BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Those Days with You - Romance and Reality (Based on True Story)

2»

Comments

  • Those Days with You 7: Sentot – The Hermit, and the Boy


    Sinar matahari di Jakarta, seperti biasa, sangatlah terik pada hari itu. Karena tidak tahan dengan hawa panas di dalam mobilnya, Wayan membesarkan AC mobilnya. Kami sedikit bertukar pikiran mengenai apa yang terjadi. Hatiku terasa panas ketika berdiskusi dengan Wayan, apakah hal ini disebabkan oleh panasnya cuaca di Jakarta?

    Memang, ada rasa khawatir tentang Z di kepalaku, tetapi tidak sampai membuatku panik. Mobil yang dikemudikan oleh Wayan juga tidak melaju dengan kecepatan tinggi mengingat macetnya Jakarta. Aku juga sesekali membuka telepon genggamku untuk menanyakan keadaan di panti melalui SMS. Dari yang Kelly sampaikan, tampaknya Bapak A dan Mike sedang pergi ke pasar untuk membeli lauk di pasar.

    Setibanya di lokasi, kami tidak bisa menemukan Z di sekitar lampu merah perempatan.

    “Mendingan cari tempat parkir dulu dah” saranku kepada Wayan.

    Untung saja ada sebuah pusat perbelanjaan yang tidak begitu jauh dari lokasi kami. Kamipun memutuskan untuk memarkirkan mobil di tempat tersebut, lalu kemudian berjalan kaki menuju ke perempatan tadi.

    “Emang bos ada ide dimana Z berada? “ tanyaku.

    “Yah enggak lah, makanya kita cari tahu”

    Sebenarnya sosok kami berdua yang tengah mencari Z merupakan pemandangan yang aneh di lingkungan itu. Kami tampak seperti turis yang sedang tersesat dan mencari jalan.

    Di tepi jalan, kami melihat ada dua orang pengemis, yang satu merupakan seorang ibu-ibu setengah baya, sedangkan yang satunya merupakan seorang kakek-kakek. Kebetulan, lampu lalu lintas sedang menyala hijau saat itu, dan Wayan langsung saja menghampiri kakek-kakek pengemis berpeci yang sedang duduk di trotoar itu. Terlihat kaki kirinya telah diamputasi.

    “Pak, kemana yah anak-anak pengamen yang mangkal di sini?”, tanya Wayan tanpa basa basi.

    Kakek tersebut berusaha melihat wajah Wayan, tetapi tampaknya tidak berhasil karena Wayan terlalu tinggi untuknya. Wayan berempati dan kemudian menjongkok agar tatapan mata mereka berada pada tingkat yang sama.

    “Ah, kalian mau wawancara mereka lagi?” tanya sang kakek. Aku baru ingat, kakek ini juga turut hadir saat kami mengobrol dengan Riri. Kalau tidak salah, kakek ini sudah lebih dari dua tahun mengemis di jalan ini. Dulunya, dia bekerja sebagai pengantar koran. Sayangnya, tiga tahun yang lalu dia menjadi korban tabrak lari yang membuatnya kehilangan kaki kirinya. Dia pun dipecat dari pekerjaannya karena hal itu. Satu tahun sudah kakek ini mencari pekerjaan, tetapi apa daya tidak ada yang mau menerimanya karena ia cacat.

    “Oh tidak pak, kami hanya ingin menjemput salah seorang dari mereka” jawab Wayan dengan sopan.

    “Hahaha, kalian anak muda memang aneh-aneh... Kemaren wawancarain anak-anak, sekarang mau ngejemput mereka? Hahahaha memangnya dia siapa kalian? Ah sudahlah, sepertinya mereka sedang ‘melapor’ ke ‘atasan’ mereka”, tutur sang kakek dengan panjang lebar dan setengah tawa.

    “Hahahaha, bapak tahu tidak kemana mereka melapor?”, korek Wayan lebih jauh.

    Kakek tersebut sedikit bergumam, sebelum akhirnya balik bertanya. “Itu tergantung, kali ini kalian mencari pengamen yang seperti apa?”.
    “Yang kurus” jawab Wayan.

    Lampu lalu lintas kembali menjadi merah, tetapi kakek tersebut tidak beranjak dari duduknya untuk mengemis. Itu artinya, kami tidak harus menunggu sampai lampu hijau selanjutnya. Aku dapat melihat wajah tua itu mengerenyit yang semakin memperlihatkan keriputnya. “Kalian tahu kan hampir semua pengamen di sini itu kurus?”, jawab sang kakek sambil tertawa.

    Menurut logika memang hampir semua pengemis begitu. Aku pun berusaha untuk menerangkan lebih ditel tentang ciri-ciri Z.

    “Yang tatapan matanya hampa” tambahku, kehabisan ide.
    Kakek itu kembali tertawa, kali ini lebih keras dari yang sebelumnya. Ketika tawanya berhenti, dia melanjutkan, “Nak, kamu kira saya perhatiin mata anak-anak itu satu per satu?”

    Wayan, yang sudah tidak sabar, segera memotong pembicaraan aku dan sang kakek “............. Yang (maaf) Cina, pak” disusul dengan pekikan menahan geli. Wayan memang blak-blak-an saat berbicara tentang ras, tetapi bukan berarti dia rasis.

    “Oh, kalau itu saya tahu! Namanya Ali kan? Dia pasti ada di dekat halte sekarang”, jawab sang kakek cepat.

    Dalam hati, aku bertanya, “Ali? Who the hell is Ali?”, mungkin saja Ali merupakan nama orang yang 'menyewa' Z pikirku.

    Sebelum aku sempat menjelaskan bahwa orang yang kami cari bernama Z dan bukan Ali, Wayan mengeluarkan uang Rp. 10.000 dari kantongnya.
    “Makasih, pak” katanya seraya menyerahkan uangnya kepada si kakek. Kakek itu tersenyum lebar dan memasukkan uangnya ke dalam saku bajunya.

    “Hahaha sama-sama nak, makanya kakek paling senang kalau ada orang seperti kalian datang kemari! Sering-sering yah berkunjung ke sini!” canda sang kakek. Wayan hanya membalasnya dengan senyuman.
    Halte terdekat dari perempatan tersebut tidak berjarak terlalu jauh. Hanya sekitar tujuh menit. Untuk memastikan, aku kembali bertanya kepada Wayan.

    “Memang siapa Ali?”

    “Z”.

    “Hah?”.

    “Iya, Ali itu nama tengahnya. Itu juga nama panggilannya di panti”, terang Wayan.

    Bisingnya jalanan di Jakarta membuat komunikasi kami menjadi sulit. Kami memutuskan untuk tidak berbicara dulu. Sangat pilu hatiku jika harus membayangkan bahwa orang-orang ini – si kakek, ibu-ibu paruh baya, Riri, dan juga Z- harus menghadapi hal seperti ini setiap harinya. Teriknya matahari, polusi udara, bisingnya suara klakson dan baunya got-got di jalanan, tampaknya sudah menjadi hal yang biasa bagi mereka. Pikiranku mulai terganggu lagi. Hidupku selalu berkecukupan. AC, sekolah, tempat tinggal yang nyaman, dan juga akses kesehatan sudah menjadi bagian yang tak terlepaskan dari hidupku.

    Aku semakin menyakinkan diriku, bahwa hidup tidak seadil itu, kan?










    =====================================


    Something is wrong with this system.

    And I have determined to change the system, however small it may be.

    Though years later, I laughed at my naivety back then

    =====================================
  • di gif udah part 35 ya :)
Sign In or Register to comment.