It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@LED : tobleron-ku sekarang :P .... Wkwkkwkwkwk.
moga dpt yg sesuai keinginan @LED
masa sih LED jadi tobleron @lain :x
^^
mksdnya. si tobleron dah jadi milik aku sekarang
jadi malu nih dimiliki @lain :x
selmt dh nemu istri yg bisa ngertiin kamu;
si @irawan01 kyk nya msh bingung ce nya yg bisa diajak bareng gtu apa nggak...
doain gw yh...
"Akuilah sifat-sifat kehambaanmu, niscaya Dia akan membantumu dengan sifat-sifat kebesaran-Nya.
Akuilah kehinaan dirimu, niscaya Dia akan membantumu dengan kemulyaan-Nya.
Akuilah ketidakberdayaanmu, niscaya Dia akan membantu dirimu dengan kekuasaan-Nya.
Akuilah kelemahanmu, niscaya Dia akan membantumu dengan rekayasa-Nya dan kekuatan-Nya." [#178 al-Hikam]
@tobleron nasib nasib
cewek mu loro2 en mikirno pacar e sing super ganteng ngliriki co juga to?
bakal siap gk dek e mendampingi mu kelak?
lek aku siap kok...ummm...
...........
saya manusia biasa yang terus belajar untuk menjadi lebih baik lagi.
Menulis: Cintanya Datang Padaku Sebelum Aku Tahu Artinya Cinta
OPINI | 10 February 2012 | 07:51 77 7 2 dari 2 Kompasianer menilai inspiratif
Pepatah Arab bilang “atanihawaha qobla ana’rifal hawa. Fashoddaqol qolban kholiyan fatamakkana”. Artinya, cintanya datang padaku sebelum aku tahu artinya cinta. Dia menemui ruang yang kosong dan dia tertancap di hatiku.” Lumayan romantis juga kan?
Lalu, apa maksud dari pepatah ini? Begini. Ada kalanya kita menyukai sesuatu, bisa manusia, hobi, profesi, sebelum kita kenal dengan makna cinta. Kita tak sadar bahwa itu sebenarnya cinta. Saat itu menjadi kesukaan kita, hati kita itu kosong, belum ada sesuatu pun yang begitu mengental. Saat sesuatu itu terus-menerus kita sukai, kita lakukan, kita jalani, ujungnya kita tahu bahwa kita jatuh cinta. Ingatan akan sesuatu itu, saat hati kita “kosong”, dampaknya akan sangat lama. Seterusnya dan seterusnya.
Contoh gampang. Sejak kecil saya sudah sering diajak ayah menonton klub Liverpool bermain. Tayangan di TVRI waktu itu, kalau ada Liverpool main, pasti saya diajak. Dikenalkan. “Itu Liverpool,” kata ayah saya. Saya yang belum ngeh dengan bola, manut saja. Ruang hati saya barangkali waktu itu putih benar soal sepak bola. Maka, kalau sekarang saya ditanya klub idola, ya Liverpool jawabnya. Meski agak menerawang, saya masih bisa mengingat nama-nama pemain legendaris klub asal kota yang sama dengan band The Beatles itu: Ian Rush, John Barnes, Peter Beardsley, Kenny Dalglish, kiper Bruce Grobbelaar, dan sebagainya.
Artinya, saat saya suka dengan Liverpool, saya tak tahu arti “suka” atau “cinta” itu. Ia menelusup secara tidak disadari dalam otak kecil, mengendap di sana, dan menjadi sifat atau sikap.
Apa kaitannya dengan menulis? Sama saja. Kesukaan dengan menulis barangkali muncul saat saya mulai bisa mengeja huruf, membacanya, menuliskannya di kertas, bahkan mengimlanya. Usai majalah Bobo dibaca, saya acap diminta oleh bapak untuk mengulang cerita di dalamnya, dengan versi saya sendiri. Dan memasuki sekolah dasar, salah satu pelajaran kegemaran saya ialah mengarang. Saya yakin, saya belum jatuh cinta saat itu.
Masuk SMP saya makin menyukai menulis. Medianya majalah dinding. Tak seberapa sering, sesekali saja. Sampai jelang Piala Dunia 1994, kelas III SMP saya waktu itu, saya menulis profil 24 kiper yang berlaga di Piala Dunia Amerika Serikat. Bahannya ya dari bacaan tabloid Bola, majalah Sportif, dan koran lain. Buat saya, itu prestasi. Saya menulis ulang cerita setiap kiper itu dengan bahasa sendiri. Saya kliping sampai beberapa lama. Beberapa teman salut juga dengan ikhtiar menulis saya waktu itu. Saya juga yakin, saya belum benar-benar jatuh cinta dengan menulis. Tapi soal suka, sepertinya iya.
Saat SMA mulai menulis di diari. Apalagi saat kelas I mulai dipercaya menjadi ketua kelas. Hebatnya, meski dengan tata bahasa yang berantakan, diari saya tulis dalam bahasa Inggris! Dari mulai apa saja yang saya kerjakan hari itu, ada cewek baru di kelas, sampai dipercaya menjadi wakil ketua bidang ketakwaan di OSIS. Karena masih ada mading, media itu saya jadikan juga tempat menulis. Majalah Derap Pelajar (Deppel) juga sesekali saya isi dengan artikel. Kesukaan menulis bertambah. Apalagi kalau ada ulangan sejarah, tata negara, kertas HVS folio bergaris pasti saya minta lagi. Mengarang bebas, Bo! Apalagi saat didaulat menjadi ketua OSIS, saya makin gemar mengisi buku harian. Kalau ada even ekskul di mana saya harus hadir, saya hadir dan berpidato. Teksnya, minimal kerangkanya juga saya tulis. Dan di noktah SMA ini saya bertambah menyukai menulis.
Selepas SMA, dunia perguruan tinggi menanti. Dan saat memasuki pers mahasiswa Pilar Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Lampung, barangkali di situlah cinta saya tumbuh meski saya tak menyadari. Dari latihan menulis kemudian mengirimkan artikel ke Lampung Post yang beberapa kali belum juga dimuat.
Momentum itu datang di akhir 1999 saat satu artikel saya menembus halaman Opini Lampung Post. Dari sana kegilaan menulis bertambah. Setiap hari menulis. Dikirim. Tidak dimuat tidak apa-apa. Yang penting ide di kepala sudah disalurkan ke artikel. Begitu seterusnya sampai diterima bekerja di tempat yang sama: Lampung Post.
Dan saya yakin sekarang, itulah cinta pertama saya: menulis. Kata orang, cinta pertama itu teringat terus. Dan khusus menulis, tak sekadar ingat, tapi lebih pada praktik.
Kegemaran yang kemudian menjadi bagian tak terpisahkan dalam hidup. Dari menulis ini saya punya pekerjaan, karier, penghasilan, nama baik, dan istri.
*
Itulah cinta, di mana saat ia tumbuh, justru kita tidak mengetahui bahwa ia cinta. Dan menulis buat saya adalah cinta pertama. Betapa tidak, mayoritas hidup saya ya dari sini. Aktualisasi diri di organisasi yang juga berkelindan dengan menulis. Bekerja juga di bidang media massa yang seluruhnya soal teks, foto, dan grafis.
Dan cinta itu makin tumbuh saat medio 2010 istri saya mengenalkan Kompasiana kepada saya. Meski sempat kosong beberapa bulan tidak memposting artikel, selanjutnya bisa dibilang saya cukup aktif. Tidak sesering beberapa Kompasianer tentu saja karena aktivitas menulis di tempat kerja juga cukup menyita waktu dan konsentrasi.
*
Cinta itu, kata beberapa teman dan buku yang saya baca, intinya di ikhlas. Ikhlas itu tak pamrih dengan yang ia cintai. Menulis juga demikian. Ikhlas saja. Menulis, ya menulis saja. Soal nanti dia jadi artikel yang dipublikasikan di koran, jadi headline di Kompasiana, dan sebagainya, itu imbas saja. Sebab, cinta itu kan tulus. Tidak menyebut-nyebut apa yang sudah dilakukan. Kalau kemudian ada penghargaan dari situ, mendapat honor, menjadi instruktur menulis, menulis buku, dan sebagainya, semuanya dampak bagus dari menulis.
Karena menulis menemui ruang yang kosong dalam hati saya, ia bersemayam begitu lama. Sangat lama. Dan itulah yang terjadi sampai sekarang. Benar ternyata pepatah Arab itu: atanihawaha qobla anakrifal hawa. Fashoddaqol qolban kholiyan fatamakkana (cintanya datang padaku sebelum aku tahu artinya cinta. Ia menemukan ruang yang kosong dan ia tertancap di hatiku).
..........
Bukan Cinta Pertama, Tapi Terakhir
REP | 10 February 2012 | 06:52 278 10 3 dari 5 Kompasianer menilai menarik
13288335711701782433
From google
Julianto Simanjuntak**
Kalau saya mengenang kembali bagaimana saya jatuh cinta pada Wita, saya masih tersipu malu. Sejak pandangan pertama aku sudah suka. Tapi untuk menyatakannya, seperti … ah, tak terkatakan. Pokoknya takut.
Mungkin karena pernah trauma putus pacar dua kali, dan saya orangnya minderan. Sampai aku teringat nasihat bijak, “Dalam cinta tidak ada ketakutan. Kasih sejati melenyapkan ketakutan.”
Pandangan pertama
Kalau ditanya mengapa saya langsung menyukai Wita, bagaimana ya menjawabnya? Saya melihat kesederhanaannya. Pembawaannya tenang. Saya dengar dia wartawan. Dia pernah mengedit buku seorang dosen saya. Pertemuan pertama kami terjadi tahun 1985 saat saya masih kuliah di Malang, secara kebetulan saja. Setelah itu lama kami tidak bertemu. Sesekali saya mendengarkan cerita tentang Wita dan keluarganya dari teman-teman kampus.
Ajaib, tiga tahun kemudian, kami ternyata bekerja di satu kantor. Sungguh, saya percaya, DIA turut mengatur hal ini. Perkenalan kami mulai intens. Sesekali mengerjakan tugas bersama, rapat staf atau makan bersama.
Teringatlah kesan pertama saya pada Wita beberapa tahun lalu. Saya tergoda mencoba lebih dekat mengenal pribadinya. Saya banyak bertanya tentang minat, hobi, keluarga, hingga masa lalunya.
Ada yang menarik hati saya…
Wita anak sulung dari tujuh bersaudara. Ayahnya seorang dosen dan ibunya guru. Orang tuanya mengutamakan pendidikan anak-anak. keluarga ini relatif harmonis dan beriman. Dalam satu kesempatan acara kebersamaan kantor di Yogya, kami mengambil waktu berdua ngobrol tentang kehidupan kami masing-masing. Entah mengapa, sejak itu saya makin suka.
Perasaan itu bertambah karena saya merasa kadang Wita memperhatikan saya juga. Jadi geer, deh. Bayangkan, Wita membelikan makanan, kaos kaki, hingga mengajak nonton bersama. Perhatian itu membuat saya merasa istimewa di matanya.
“Sakitnya” Jatuh Cinta
Rupanya saya jatuh cinta. Susah tidur, suka melamun. Suka membayangkan wajah Wita. Ingin rasanya menyampaikan perasaan itu. Tapi, kok tidak punya nyali. Susah benar rasanya untuk mengatakan, “Aku cinta …”
Ah, benar-benar takut. Mengapa ya? Jatuh cinta serasa merana, awalnya. apa yang aku takutkan?
Aku takut ditolak. Itulah kekuatiranku yang utama. Bagaimana kalau ternyata Wita hanya menganggap saya sebatas sahabat atau rekan kerja? Bagaimana malunya kalau teman-teman kantor tahu bahwa cintaku ditolak? Membayangkan ditolak saja sudah mengerikan, apalagi mengalaminya. Saya pun mengurungkan niat itu.
Sampai suatu hari saya mendapatkan ide, untuk menuliskan saja perasaan cintaku. Saya teringat, dia pernah jadi wartawan, penulis. Dia pasti mengerti isi hati saya.
Segera saya mengambil pena dan kertas, menuangkan perasaan hati saya lewat sebuah cerpen. Isi cerita pendek itu adalah kisah tentang seorang pria yang jatuh hati tetapi tidak berani menyatakan isi hatinya pada seorang gadis… bla, bla, bla … Ceritanya sengaja saya kaburkan.
Lima halaman banyaknya. Tapi untuk menuliskan lima halaman itu butuh beberapa jam (saat itu belum ada komputer). Saya berkali-kali merobek kertas itu karena merasa tidak puas, menulis lagi, lagi, dan lagi. Sampai saya yakin tulisannya menurut saya bagus.
Keesokan harinya dengan hati berdebar saya menemui Wita usai makan siang. Dengan mengumpulkan seluruh keberanian saya memberikan surat itu kepadanya. Saya meminta agar Wita membaca dan memberi respon secepat mungkin.
Beberapa hari kemudian, Wita mengajak saya bicara. “Julianto, saya tidak mengerti suratmu,” katanya, “siapa sih yang kamu maksudkan? Siapa ya pria dan wanita dalam surat itu…. kok nggak jelas?”
Dugggg! Jantung saya berdegup kencang. Bibir saya kelu sesaat. Saya merasa kepalang basah, mending mandi sekalian. Dengan menguatkan hati, saya menjawab, “Prianya saya, dan perempuannya kamu!”
Waaaaww, saya benar-benar berani…..tembak langsung … tersisa rasa malu, tapi apa boleh buat. Saya harus tegar dan siap menanti jawaban Wita
Saya merasa waswas. Setiap detik terasa lama. Namun saya kuatkan hati lagi dengan kata bijak di atas, “Kasih melenyapkan ketakutan.”
Tiba-tiba Wita bersuara, “Julianto, sorry ya, saya tidak bisa jawab sekarang. Saya pikir-pikir dulu… .”
Horeee…! Jawaban itu menyejukkan hati. Walaupun tidak mengiyakan dengan jelas, tapi Wita tidak juga menolak. Saya lega luar biasa
Bukan Cinta Pertama, Tapi Terakhir
Suatu hari Wita dan saya sepakat makan siang bersama di sebuah restoran di bilangan Cikini. Di sanalah saya mendapatkan good news, Wita menerima cinta saya dan kami pun mulai pacaran. Saat itu, pujaan hati saya ini hanya berkata singkat, “Jul, tentang suratmu itu, aku rasa kita sudah bisa mulai saling mendoakan dan saling mengenal lebih dekat. Terima kasih karena kamu mau menyatakannya.”
Tiga tahun lamanya kami pacaran, lalu memutuskan menikah November 1991. Meski Wita bukan cinta pertama saya, dia adalah yang terakhir. Sudah dua puluh tahun kami berkeluarga, dan Tuhan memberi kami dua putra. Pengalaman pernikahan ini memberi saya inspirasi menulis buku Banyak Cocok, Sedikit Cekcok . Meski sempat terseok-seok di lima tahun pertama, kami terus belajar merawat cinta kami dengan meningkatkan Ketrampilan Perkawinan
Semua ini hanya anugerah-Nya.
@led @tobleron @ghaniprijatna @d_hayo
Hahaha..Kalah ap ne mksdnya, mas @boljugg?
Anyway selamat y buat wedding party-nya nnti. Klo sy boleh nyimpulin berarti calon istrinya di-tes dulu ya sbelum ke jenjang selanjutnya??? *kepo
Istana Bogor?! Bukannya di situ ada banyak kijang, Masbro?! =(