It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@rez1: hehe.. mewek kenapa..?
@yuzz: iya nih, ini baru sempat buka BF,
hmm..? '7' apa maksudnya?
@demas: hahaha... bisa aja..
lama ya? hehehe... maap, akhir2 ni lagi sibuk..
part 15. -third step. My Father-
Setelah makan siang, rama pamit untuk meninggalkan ibunya sebentar. Setelah itu dia bergegas berjalan meninggalkan rumah sakit. Dia harus segera mencari uang, dia ga bisa membiarkan ibunya sakit berlarut-larut. Namun selama ia melangkahkan kakinya, ia sendiri masih bingung darimana ia akan mendapatkan uang.
‘apa perlu aku cari pinjaman aja?’
Rama bimbang dengan pikirannya sendiri. Meminjam uang bukanlah sesuatu yang bisa dianggap enteng. Uang sebesar itu, gimana balikinnya? Mungkin butuh waktu 10 bulanan buat melunasi hutangnya jika menggunakan gaji bulanan rama.
‘hmm.. 10 bulan ya..’ rama kembali menimbang-nimbang usulan hatinya tersebut.
Menurutnya waktu 10 bulan juga bukan waktu yang lama. Dia mungkin bisa meminjam pada tante Eny dan menebus dengan 10-11 bulan gajinya. Rama menghembuskan nafas berat. Ternyata apa yang ia harapkan dari bekerja menjadi tak berarti sekarang. Apa gunanya juga bekerja tapi tidak digaji selama hampir setahun?
‘siaall..!! bisa-bisanya aku mikir gitu’ gerutu rama dalam hati.
Dia merasa malu karena punya pikiran semacam itu. Tidak, dia ingin tulus bekerja untuk ibunya. Meskipun dia tidak akan menerima gaji selama hampir 1 tahun, setidaknya dia bisa pulang dan menjumpai ibunya dalam keadaan sehat dan tetap tersenyum padanya. Ya, Cuma itu yang rama harapkan.
Kini bulat sudah tekad rama. agak malu memang, meminta pinjaman pada orang yang baru saja menjadi boss, tapi bagaimana lagi? Tidak ada orang lain lagi yang bisa rama harapkan.
Esa..? tidak, rama sudah terlalu sungkan padanya. Sudah banyak yang esa berikan padanya. Rama tidak ingin merepotkan esa lagi.
Dengan langkah tegas, ramapun berjalan melewati pintu rumah sakit. Ketika ia sudah berada di trotoar, tampak seorang tukang ojek menawarkan jasanya.
“ojek, mas?”
Rama mengangguk dan mengikuti pak ojek menuju sepeda motor bebeknya.
“kafe Imajinasi,pak” seru rama setelah ia duduk di atas sepeda.
“ooh.. yang didepannya smp itu? Oke..”
Sepeda motor itu pun melaju meninggalkan area rumah sakit dan dengan gesitnya meliuk-liut melewati keramaian jalan raya.
Di waktu yang sama dan di tempat yang berbeda, esa kini sedang berjalan menuju lobi di sebuah gedung tinggi dan mewah. Tampak resepsionis menyapanya dengan ramah, dia tahu siapa yang ia hadapi saat ini.
“selamat pagi dik esa.. ada yang bisa saya bantu?”
“hmm… aku mau ketemu ayah. Ayah lagi senggang kan? Tadi aku sudah telfon, katanya bisa langsung ke ruangannya.”
Tampak si resepsionis tersenyum canggung mendengarnya, dia tidak punya pilihan lain selain mengiyakan dan mempersilakan esa menuju ruangan ayahnya.
Setelah mendapat lampu hijau dari resepsionis, esa segera nyelonong menuju lift yang tak jauh dari lobi. Om le mengikutinya.
dari Lantai 1.. ting! lantai 2… ting! 3… ting! 4.. ting! Dannn…………………………………… ting! Akhirnya sampai juga di lantai 17.
‘beh, bikin gedung kok tinggi-tinggi amat si? Pemborosan!’ gerutu esa dalam hati.
Ia segera berjalan menuju ruangan ayahnya. Agak sulit bagi esa untuk mencari ruangan ayahnya. Selain karena banyak terjadi perubahan dimana-mana dalam segi dekorasi, juga karena esa jarang mendatangi tempat itu. Sudah hampir 2 bulan sejak esa terakhir kali mendatangi tempat itu, dan bayak sekali yang berubah.
‘pemborosan!’
Akhirnya setelah agak lama cek-cok dengan om le mengenai ruangan ayahnya, (om le bersikeras belok kanan, sedangkan seingat esa belok kiri. Akhirnya ribut sendiri di persimpangan) seorang wanita muda berparas manis berpapasan dengan mereka. Tampaknya ia mengenali sosok esa.
“loh.. dik esa..?”sapanya.
Esa menoleh dan akhirnya ia tersenyum lega, karena bakal mendapat pencerahan mengenai ruangan ayahnya. Esa tahu kalau dia adalah sekretaris Pak Jaya, ayahnya.
“eh, kak Emma.. esa lagi ingin ketemu ayah nih, tapi lupa ruangannya”aku esa sambil cengengesan.
Wanita bernama Emma itu tersenyum geli, lalu tangannya mengisyaratkan pada esa dan om le untuk mengikutinya.
“oh.. ya ampun… ya sudah, ayo ikut kakak.. “
Esa dan om le pun mengikuti Emma seperti anak ayam mengikuti induknya. Daan… ternyata benar Om le, belok kanan. Om le sedikit geli menahan tawa dan dengan nakal ia berbisik pada esa.
“tuh, bener kan boss… apa om le bilang… om kan yang sering kesini..”
Esa memanyunkan bibirnya, ia merasa jengkel karena telah ‘dikalahkan’.
“ya habisnya, tampang om meragukan si! Celingukan kayak maling ketiban utang”
“yee boss,, namanya juga dah kepala 5.. ingatan juga mulai mengendur, kayak tali kolor tuh”
Esa tersenyum kecil mendengar lelucon tali kolor itu, namun senyumnya segera sirna ketika dia sudah tiba di depan pintu ruangan ayahnya.
“mari dik, silakan masuk” ujar Emma lembut sambil membukakan pintu.
Esa dengan canggung memasuki ruangan itu. Dinginnya udara di ruangan itu segera menyelimuti setiap jengkal kulit esa, membuatnya makin ragu akan niatnya semula. Esa berjalan menuju sebuah meja kerja cukup besar. Diatasnya tertumpuk rapi dokumen-dokumen yang siap diperiksa dan dicoret-coret (ditanda tangani maksudnya), dan di balik meja itu sebuah sosok pria dengan perawakan gagah dan besar sedang duduk dengan berwibawanya di kursi berlengan yang eksklusif.
Matanya yang tajam seperti elang langsung saja menyorot wajah esa. Esa kembali menjadi canggung.
“ada apa? Katanya ada perlu? Cepat ya, ayah ada meeting jam 11 ini”
suara pak jaya menggelegar seperti suara geledek disiang bolong.
Esa sedikit tersentak kaget lalu mengangguk pelan.
“iya yah..”
“duduk”
Om le tampak tegang di sudut ruangan, sementara esa menyeret sebuah kursi didepan meja ayahnya lalu duduk dengan canggungnya.
“ada perlu apa?”Tanya pak Jaya sambil memeriksa sebuah dokumen.
Esa menelan ludah sejenak. Ia ragu untuk mengutarakan maksudnya. Jujur, hubungan esa dan ayahnya tidak begitu dekat. Semenjak ibu esa meninggal, ayah esa malah cenderung membuat jarak dengan esa. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bekerja daripada di rumah menemani esa. Ayah esa juga sangat tegas dan keras. Dia tak akan segan membentak orang yang ia rasa salah dengan dahsyatnya.
Esa sudah beberapa kali menerima semprotan kemarahan ayahnya. Yang terakhir kali karena esa ketahuan membolos dan berakhir dengan pemanggilan orang tua. Jelas saja esa dimarahi habis-habisan.
“sa! Kok diem? Kenapa? Kamu bikin masalah lagi?”Tanya pak jaya dengan nada sedikit keras.
Esa menggeleng perlahan, lalu ia beranikan diri untuk mengungkapkan niatnya. Dengan suara parau dan wajah menunduk, esa berkata, “yah.. esa.. butuh uang..”
Mata pak jaya segera memicing bagai elang melihat mangsa. “uang lagi? Memangnya uang yang ayah kasih masih kurang? Kemana semua kartu kreditmu?”
Kali ini om le yang tersengat, karena ia lah yang bertanggung jawab atas isi kartu kredit esa yang telah ia habiskan untuk makan-makan bersama anak buahnya. Dengan wajah tanpa dosa ia melihat sekeliling berpura-pura mengagumi interiornya. Sesekali ia berdehem untuk sekadar mengingatkan esa agar tidak memberitahu pak jaya.
Esa menangkap kegelisahan om le, dan esa juga merasa bertanggung jawab sepenuhnya atas kartu kredit itu.
“hmm.. esa hilangin kartu kreditnya yah.. “
Baru saja esa menyelesaikan kalimatnya, sebuah suara pukulan diatas meja menggetarkan hati esa begitu juga om le. Tampak tangan pak jaya mengepal. Matanya menyorot esa dengan tajam.
“lagi-lagi kamu sembrono! Sampai kapan kamu kayak gini terus?! Kapan kamu bisa jadi lebih bertanggung jawab!”
Yak, dimulailah menit-menit paling meng-galau-kan bagi esa. Kalau sudah marah begini, ayahnya pasti ga bakal berhenti. Terus mengoceh sampai-sampai lupa pada meetingnya. Esa hanya menunduk tanpa ekspresi.
“sudah ayah bilang berkali-kali. Hati-hati! Teliti! Dan waspada! Tapi tetep aja kamu sembrono. Sekarang kartu kredit, besok apalagi? Dompet? Hape? Kenapa nggak kupingmu aja sekalian yang hilang?”
Esa sudah tidak tahan lagi, sudah saatnya ini dihentikan. Bukan ini yang esa harapkan di kunjungannya kali ini. Melainkan sesuatu yang lebih mendesak.
“yah, esa tahu esa salah! Esa sadar betul dan minta maaf.. esa janji ga bakal ngulang kesalahan yang sama. Tapi bukan ini yang esa ingin sampaikan ke ayah! Esa bener-bener butuh bantuan ayah!”
Pak jaya tampak termenung mendengar kata-kata tegas anaknya. Ia pun kembali mengalihkan perhatiannya pada dokumen yang tadi sempat ia abaikan.
“ya sudah. Kamu butuh berapa?”
Esa mengatur nafasnya yang sempat memburu, dan ketika sudah mulai tenang, ia pun mengutarakan maksudnya.
“6 juta yah..”
Lagi-lagi pak jaya membanting dokumennya dan melihat ke arah esa dengan tatapan tidak percaya.
“6 juta? Buat apa..? kamu pingin beli hape baru lagi?!”
“nggak yah!” esa segera membantah tuduhan ayahnya. “ini ga ada hubungannya dengan esa, yah!”
Kini pak jaya mengeryitkan alisnya,”lalu buat siapa? Pacarmu?”
Wajah esa tampak tersinggung dan memerah, “bu.. bukan yah..”
“terus buat siapa?? Kamu jangan main pacar-pacaran! Apalagi sampek beli-beliin pacar kamu! Ayah ga suka!”
“esa bilang bukan pacar yah! Ini.. ini buat temen esa!”
Pak jaya termenung sejenak. Matanya seakan mencoba menembus pikiran esa.
“memang kenapa temen kamu?”
Esa menundukkan wajahnya lagi, ia membayangkan wajah rama dan ibunya.
“esa punya temen baik di sekolah, namanya rama. dia baik, pinter, tapi sayangnya dia ga seberuntung esa.. dia bisa dibilang anak dari keluarga kurang mampu. Sekarang ibunya lagi sakit, sakit batu ginjal. Rama ga punya uang untuk operasi yah.. dia Cuma tinggal berdua sama ibunya. esa kasihan sama rama.. tapi esa sendiri ga punya uang buat bantu dia. Untuk itu yah, esa mohon… bantuin rama yah..”
esa memohon dengan tatapan memelas pada ayahnya meskipun ayahnya masih memandangnya dengan tatapan tajam tanpa belas kasih.
Pak jaya tidak segera menjawab permohonan esa. Esa sendiri masih memandangnya dengan mata sayu. Kemudian pak jaya memalingkan pandangannya pada esa dan kembali pada dokumennya.
“penting baget kamu ngurusin orang lain” ujar pak jaya santai.
Esa seperti tertusuk linggis mendengar cibiran ayahnya yang tajam. Dia tidak menyangka ayahnya bakal merespon sedemikian kejam.
“ya ampun yah.. tega banget sih ayah.. gimanapun juga ‘orang lain’ itu temen esa yah!”
“ya temen,temen aja..! ga perlu kamu mencampuri urusan dia! Ngapain kamu capek-capek bantuin dia? Emangnya kamu punya hutang budi apa sama dia?”
Esa terpaku. Dia tidak bisa berkata apa-apa.
Sementara Pak Jaya melanjutkan ceramahnya tanpa menunjukkan belas kasihan.
“sudah,lah.. berhenti bersikap sok baik! Kamu juga ga ngerti kan, sifat asli temen kamu? Dia Cuma manfaatin kamu aja! Dia tahu kamu anak orang kaya, sedangkan dia anak orang miskin. Kamu itu sudah dibohongi! Berapa lama sih kamu kenal sama dia? Baru 4 bulan kamu disini, 4 bulan..! dan dia sudah minta 6 juta ke kamu. Bulan depan berapa lagi? 7 juta? 8 juta? 10 juta?? Kenapa ga sekalian aja kamu berikan rumah kita ke dia? Kalo memang itu yang kamu bilang ‘teman’?!”
Telinga esa sudah memanas, begitu juga hatinya kini telah terbakar amarah yang tak bisa lagi dikontrol. Esa pun bangkit dari tempat duduknya dan menatap tajam ayahnya.
“ayah keterlaluan! Esa ga nyangka ayah bisa punya pikiran seperti itu! Asal ayah tahu, rama bukan orang seperti yang ayah pikir! Rama sendiri ga pernah bilang dia sedang butuh uang ato semacamnya, apalagi minta ke esa! Ini murni keinginan esa sendiri buat nolong dia. Yang ada, mungkin orang yang ayah maksud itu adalah ayah sendiri!”
Mata pak Jaya melebar, giginya bergemeretak menahan emosi. Melihat itu, esa bukannya takut, malah melanjutkan protesnya.
“kalo memang ayah ga mau bantu, ato memang ayah terlalu kikir untuk bantu rama, ya sudah.. ga perlu ayah jelek-jelekin rama segitu jahatnya! esa ga masalah kok, kalo ayah ga mau bantu! Esa bakal bantu rama dengan usaha esa sendiri!”
Esa pun berbalik dan berjalan dengan langkah gusar meninggalkan ayahnya. “ayo, om! Kita pulang!”
Om le yang sedari tadi tertunduk melihat pertengkaran ayah-anak itu, kini mengangguk pelan mendengar perintah boss mudanya. Dengan canggung ia melihat pak jaya yang masih mengepalkan tangannya dan pandangan yang kosong.
“saya pergi dulu boss..”pamit om le pelan lalu berjalan meninggalkan ruangan mengikuti esa yang sudah jauh meninggalkannya.
Sementara pak Jaya masih merenung di mejanya.
***
makasih udah di mention
esa, semoga berhasil nak
wah itu bukan ide yg baik, mungkin penulis nya banyak aktivitas yg lain, memang si cerita nya nanggung, mungkin penulis nungguin komentar pembaca,
komentar pembaca = semangat buat penulis
Lanjut ya.