Those Days with You 1: Sentot - A Visit and a Boy
Pada saat itu, aku tergabung dalam suatu komunitas sosial yang pada akhir pekan selalu mengadakan kunjungan ke tempat-tempat seperti panti jompo, panti asuhan, atau sekolah luar biasa.
Akhir pekan kali ini, kami memutuskan untuk berkunjung ke sebuah panti asuhan di bilangan Jakarta Pusat. Setelah mengumpulkan berbagai perlengkapan yang akan didonasikan, kami pun segera berangkat menuju lokasi.
Sesampainya di lokasi, kami disambut oleh pengurus panti tersebut, sebut saja Bapak A. Bapak A merupakan seseorang yang berwibawa. Sosoknya mengingatkanku kepada almarhum Benyamin Shueib, seorang penyanyi terkenal dari tanah Betawi. Setelah bersalaman dengan kami satu per satu, Bapak A kemudian memulai pidato terima kasihnya.
“Terima kasih atas kunjungan adik-adik sekalian” kata Bapak A, mengulang kalimat sambutannya yang sebelumnya sudah dilontarkannya.
“Kedatangan kalian merupakan sebuah rahmat bagi tempat ini” lanjutnya. Entah kenapa aku bisa melihat aura penuh kemunafikan dari kata-katanya.
Karena muak mendengar kata-kata munafiknya, aku mengalihkan perhatianku ke sekelilingku. Panti ini cukup bagus dibandingkan dengan panti-panti lainnya. Gedungnya tampak baru saja direnovasi dan di cat ulang. Jendela dan lantai tampak mengkilap, mungkin karena sering dibersihkan. Furnitur-furniturnya juga tidaklah jelek. Tapi entah kenapa aku merasa ada yang does not fit in di tempat ini.
Selagi aku berpikir, Bapak A ternyata sudah menyelesaikan pidatonya. Pimpinan grup kami segera menyodorkan barang-barang yang kami kumpulkan kepada Bapak A seraya mengatakan “Ini pak, walaupun tidak banyak, terimalah barang-barang ini untuk digunakan anak-anak”.
Sambil menerima dengan tangan kirinya, Bapak A menghela nafas.
“Sebenarnya, kami sudah sangat banyak sekali menerima sumbangan barang-barang seperti ini...”
Bapak A mengalihkan pandangannya ke seorang anak yang sedang bermain di dekatnya. Anak tersebut tampak sedikit lesu dan kurang bergairah.
“Kami sebenarnya lebih membutuhkan sumbangan berupa tunai untuk keperluan anak-anak lainnya seperti biaya makan dan uang sekolah”
Sontak, suasana menjadi ‘kurang nyaman’ setelah pemberian kami tidak begitu dihargai. Walaupun dia berkata begitu, bukankah bisa dilakukan di tempat yang dimana anggota kami dan anak-anak panti tidak bisa mendengarnya? Sungguh tidak tahu etika orang ini.
Menyadari perubahan di suasana, Bapak A pun segera memanggil salah satu anak asuhannya.
“Mike! Kemari kamu”.
Pemuda yang masih mengenakan seragam SMA nya pun kemudian menaruh majalah yang sedang dibacanya di atas meja sebelum akhirnya datang menghampiri kami. Majalah Tempo? Memangnya anak SMA sudah membaca majalah seperti itu? Mungkin dia hanya pura-pura membaca saja pikirku.
“Perkenalkan, nama dia Mike. Dia merupakan anak asuhan kami yang paling lama di sini... Sudah sekitar sepuluh tahun lebih dia bersama kami”
Mike pun tersenyum manis sambil memperkenalkan dirinya di hadapan kami semua. Setelah selesai berkenalan, dia kemudian mempersilakan kami masuk ke ruangan dalam untuk bertemu dengan anak-anak sedangkan Bapak A berpamit diri untuk menemui seseorang.
Seperti panti-panti lainnya, kedatangan kami disambut acuh-tak-acuh oleh anak-anak. Mereka tampak sibuk dengan hal-hal yang sedang mereka kerjakan. Ada yang sedang membaca buku, ada yang sedang berlari-lari, ada yang sedang bermain rumah-rumahan, ada juga yang tampaknya sedang mengerjakan PR. Banyak yang menyadari kedatangan kami, tapi hanya sekedar melihat wajah kami dan kemudian kembali melakukan kembali aktifitas mereka.
Kami sendiri sudah tidak kaget lagi mendapat perlakuan seperti ini dari anak-anak.
Mike pun berseru “Ayo anak-anak, kita ada tamu! Disapa dong!”
Bak paduan suara, dengan kompak, mereka berseru “Selamat datang.....!” sebelum kembali mengacuhkan kami dan kembali ke dunianya masing-masing.
Mendapat perlakuan seperti itu tidak membuat kami berkecil hati. Kamipun mulai menyebar dan mengajak mengobrol anak-anak tersebut.
Aku dan ketua kami dipersilahkan duduk oleh Mike. Belum selesai Mike berbicara, ketua kami memotongnya.
“Anak-anak di sini kok kelihatannya kurang gizi yah? Berapa kali kalian makan sehari?”
Mike menjawab sambil tersenyum “Tiga kali pak”.
Ketua kami menatap Mike dengan penuh keraguan. Memang ketua kami sangatlah seksama dan teliti.
“Hm, saya baca di surat keterangan, katanya ada 18 anak di sini... Tapi termasuk kamu, hanya ada 16. Kemanakah dua yang lain?” lanjut ketua kami layaknya seorang polisi yang menginterogasi penjahat.
Mike –masih tersenyum- menjawab “Oh, satu sedang ada latihan untuk upacara bendera, sedangkan satunya lagi sedang ada di kamar”.
Ketua kami tersenyum puas mendengar jawaban Mike, diapun beranjak dari kursinya dan mulai melakukan “investigasi” kelayakan panti tersebut. Jelas sekali bahwa dia menyukai orang yang bernama Mike ini. Aku ingat sekali sesaat sebelum ketua pergi meninggalkan kami berdua, dia sempat berkata kepada Mike “Masa depan kamu cerah, nak”.
Ketua kami dikenal sebagai orang yang pandai menilai orang lain. Aku juga belajar banyak hal tentang menilai orang lain darinya. Kalau dia berkata begitu kepada Mike, berarti Mike akan menjadi seseorang yang sukses di masa depan. Ketua kami belum pernah salah menilai orang. Mungkin Mike benar benar membaca majalah Tempo itu tadi.
Setelah ditinggal ketua, aku dan Mike pun berbincang-bincang mengenai sekolahku dan sekolahnya. Tentang pelajaran-pelajaran kesukaannya, kegiatan ekstrakurikuler yang diikutinya, klub sekolahku, dan hal-hal apa saja yang dilakukannya bersama teman temannya. Kehidupan kami sungguh berbeda.
Tidak lama kami mengobrol, keluarlah seorang anak dari salah satu kamar tersebut. Aku mengingat betul bagaimana penampilan dia saat itu. Postur kecil mungil, kulit yang putih mulus, badan yang kurus kering dari atas sampai bawah, tatapan kosong, wajah yang pucat, serta ekspresi yang datar.
Jujur, aku tidak menyangka akan melihat anak dari etnis (maaf) Tionghoa di panti ini. Secara reflek, aku berkata “Wah, kurus banget tuh anak, masih TK yah?”
“Tidak, dia tidak sekolah... Dan umurnya juga sudah 7 tahun, jadi hitungannya sudah masuk SD”
“Wah, kenapa dia gak sekolah?”
“Yah.... Sebenarnya dia ada penyakit bawaan yang membuatnya tidak bisa sekolah seperti anak-anak pada umumnya”
“Penyakit apa emang?”
“Untuk itu lebih baik tanya Pak A. Aku tak enak kalau cerita sama kalian”
Aku terdiam memandangi anak itu. Dia tampak duduk di pojokan, tidak berbaur dengan yang lain. Kehadirannya begitu minimal sehingga tidak satu orangpun kecuali kami berdua yang menyadari kedatangannya. Aku merasa menjadi satu-satunya orang yang menyadari eksistensinya.
“Ini anak cakep banget yah?” Pikirku dalam hati.
===============================================
“Mungkin aku terlalu naif waktu itu”
“Atau mungkin aku masih belum cukup dewasa”
“Tapi, aku yakin inilah rasanya cinta pada pandangan pertama”
Comments
Tidak banyak hal yang aku lakukan dengan anak tersebut, Z. Sesudah berkenalan, aku mengajak dia untuk main catur yang kebetulan ada di antara barang2 yang disumbangkan. Tetapi dia menolakknya dengan alasan bahwa dia tidak bisa (tidak tahu) apa itu catur. Begitu aku tawarkan untuk mengajarinya, dia hanya terdiam dan beranjak masuk ke kamar.
Aku sering berkunjung ke panti asuhan, tetapi baru pertama kalinya aku bertemu dengan anak seperti ini. Aku tidak bisa merasakan semangat ataupun hasrat dari dalam dirinya. Memang harus diakui bahwa kehidupan anak-anak di panti asuhan lebih keras daripada anak-anak pada umumnya di perkotaan, tapi aku yakin sekeras apapun kehidupan di panti asuhan tidak akan membuat seorang anak menjadi seperti ini.
Tiba-tiba, terbesit cerita Mike di kepalaku.”Dia ada penyakit bawaan”. Mungkin hal itulah yang membuatnya tidak seceria anak-anak pada umumnya.
Aku pun menyusulnya ke dalam kamar tidurnya. Ruangannya cukup layak untuk ukuran panti dengan jumlah anak sebanyak ini. Dia terlihat sedang bermain-main dengan kalungnya.
Aku duduk di sebelahnya, dan mencoba untuk mengobrol dengannya lagi.
“Wah kalungnya bagus”
“..............”
“Kalian sekamar tidur ber berapa?
Dia menatapku walau mata kami tidak bertemu. Kemudian dia menaikkan kedua telapak tangannya. Lalu, dia melipat kedua jempolnya. Mungkin dia bermaksud memberitahuku bahwa ruangan ini diisi oleh delapan anak. Well, at least I got a response from him.
Merasa mendapat tanggapan, akupun melanjutkan usahaku.
“Sama kayak umur kamu dong?” tanyaku, walaupun kutahu sebenarnya dia berumur tujuh tahun.
“...........”
“Eh salah ya? Umur kamu tujuh ye kalo ga salah?”
“..........”
Sikapnya terhadapku membuatku gemas. Langsung saja aku menusuk badannya dengan jariku. Aku bisa merasakan jariku menyentuh tulangnya saking kurusnya. Entah kenapa terbesit perasaan iba di hatiku. Dibalik kelucuan dan ketampanannya, terdapat tubuh yang sangat rapuh.
“Kok diem aja?”
“................”
TIDAK ADA REAKSI! Padahal anak seumurnya pasti akan geli atau reaktif saat digoda dan dikelitikin. Menyerah, aku terdiam dan memperhatikan kalung Z yang masih dimainkannya sampai sekarang.
Ada satu hal yang menarik dari kalung tersebut. Ada goresan kasar yang membentuk huruf Z besar di tengah tengahnya. Rasa penasaranku mendorongku untuk bertanya lagi kepadanya, tetapi harga diriku berhasil menahannya.
Aku dapat mendengar suara ketua kami sedang berbincang-bincang, tampaknya dengan Mike. Pasti dia mau “inspeksi” ruangan tidur para anak-anak.
Benar saja, pintu pun terbuka. Terlihat Mike dan ketua kami berdiri di pintu.
“Lho, Tot, ngapain di sini?”, tanya sang ketua. Aku tentunya hanya mencibirkan bibirku ke arah Z sebelum akhirnya sang ketua tertawa kecil. “Mari pulang, minggu depan kita ke sini lagi” kata sang ketua seraya mengedipkan matanya kepadaku.
Ketika ketua kami mengatakan “ke sini lagi”, aku segera tahu bahwa sang ketua merasakan ada sesuatu yang tidak beres di panti asuhan ini. Kami biasanya tidak mengunjungi panti yang sama secara konsekutif. Yah, tidak buruk juga pikirku karena dengan demikian, aku dapat bertepu dengan Z lagi minggu depan.
Kupandang Z sekali lagi. Dia masih memainkan kalungnya. Kuusap kepalanya sekali lagi dan berkata "Minggu depan gua ke sini lagi yaaa".
Aku tidak menunggu ataupun mengharapkan balasan darinya dan segera beranjak keluar. Sekilas aku bisa melihat Mike sedang menggeleng-gelengkan kepalanya.
Di luar, tampak anak-anak sedang asyik bermain dengan anggota kami yang lainnya. Ketua pun menyambangi mereka satu persatu untuk menanyakan situasi mereka dan memberitahukan untuk bersiap pulang.
Sementara itu, aku menggunakan kesempatan ini untuk berbicara kepada Mike.
“Kak, aku kan enggak enak kalau tanya ke Pak A.......”
Belum selesai aku berbicara, dia memotongnya “ Atherosclerosis”.
“Ha?”
“Nama penyakitnya”
“Oh...”
“Ga bisa dibilang penyakit juga sih, itu lebih kayak kelainan...”
Tentu saja aku tidak pernah mendengar nama penyakit itu.
“Jadi suatu hari pasti akan menyebabkan stroke ke dia” lanjut Mike.
Betul apa yang dikatakan ketua kami, masa depan Mike pasti akan cerah- bagaimana tidak, dia bisa membaca pertanyaanku bahkan sebelum aku menanyakannya. Ataukah aku terlalu polos sehingga aku gampang terbaca?
Pembicaraan kami terhenti ketika Mike melihat Bapak A masuk ke ruang keluarga. Ketua kami tampak menyambangi Bapak A. Untuk berpamitan mungkin.
Benar saja, sesaat kemudian Bapak A berjalan ke tengah ruangan. Bak seorang pemimpin dia memberikan pidato penutup. Isinya? Kurang lebih sama dengan ketika kami datang. Setelah berpamiit dengan anak-anak dan Bapak A, kamipun kemudian masuk ke dalam mobil masing-masing dan beranjak dari lokasi.
Di perjalanan pulang, aku banyak mengobrol dengan Frans, anggota kami yang juga berprofesi sebagai dokter, seputar penyakit stroke. Aku sama sekali tidak menyinggung penyakit Z kepadanya.
Tetapi hatiku mulai terusik. Memang penyakit seperti itu bisa membuatnya hampa seperti sekarang?
Aku pun terlarut dalam pikiranku.
Masih terbayang tatapan kosong tanpa semangat Z
===============================
“Terima kasih, Tuhan”
“Karena kamu telah memberiku keluarga sebagai tempatku bernaung...”
“....Walaupun aku membenci mereka”
===============================
Sepulangnya dari panti, aku harus menjalani suatu fase yang sudah menjadi rutinitasku setiap aku keluar rumah- berdebat... tidak, berargumentasi dengan orang tuaku. Begitu menyandarkan tasku di atas kursi, ibuku –seperti yang sudah diprediksi- langsung memarahiku.
“Sentot! Udah Mami bilang kalo sabtu itu BELAJAR! Bukan malah keluyuran terus!” bentak ibuku dengan nada yang sangat tinggi. Suaranya yang menggelegar bahkan membuat Mbok Muh yang sedang memasak tersentak.
“Iya mi, nanti Sentot bela...”
Ibuku langsung menyambar tanpa membiarkanku menyelesaikan kalimatku. “Nanti, nanti, nanti kapan?? Ampe kamu udah ga naik kelas baru mau belajar?”
Kuakui bahwa aku memiliki ego yang tinggi. Anak-anak remaja pada umumnya mungkin akan mengalah dan diam demi menghindari konflik lebih lanjut. Tapi, demi harga diriku, aku menjawab, “Mami, naik kelas itu pasti, tapi...”
“Jangan ngejawab kalau dinasehatin! Dasar anak gak tau sopan santun!” potong ibuku lagi. Aku yakin kalau dia menyadari bahwa apa yang diucapkannya salah. Segeralah dia berusaha meralat perkataanya – dengan memojokkanku lagi.
“Kamu pas SD selalu ranking dua. Bahkan juara umum. Tapi semenjak masuk SMP, nilai kamu menjadi hancur-hancuran! Kamu lihat kakakmu yang masih masuk 3 besar!”
Kemudian ibuku mengambil nafas panjang. Aku membuang mukaku dan mulai mengeluarkan barang-barang ku dari tasku. Aku sudah mempersiapkan mentalku untuk berargumen babak selanjutnya.
“Mami yakin ini gara-gara salah pergaulan! Mami nyesel masukin kamu ke sekolah itu! Teman-teman kamu ga ada yang bener! Padahal mami udah susah payah ngebesarin kamu, ka..”
“Ini ga ada hubungannya sama temen temen aku!” potongku dengan nada tinggi. Aku memang tidak suka jika teman-temanku disalahkan atas keputusanku sendiri. Well, memang kalau harus jujur, teman-temanku lah yang menyebabkan aku menjadi seperti ini. Aku masih ingat perkataan ketua Socialite pada saat aku baru bergabung masuk ke komunitas itu: ‘Tidak harus mendapat nilai tinggi di sekolah untuk menjadi orang sukses, tetapi lakukanlah apa yang kamu sukai dengan sepenuh hatimu. Hidup itu pendek, jadi jangan menyesal’.
“Kamu berani membentak mami???” amuk ibuku. Aku bisa merasakan amarah yang luar biasa darinya, walaupun aku tidak menatapnya. Mbok Muh pasti juga sudah terbiasa dengan adegan ini sehingga dia adem-ayem saja.
Ibuku kemudian mengeluarkan kertas tugasku. Di mata pelajaran geografi tersebut, aku mendapat nilai 6/8. Nilai itu termasuk di atas rata-rata kelasku, bahkan, hanya ada tiga orang yang mendapat 7/8 dan tidak ada yang mendapat nilai penuh.
“Kamu lihat ini? Lihat??! Nilai apa ini? Kamu bikin malu mami aja! Kokomu itu selalu mendapat nilai 9,5 atau 10 pas ujian geografi!”. Lanjut ibuku.
Jujur saja aku sudah bosan menjelaskan bahwa nilai tersebut sudah cukup bagus, dan mendapat nilai sempurna di sebuah tugas tidaklah mudah- karena tugas dan ujian merupakan hal yang berbeda. Aku juga sudah jenuh, bahkan sangat jenuh, ketika aku di banding bandingkan dengan kakakku. Memang dia merupakan orang yang pintar dan jago olahraga. Seseorang yang sangat kontras dibandingkan denganku. Aku yakin kalau sekarang dia juga sedang berolahraga bersama teman-temannya.
“Oke, mi, aku belajar sekarang” ujarku dengan lirih.
“Belajar atau main game lagi?” tanya ibuku untuk memastikan. Dia sudah tahu rupanya bahwa aku akan bermain game dan tidak akan belajar. Tapi aku memutuskan untuk mengacuhkannya dan berlalu begitu saja.
Aku sudah muak dengan keluarga ini. Ibuku selalu saja memaksaku melakukan hal-hal yang menurut dia benar tanpa memikirkan perasaanku. Dia bahkan tidak pernah menanyakan apa yang ku mau ataupun perasaanku. Bahkan ketika aku sakit, Mbok Muh lah yang selalu merawatku, walau kadang ibuku menengokku sekedar untuk mengecek apakah aku sudah sembuh. Memang aku masih muda, atau mungkin ini hanyalah sekedar jiwa pemberontak remaja, tapi aku merasa ini sudah keterlaluan.
Tidak hanya ibuku, bapakku juga bukanlah seorang figur ayah yang baik. Dia tidak pernah mengurusiku ataupun memberikan saran-saran yang membangun. Kami juga tidak pernah melakukan hal-hal yang biasanya dilakukan oleh ayah dan anak. Dia tidak pernah mengajariku naik sepeda, tidak mengajariku olahraga apapun, ataupun mengajariku memakai komputer. Jika ada pekerjaannya yang harus menggunakan komputer, biasanya aku atau kakakku yang melakukannya. Walau begitu, kalau aku melakukan suatu hal yang menyinggungya sedikit saja, dia tidak akan ragu-ragu untuk melayangkan pukulannya kepadaku.
Satu satunya yang bisa kuterima di keluarga ini adalah kakakku yang hanya terpaut setahun dariku. Mungkin hal inilah yang menyebabkan kami begitu dekat meski dia tidak pernah mengajariku pelajaran-pelajaran sekolah. Jika aku berargumen dengan ibuku, dia selalu bersisi dengan ibuku. Untuk mencari muka pastinya.
Begitu masuk ke kamarku, aku segera membuka komputerku untuk memainkan Ragnarok online, sebuah game online yang sedang populer.
===========================
“Aku sedang melarikan diri”
“Tapi sebenarnya aku tidak yakin mengapa aku berlari”
“Bukankah berjalan lebih baik daripada berlari?”
============================
Hari ini adalah hari yang paling kubenci di hidupku. Ya, tidak salah lagi, hari Senin! Kalau aku hitung-hitung, weekend masih sekitar lima hari lagi, dan itu sangatlah lama untukku. Aku selalu menantikan datangnya weekend, karena hanya pada akhir pekan aku dapat bertemu dengan keluargaku yang sesungguhnya – Socialite.
Socialite adalah sebuah organisasi yang didirikan sesaat setelah kerusuhan Mei 1998. Tujuannya hanya satu: untuk mengembangkan bakat-bakat pemuda-pemudi Indonesia. Tapi, seiring berjalannya waktu, visi tersebut berubah: untuk menjadi keluarga kedua untuk anggota-anggotanya. Anggota kami mencapai 40 orang, dan kami mengenal satu sama lain dengan dekat.
Semua anggota Socialite memiliki masalah yang membuatnya ditolak atau dijauhi oleh orang-orang sekelilingnya bahkan oleh keluarganya sendiri. Well, dalam kasusku, aku merasa disudutkan oleh keluarga-keluargaku.
“Woi, pagi pagi udah bengong aja lo!” sapa Budi, teman sekelasku. Sapaannya sontak membuatku kembali dari dunia mimpiku.
“Oi, Di! Ngagetin gua aja lo” jawabku sambil tersenyum. Budi merupakan teman mainku di sekolah. Kami sering melakukan hal-hal bodoh seperti membolos bersama.
“Bolos upacara ga? Mobil gua masih di belakang neh”. Dengan goyangannya yang khas, dia menepuk bahuku.
Singkat kata, kami berdua pun beranjak untuk ‘kabur’ dari sekolahan. Melalui pagar belakang yang bisa dilepas sedikit, kamipun berhasil keluar dari areal sekolahan ke lapangan parkiran mobil. Dengan menyelinap diantara mobil-mobil agar tidak tertangkap guru piket, kami akhirnya sampai ke mobil Budi yang tidak dikunci. Di dalam, Budi meminta supirnya agar mematikan mesin mobilnya agar tidak mencurigakan. Supirnya Budi memilih untuk meninggalkna mobil, mungkin karena agak gerah.
“Sabar yah Tot, abis si Prabowo lewat, gua nyalain lagi ntar AC nya”, jelas Budi. “Si Bowo gila banget deh, kumisnya kagak dipotong tiga taun kali ye ampe panjang gitu.. Udah gitu galak lagi, pengen gua tampol sekali kali”.
Baru saja Budi menyelesaikan perkataannya, dari kejauhan munculah Prabowo dengan kumis legendarisnya. Dia tampak sembunyi-sembunyi juga, mungkin agar tidak ketahuan oleh murid-murid kalau dia sedang patroli.
“Tentang Tot, kaca mobil gue kagak tembus pandang kok”
“Iya tau Bud” jawabku.
Tiba-tiba saja, Prabowo berhenti di depan mobilnya Budi. Kami berdua pun langsung terdiam dan berdebar debar. Apakah mungkin dia mengetahui kalau kita bersembunyi di dalam sini? Memang sih, mobilnya Budi terletak di ujung parkiran yang notabane tempat paling mencurigakan.
Benar saja, Prabowo kemudian menempelkan kepalanya ke kaca mobil sebelah kami, untuk mengecek apakah ada murid yang bersembunyi di dalamnya.
Setelah memastikan bahwa di mobil tersebut tidak ada siapa-siapa, Prabowo kemudian menempelkan kepalanya ke mobil Budi. Astaga, kumisnya dari dekat sangatlah menggoda.....untuk ditarik. Ingin rasanya aku mengambil jepitan baju untuk menariknya. Budi sendiri menahan tawa ketika menyaksikannya.
Dari arah Prabowo datang, muncullah pembantu rumah tangga yang usianya masih belia. Budi berbisik kepadaku “Lah? Itu kan pembantunya si Oyong”. Aku menganggukkan kepalaku untuk mengiyakan.
Kaca mobil Budi membuat kami bisa menyaksikkan adegan itu sepenuhnya. Prabowo sedang mencium dan meraba-raba tubuh Gadis itu! Budi memperhatikan gurunya dengan mulut menganga, sedangkan aku dengan cepat mengambil telepon genggamku untuk merekam semuanya.
Adegan itu berlangsung lama, bahkan sampai bel tanda upacara berakhir dan pelajaran pertama dimulai. Aku dan Budi yang berencana untuk masuk pelajaran pertama pun menjadi terusik. Pada jam pertama memang ada tugas yang harus dikumpulkan.
“Tot, gimana nih? Tugas sejarah udah susah susah gua buat, masa ga jadi dikumpulin gara gara si Bowo?”. Terdengar kekhawatiran yang sangat mendalam dari suara Budi. Aku juga tidak kalah khawatirnya- bagaimana tidak? Tugas tersebut memberikan kontribusi hingga 20% nilai total semester ini.
Di saat kami berdua memikirkan jalan keluar, kami melihat gerakan gerakan yang mencurigakan dari arah Bowo. Bowo tampak membalikkan tubuhnya dari mobil kami dan mulai memasukkan tangannya ke dalam rok sang gadis!
“Tot.. Tot... Gila nih!!” kata Budi dengan sangat girang. Tampaknya hilang sudah kekhawatiran Budi akan tidak terkumpulnya tugasnya. Tangan Budi bergetar dengan kencang, mulutnya pun terbuka semakin lebar.
Walaupun aku masih muda, tetapi hati nuraniku terketuk. Langsung saja aku membuka jendela mobil dan berbisi, “Pak Bowo, celananya basah lho”.
Pak Bowo langsung saja memegang celananya dan membuka risletingnya. Astaga, ternyata refleknya malah terbalik dari yang aku harapkan. Dengan cepat, aku berusaha untuk mengambil alih perhatiannya. Budi sendiri sudah tertawa terguling guling di dalam mobil, dengan suara pelan tentunya.
“Pak Bowo, jangan kasih liat kumis bawahnya juga dong” usahaku untuk yang kedua kalinya. Prabowo masih tidak menyadari kehadiranku dan Budi, padahal Budi sudah tertawa terpingkal pingkal. Untungnya, gadis itu menyadari kehadiranku dan mulai menangis, mungkin karena kaget. Atau mungkin karene menerima perlakuan tak senonoh dari Pak Bowo?
“Ihhhhh Mas Bowo!” Teriak gadis itu sambil berlari dan berlinangan air mata. Pak Bowo pun langsung panik dan membetulkan celananya.
“SENTOT! Dan kamu, siapa namamu??” bentak Pak Bowo dengan nada yang sangat tinggi. Terang saja, aibnya sudah disaksikan oleh muridnya sendiri.
Dengan kalem, aku menjawab ke Prabowo “Pak Bowo, saya sudah rekam apa yang terjadi dari tadi lho.... Gimana kalau kita bertiga pura-pura tidak terjadi apa apa?”.
“Kamu berani mengancam bapak?” tegas Pak Bowo.
“Ohh tentu tidak”, jawabku dengan senyuman menantang. Tampak keringat dingin bercucuran di wajah Pak Bowo. Akupun melanjutkan penawaranku. “Pak Bowo selalu piket tiap senin kan pak? Gimana kalau kita jangan ketemu satu sama lain tiap senin?”.
Wajah Pak Bowo memerah. Tanpa berkata apa-apa, dia pergi berlari ke arah pembantu Oyong pergi.
“Tot... Lo emang keren deh! Sumpah kalo gua jadi lo, gua passti udah abis dari tadi! Kepikiran juga yah buat ngerekam semua itu”, puji Budi.
Aku hanya mengeluarkan tawa kecil.
Walaupun aku pergi ke sekolah hanya untuk bertemu teman-teman, hal seperti inilah yang membuatku tetap pergi ke sekolah. Well, setidaknya mulai sekarang, setiap senin aku dan Budi dipastikan akan bolos upacara.
====================
They say I was far more mature than people of my age.
But I just can’t stand being childish.
=====================
@idans_true hahah thanks supportnya
@Truefull ID lo apa di forum sebelah? hahahaaha
Hari-hariku berlalu seperti biasa. Sekolah, sekolah, sekolah. Aku memang hanyalah seorang murid sekolahan biasa. Hubunganku dengan pacarku pada saat itu juga sudah mulai merenggang. Memang selain pertemuan kita di Socialite pada akhir pekan, kami tidak pernah mengobrol secara langsung walaupun aku satu sekolah dengannya. Tapi, tiap malam, aku pasti mengobrol dengan dia di Ragnarok Online.
“Luna, besok udah sabtu lagi neh, elo ikut ke panti ga?”
“Kayaknya enggak deh Tot, keluargaku lagi ada masalah... Kamu tahu kan?”
“Yahhhhh... Sepi dong ga ada elo”
“Wkwkwkwk enggak lah kan masih ada Kelly dan Joyce”
“Yah, still....”
Lalu dia pun mulai “curhat” mengenai kondisi keluarganya yang sedang rapuh. Ayahnya akan menikah lagi dengan seorang wanita lain, tetapi keluarga besar dari pihak ayahnya menolaknya. Bahkan keluarga dari ibu kandungnya pun mulai ‘menyerang’ ayahnya Luna. Luna pun tidak luput menghindari konflik dua keluarga ini. Sabtu besok, mereka akan bertemu untuk mencoba mengambil keputusan yang tidak merugikan pihak manapun.
Bagi sebagian anggota Socialite, hubungan dengan keluarganya tidak lah seperti yang mereka harapkan. Dan itulah yang menjadi landasan kenapa mereka memilih untuk mencari “keluarga baru” melalui komunitas Socialite. Mayoritas anggota Socialite adalah mahasiswa, tetapi ada juga yang masih duduk di bangku sekolahan. Di antara anggota Socialite, ada empat yang masih bersekolah di bangku SMP - Aku, Luna, Joyce dan Kelly.
Luna terus melanjutkan ceritanya sampai larut tengah malam. Dia menceritakan bagaimana dia berharap kalau dia tidak pernah dilahirkan karena dia merupakan korban ‘kecelakaan’ kedua orang tuanya. Kedua orangtuanya pun menikah karena didasari oleh rasa tanggung jawab, dan bukan karena cinta.
Aku lebih menyukai hubunganku seperti ini dengan Luna, sebuah hubungan yang virtual. Dan malam itu pun kulewati dengan membanding-bandingkan keluargaku dengan keluarga Luna.
Keesokan paginya, aku dibangunkan oleh sms dari Kelly.
“Eh, Joyce ga ikut hari ini.. Elo ikut ga? Kalo ga gw males neh”
*JDER*
Jujur saja mood-ku untuk ikut pada saat itu langsung berkurang drastis. Aku pun menimbang-nimbang akan ikut atau tidak. Jika tidak ikut, tentu saja aku akan bermain game kesukaanku, Ragnarok Online. Dan tentu saja, aku lebih memilih untuk bermain daripada pergi.
Akupun mengetik sms ke Kelly “Iye neh, males gw, kayaknya gw ga per.”. Belum selesai aku mengetik, terbesit di benakku dua orang cakep yang akan aku temui hari ini kalau aku pergi, Z dan Kelly. Lagipula aku penasaran dengan apa yang ketua maksud. Tombol delete pun ke tekan. Kutulis lagi dari awal “Pergi gw.. Ketemu di tempat biasa yah”.
Di sebuah restoran di bilangan Jakarta Pusat, aku menunggu Kelly seorang diri. Bukannya dia yang telat, tapi memang aku yang sampainya terlalu awal. Maklum, hari itu tidaklah begitu macet. Lima menit menuju jam sebelas, waktu yang ditentukan, Kelly terlihar berjalan dengan celana jeans biru khasnya.
Sekilas tentang Kelly, dialah orang pertama yang berbicara padaku ketika aku bergabung dengan Socialite disamping pacarku si Luna. Waktu itu, Joyce belum bergabung dengan Socialite dan dialah satu-satunya orang yang seusia dengan aku dan Luna. Kelly adalah seorang anak yang tinggi, kurus, dan tampan. Kedua orang tuanya sangatlah kaya raya. Ketika pertama kali bertemu dengannya, dia terlihat sangat malu-malu. Karena kasihan, aku kemudian menyapanya duluan (padahal ada maksud lain).
Kembali ke masa sekarang, kuperhatikan ada yang berbeda dengan dia.
“Tumben elo ga bawa kamera?” Tanyaku padanya. Dia memang hobi fotografi- sebuah hobi yang kurang diminati oleh anak-anak SMP.
“Iyah, repot nanti bawanya ke Kendo” jawabnya, merujuk kepada kebiasaanya untuk latihan Kendo seusai berkumpul dengan Socialite.
“Eh, elo jadi mau ikut Kendo ga?” tanyanya kepadaku sambil menarik kursi dan duduk.
Jujur, aku bukanlah tipe orang yang suka olahraga. Aku lebih memilih untuk bermain game di rumah. Tetapi, aku berpikir, siapa tau di tempat Kendo nanti aku dapat melihat bodynya Kelly saat dia ganti baju. Maklum, anak-anak usiaku memang sedang ‘gatel-gatel’ nya.
“Boleh deh, mumpung gw kosong banget nih.. Eh elo mesen Bakmi yang biasa kan?”
“Oh sip, ntar ikut gw aja, gw ada sopir n mobil. Iya, bakmi. Udah pesen?”
“Udah dong”, jawabku.
Tidak ada pembicaraan lebih lanjut selain sapa-menyapa tersebut. Hubunganku dengan Kelly sangatlah aneh. Kami jarang mengobrol dengan satu sama lain, tapi kami merasa bahwa kami sudah seperti saudara kandung.
Seusai menyantap makanan kami, kami menuju ke markas socialite yang tidak begitu jauh dari tempat kami makan. Sesampainya di sana, hanya terlihat sedikit anggota yang hadir.
“Yap mari berangkat, kalianlah yang terakhir” Kata Wayan, ketua kami. Sebelum aku sempat bertanya, dia melanjutkan. “Yang lain berhalangan hadir kali ini”.
Di perjalanan kali ini, aku satu mobil dengan Wayan. Rasa penasaran begitu menggerogoti otakku. Tapi, lagi-lagi, dia pun menjelaskan tanpa kutanya. Rasanya aku baru saja bertemu dengan seseorang yang mirip dengannya minggu lalu di panti asuhan. Entah siapa namanya, aku sudah lupa.
“Jadi begini..”, mulainya. Wayan memang tidak pernah diam walaupun sedang menyetir.
“Setelah gw selidikin lagi, tampaknya panti itu yang menyutuh Riri untuk mengamen.”, lanjut Wayan. Lampu lalu lintas di depan kami berubah menjadi merah. Dengan luwes, Wayan menghentikan mobilnya.
“Kalian ingat kan kemarin ada satu anak yang tidak di rumah? Gw yakin itu adalah Riri yang sedang mengamen”. Lanjutnya.
Riri merupakan seorang anak berumur 12 tahun yang kami temukan sedang mengamen di perempatan lampu merah di dekat Mal Taman Anggrek. Kami sempat mewawancarai dan menanyai dia tentang kehidupannya. Dia dipaksa untuk mengamen oleh orang-orang yang mengaku sebagai 'penjaganya'.
“Kalau kita beruntung maka kita akan bertemu dengan Riri hari ini”, tutur Wayan sambil menancap gasnya. Aku sendiri tidak menyadari bahwa lampu lalu lintas di depan kami sudah berubah menjadi hijau.
Inilah realita kota besar di Indonesia seperti Jakarta, tidak mengagetkan. Banyak panti asuhan yang seperti ini pikirku. Menjual anak-anak, menyewakan anak-anak ke bandit jalanan untuk mencopet atau mengemis. Di saat anak-anak lainnya sedang belajar atau bermain, anak-anak ‘sewaan’ ini menjalani kehidupan sebagai sebuah ‘benda’ untuk menghasilkan uang.
==============================
Compared to Luna or Riri, I am lucky enough to be what I am and have what I have.
Or are they just being the unlucky ones?
==============================
Panti asuhan itu masih sama seperti yang kulihat minggu lalu. TIdak ada perubahan sama sekali. Hanya saja, kali ini tidak ada sambutan dari Bapak A. Maklum, kedatangan kami kali ini sama sekali tanpa pemberitahuan. Ketika kami memasuki bangunan itu, tampak Bapak A tersentak kaget dan segera beranjak dari kursinya untuk menyambut kami.
“Aduh selamat datang... Maaf anak-anak sedang makan saat ini...”, sambut Bapak A sembari menyalami Wayan. Entah kenapa, dia tidak terlihat begitu nyaman oleh kedatangan kami.
“Ah tidak apa-apa, kami kebetulan membawa pizza untuk anak-anak”, jawab Wayan dengan senyuman menantang.
“Wah sayang sekali, tampaknya mereka sudah kenyang, mungkin jika anda datang lain waktu....”
“Oh tidak apa-apa, mungkin pizzanya bisa ditinggal untuk makan malam, kami permisi masuk ya?”
‘Pemaksaan’ ketua kami sungguh terlihat begitu jelas. Wajah Bapak A juga terlihat seperti campuran seseorang yang sedak panik, marah, dan tegang.
Kami tercengang, terdiam untuk sesaat melihat apa makanan yang dimakan oleh anak2 di panti tersebut. Di atas meja, terdapat tiga piring makanan yang belum disentuh. Sepertiga piring itu diisi oleh nasi dengan beberapa sendok tauge. Tidak ada daging maupun telur yang sangat penting untuk pertumbuhan mereka.
Beberapa anak yang sedang menyantap makanannya menaruh sendok yang mereka pegang untuk melihat ke arah kami. Seperti minggu lalu, mereka kemudian sibuk melanjutkan aktifitas mereka tanpa mengacuhkan kami. Tidak ada yang menyapa kami, mungkin karena tidak ada “konduktor” seperti biasanya.
“Pak A, ini....?”, tanya Wayan dengan nada dengan penuh iba. Kami yakin perasaan Wayan sama dengan apa yang sedang kami rasaman sekarang.
“Oh, kami saat ini sedang kesulitan keuangan, makanya kami tidak menyediakan banyak lauk untuk makan siang.” Jelas Bapak A terbata-bata. Jawabannya yang begitu cepat tidak tampak seperti dibuat-buat. Tapi bagi kami, jawaban itu seolah seperti sudah disiapkan sebelumnya.
Untuk menghindari konflik, Wayan mengambil jalan yang lebih diplomatis, “Oh begitu? Pantas anak-anak ini begitu kurus. Mengapa Bapak tidak memberitahu kami?”.
“Mana mungkin saya memohon mohon kepada anda, kami juga punya harga diri, pak,” terang Bapak A. Dia menghela nafas panjang, “mungkin kalau anda ingat, minggu lalu saya pernah katakan bahwa kami sesungguhnya lebih membutuhkan uang”.
Munafik. Terlalu munafik.
Kelly kemudian masuk membawa pizza-pizza yang telah kami bawa untuk mereka. Mereka pun segera mengerebuti makanan itu bak semut. Pizza yang bagi kami harganya tidaklah seberapa, tampak seperti suatu kemewahan untuk mereka.
Bapak A tampak tidak nyaman dengan pemandangan ini. Dia pun berdalih akan membelikan lauk untuk makan malam di pasar dan mohon diri seraya memanggil Mike untuk menemani kami.
Wayan tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk menginterogasi Mike. “Mike, kamu kan yang paling dewasa di sini. Sudah lamakah kalian seperti ini?”
Mike menjawab dengan nada rendah “Yaa... Gimana yah, sekali seseorang udah terbiasa, enggak bakal terasa apapun kok”. Ekspresi wajahnya menunjukkan ketabahan seseorang yang luka lamanya dikorek kembali. “Dulu lebih parah lho, makan bisa cuma dua kali sehari.
Makanya biasa aku makannya cuma pagi sama malam, biar makan siangku bisa dibagiin ke anak-anak. Mereka kan masih pertumbuhan, butuh banyak makan tentunya”, lanjut Mike seraya menunjuk ke piring-piring di atas meja. Wayan tidak tega melihatnya dan menghentikan interogasinya.
Tidak sampai 10 menit, pizza tersebut telah habis diserbu oleh anak-anak itu. Mereka pun tampak semakin akrab dengan anggota-anggota kami. Yah, seperti habis disuap. Riri terlihat berbicara kepada Frans dengan riang.
“Tuh kan Tot, ada Riri” tunjuk Wayan. Riri tampak mengenakan baju yang jauh lebih layak dibandingkan ketika kami melihatnya saat sedang mengamen. Seperti kebanyakan anak-anak usianya, dia tampak riang.
Terheran, Mike bertanya “Lho, kok kalian kenal Riri? Dia kan ga di sini minggu lalu”.
Wayan kembali menatap Mike. “Jadi begini, Mike...”. Wayan pun kemudian menceritakan pertemuan kami dengan Riri, dan apa maksud kami datang ke tempat ini. Mike tidak terlihat tersentak sama sekali. Dia kemudian terdiam sejenak, sebelum berkata, “Tapi maaf, aku tidak bisa membantu kalian, karena bagaimanapun juga aku berhutang budi oleh panti ini”.
Wayan, masih dengan gaya diplomatisnya, dengan cepat menjawab “Oh tidak apa-apa, saya mengerti..... Kok anak-anak masih memakai baju yang kurang layak? Kemana baju-baju yang kami berikan kemarin? Kemana juga sepeda yang kami berikan?”.
Baru kusadar, papan catur yang hendak kumainkan juga tidak ada di antara tumpukan mainan. Barang – barang yang kami berikan seolah raib ditelan bumi.
“Wah, aku ga gitu ngerti. Coba tanya Pak A saja” elak Mike.
Di sudut ruangan, Riri terlihat sedang tertawa bersama Frans. Wayan seolah teringat sesuatu. Wayan kemudian menghitung jumlah anak di ruangan itu. Kurang satu anak. Dan kita berdua tahu siapa yang menghilang. Wayan pun bertanya kepada Mike: “Ini jam makan dimana semua anak berkumpul bersama untuk makan, betul?”
Mike mengangguk.
“Jadi minggu ini giliran siapa yang mengamen?”.
Hatiku berdebar cepat. Sejak awal aku menginjakkan kaki di panti ini hari ini, aku tidak melihat dirinya. Dengan nada pelan, aku bertanya kepada Mike.
“Bukankah dia ada penyakit? Kenapa....?”
“Itulah konsep keadilan yang Bapak A ajarin ke kita semua” terang Mike.
Wayan yang masih menunggu jawaban Mike, segera menarik bajuku. Tampaknya dia sudah sadar akan apa yang terjadi.
“Dimana Z mengamen hari ini?” tanya Wayan kepada Mike.
“Di tempat kalian menemukan Riri, tempat mengamen kami selalu sama”
Astaga. Tempat itu lumayan jauh dari panti ini. Sekitar 45 menit menggunakan mobil.
Wayan menyuruhku untuk memberitahu anggota yang lain bahwa kami akan segera kembali selagi ia mengambil mobil yang terparkir di seberang jalanan. Akupun meminta bantuan Kelly dan Frans untuk memberitahu yang lain.
Di lorong menuju pintu keluar, aku melihat Wayan dan Bapak A sedang berkonfrontasi.
“Hah? Masa? Dasar anak nakal! Padahal saya sudah sering ajarkan untuk tidak mengamen, tetapi masih saja ada yang melanggar!”, kata Bapak A dengan nada tinggi. Dia terlihat memasukkan ponselnya kedalam saku bajunya.
Bagai berbicara kepada batu. Wayan menahan emosinya dan segera bergegas ke mobil. Aku mengikuti di belakangnya, setengah berlari.
Banyak pikiran yang berkecamuk di dalam kepalaku. Aku membetulkan kacamataku dan menghela nafas panjang.
==================================================================
I believed that those who said “Everyone have equal chance, and what kind of life they live will be completely up to them”,
have a really small, small world.
==================================================================
Bahasanya yang lugas dan bermakana.
Boleh tanya Luna itu cewe apa cowo? Kalo cewe, sebenernya si sentot ini bisex atau gay?
Lanjut yaaaa..
Luna itu cewek..
Orientasi seksnya.... ambigu
Nanti perlahan-lahan diceritain kok hahaha
btw thanks masukannya
@truefull:
ohhhh anda... hahahaha... thanks banget xD