Levi melebarkan matanya.

    “Jangan dibuka, kamu bisa sakit lagi!” cegahnya sambil menghentikan jemariku.

    “Gak apa” kata ku dan cepat melepaskan piyamaku.

    Levi tak bisa membantah lagi. Dia sekarang tercengang memandang tubuh bagian atasku yang polos. Selama kami pacaran, kami memang sama-sama belum pernah melihat tubuh masing-masing tanpa pakaian. Dan sekarang aku cukup bangga karena Levi tampak terpana memandangiku. He must be loves my body too.

    “Like it?” tanyaku, menggodanya.

    Levi mengerjapkan matanya, lalu tertawa gugup. Dengan ragu-ragu dia menyentuhkan jemarinya di dadaku yang memang cukup terlatih. Aku memiliki otot-otot halus yang sebenarnya bisa lebih bagus kalau aku mau melatihnya di gym. Hanya saja, aku tidak terobsesi oleh bentuk badan yang kekar seperti Ade Rai.

    Aku kembali memeluk Levi dan menciuminya lagi. Dia menyentuhkan jemarinya ke seluruh badanku dengan sesuka hati. Aku sampai harus membetulkan posisiku berkali-kali, agar badan kami tidak begitu bergesekan. The friction would be good yet dangerous. Karena aku sendiri sebenarnya masih tak yakin, mau membawa cumbuan ku ini sampai mana. Memangnya kami sungguh sudah siap?

    Levi menarik badanku lebih kuat, sengaja agar membuatku berbaring di sampingnya. Kami pun berpelukan sambil saling memandang dan sesekali berciuman. Dia masih memainkan jemarinya di tubuh polosku, sementara aku juga mengusapkan jemariku ke balik kaosnya yang sudah terangkat. Lututnya berkali-kali mengenai selangkanganku, dan itu membuatku harus menahan diri agar tidak merapatkannya. Tidak sekarang… atau belum sekarang… atau sebentar lagi…

    “Aku gak nyesel karena udah mertahanin kamu, Niel” kata Levi, membuka pembicaraan. Tangannya sekarang jadi memainkan rambutku lagi.

    “Maksudnya?”

    “Ya, aku seneng karena cuma aku yang bisa milikin kamu, nobody else”

    Aku tak menyahut dan hanya memberinya senyuman, agak tipis. Aku jadi terpikir, mungkin ini saatnya aku untuk membuat pengakuan.

    “Lev…”

    “Iya?”

    “Gue… mau jujur sama kamu”

    Levi memandangku penasaran. Aku menelan ludahku diam-diam dan mencoba mengumpulkan segenap keberanianku, jangan sampai aku salah bicara.

    “Sebenernya gue… gue pernah…”

    Anjrit, ternyata memang tidak gampang untuk mengakui sesuatu yang kita tau kalau itu menyebalkan. Dan sekarang aku malah tercekat, membuat suasana jadi menegang dan dramatis saja.

    “Pernah apa?”

    Shit. Tanpa sadar aku terlalu lama diam, sampai Levi pun bertanya, dan itu jadi semakin terasa mempersulitku.

    “Gue pernah… ciuman sama cowok laen”

    Senyuman Levi memudar dengan sempurna. Dia mengedipkan matanya, lalu memandangku datar, cukup lama. Aku nyaris menyesali sendiri apa yang sudah aku katakan, tapi aku memang tak mungkin menariknya lagi.

    “Beneran? Kapan?” Levi akhirnya kembali bersuara. Pertanyaannya terkesan datar, menutupi kegusarannya.

    “Ke- kemarenan”

    “Sama siapa? Aku kenal?”

    Geez, ini bagian yang paling aku malas. Situasinya sebenarnya kurang enak untuk membahas soal itu dengan panjang lebar. Pasti akan merusak mood, atau sudah?

    “William”

    Levi melebarkan matanya, lalu bangun dari berbaringnya.

    “Kok bisa? Kamu… dipaksa? Dikerjain kayak aku waktu itu!?” tanyanya, agak bertubi-tubi dan terlihat sangat cemas.

    Aku ikut bangun dan duduk menghadapnya.

    “Hm ceritanya panjang… tapi intinya, gue dicium sama dia…” kata ku.

    Levi masih memandangku cemas, sampai kemudian dia menggelengkan kepalanya.

    “Aku gak nyangka” komentarnya pula.

    “Gue juga…” aku menundukkan kepalaku. “Kamu marah sama gue, Lev?” tanyaku lagi, sambil melirik pacarku itu dengan agak takut-takut.

    Tapi ternyata dia malah mengulas senyuman padaku… F-ck. That angelic smile again.

    “Gimana ya. Kalo aku marah sekarang, gak akan ngerubah kenyataan juga kalo kamu pernah ciuman sama dia…” katanya, lalu mendesah pelan.

    Hell yeah, that’s so logic.

    “Dia bukannya anti-gay kan? Kenapa bisa nyium kamu?” tanyanya lagi. Aku ingin menceritakan semua, tapi mungkin tidak sekarang.

    “Dia mungkin gak seperti yang kita tau selama ini” jawabku, simple.

    Levi tersenyum lagi.

    “Terus? Kamu suka?”

    “Hah?”

    Aku memandang agak shock padanya.

    “Suka sama ciumannya?” Levi menegaskan pertanyaannya.

    “Ehm… not really…” jawabku terdengar ragu.

    “Kalo kamu suka, berarti kamu mulai bisa nerima kehadiran cowok laen buat deket juga sama kamu… gak cuma aku”

    Aku mengedipkan mataku berkali-kali. What is he trying to say? Apa dia mau menegaskan, mungkin sebenarnya aku sudah menjadi gay… benar-benar gay?

    “Gue gak mikir kesana, Lev” jawabku akhirnya. Tak menyangka kalau Levi malah melihat hal ini dari sisi umum dan malah menganalisa. Dia sungguh tidak marah!?

    Levi kemudian memelukku lagi. Dia mengusap kepala dan punggung ku, seperti ingin menenangkanku. Oh c’mon, bukannya ini kabar buruk untuknya? Daripada aku yang harus ditenangkan, tidakkah seharusnya aku yang menenangkan dia!?

    Grrrgh.

    My Levi is just too… unusual. He’s special. He’s such an angel.

    Aku membalas pelukannya lebih erat lagi dan membenamkan wajahku di pundaknya, aku menghirup dalam-dalam wangi tubuhnya yang seperti bayi. Yang hangat dan menenangkan itu, membuatku tak mau melepaskannya lagi. Never.

    “Aku sayang kamu, Lev” bisikku di telinganya sebelum kemudian mencium kepalanya dengan penuh kasih sayang. Dia membalas dengan kecupan ringan di belakang leherku.

    “Selama hati kamu masih buatku, aku gak akan ngeraguin apapun” bisiknya pula.

    Tubuhku merinding dengan nyaman mendengarnya. Dia memberikan kepercayaannya lagi padaku. Dia sungguh seolah memiliki sebuah kekuatan tak terlihat yang membuatku tak mampu berkutik di hadapannya. Sama seperti ketika pertama kali dia menyatakan perasaan padaku dan memintaku menjadi pacarnya. Meski waktu itu aku bersembunyi di balik pikiran bahwa aku hanya menganggap ini menarik, tapi akhirnya, aku benar-benar terjerat oleh pesona Levi.

    Bagaimana bisa aku mempermainkan orang sebaik Levi? Bahkan ketika aku mengakui kalau aku nyaris membagi diriku dengan cowok lain, dia masih bisa tersenyum dan berpikir positif karena dia masih merasa memiliki hatiku.

    Aku memejamkan mataku dan mempererat pelukan, kemudian perlahan kembali membuatnya berbaring di bawahku. Mungkin lebih baik kalau aku menunjukkan semuanya dengan lebih jelas, bahwa kami memang memiliki satu sama lain.

    “Levi…” panggilku, sengaja mendesahkan namanya, sambil perlahan kembali memasukkan tanganku ke balik kaosnya.

    Levi hanya memandangku, terlihat dia seperti menyadari kalau aku mengindikasikan sesuatu di suara dan gerakanku. Aku tak menunggu untuk menciumnya lagi dengan lebih lembut, sambil membuat badannya merapat denganku. Bagian depan tubuh kami pun bersentuhan dengan nyata untuk pertama kali. Levi mendesah di dalam ciuman. Dia memeluk badanku, mengusapkan jemarinya di punggung polosku.

    Kami tak lagi menghindari gesekan itu. Kami menikmatinya seiring dengan ciuman yang meningkat. Lidah kami bertautan satu sama lain. Nafas kami saling membaur dan memburu. Kami pun semakin ingin melepaskan semua yang menghalangi tubuh kami. We really want more.

    Tanganku yang dari tadi berada diatas perut Levi, perlahan mulai turun, menyentuh ujung celananya, dan baru saja aku akan membukanya…

    TOK! TOK! TOK!

    “Niel?!”

    Argh.

    Dengan terpaksa kami saling berhenti mencium dan meraba. Beruntung sekali tadi aku tak lupa mengunci pintu. Tapi aku sepertinya hapal dengan suara yang memanggilku diluar itu… bukan suara Mbak Lidya…

    “Niel? Ini ibu. Katanya kamu lagi sakit?!”

    Mataku pun melebar.

    Oh great.

    = = = = =
    To Be Continued~

    A/N : maaf, its not really good. hehe. but thank u all ;)
  • zea.mays wrote: »
    William kenapa sih? Jahat banget! Kasian Adniel sama Levi. Btw, gue curiga deh si Dara masih punya rencana jelek.
    Bang @rieyo626 makasih ya udah nulis cerita sebagus ini buat kita. :)

    hehehe... not at all. saya seneng bs sharing dsini. makasih bnyk jg udh pd mau baca. really big thanks :)
  • DItyadrew2 wrote: »
    @rieyo626 mantap kang ceritanya :)

    hatur nuhun :)

  • ALHAMDULILAAAAHHHHH... akhrnya si adniel bisa tegas juga sama si willi, huaaaaaa suka suka suka part ini.
    eeerrr levi nya baik banget ya.
    bener2 salut sama mereka.


    eh, itu mama nya adniel dateng, apa yang bakal kejadian ya ntar. huhuhuhu
  • levi ktemu mertua huhuhuhuhu
  • whAt??? mom????
  • Hiyah. . .
    Ibu camer ganggu ritual anak muda aja hihi.

    Akhirnya Niel bisa tegas nolak William!
    Dan scene NielLevi-nya so damn cute~~

    gak nahan dah. Bikin org senyum2 sndiri!

    Lanjut yah~ #gaksabar
  • Part selanjutnya, kyknya Adniel ma Levi dinikahkan. Hehe..

    Moga aja William benar2 sadar , dan nerima kenyataan. Trus ngedukung Adniel n Levi...

    Tengkyu yah kang dah di mention ;)
  • . .--.--.
    / | \
    '-..-^-..-'
    / / siiiipp ðëçђ adniel.......
    / \_____
    ____/ (_ __ )
    ( )(__ (____ )
    _____( (____)
    --,___ (___)..
    I know u can do it to william!
Sign In or Register to comment.