It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Chapter 1
Sejam lebih jemputanku juga belum datang. Aku masih bingung berada di sini. Sepanjang mata memandang hanya ada hiruk pikuk manusia. Sibuk dengan urusannya sendiri. Sementara aku tak tahu arah. Tak mengenal siapa pun. Semuanya terlihat sama. Badan putih dan mata sipit. Bergerak dinamis dan sangat cepat.
Aku semakin panik. Apa yang harus aku lakukan jika tidak ada orang yang menjemputku. Ibu cuma dua kali menghubungi jepang, dan dikonfirmasi akan menjemput. Tapi pastinya aku juga tidak tahu. Apa aku akan tidur di bandara? Atau segera beli tiket dan kembali ke Indonesia? Pikiranku mendadak kacau dan blank. Belum lagi kemampuan bahasa jepangku sangat dangkal. Aku baru lulus level N4 pada JLPT (Japanese-Language Proficiency Test). Tes kemampuan bahasa jepang. Aku hilang. Di Jepang!
Apa ini karma karena memaksa ibu agar mengirimku ke Jepang?
Sebulan yang lalu aku memaksa Ibuku agar tahun ini bisa ke jepang. Setidaknya aku ingin melihat makam ayahku. Atau mengunjungi kerabat di sana. Mau tidak mau, aku ini juga berdarah jepang. Ada ikatan batin yang mengharuskanku ke sana. Walau barang cuma sekali seumur hidup.
***
"Ano, sumimasen ga. Kimi wa Naoki desu ka? 1" suara kecil mengagetkanku. Seorang pemuda menepuk pundakku. Aku taksir berumur 18 tahun. Sama sepertiku.
"Ah, hai watashi da! 2" sahutku langsung melonjak. Javas Naoki Sastrawidjaja. Nama pemberian Ibuku. Nama yang menjadi simbol darah campuranku. Darah gadis jawa ningrat dan seorang Jepang. Darah yang memberiku mata mungil dan kulit coklat muda. Paduan apik dua gen yang bersilangan.
"Indonesia jin desuka? 3
"So da ne. Boku wa Indonesia jin da. Indonesia go hanashimasuka? 4"
"Bisa sedikit." jawabnya singkat sambil tersenyum renyah.
Aku membalas senyumnya juga. Lalu kita berbarengan tertawa. Sangat riang, hingga suasana kian cair dan akrab.
Dari perbincang berbahasa campuran baru aku tahu kalau dia itu pembantu. Orang yang dibiayai oleh keluarga ayah. Seorang yang selama ini dianggap cucu oleh orangtua ayahku. Pekerja keras yang mau disuruh apa saja. Mengabdi untuk orang yang sudah dianggapnya keluarga.
Setelah makan untuk ganjalan perut. Akhirnya aku diajak olehnya untuk ke rumah keluarga ayahku. Menembus malam di Tokyo yang sangat gemerlip. Sepanjang mata memandang ada rerimbun merah jambu. Pohon sakura bermekar saat aku datang.
Arloji menunjukkan pukul 6 sore waktu Jakarta. Sementara di Jepang adalah pukul 8 malam. Mobil memasuki halaman luas. Sebuah taman lengkap dengan kolam koi menyambutku. Sebuah rumah cukup besar terlihat begitu kokoh di sudut sana.
1. Permisi, apa kamu Naoki?
2. Ah, iya itu saya!
3. Orang Indonesia?
4. Tentu. Aku orang Indonesia. Bisa berbicara bahasa Indonesia?
Mobil terpakir di ujung kiri rumah. Pemuda yang bernama Morita Hideki ini sigap mengangkat dua koperku. Aku masih diam melihat sekitar. Sebelum akhirnya ikut dengan dia masuk ke dalam.
"Naoki-kun ikuzo!5" ajaknya sambil melambai.
"Hai!" aku langsung berlari ke arahnya.
Aku sekarang berdiri. Pada dapan rumah yang cukup megah. Desainnya sangat tradisional. Rumah jepang kuno. Terlihat sangat indah dan elegan. Pintu-pintu dorong dengan kertas putih yang menempel. Bangunan dasar dari kayu. Semua membuat keindahan ini kian memancar. Begitu pintu terbuka genkan 6 menyambutku. Deretan geta 7, sepatu tertata rapi pada sisi kiri. Sandal dari kain warna-warni berjajar pada lantai yang lebih tinggi. Mirip sekali seperti yang pernah aku lihat pada drama tv jepang.
“Naoki-kun okaeri!8” seorang pria tua menyambutku. Berwajah mirip foto ayah yang pernah ditunjukkan oleh ibu. Hidung mancung, mulut tipis dan alis sediki tebal. Seperti kloning ayahku.
“Taa... tadaima... 9” sahutku sedikit kaku. Bukan suatu budaya di Indonesia berteriak, “Tadaima: aku pulang!” lalu orang rumah menjawab “Okaeri: selamat datang!”. Aku harus mulai terbiasa dengan budaya baru. Di rumahku juga.
“Ogenki desu ka? 10” orang yang mungkin kakekku itu terlihat sumringah melihatku. Sesekali senyumnya tersungging. Membelai kepalaku.
“Okagesama de genki desu. Ano, ojiisan wa ogenki desuka? 11” kataku sedikit pelan. Takut jika ada yang salah dengan kata-kataku.
“Aikawarazu, genki desu! 12” jawabnya penuh semangat.
Ternyata benar jika dia adalah kakekku. Buktinya dia tidak berkomentar saat aku panggil “Ojiisan 13”. Dia malah langsung menarikku ke dalam rumah. Mengajakku menuju ke dalam ruangan yang cukup besar. Ada foto ayahku pada atas meja kerja. Beberapa rak buku terlihat penuh. Tempat tidur dengan selimut tebal berwarna biru. Walau dari luar terlihat seperti rumah kuno yang nyentrik. Tetapi di dalam terlihat lebih modern bahkan mewah.
“Naoki-kun nihongo wo hanasu koto ga dekimasu ka? 14” Ojisan bertanya apa aku bisa berbahasa jepang. Mata berbinar. Mugkin berharap agar aku fasih dan bisa lancar berkomunikasi dengannya.
“Sukosi dake ojisan. 15” Sambil membentuk tanda kecil menggunakan telunjuk dan jempol. “Ojisan, indonesiago wo hanasu koto ga dekimasu?” tanyaku balik sambil memandang wajahnya.
“Zen-zen desu ne. 16” Jawabnya sambil menggaruk kepalanya. Pertanda ia tak bisa berbahasa Indonesia.
Setelah beberapa kali bingung dengan bahasa. Akhirnya aku tahu jika kamar ayahku ini sekarang menjadi kamarku. Bahkan Ojiisan sengaja memperbaiki dalamnya. Menambah beberapa aksen modern agar aku bisa betah. Sebuah personal komputer lengkap dengan koneksi internet. Sebuah LCD TV lengkap dengan player DVD-nya. Hampir mirip dengan kamarku di Indonesia. Bedanya mungkin hanya ornamen di dinding kamar. Lukisan alam dengan ada tulisan jepangnya. Mungkin itu haiku.
5. Naoki, Ayo!
6. Genkan : ruangan mencopot sandal dan sepatu.
7. Geta : sandal khas jepang.
8. Selamat datang Naoki!
9. Aku pulang!
10. Bagaimana kabarmu?
11. Baik-baik saja. kakek sendiri bagaimana kabarnya?
12. Seperti biasanya. Sehat.
13. kakek
14. Naoki bisa berbahasa Jepang?
15. Hanya sedikit kakek!
16. Nggak sama sekali.
Malam di jepang terkesan berbeda. Entah kenapa rasanya ada sesuatu yang mendesir di telingaku. Sepi memang, sama seperti saat malam di rumah. Namun apa karena aku berada pada tanah yang beda. Yang sebelumnya ibu bumiku tanah jawa. Sekarang ibu bumiku adalah daratan jepang.
Aku rebahkan badanku pada kasur yang terlampau empuk ini. Ku pejamkan mata sebentar. Rasanya seminggu lalu aku masih bersama teman-teman berkumpul. Bernyayi bersama dalam sebuah band. Mengaransemen lagu, mengotak-atik lagu, bahkan iseng mengamen di bus pakai lagu jepang. Sampai penumpang bingung dengan bahasa lagu yang aku dan teman lakukan. Tapi sekarang aku di jepang. Sendiri. Entah nanti bisa bertemu dengan teman seperti mereka atau tidak.
Nafasku berhembus kuat. Rasanya ada rasa menyesal di dada. Tapi walau bagaimanapun. Aku juga ingin mengetahui keluargaku yang ada di Jepang. Karena aku ada juga karena dua keluarga ini. Aku juga ingin merasakan udara dimana dulu ayah dan ibuku bertemu. Merasakan angin, bahkan hujan saat dulu ayahku bersekolah. Merasakan negara yang menjadi alasan kenapa ibuku bertahan tak mau menikah lagi. Negara penuh kenangan.
“Naoki-kun, kamu tidak mandi dahulu?” Hideki masuk sambil membawakanku handuk putih dan seperangkat perlengkapan mandi.
“Iya, kamar mandinya di mana?” tanyaku langsung bangkit dan melepas jaketku.
“Ayo ikuti aku saja. Handuknya kamu pakai disini saja. Biar pakaian kotormu aku bawa ke mesin cuci.” Katanya singkat. Lalu berbalik badan di ujung pintu. “Cepat lepas pakaiannya, air di ofuro 17 mungkin sudah hangat. Kau bisa berendam sekarang.”
"Tokoro de 18, bahasa Indonesiamu sangat lancar? Belajar dimana?" aku segera melepas pakaianku. Membelitkan handuk ke tubuh bawahku.
"Aku pernah 4 tahun hidup di Indonesia sampai umurku 9 tahun. Sebelum akhirnya kembali ke jepang dan dirawat oleh kakekmu." Jawabnya agak ragu. Nada suaranya sedikit merendah.
Aku berjalan mengikutinya perlahan. Menuju pada ruangan cukup besar. Ruangan cuci dan ada kamar mandi pada subruang di dalamnya. Ruangan dengan pintu geser kaca. Hideki terlihat mulai sibuk memasukkan bajuku pada mesin cuci. Sementara aku masih diam. Tidak tahu harus berbuat apa.
"Ofuro nya sudah penuh air. Coba kamu cek hangatnya. Terlalu panas atau tidak dengan kulitmu." katanya memecah diamku. Aku masih diam bingung dengan yang ia bicarakan.
"Maksud kamu apa?"
"Itu kotak air, atau mungkin bak untuk kamu berendam. Coba cek airnya."
17. Bath tup, kotak untuk berendam.
18. By the way.
Beberapa menit berendam rasanya tubuh jadi lebih lemas, rileks dan nyaman. Entah diberi apa airnya, rasanya sedikit wangi aroma terapi. Sangat membuatku betah. Tubuh terasa termanjakan saat berendam seperti ini. Berlama-lama berendam tidak akan membuatku bosan.
“Naoki-kun, aku tunggu di luar. Jika sudah selesai ke ruang makan saja. Tadi kau sudah dibuatkan makanan sama Ojiisan.”
“Hai, sankyuu Hideki-kun! 19”
Aku pakai baju mandi dan langsung keluar ruangan ofuro. Ah, rasanya segar sekali. Penat dan capek saat perjalanan akhirnya terbayar. Badanku terasa lebih nyaman. Tidak ada rasa capek yang sedari tadi menggerogoti badanku. Dengan santai dan agak bingung aku berjalan mengitari rumah. Sangat besar. Hampir aku tersesat dan tidak tahu dimana aku sekarang. Setelah hampir bingung dan bosan akhirrnya aku sampai pada ruang makan. Meja panjang dengan deretan kursi yang banyak. Sepertinya tempat berkumpul keluarga.
Cuma ada Hideki di sana. Menungguku mungkin sambil mendengarkan musik dari perangkat kecil pada sakunya. Headphone terlihat menggantung dan menyumbat telinganya. Aku mendekat perlahan dan duduk di kursi depannya. Diam melihat dia menggoyangkan kepalanya menikmati alunan musik. Rasanya sungkan harus mengganggu kenyamannya. Yasudah aku diam saja sambil mengamati ruangan ini dengan lebih seksama.
“Kau sudah selesai mandinya?”
“Ah, iya aku sudah selesai mandinya. Apa kau menunggu lama?” aku jadi canggung. Sepertinya aku cukup lama berendam tadi. Belum lagi kebiasaan bernyanyi. Jadi semakin tidak tahu waktu.
Dia cuma tersenyum. Lalu berjalan mengambilkanku piring. “Kamu makan saja dahulu agar menambah energi untuk besok pagi.” Hideki mengambilkan aku nasi secukupnya lalu menaruhnya di depanku.
“Aku ambil sendiri saja lauknya. Maaf merepotkan.”
“Tidak apa-apa. Ojiisan sudah menyerahi tugas agar aku menjagamu. Jadi semua yang aku lakukan itu adalah suatu keharusan. Kau jangan terlalu sungkan ya.” Hideki mengambilkanku kare dan beberapa lauk yang aku tak tahu namanya. “Ayo dimakan.”
“Iya, Itadakimasu! 20” seruku perlahan dan langsung menyantap makanannya. Masakan ojisan ternyata sangat enak. Mungkin suatu saat aku harus belajar masak dari beliau.
Aku menikmati setiap suapan yang masuk ke dalam mulutku. Ada sensasi beda makan di rumah Indonesia dan di sini. Entahlah, mungkin dari jenis nasi atau lauknya. Terasa lebih nikmat. Belum lagi aku dilayani bak raja seperti ini. Mimpi apa aku mendapatkan pelayanan ekstra seperti ini.
“Oiya, besok agak siang kamu akan aku antar ke toko elektronik. Pasti ponselmu tidak bisa dipakai di sini. Sekalian aku mengambil barang pesanan Ojiisan.”
“Aku selesai makan. Oh iya terimakasih.” Aku menepuk kedua tangan dan meletakkan sumpitku.
19. Iya, terima kasih hideki!
20. Ucapan sebelum makan. selamat makan!
Aku tersenyum kecil sambil mengangguk.
Hideki mengantarku lagi sampai kamar. Setelah itu aku langsung merebah ke kasur. Hari pertamaku di jepang, mandi pertama dan makan pertama. Semuanya sudah aku lalui dengan baik. Semoga akan lebih baik esok. Berharap akan banyak kejutan indah yang membuatku betah untuk tinggal di sini.
Aku berjalan ke arah koperku dan membukanya. Beberapa baju yang aku bawa aku tata pada lemari yang sudah tersedia. Beberapa baju batik untuk Ojisan dan keluarga dan aksesoris lainnya. Oleh-oleh khas Indonesia untuk mereka semua. Setelah semua yang ada di koper aku berjalan menuju jendela. Ruangan tempat aku tidur ini adalah di lantai dua. Jadi mungkin aku bisa melihat di bawah sana. Adakah keindahan jepang pada malam yang lumayan larut ini.
Jendela dari kayu aku buka perlahan. Udara dingin langsung menyambutku. Ada beberapa kelopak sakura yang masuk ke dalam kamar. Pada ujung sana aku bisa melihat jalanan yang tadi aku lewati saat menuju rumah ini. Sepi sekali. Hanya sesekali aku melihat patroli polisi menggunakan sepeda. Ada juga beberapa orang mabuk yang berjalan geloyoran. Mungkin orang yang habis pulang kerja.
Mata menangkap sesuatu pada bawah lampu jalan. Seseorang dengan baju sedikit nyentik terlihat menunggu sesuatu. Aku masih mengamati itu. Beberapa saat kemudian datang lagi seorang pria dengan jaket ponco. Aku kurang jelas melihatnya. Yang jelas mereka berdua terlihat sedang adu argumen. Lalu saling dorong-mendorong dengan kuat. Orang yang berpakaian nyentrik itu jatuh. Kemudian bangkit dan menghujamkan sesuatu.
Orang itu hendak menancapkan pisau pada pria berjaket. Mereka berkejaran dan akhirnya hilang dari mataku. Aku masih terlihat kaget. Di depan mataku akan terjadi peristiwa pembunuhan.
“Awh.”
Ada sesuatu memukulku. Mataku terasa temaram. Sebelum akhirnya gelap. Tapi aku menagkap siluet. Seperti orang. Memakai jaket berponco. Dengan lelehan darah di lengannya.
***
Cuma sedikit terganggu dg adanya angka2 itu..
Sedikit2 mesti turun ke bawah utk liat artinya,,
ntar ke atas lagi buat lanjut baca..
Ntar turun lagi..
Hufht..
Kan jd ribet.. Gak konsen bacanya..
Maaf yaa,,
padahal baguz ceritanya,,
keliatan lebih rapi..
Ta ya itu lah,.
Jd ribet bacanya..
Hehehe
lanjut lanjut
@FendyAdjie_ terimakasih sarannya. Sebenarnya iya juga sih. Tapi jika tidak diberi footnote juga susah. Tapi tenang, ini cuma bagian awal. Selanjutnya bakalan sedikit part bhs jepangnya.
Mending langsung ditranslate di sebelahnya..
Tp kayaknya kesannya kurang rapi ya..
Kan grey kayaknya udah jd penulis berbakat..
Jd mesti harus rapi tulisannya..
Hehehehe
@budak.kuper iya heheheh dimaklumin kok, makasih udah mau membaca...
Mirip apanya om? Ahaha
@FendyAdjie_
Suka digetok sama sensei nulisku kalau nggak rapi. Apalagi EYD kacau. Langsung disemprot..