aoo smua~~ ^w^/ nie cherry~ member baru~ (wlo udah agk lma bikn akun, tp bru post sekrng)
awl tau BF dr temn2... cherry liat... wahaaaahaha~~ X3 menemukn ksenangn tersendiri di sni~ -w-
trutama crita2nya... karna hobby cherry baca~ puas deh di sini~ ^w^/ bagus2 wlo blon bca smuanya~
sekrng saatnya cherry yg share crita buatan cherry!!! ^0^/ *tebar bunga+daun*
karna cherry masih junior... mohon bantuannya!!! ^^/ tolng maklumi klo crita cherry aneh, gk dimengrti, etc...
crita series... happy reading~>w<
.
U n I (Series 1 - Because of You)
SHIUUUTT
DUKK
DUKK
“Arggh!!” aku meremas rambutku frustasi. Lemparan terakhir gagal, itu hanya ada satu arti: AKU TIDAK LULUS TES SELESKI PEMAIN BASKET UNTUK PERTANDINGAN BESOK.
Aku mengomel dan menyumpah-nyumpah tak jelas saat berjalan ke pinggir lapangan. Beberapa teman masuk ke lapangan, berganti menggunakan ring basket denganku, dan yang lain ada yang menepuk pundakku untuk menyemangati. Aku sedikit mengabaikannya, hanya memberi tatapan memelas dan terimakasih. Aku terfokus pada emosiku sekarang. Aku benar-benar kesal tak bisa ikut pertandingan.
Kududukan tubuhku di sisi lapangan saat seseorang datang dan menepuk pundakku. Aku menoleh. Emosiku sedikit mereda saat melihat wajah tersenyum orang itu.
“Sabar! Semangat!” ucapnya lalu duduk di sampingku.
Aku mengangguk lemas. “Kamu enak, Yu, member inti nggak perlu tes.”
“Salah sendiri nggak ikut klub basket.” Yurefa mengoper sebotol air minum padaku. Aku menerimanya lalu membuka tutupnya.
“Udah kali.” Kuteguk air minumku dengan sedikit terburu hingga aku tersedak.
Yurefa menepuk-nepuk punggungku lembut. “Hati-hati!” Tatapannya cemas dan penuh perhatian. Aku suka tatapan seperti itu. “Tapi kamu juga ikut klub lainnya. Akhirnya jadi kesingkir dari dafar pemain, kan?”
“Iya, iya.” Aku mengerucutkan bibirku kesal. Yurefa mengacak rambutku gemas.
“Kamu kan bisa cuma nonton pertandingannya.”
“Aku ingin main basket. Lagian lawannya menantang gitu… pasti seru!! Aku ingin mengalahkan mereka.”
Dan ingin bersamamu dalam satu lapangan
Yurefa tertawa pelan. “Kamu suka hal menantang, ya?”
Aku tersenyum tipis dan mengangguk. Yurefa ikut tersenyum melihatku.
“Udah, yuk! Dah sore gini.” Ajak Roni dari tengah lapangan. Beberapa anak sudah di pinggir lapangan, membereskan peralatan dan istirahat sejenak sambil mengobrol ringan, sisanya masih bermain dengan bola basket di lapangan.
“Udah jelas, ya, siapa yang ikut tanding besok.” Ucap Wend, manager klub basket dari sisi lapangan. Dia menyebutkan beberapa nama anak yang lulus seleksi. “Yang lulus besok harap kumpul di sini sepulang sekolah untuk berlatih dengan tim inti. Baik. Mengerti? Ada pertanyaan?” tanyanya. Tak ada yang menyahut. Semua sibuk sendiri, meski begitu tak tersirat di wajah Wend kekesalan tak diperhatikan yang lain. dengan tetap tersenyum dia berseru, “Sekian dan terimakasih!” lalu berjalan menghampiri Roni.
“Yuk!” Yurefa berdiri lalu mengulurkan tangan padaku. Aku berdiri dibantu tangannya sebagai tumpuan.
Kami menuju motor Yure yang terparkir di samping motor lainnya, di pojok taman. Setelah naik, motor Yure pun melesat. Yure mengantarku pulang. Sebenarnya dia tak perlu ikut tes seleksi karna dia memang tim inti yang selalu dikirim untuk tanding. Dan aku yang bukan tim inti harus mengikuti tes seleski jika ingin ikut tanding. Tapi sayangnya banyak saingan juga. Sekedar ikut tanding satu kali saja sulit seleksinya, apalagi seleksi pemain tim inti. Tapi mungkin juga itu yang membuat tim basket sekolah kami kuat.Tapi hebatnya Yurefa berasil jadi tim inti walau tingginya tak bisa dibilang sangat tinggi dibandingkan pemain basket lainnya.
Walau memang tak ada perlu, Yurefa menemaniku ikut tes seleksi tadi^^ dan yang mengantar-jemput-ku, seperti biasa.
“Kok kamu pengen segitunya ikut tanding? Biasanya juga puas cuma nonton.”
“Karna kamu.”
<>Yurefa pov<>
Tangan Ainar memeluk pinggangku erat, kebiasannya jika aku boncengkan. Udara dingin sore ini jadi tak begitu terasa.
“Kok kamu pengen segitunya ikut basket? Biasanya juga puas cuma nonton.” Tanyaku sedikit keras karna cukup bising di sini.
“Karna kamu.”
“Eh? Apa?” bukannya tidak dengar, hanya kurang jelas. Karna aku?
“Aku nggak puas cuma nonton kamu dari jauh. Pengen satu lapangan sama kamu, Yu.”
Nih anak jujur banget. Dia mikir nggak, sih, kalau kata-katanya bisa bikin orang salah faham?
“Oh.”
“Apa?” tanyanya sedikit berteriak.
“Oh, gitu. Kalau gitu nanti nonton di lapangan aja, bareng Wend.”
“Tapi tetep aku pengen main.”
“Ya mau gimana lagi.”
“Ukh!” Ainar menyembunyikan wajahnya di punggungku. Pasti bibirnya membetuk pout sekarang, entah tertular siapa yang jelas itu membuatnya semakin imut. “Nasib jadi orang pendek.”
Aku menahan tawa. Kalau jujur juga badannya memang terbilang mungil untuk anak seusia kami. Dan kekuatannya tak sebara dibanding cowok lainnya, walau juga tak terlalu lemah, dan itu membuatku semakin ingin melindunginya. Entahlah. Ini perasaan ingin melindungi teman atau lebih, karna aku ingin menjadi sosok pelindung pertama baginya dan dia-lah yang paling ingin aku lindungi dibanding teman lainnya.
Sepanjang perjalanan kami hanya diam. Sepertinya Ainar benar-benar kesal tak bisa lulus, jadi diam saja. Dan aku tak mau membuka pembicaraan. Jadilah perjalanan bisu ini terjadi. Hingga tanpa terasa waktu begitu cepat kami sudah sampai di depan rumah Ainar.
“Sampai besok. Dah!” Ainar melambaikan tangannya dari ambang pintu setelah turun dari motorku. Aku tersenyum lalu melambai kecil sebelum pergi meninggalkan halaman rumahnya.
Dia terlihat manis jika tersenyum, hanya saja kali ini senyumnya kali ini sedikit dipaksakan.
Aku sedikit merasa kesal pada Roni. Tapi memang bukan salahnya terlalu sibuk dengan OSIS hingga lupa untuk mencari pengganti pemain tim inti yang pindah sekolah. Dan baru bisa melakukan seleksi hari ini… yang itu berarti seleksi harus benar-benar ketat. Mencari pemain dengan permainan bagus tanpa harus berlatih banyak. Dan Ainar tak sempat berlatih karna seleksi begitu mendadak sementara kemampuan basketnya kurang terlatih. Err, yang etrakhir bukan mengejek, lho. Dia bisa dan mungkin sebenarnya pintar, haya saja kurang latihan.
Ahh… aku jadi melamun gini saat berkendara.
Aku harus focus! Banyak latihan karna besok pertandingannya!
Setidaknya pertandingan dilakukan malam hari, jadi sorenya kami bisa sempat berlatih.
Setelah sampai rumah aku segera memasukan motorku ke dalam. Kulihat Ayah sedang mengeluarkan mobilnya. Kuhampiri beliau saat mobilnya sudah berada di pinggir jalan, depan halaman.
“Mau ke mana?” tanyaku.
“Ke tempat Cinta. Dia sakit.”
“Parahkah?” tanyaku sedikit panik. Cinta itu adik sepupu yang cukup akrab denganku. Dan aku sudah menganggapnya sebagai adik sendiri. Kami punya satu kesamaan, menderita kesepian dalam kesibukan orang dewasa.
“Nggak terlalu.” Aku menghela nafas lega. “Kamu jaga rumah dulu, Fa. Ayah nggak bisa pulang dalam beberapa hari. Ayah mau mengurusi perusahaan juga di sana.”
“Hm. Hati-hati!”
Ayah tersenyum di balik kaca pintu yang sudah tertutup. Sedetik kemudian mobilnya sudah melaju menghilang di balik tikungan jalan. Kutarik kakiku kembali setelah beberapa saat terdiam memandangi langit yang semakin gelap. Bulan mulai muncul.
Kujatuhkan tubuhku di sofa. Dengan remote kunyalakan tv di hadapanku. Dan tanpa menontonnya, aku merbahkan tubuhku, berbaring memanjang di sofa. Aku perlu sedikit kebisingan agar tenang.
Kutarik nafas dalam-dalam, mengisi sepenuhnya paru-paruku. Lalu menghembuskannya panjang. Sedikit beban terangkat. Entah beban apa itu. Aku tak tahu. Akhir-akhir ini dadaku terasa sesak, seperti sebuah emosi yang sangat senang tertahan, ingin meluap tapi tak bisa. Dan itu terjadi random, aku tak bisa memprediksi kapan.
Terdiam beberapa saat, membiarkan hanya suara tv yang mengisi kekosongan seluruh sudut rumah ini. Sepi seperti biasa.
Nggak ada kegiatan
Kuraih ponselku dan mengetik sebuah pesan untuk Ainar.
+Gi ap?+
Kuletakan ponselku di atas meja kecil di samping sofa. Kulihat acara tv tak ada yang menarik. Aku terus menggonta-ganti chanel tanpa niat. Kutunggu beberapa saat tapi tak kunjung juga balasa dari Ainar datang. Hmm, mungkin dia kelelahan dan tertidur. Tes tadi kurasa cukup berat untuknya. Mungkin.
Kembali kuletakan ponselku di atas meja kecil di samping sofa, tepatnya di samping remote tv.
Aku melipat kedua tanganku dan meletakannya di belakang kepala. Mulai kupejamkan mata, berusaha meraih ketenangan puncak. Dan ditemani suara tv, aku mulai terlelap.
<>Ainar pov<>
Aku menutup pintu setelah Yurefa melesat menjauh dari rumahku. Kuseret tubuhku menuju ruang tengah. Aku membanting tubuhku ke atas sofa. Seketika farfum yang menempel di kain sofa menyerbak, menusuk penciumanku. Sedikit mengangkat penat di kepalaku. Rilex…
Mataku menerawang langit-langit. Masih tersisa sedikit kekesalan karna tak lulus seleksi hari ini. Mau bagaimana lagi, aku benar-benar ingin bermain dalam satu lapangan dengan Yurefa, sebagai timnya dan mencetak angka bersama. Entah kenapa saking inginnya aku sampai mengepalkan tanganku kuat-kuat ketika teringat kegagalanku. Segitunya, kah? Aku ingin bersama Yurefa… lebih dari yang lain.
Aku tak pernah merasakan ini sebelumnya. Pada siapapun. begitu menginginkan kebersamaan dan melihat senyumnya dalam jarak dekat. Berlari dalam satu lapangan dan bekerjasama untuk mencapai satu tujuan yang sama. Menang.
Kupejamkan mataku lalu menghirup nafas kuat-kuat, berusaha mendapatkan kembali memoryku bersama Yurefa.
Ah, ya… kami sama-sama anak lelaki yang kesepian dan kurang kasih sayang pada masa yang tepat. Setidaknya kami dapat pendidikan yang bagus hingga kami tak terjerumus dalam jalan yang salah. Syukurlah kami menemukan satu sama lain. Yang bisa menjadi tumpuan saat kesepian. Dan juga… teman-teman lainnya, yang juga membantu menuntun di jalan yang benar.
Tapi diantara yang lain, aku merasa Yurefa paling istimewa. Bukan hanya karna dia mengerti penderitaanku, dan yang paling dekat denganku. Entahlah… entah sejak kapan muncul perasaan aneh. Wajahku terasa menghangat ketika dia memelukku, atau merangkulku. Dan dadaku berdebar kencang, saking kencangnya hingga terasa sakit, ketika melihatnya tersenyum. Sekarang pun sama. Tanpa sadar aku menahan nafas ketika memikirkannya.
“Huffffftttt…” kuhembuskan nafas panjang-panjang. Sudah kuduga, dadaku terasa sesak.
Arghhhh!!! Ada apa denganku?! Aku berdebar saat bayangan wajahnya melintas di benakku…
Kepalaku terasa berdenyut… sakit. Aku lelah…
Tanpa sadar kesadaranku mulai pudar, hilang. Lenyap.
<><><>
<>Yurefa pov<>
Terdengar suara riuh penonton saat aku dan teman-temanku keluar. Kami melambaikan tangan lalu membungkuk sedikit. Mataku sempat menangkap sosok Ainar di bangku penonton barisan depan. Dia tak jadi ikut di sisi lapangan, ya? Padahal aku berharap bisa melihatnya lebih dekat. Aku ingin sosoknya menjadi penyemangatku. Walau memang dia selalu menyemangatiku, aku ingin lebih dekat dalam arti objektif.
Dia tersenyum melambai padaku. Dan itu cukup membakar semangatku.
“PRRRRRRRIIIIIIIIIIIITTTT!!!”
Peluit dibunyikan.
Game start.
<>Ainar pov<>
Selama pertandingan hanya sosok Yurefa yang kulihat. Entah kenapa mataku selalu terfokus padanya. Dan selama itu aku tanpa sadar menahan nafas saat melihat sosoknya yang berlari di lapangan. Expresinya terlihat serius tapi tetap lepas. Walau berusaha mengalihkan mataku pada pemain lainnya, saat melihat Yurefa mataku pasti langsung mengikuti langkahnya. Kurasa aku memang tak bisa berpaling darinya.
Saat istirahat tiba. Aku turun menuju ruang pemain. Kuhampiri Yurefa yang sedang duduk meneguk minuman penambah energy.
“Permainan bagus!” seruku padanya dan teman-teman lainnya yang disambut senyum hangat mereka. Aku mengobrol ringan dengan Yurefa dan beberapa pemain lainnya. Kemudian ketika permainan kembali di lanjutkan, aku kembali ke bangku penonton.
<><><>
<>Yurefa pov<>
“Pergi, yuk! Kali ini aku yang traktir, deh!” seru Yoni yang langsung disambut teriakan ceria teman-teman. Pasti itu lagi. Kebiasaan pesta setelah memenangkan pertandingan basket.
Anak-anak lainnya berlari menuju motor mereka masing-masing, berlari melewatiku yang masih terdiam di tempat.
“Yo, ayo!” Roni menepuk pundaku dari belakang.
“Ah, kali ini aku nggak ikut, deh.” Tolakku halus. Roni mengernyitkan dahinya. Dia sempat member sinyal pada Wend untuk jalan duluan.
“Why?” tanyanya setelah Wend pergi.
Aku tak menjawab, hanya menunjuk Ainar yang berdiri tak jauh dari kami dengan tatapan mataku. Dia berdiri menungguku sejak pertandingan selesai, aku melihatnya.
Roni mengikuti arah mataku. Seulas senyum tipis tercetak di bibir tebalnya. “I got it.” Dia kembali menatapku lalu mengacak rambutku. “Adikku sudah besar rupanya. Jaga dia baik-baik. Dah!” Roni berjalan menjauh, mendekat pada anak-anak lainnya. Ah, ya, soal adik itu… aku bukan adiknya sama sekali, bukan sepupu apalagi kandung. Hanya saja kami memang sudah cukup lama akrab dan dia sudah kuanggap kakak-ku karna sifat pelindung dan penyabarnya itu. Tambah karna dia seniorku.
Kurasa Roni menjelaskan pada teman-teman aku tak bisa ikut mereka. Terdengar keluhan mereka dan teriakan padaku. Aku hanya tertawa kecil menanggapinya.
Kuhampiri Ainar dengan langkah pelan namun lebar.
“Nggak ikut pesta?” tanya Ainar. Aku menggeleng sambil tersenyum.
“Kenapa?” tanyanya lagi. Aku hanya memperlebar senyumku lalu mengacak rambutnya lembut. Dia terlihat sangat manis. Aku juga sempat shock saat pertama mengenal lelaki mungil manis sepertinya. Apalagi dengan mata besarnya, sangat mengecoh orang. Suaranya juga termasuk lembut untuk lelaki. Dan dari tinggiku ini, yah walau aku juga tidak bisa disebut sangat tinggi tapi cukup tinggi jika dibandingkan Ainar, matanya terlihat semakin besar.
“Ayo, pulang!” aku menarik tangannya menuju motorku.
Aku melajukan motorku segera saat kami berdua sudah naik di atasnya.
<>Ainar pov<>
Yurefa memasukan motornya ke dalam garasi sementara aku membuka pintu rumahnya. Entah kenapa terasa dingin di luar.
Aku segera masuk ke dalam setelah pintu terbuka. Seperti biasa, aku di suguhi pemandangan luar biasa. Walau aku sudah berkali-kali melihatnya, aku tetap terkesan dengan desain rumah ini. Almarhumah ibu Yurefa yang mendesainnya. Ahh, jadi mengingat beliau…
Sudahlah! Itu masa lalu! Yurfa pasti sedih juga jika mengingatnya. Segera kuseret kakiku menuju ke kamar Yurefa. Kurebahkan badanku di kasurnya dan bergulang-guling di atasnya. Aku sedikit capek… kenapa, ya? Apa nonton basket bisa membuat lapar? Hmm, mungkin… entahlah.
“Lucu banget. Kaya puppy.” Terdengar tawa pelan Yurefa dari arah pintu. Aku bangkit dari posisiku. Kulihat Yurefa berjalan mendekat lalu mengambil duduk disampingku.
“Capek?” tanyanya.
“Eung.” Aku mengangguk. Yurefa menggigit bibir bawahnya, entah kenapa. Kuamati itu kebiaannya jika melihatku mengangguk, terkadang…
“Nginap di sini, mau nggak?” tawarnya.
“Hmm?” kuangkat wajahku dan melihat Yurefa yang berdiri dan berjalan menuju meja belajarnya. Dia mengambil sebuah komik dan membacanya.
“Ayahku pergi ke rumah saudara jauh, aku sendiri malam ini. Ortumu juga keluar kota, kan? Nginap di sini, ya? Besok juga minggu, jadi bebas.” Yurefa berbicara padaku tanpa menatapku. Dia kembali berbaring di sampingku sambil terus focus pada komiknya.
“Boleh? Baiklah. Bajuku masih ada di sini, kan?” aku bangkit dari dudukku menuju lemari baju di sudut ruangan. Kubuka pintu lemari dan mendapati dua setel pakaian bersih milikku tertata rapi di dalamnya. Kadang aku menginap di sini, jadi menyimpan beberapa baju di lemari Yure.
“Hmm.”
Kututup lemari baju lalu menoleh pada Yurefa. Dia masih membaca komiknya dengan serius, yang aku yakin sebenarnya dia sudah hafal tiap dialog dalam komik tersebut karna seringnya membaca.
Dengan langkah sedikit terseret aku berjalan menuju ranjang. Aku berdiri tepat di depannya.
“Yu~”
“Hmm?”
“Aku lapar.”
Yure menurunkan komiknya lalu menatapku. “Masak, yuk! Atau mau pesan antar? Aku malas keluar.”
“Masak sendiri aja. Sekalian biar gerak, biar hangat.”
“Yuk!” dia bangkit dari rebahannya lalu berjalan keluar kamar. Aku mengikutinya menuju dapur.
Kami memasak sup kali ini, karna bahan yang tersedia hanya itu. Walau kemampuan masakku pas-pasan, Yurefa bisa mengimbanginya. Kurasa dia bakat di semua bidang.
“Wortelnya di kulkas, kan?” aku membuka pintu lemari pendingin. Aku tersenyum senang ketika melihat sekantung wortel orange yang besar-besar. Tanpa sadar aku bertepuk tangan senang.
“T-tomatnya sekalian!” suruh Yurefa.
“Ya.” Aku meraih seplastik tomat di samping wortel. Yaah, aku tak terlalu suka tomat sih. Tapi Yurefa suka.
Kubalikan badanku setelah mengambil semua yang dibutuhkan.
DEG
Nafasku terhenti seketika ketika mendapati Yurefa berdiri di hadapanku.
Yurefa berdiri dengan dua tangan bertumpu di kulkas, membuatku terkekung di antara tubuhnya. Aku tak bisa bergerak saat menyadari betapa dekat wajah kami.
DEG DEG DEG
Kurasakan wajahku memanas ketika merasakan terpaan nafas hangat Yure pada wajahku.
“Y-yu…?” kuberanikan untuk menatap matanya.
<>Yurefa pov<>
“Wortelnya di kulkas, kan?” Ainar membuka pintu lemari pendingin. Dia tersenyum senang ketika melihat sekantung wortel di sana. Dan dia bertepuk tangan senang karenanya. Hihi, seperti anak kecil saja.
Tapi sesaat kemudian senyumku hilang menyadari senyum yang begitu lebar di wajah Ainar. Dia bisa tersenyum begitu hanya karna wortel? Dan dia jarang sekali tersenyum seperti itu padaku.
NYUUTT
Dadaku terasa sakit. Hey! Apa ini?! Aku jealous?! Jealous pada wortel?!
Tapi memang aku ingin sekali membuatnya tersenyum selebar itu. Dia kelihatan sangat manis dengan expresi yang begitu lepas. Pipi chubbynya sedikit memerah karna senangnya. Mengingatkanku pada tomat…
Ah, ya! “T-tomatnya sekalian!” suruhku.
Tiba-tiba saja, tanpa perintah apa-apa, tubuhku bergerak mendekat pada Ainar dengan sendirinya. Tanganku terangkat dan menumpu pada kulkas, mengurung Ainar di dalamnya. H-hey! Apa yag kulakukan?! Aku tak bisa mengedalikan tubuhku.
“Ya.” Jawab Ainar lalu mengambil tomat.
DEG
Dia terdiam ketika membalikan badannya dan mendapatiku dalam posisi seperti ini.
Dan wajah kami kurasa semakin kecil jaraknya, karna aku semakin mendesak. Tubuhku semakin merapat pada Ainar.
“Y-yu…?” panggilnya lirih.
Entah apa yang merasukiku yang membuatku semakin mendekatkan wajahku. Ainar menahan nafasnya, tak ada hembusan apapun yang mengenai wajahku.
“Yure…?”
PLLUKKK
DEG
“!!” aku segera tersadar saat wortel yang dingin menyentuh, jatuh, mengenai kakiku.
Segera kubalikan badanku setelah mengambil tomat dari tangan Ainar.
“A-ah… tomatnya dingin!!” ucapku sambil mencuci tomat. Sebisa mungkin aku bersikap biasa, walau kurasa tak mungkin. Untuk apa aku melakukannya tadi?!
Kulihat Ainar masih terdiam di tempat. Aku jadi merasa bersalah melihatnya.
“Ai, wortelnya di cuci, gih!” pintaku.
“O-oh, OK.” Ainar berjalan menuju wastafel dan mencuci wortel di tangannya.
Dari tatapan matanya aku dapat membaca kegugupan di sana. Aahhh!!! Apa yang baru saja kau lakukan, Yurefa?!!
Selanjutnya kami melewatkan acara memasak dalam sedikit keheningan dan kecanggungan. Dan saat makan malam pun juga. Aku jadi benar-benar merasa tak enak padanya. Entah kenapa akhir-akhir ini aku sedikit kelepas batas… ah, tidak. Aku bersikap seperti biasa, hanya saja Ainar yang terlihat tak biasa. Wajahnya sering memerah ketika aku mengacak rambutnya atau melakukan sesuatu padanya. Err, entahlah, aku bingung menjelaskannya.
Tapi setidaknya sekarang, saat menonton tv bersama, kecanggungan mulai pudar bersama tawa kami yang mulai meleleh. Acara komedi tengah malam membuat mataku terbuka lebar kembali.
Ainar tersenyum lebar ketika seorang pemain melakukan kesalahan dan sedetik kemudian tawanya lepas. Kurasa aku tak focus pada tv, mataku menatap lurus lelaki manis di hadapanku ini terus-menerus. Kaki Ainar di letakan di sofa, membuatnya seperti bola kain ketika menggulung dirinya dengan selimut. Ah, lucunya^^ senyumku semakin melebar dibuatnya.
Tapi kemudian Ainar sadar akan tatapanku, dia meredam tawanya dan kembali menonton tv. Walau pura-pura tak melihat, aku dapat melihat semburat merah di pipinya. Membuatku harus mengigit bibir bawahku menahan gejolak yang timbul di dadaku, gejoak yang muncul saat melihatnya dalam pose menggemaskan. Seolah aku harus menahan diri agar tak menyerangnya, walau memang aku tak pernah menyerangnya.
Mulut Ainar terus bergerak mengunyah kripik dalam mulutnya. Beberapa remahan keluar dari bibirnya. Kudekati Ainar dengan tangan sedikit terulur. Ainar yang sadar jarak kami semakin mengecil, menatapku horror. Dengan terus mengunyah kripiknya dia mengambil langkah mundur. Kini dia terpojok. Tak ada ruang untuk dia bergerak lagi. Mulutnya beberapa kali mau terbuka, tapi kemudian menutup lagi sadar masih ada sesuatu dalam mulutnya.
SREET
Aku tersenyum dengan ibu jariku membersihkan ujung bibir Ainar.
“Eh…?” Ainar menatapku dan tanganku bergantian. Melihatnya yang sudah terpojok membuatku semakin mendekatkan badanku. “Y-yu!” Ainar berusaha mendorong ubuhku tapi percuma. Kekuatannya tak sebara dibandingkan aku.
Kudekatkan mulutku pada telinga. “Ai…” Aku memanggil namanya dalam rintihan pelan.
Ainar membulatkan matanya. Dia mendorong tubuhku sedikit keras hingga justru dirinya sendiri yang terdorong ke belakang. Dan alhasil dia jatuh bersamaku karna dia menarikku tadi.
BRUKK
“Ah… sorry…” Ainar berusaha bangkit. Tapi kembali terdiam saat menyadari posisiku yang mendidih di atasnya. “Y-yure… berdiri!”
Aku menggeleng pelan. Tidak, aku tak mau melepas moment ini. Gejolak perasaan membuncah di dadaku, mengatakan aku sangat ingin bersama Yure dengan kedekatan yang lebih. Kudekap tubuhnya erat. Ainar berusaha memberontak. Tapi pelukanku semakin erat, seolah aku bisa melebur bersamanya.
Setelah beberapa saat memberontak, akhirnya Ainar terdiam pasrah dalam pelukanku.
Aku menenggelamkan kepalaku di antara leher dan bahunya. Semerbak aroma tubuhnya yang manis terasa di hidungku. Aku heran, kenapa bisa aroma tubuhnya manis? Dia memakai farfum…, atau apa? Tapi kurasa tidak. Sejak dulu, sehabis mandipun aroma tubuhnya juga seperti ini. Manis. Kuhirup aroma tubuhnya dalam-dalam, mengisi rongga dadaku dengan aromanya. Dengan dirinya.
“Kenapa kau ingin kabur, hmm?” tanyaku lirih di telinganya. Tanpa menatapnya pun aku suda tahu, mata Ainar terlihat kebingungan.
Kutarik wajahku hingga terlihatlah wajahnya yang merah merona. Kusibakan dengan lembut poni yang turun menutupi mata besarnya. “Hmm? Kau membenciku?” Kubuat tatapanku sesedih mungkin. Dan benar sesuai rencanaku, Ainar menggeleng dengan cepat dan menggenggam tanganku.
“A-aku tak membencimu, hanya saja…” kalimatnya menggantung. Genggaman tangannya sektika mengendur. Matanya lari dari tatapanku, mengarah ke tempat lain.
“Hanya saja?” Aku masih terus menatapnya.
Ainar menghembuskan nafas panjang sebelum akhirnya memberanikan dir menatapku.
“Hanya saja, aku…”
“Hmm?”
“Berdebar karenamu.”
“Hmm?”
“Aku suka skinship denganmu, hanya saja dadaku terasa sakit tiap kali terjadi. Sakit karna jantungku terlalu cepat berdetak. A-aku tak tahu apa yang terjadi… tapi… yang pasti aku ingin—“
Kalimatnya terhenti. Aku menatapnya dalam, menunggu lanjutan kalimatnya.
“Aku ingin selalu bersamamu… lebih… dan terus lebih dari yang lain.”
Aku tersenyum. “Jadi itu alasanmu ingin ikut pertandingan?”
Ainar mengangguk malu. “Salah satunya.” Ucapnya lirih. “Ta-tapi aku ada apa denganku. Aku bingung…” suaranya semakin mengecil, tertelan.
Senyumku semakin lebar saat melihat rona merah hadir di pipi Ainar. Kudekatkan wajahku padanya dan berhenti tepat sebelum bibir kami bertemu. Nafasnya kembali terhenti.
Kudekatkan bibirku pada telinganya dan berbisik, “Kau ingin tahu apa yang terjadi padamu?”
Ainar mengangguk ragu. Aku tersenyum. Kubisikan sesuatu di teliganya. Dan seketika rona merah itu menjalar hingga telinganya.
“EEEHHHHHHHHH?!” pekiknya.
.
Fin…?
.
mohon masukannya~ untuk series slanjutnya cept post~^^
thanx(+hug) u/ yg dah baca~ ^w^/
Comments
untuk ukuran cerpen endingnya bagus banget. oke, ditunggu cerita lainnya.
thanx^^
>w<
kog Ak jd kbyang Yurefa tuh Minho, Ainar tuh Taemin.. Hahagz
hehe~ banyk yg ngrasa gt yah~ ^w^;;
Rez jg shawol? 0w0/ biasnya syp?
Tuh 2 org td.. Hehe
tp klo jiwa gak tau... meragkn~ (?) --a
kadng mrasa temen cewe it ya... lawan jenis gt~ kliatan manis~ >w<
tp kadng jg klo liat cowo yg disukai ad prasaan gmn gt~ kadng byasa az~ malah senng waktu liat cowo yg cherry sukai melkukn skinship yg mencurigkn dg cowo laend~
hehe~ >w<
(malah curcol~)
rez suka baca ff gk? 0w0
slma ni tw aj ff gmna.. Tp blom prnah bca.. Hehe
Keep up the good work~ ^^ menunggu cerita lain dari Cherry =*
eh...? 0w0 gk pernah? ayo! baca! baca! *dorong2 rez k ff yaoi site*
@callmespica->>w</ sankyu~~ *hug spica*
cherry jg menunggu karya spica~~ >w</
nice story btw
good work! \( ^,^)/
@pokemon->benrkah? 0w0/ hehe~ ^w^v
@Lu_chu-> komik? 0w0 mungkn pengrh dr penykt yg di drita cherry ini~ hwahaha~~ -w-