It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
ENFYS #00
Tanyakan pada inti jiwamu.
Apa peranmu di dunia?
Saung menggema keras pagi itu. Tidurku yang berkalang mimpi indah mendadak dipaksa mati. Kembali ke realita dunia yang masih penuh misteri. Memulai membuka mata dengan lakon nyata.
Aku duduk termagu memandang lepas ke jalanan. Urusanku dengan penguasa jagad sudah selesai. Dengan bersandar pada tembok mataku mengekor pada hiruk pikuk pagi. Menikmati kesederhanaan yang begitu berkilau.
"Sapta!" wanita setengah baya itu menyapaku. Dengan wajah berbinar berjalan mendekat.
Wanita yang sering aku panggil Bulik Narmi. Teman ibu yang sangat peduli kepadaku. Bukan keluarga bahkan aliran darahpun berbeda. Tapi baiknya melebihi keluarga yang sangat vokal dengan harta.
Dengan merekahkan senyum aku sambut Bulik Narmi. "Bulik kok tidak bilang jika mau datang. Kan bisa aku jemput di terminal" sapaku langsung menyalaminya.
"Tidak apa-apa cah bagus. Lagian nanti malah kamu jadi repot" jawab Bulik Narmi langsung mengajakku masuk ke dalam.
"Minum apa Bulik? Biar aku buatin."
"Tidak usah le, Bulik cuma sebentar saja disini."
Aku duduk menghadap Bulik yang terlihat asik mengeluarkan sesuatu. Sebuah map dokumen dan beberapa kotak makanan. Sekeranjang jeruk keprok yang terlihat segar.
"Apa itu Bulik?" tanyaku sambil menggaruk kepala.
"Formulir pindah sekolah le, tahun ajaran baru sudah datang. Ibumu pesan buat jagain kamu sebelum beliau wafat" jawabnya sambil tersenyum.
Pindah? Aku belum memikirkan untuk pindah. Walaupun aku hidup sendiri tapi di sini aku bahagia. Kearifan warga yang begitu tercermin. Kegotongroyongan yang kadang buatku tercengang.
Aku benar-benar menikmati 3 tahun hidup disini. Mengubur kepedihanku saat kehilangan ibu. Menyepi di desa tempaku lahir dan tumbuh hingga usia sekolah dasar.
"Saya pikir dulu ya Bulik..." jawabku pelan
"Yasudah kamu pikir dulu, rumahmu di kota selalu kosong. Lebih baik kamu tinggali. Jangan terus menghindar. Saatnya kamu menerima kenyataan."
Aku diam dan mengangguk.
"Yasudah Bulik langsung saja ya Sap. Ada urusan di desa sebelah. Bulik harap kamu memikirkan ini semua dengan kepala dingin" Bulik beranjak dan mencium keningku.
Aku berjalan dan mengikuti Bulik yang mulai menghilang dari pagar. Aku diam di depan pintu. Masih bingung. Apa yang harus aku lakukan sekarang.
Keputusanku untuk menempati rumah di desa bukan tanpa alasan. Saudara ibu yang ribut dengan warisan membuatku tidak tahan. Setiap hari ada banyak teriakan bahkan barang yang dibanting.
Aku ditarik kesana kemari. Hak asuhku sumber bencana. Mengapa harta begitu hebat kuasanya. Penyakit yang cepat membutakan dan menulikan manusia.
Akhirnya dengan sedikit keberanian aku berani bersuara. Aku ingin hidup sendiri. Di desa.
Dengan sedikit lunglai aku rebahkan badanku di kursi. Aku pandangi borang isian yang dibawa Bulik. Terpampang kop pada dokuman itu. "SMA Putra Rangkit" terlihat seperti SMA swasta dengan nama aneh.
Aku taruh lagi dokumen itu di meja. Tanganku meraih jeruk yang terlihat ranum. Aku kupas dan santap sebagai penyegar mulut. Semoga hatikupun menjadi segar.
Jujur aku belum siap jika harus berpindah ke kota. Sahabat yang aku punya disini sudah cukup lebih baik dari tumpukan uang. Lebih baik berkubang dengan lumpur dan menaiki kerbau tapi senyum selalu tercipta.
Banyak sekali kenangan yang mengisi setiap sekat yang kosong. Menumpahkan setiap bahagia yang sering hanya menjadi imaji-imaji imitas. Disini aku benar-benar dipandang sebagai manusia. Bukan seorang komoditi yang layak dikuasai.
Perlu waktu yang cukup lama jika harus memutuskan aku harus memilih mana. Memilih di desa dengan segala keramahannya. Ataupun memilih ke kota dengan tumpukan harta dan wasiat ibu.
Mendiang Ibu pernah bilang agar kelak jika aku sudah besar mau mengelola rumah bacanya. Mengelola sebuah perpustakaan yang ia rintis sendirian. Ruang dimana ibu mulai menulis dan mengisahkan semua pikirannya.
Seorang wanita yang mengajariku akan pentingnya hidup. Menuntunku ke jalur indah di hidup ini. Jalan berbagi.
Berbagi bukanlah selalu menebar uang ke panti atau ke yayasan. Ibu lebih suka berbagi dengan buku. Karena menurutnya dengan membaca semua mata akan terbuka. Dengan buku atau tulisan kita bisa menyuarakan ketidakadilan.
Semua itu aku tinggal selepas beliau tiada akibat serangan jantung. Melupakan semua inginnya karena hatiku kalah. Dengan kesedihan dan segala tekanan.
Aku tidak siap dengan semua ini. Pikiranku tidak bisa mendewasai usiaku.
Aku benar-benar pada posisi nadir saat ibu tiada. Usiaku masih 14 tahun. Berpikir tentang masa depan jelas tidak mampu. Usia labil yang perlu pengarahan.
Aku bertanya pada diriku. Mampukah aku hidup dirumah sebesar ini sendiri. Rumah yang seperti kanvas panjang yang dipenuhi warna kenangan. Rumah terhangat dan ternyaman.
Aku tak mampu...
Air mata selalu begitu saja meleleh jika aku memandang dapur. Siluet ibu selalu dan selalu tersenyum.
Aku harus pergi dan mencari kenangan baru.
Karena sekarang hidupku sendiri...
ENFYS #01
Wherever you go, go with all your heart.
Aku berdiri di depan sebuah rumah. Terlihat besar dan megah. Halaman bertaman dengan desain simetris. Pohon besar menghijau di pojok yang terlihat adem dan sebuah bangunan kecil disamping rumah.
Aku terdiam di depan rumah yang semenjak 3 tahun aku tinggal. Rumah yang isinya sekarang tak aku tahu. Apa mungkin sudah menjadi sarang laba-laba. Maupun sarang tikus. Entahlah, yang jelas ini rumahku.
Dengan sedikit gontai aku kerahkan tenagaku untuk melangkah. Menapaki paffing yang masih terlihat sama. Menuju pintu yang lagi-lagi masih sama. Kembali membuka lembaran masa lalu. Semoga bisa.
Keputusanku untuk kembali mendadak bulat. Entah kenapa wasiat mendiang ibu begitu menggerakkanku. Membuatku ingin kembali. Mungkin lebih baik melakukan apa yang ibu inginkan. Itu akan membuatku lebih baik dan dekat dengannya.
Dengan dorongan yang besar akhirnya aku buka pintu ini. Pintu dimana dulu ibu sering melambai. Pintu dimana aku mencium tangan ibu saat datang. Gerbang kenangan yang kembali menghembuskan angin harum. Lembut dan sangat membuai.
"Sapta!" terdengar teriakan dari dalam rumah.
Aku mengerling dan mendapati wanita duduk di kursi. Bulik Narmi. "Bulik, sudah tiba di rumah ya?" sapaku sambil berjalan kearahnya.
"Iya cah bagus, sudah sejam yang lalu. Sekalian membersihkan kamarmu juga"
"Waduh jadi ngrepoti Bulik" sahutku sungkan.
Bulik Narmi hanya tersenyum dan membelai rambutku. "Kamu ini ngomong apa le, kamu ini sudah aku anggap anak. Jadi kalau cuma seperti ini bukan seberapa" tanggapnya langsung menyuruhku duduk.
"Makasih Bulik..."
"Fir... Firman! Sini nak!" teriak Bulik Narmi. Seorang dengan nama Firman. Apa itu anak Bulik Narmi. Setahuku Bulik Narmi cuma punya anak cewek saja. Lalu ini siapa.
"Sini nak duduk sebelah Bulik" seorang cowok dengan muka sedikit tirus datang. Tersenyum tipis begitu melihatku setelah itu menunduk. Perkiraanku usianya sekitar 19 tahunan.
Lalu dia ini siapa? Pertanyaan yang masih mengganjal.
"Sapta ini namanya Firman, dia yang mengelola rumah baca ibumu dan juga yang merawat rumah ini" penjelasan Bulik sedikit memberi pencerahan.
Aku ulurkan tanganku ke cowok itu. Terlihat sedikit waswas dan takut dia menyambut tanganku. "Halo Fir, aku Sapta. Terimakasih sudah merawat rumahku" kataku sambil membentuk senyum yang renyah.
"Hmmm..." begitulah jawabnya sambil tersenyum tipis. Setelah itu tanganku langsung dilepasnya.
Apa ada yang salah dengan gaya perkenalanku? Apa dia yang aneh?
"Fir tolong bantu angkat koper Sapta ke kamarnya ya" perintah Bulik.
Cowok itu langsung menyambar koperku. Senyum terseringai dengan lebar dan langsung menaiki tangga. Dia terlihat saat senang sekali. Aku lirik jalannyapun berirama.
"Bulik itu siapa?" kalimat yang sedari tadi ingin aku tanyakan kepadanya.
Dengan tersenyum tipis Bulik mulai berkisah. "Itu tadi anak dari tetangga Bulik. Daripada nganggur saja, jadi Bulik bawa kesini buat bantu membersihkan rumah.
"Dia itu hobi membaca jadinya Bulik suruh untuk mengelola rumah baca Ibumu juga" cerita Bulik sambil menuangkan teh.
Sambil manggut-manggut aku mulai menegak teh melati yang masih mengepul uap. "Dia sudah lama disini Bulik?" tanyaku lagi penasaran.
"Sekitar setahun le, orangnya sangat teliti. Makanya bulik suruh dia ngelola rumah baca. Daripada di tutup, soalnya yang mampir kebanyakan yang suka ngamen dan minta-minta.
"Jadi biar bisa berjalan. Hitung-hitung biar bisa melek buku" jelas bulik panjang lebar.
"Wah baguslah kalau begitu. Harta karun ibu yang berharga masih bermanfaat" kataku sambil membenarkan posisi dudukku.
Ruang tamu terlihat masih sama. Deretan pajangan piala ibu. Foto masa kecilku dengannya. Di pojok sebelah dalam deretan ensiklopedia terjajar rapi di rak. Bahkan majalah yang terakhir dibaca ibu masih pada posisi sama.
Aku seperti berada di waktu yang sama dengan tiga tahun lalu. Yang berbeda cuma keberadaan ibu saja.
"Le, kamu istirahat saja sana ke kamar. Pasti capekkan?" Bulik membuyarkan lamunanku.
"Iya Bulik..." jawabku singkat langsung beringsut berjalan menuju kamarku.
Perlahan aku naiki tangga. Aku belai lembut pegangan yang masih terasa hangat. Lukisan di dinding tangga terlihat hidup dan menyapaku. "Selamat datang di rumah" begitulah bunyi yang samar aku dengar.
Udara rumah begitu hangat. Memelukku dengan erat. Membuaiku dengan kenangan yang terpanggil lagi. Nyaman.
Kakiku melangkah ke ruangan yang cukup lebar ketimbang ruangan di rumah desa. Sebuah almari dan dipan dengan ukiran yang indah. Disebelah kanan ada meja komputer dan meja belajar. Posisinya sudah di rubah sehingga kamarku ini terlihat lebih lebar.
Aku melihat Firman masih membersihkan meja dan menata kasurku. Wajahnya selalu tersungging senyum. Semua dikerjakan dengan sangat mendetail. Apa dia lulusan sekolah perhotelan?
"Terimakasih ya" kataku singkat langsung merebah ke kasur.
"Ah iya" jawabnya singkat dan langsung tergesa meninggalkan kamarku.
"Aneh" gumamku mulai memeluk guling.
Mataku memejam perlahan. Menikmati setiap bulir bulir kenyamanan yang benar-benar terasa nyata. Bayangan berwarna terlihat memancar dan bergerak begitu mataku terpejam. Suara merdu bersimfoni memanjakan telingaku. Hingga aku tertidur.
***
Suara lembut dan hangat memanggilku. "Sap, bangun sudah sore. Ayo kamu makan dulu ya!". Suara yang sangat aku kenal dan sangat familiar.
"Mbok Puji..." sahutku begitu membuka mata. Wanita dengan uban yang hampir penuh di kepalanya. Wanita berbadan tambun yang masakannya selalu aku habiskan.
"Ayo bangun, aku sudah masak makanan kesukaanmu" katanya sambul tersenyum dan membangunkanku agar bangkit.
Dengan sumringah langsung aku ikuti Mbok Puji ke meja makan. "Sejak kapan Mbok datang?" tanyaku sambil merangkulnya dari samping.
"Tadi siang pas kamu tidur. Mau bangunin sungkan. Makanya aku masak dulu saja"
"Kangen sama Mbok" rajukku manja.
Ruang makan ternyata sudah ramai. Bulik Narmi dan Firman sudah duduk dan terlihat mengobrol. Aku langsung berjalan cepat menuju meja. Terlihat Bulik Narmi tersenyum dan Firman mencuri pandang sebelum akhirnya menunduk.
Ayam goreng dan tumis kangkung. Tak luput sambel tomat yang begitu menggiurkan. Berapa lama ya aku tidak menikmati ini. Makanan yang bisa membuatku nambah dua kali hingga nasi dipastikan habis.
Dulu Mbok Puji selalu menyiapkan sambel andalannya setiap hari. Tiada sambel sama saja bukan makan enak. Seperti sudah menjadi ciri khas di rumahku.
"Mbok sambelnya masih sepedas dulu kan?" tanyaku langsung mencocol ayam ke sambel.
Sambil mengambilkan aku nasi Mbok Puji mulai berceloteh. "Pasti pedas, walau cabai harganya selangit tetap pedas. Di samping rumah kan ada kebun cabai. Jadi tenang saja Sap, pasti nagih" jelasnya membuatku ingin tertawa. Dasar Mbok Puji, bisa saja membuatku terjebak dengan kelucuan.
"Ayo Bulik sama Firman makan juga" sahutku lupa kalau ada manusia lain disini selain aku dan Mbok Puji.
"Hahaha, tak kira sudah lupa ada Bulik gara-gara sambel. Ayo Firman makan juga. Sini aku ambilkan nasinya"
Suasana begitu cair malam ini. Entah kenapa kebersamaan kembali muncul. Mbok Puji yang suka mbanyol. Bulik Narmi yang sangat hangat dan ramah. Dan Firman yang walau selalu diam sepertinya dia menikmati kebersamaan ini.
***
Aku sudah tergolek lemas dengan mata tidak kuat dibuka. Namun kemihku terasa penuh. Saatnya membuang ke toilet. Jangan sampai tumpah di kasur. Akan sangat memalukan.
Dengan sedikit geloyoran aku pergi ke kamar mandi yang terletak di luar. Mataku terus saja memejam tidak mau terbuka. Perlahan aku masuk ke kamar mandi dan menuntaskan hajatku.
Tunggu, aku melihat semacam cahaya di ruang yang tersambung ke rumah baca. Siapa yang malam-malam begini membaca. Mbok Puji bukan orang yang suka membaca. Bulik Narmi dan Firman sehabis makan sudah pulang.
Lalu siapa?
Aku melirik jam di dinding menunjuk pukul 2 pagi. Aku berjalan agak cepat ke kamar mbok Puji, beliau terlihat pulas. Siapa yang sedang membaca di ruang baca. Suaranya begitu jelas. Seperti ada gesekan buku yang dibuka.
Perlahan aku buka pintu penghubung. Aku melihat seklebat siluet hitam yang mendadak menghilang. "Halo siapa di dalam sini?" tanyaku sambil sedikit berteriak.
Sebuah buku terlihat terbuka di meja. Ada sedikit noda darah di lantai di bawah meja itu. Darah yang masih segar. Pada halaman buku yang terbuka juga terdapat noda darah. Sengaja di torehkan dan membentuk segilima mengelilingi sebuah kata "ENFYS".
lanjut
Iya, nanti akan dilanjut, makasih udah baca..
ngeri ni
Ahahahah..
Masa sih om?
Ini pasti ceritanya banyak yang main detektif2an,ya bang??
Pasti mau ngelanjutin cerita detektifnya "sakura petal" yang blm tuntas..!!
*instingku aja bang....
*salam new comer!
*salam new comer!
Ahahahaha..
Nanti jg akan ngerti ENFYS itu apa..
Ini baru lg kok, tp mgkn konsepnya ada misteri sm kayak yg blm tuntas di SP, cuman tokohnya beda..
Wah makasih sudah baca..
Iya nanto akan diupdate..
Silence is also speech.
Gerbang besar bertulis "SMA Putra Rangkit" berdiri kokoh di depanku. Porselen biru dengan motif kotak berjajar membentuk tugu. Seakan menghadangku agar tak masuk. Kenapa cuma sebuah gerbang namun dibuat begitu indah.
Bersama dengan Bulik Narmi aku akan mengurus kepindahanku. Kelas 11 sekolah menengah atas. Dengan program bahasa, sama seperti saat kenaikan kelas di sekolahku terdahulu.
Begitu masuk ke dalam gerbang, kesan yang aku peroleh adalah. Ini sekolah atau hotel? Bangunan yang terlalu bagus untuk ukuran sekolah. Belum lagi fasilitas yang terlihat gemerlap dimana-mana. Berapa daun yang harus aku petik jika harus bersekolah disini?
"Bagus kan le sekolahnya?" Bulik Narmi memulai bicara.
Tanpa menatapnya aku jawab perlahan. "Bagus Bulik, tapi apa tidak mahal bersekolah disini?" kataku sambil terus menatap kagum.
"Tenang saja, semuanya gratis"
"Gratis" tanyaku heran.
"Ibumu salah satu pendiri yayasan ini le. Jadi suatu kehormatan jika menerimamu sekolah disini" jelas Bulik mulai menarikku ke ruang kepala sekolah.
Seumur-umur hidup dengan ibu aku tidak pernah tahu jika ibu pendiri yayasan ini. Yang aku tahu cuma rumah baca di samping rumah. Benar-benar penuh kejutan. Jejak ibu ada dimana-mana.
Sebuah ruangan dengan peralatan multimedia lengkap. Deretan piala yang terlihat mengkilap. Pajangan piagam juga terlihat memenuhi tembok. Ruang kepala sekolah yang terlihat ramai.
"Selamat pagi pak" kata Bulik Narmi sambil mengetok pintu.
"Pagi Bu Narmi silakan masuk. Sudah datang daritadi kah?"
Dengan rekahan senyum dan sambil menarikku Bulik Narmi mulai mulai masuk ruangan. Terlihat begitu santai suasananya. Perkiraanku mereka berdua sudah kenal baik satu sama lain.
"Ini anak Bu Amara kan?" tanya pak kepsek kepadaku.
"Iya pak saya anak Bu Amara. Nama saya Sapta" jawabku dengan sopan.
Bulik Narmi mengeluarkan berkas yang telah aku isi dan lengkapi. Dengan santai langsung di geser ke depan kepsek. "Pak ini berkasnya Sapta, semoga besok bisa mulai sekolah" kata Bulik singkat.
Berkas itu tak dilihat oleh pak kepsek. Cuma dipegang saja dan langsung berdiri. "Ayo Sapta aku antar berkeliling sekolah saja sekarang biar besok tidak bingung" ajak beliau terlihat semangat.
"Ah iya pak maaf merepotkan" kataku langsung mengikutinya berjalan.
Bulik Narmi terlihat berjalan keluar juga membuntuti kami. Kita berputar dari depan hingga belakang. Safari sekolah yang berlangsung cukup lama. Karena pak kepsek begitu lihai berceloteh menceritakan sekolah ini.
"Begitulah sekolah yang akan kamu tempati mulai besok. Semoga berkesan" kata pak kepsek sambil tersenyum sangat lebar.
"Iya pak sepertinya saya sangat terkesan dengan penjelasan bapak akan sekolah ini.
"Jadi besok saya bisa langsung sekolah kan?" tanyaku memastikan.
"Tentu saja" jawab pak kepsek menyeringai.
"Yasudah Sapta, sekarang kita pulang dahulu. Kan kamu sekolahnya baru besok" ajak Bulik Narmi.
"Mengenai kelas saya pak?"
Terlihat pak kepsek sedikit berpikir. "Besok saja langsung aku antar ke kelas, ok?" jawabnya santai.
"Baik pak..."
Setelah berpamit kami berdua pulang. Aku pulang sendiri ke Rumah karena Bulik Narmi harus ke kantornya untuk bekerja. Dengan santai aku naik angkutan umum yang cuma 15 menit waktu tempuh ke rumah.
Mataku menangkap keramaian di rumah baca. Beberapa anak seusiaku terlihat keluar masuk dengan mententeng buku. Ada juga yang duduk di depan sambil gitaran. Sebagian juga duduk tanpa alas sambil terus membaca buku.
Itulah harta ibuku...
Aku berjalan masuk ke dalam rumah baca. Ada Firman di dalam terlihat asik merapikan buku. Kotak baca terlihat penuh dengan pembaca.
"Sibuk Fir?" tanyaku basa basi.
Firman agak kaget karena menyadariku sudah masuk ke dalam rumah baca. "I... Iya mas Sapta. Hari ini sangat ramai" kalimat terpanjang yang pernah aku dengar darinya.
Dia menunduk dan pura-pura sibuk membaca. Aku acuhkan dia dan berkeliling ruangan untuk mencari buku yang bisa aku baca.
"Fir, buku yang ada di meja ini kemana?" tanyaku baru ingat tentang kejadian semalam.
"Buku? Tidak ada mas. Tapi buku yang di meja biasanya di taruh di kotak sana. Nanti akan di tata lagi sesuai nomor" jawabnya sambil menunjuk ke kotak dengan banyak buku.
Aku langsung berjalan ke arah yang di tunjuk oleh Firman. "Jadi semua buku di meja ada di sini semua?" tanyaku memastikan.
"Iya mas saya taruh situ semuanya"
Aku sibuk membuka buku satu persatu. Ada sekitar 10 buku. Aku tidak hafal buku apa karena tidak melihat cover. Bodohnya aku.
Aku kembali mengingat ciri dari buku itu. Yang jelas bukunya berbahasa Inggris. Di dalam kotak ini ada tiga buku berbahasa inggris dengan bentuk yang mirip dari segi besar, kertas maupun cover.
Aku duduk dan kembali mengingat tentang buku semalam yang ada noda darah. Dari tiga buku ini semuanya bersih. Saat aku membuka halaman per halaman sama sekali tidak ada baunya.
"Fir yakin tadi kamu memasukkan semua bukunya di kotak?" tanyaku lagi.
"Iya mas..."
Tunggu sebentar. Aku ingat halaman yang ada noda darah. Pada halaman sebelah kiri bertulis 117 dan bagian kanan 118. Aku coba bolak balik ketiga buku itu. Namun sama sekali tidak ada noda darah.
Ada lagi satu keanehan. Dari ketiga buku itu aku cuma menemukan halaman 116 dan 117 dalam satu muka juga 118 dan 119 dalam satu muka. Tidak mungkin berurut 117 dan 118 dalam satu muka.
Urutan pada buku adalah ganjil pada halaman pertama. Setelah itu genap-ganjil berurutan.
Lalu kemana perginya buku semalam?
***
Aku rebahan di atas kasur sambil terus memikirkan buku itu. Aku benar-benar melihat halaman dan noda darah. Bukan halusianasi karena aku bisa membaui anyirnya darah segar.
Tapi apa benar aku cuma berhayal...?
Tok... Tok...
Pintu kamarku di ketuk. Terlihat Firman sudah berdiri di depan pintu. "Maaf mas, apa ini buku yang mas maksud? Saya menemukan jatuh di bawah meja" katanya sedikit sungkan.
"Mana? Mana?" aku langsung melompat dan berlari ke arahanya.
Aku raih dan langsung membuka buku itu. Benar juga, ada halaman 117 dan 118 dalam satu muka. Namun tidak ada noda darah. Sempat aku baui namun cuma ada bau buku yang terlihat tersimpan lama.
Tanganku mencari kata yang kemarin di kelilingi noda darah. Namun sama sekali tidak ada kata "ENFYS" pada halaman itu. Apa memang hanya halusinasiku saja.
"Yasudah Fir, kamu kembali ke rumah baca saja. Aku mau tidur" kataku sambil menguap.
"Baik mas selamat beristirahat..."
Pintu kamar aku kunci. Dengan santai aku berjalan ke meja dan meletakkan buku itu. Setelah itu tubuhku ambruk ke kasur dan terhanyut mimpi.
Glodak... Glodak... Glodak...
Mejaku bergetar sangat keras. Aku langsung terbangun dan bersiap berlari. Apa mungkin ada gempa. Tidak!
Namun semuanya tenang tak beregerak. Tidak ada yang berubah, cuma buku yang aku taruh dimeja sekarang tergeser lebih ke kanan.
Aku melihat ke pintu. Masih terkunci. Jendela pun juga terkunci, tidak mungkin angin menggeser buku itu kecuali badai.
Lalu apa yang bergetar tadi?