It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
ayo lanjuut.
Wah, kayaknya menarik juga ikutan ekskul ini. Saya memang belum punya keterampilan bermain musik yang memadai, belum pernah ikutan les atau latihan musik secara khusus sebelumnya. Tapi, pede aja ah. Toh banyak juga kayaknya yang sama-sama baru belajar. Lagian ini kan musik tradisional,
“lebih merakyat, dan yang penting tampil meriah serta menghibur”, itu yang dibilang oleh para kakak senior.
***
“Gimana atuh ini megangnya?” seorang cowok bertanya dengan heran, mengamati angklung di tangannya kemudian celingak celinguk pada tangan teman yang lain.
Di kelas itu sedang berkerumun beberapa orang dengan satu yang sepertinya sedang jadi pusat perhatian; cowok yang kemarin membenarkan cara pegang angklung saya.
“Lihat tah, di sebelah kamu. Gitu yang betulnya.” ia berkata seraya menunjuk ke arah seseorang diantara mereka.
Mereka kemudian saling memperhatikan. Saya yang baru aja masuk kelas sambil membawa angklung memperhatikan juga dari jauh. Jadi ngerasa deja vu, kemarin kan saya yang diajarin tuh cowok.
“Oooh, pantesan kebalik saya teh megangnya.” cowok yang salah itu sambil membalikkan angklung di tangannya. “Ngobrol atuh dari tadi, Tra!”
“Makanya ini dikasih tau, oon!!” kayanya cowok yang ngajarin itu agak geregetan seraya hendak memukulkan angklung ke arah temannya.
“Eeh, santai atuh men!” salah satu dari mereka mencoba melerai.
Mereka tertawa-tawa.
Ceria banget mereka, saya yang baru datang tertarik juga buat ikutan. Sadar akan kehadiran saya, cowok yang jadi pusat perhatian itu kemudian menoleh dan tersenyum. Teman-teman yang lain pun jadi ikut noleh dan agak melonggarkan kerumunan, menerima saya gabung.
“Nah, kalo si akang ini udah tahu belum caranya bunyiin angklung?” cowok yang barusan diajari membuka pembicaraan.
Saya menjawab, “Boleh dites. Gurunya ada di sini kok.” saya tersenyum ke arah cowok yang jadi pusat perhatian tadi.
“Eits, jangan salah. Dia mah udah saya ajarin duluan!” si cowok sambil menarik kerah seragamnya berbangga diri.
“Aah, ga percaya! Buktiin dong.” salah satu mereka menantang.
“Beuh, kelakuan ya! Coba kasih lihat atuh.” sambil mengedikkan kepala pada saya.
“Boleh...
tapi gurunya harus ikut yah.” saya iseng menghibur mereka (sambil menghibur diri sendiri juga sih..hihi).
“Hahahaha..” semua tertawa bersamaan.
“Aaah, kalian ya sama aja! Saya juga yang harus bunyiin.” cowok itu setengah pasrah sambil mengambil angklung dan memegangnya. Saya pun bersiap dengan angklung, mencoba mepraktekkan kembali cara yang kemarin ia ajarkan.
“Kruluuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuunng..........”
***
Bunyi angklung yang panjang kemudian berhenti dan membuyarkan lamunan saya. Kakak pelatih menurunkan tangannya yang sejak tadi sibuk menunjuk-nunjuk nada di papan tulis. Satu lagu baru telah selesai kami coba mainkan. Kali ini tidak hanya angklung, saya juga melihat beberapa anak memainkan alat musik pengiring. Ada yang berbentuk bulat seperti drum, ada yang terbuat dari logam seperti dua piringan saling beradu, dan ada pula yang seperti biola namun dalam ukuran yang super besar. Sejenak saya terkesima melihat pemain alat musik yang terakhir ini. Keren juga yah, bisa mainkan alat musik sebesar itu. Saat dipetik alat itu mengeluarkan suara yang dalam, seperti berwibawa sekali. Ditengah pemikiran itu, tiba-tiba saya tersadar bahwa ada tangan menawarkan jabat di sebelah saya.
“Kayaknya saya belum tahu nama kamu euy,” cowok yang mengajari saya itu berkata.
“Oh, saya Arman.” saya mencoba segera menyambut tangannya.
“Regatantra Kristo.” akhirnya ia pun sebutkan nama panjangnya sambil masih berjabat.
“Arman Nafian.” saya juga boleh sebutkan toh, seraya goyangkan jabat tangan kami.
Kita saling tersenyum beberapa saat.
“Nama kamu mirip seseorang.” ucap Tantra
“Oh ya? Wajar kok, udah banyak saya nemu orang yang namanya mirip.” komentar saya.
“Eh, beneran..” Tantra yang tadi tersenyum, ekspresinya kini agak berubah jadi sedikit melamun.
“Nama kamu mirip nama kakek saya, Arman. Dia lagi sakit sekarang. Mudah2an Tuhan segera memberinya kesembuhan.”
Saya masih memperhatikan wajah Tantra, “Amin. Kamu harus selalu kasih semangat dia kalo gitu.”
Tantra menatap saya, kemudian mengangguk.
Ia kemudian bercerita pada saya bahwa di Bandung ia tidak tinggal bersama orang tua, melainkan dengan kakek dan neneknya. Ayah dan ibu Tantra tinggal di lain kota karena pekerjaan mereka. Saya pun kemudian bercerita tentang keluarga saya, hingga akhirnya kami melakukan pembicaraan panjang yang tanpa sadar ternyata kakak pelatih di depan sedang memperhatikan.
“Boleh saya minta perhatiannya?” kakak pelatih berkata pada seisi ruangan sambil sesaat melihat ke arah kami berdua.
Kelas menjadi sedikit hening. Namun belum selesai ia melanjutkan ucapan, tiba-tiba masuklah dua orang putih abu-abu ke dalam kelas. Yang satu membawa angklung dan saya pernah lihat; temannya Tantra yang tempo hari menyuruh mengajarkan angklung pada saya, dan yang satu lagi berwajah lebih dewasa, tidak membawa angklung dan saya tidak kenal. Sepertinya bukan anak baru, mungkin salah satu kakak senior. Memang dalam waktu latihan, selain kakak pelatih ada pula kakak senior yang membantu kami memegang angklung, mengetahui nada, dan hal-hal tentang angklung lainnya yang baru bagi kami anak kelas 1. Walaupun baru beberapa kali bertemu, sikap mereka yang ramah membuat kami cepat akrab satu sama lain. Mungkin karena kagum juga dengan kedewasaan mereka yang sudah kelas 2 dan 3. Dan juga, (benar omongan teman2 itu) beberapa dari mereka bertampang cute dan menggemaskan..hihi.
Temannya Tantra itu berjalan melewati beberapa teman hingga kemudian berdiri dekat di sebelah Tantra. Gak jauh dari saya juga.
“Kenapa baru dateng?” Tantra berbisik padanya.
“Ada urusan.” jawabnya singkat.
Perhatian kelas sejenak teralihkan, namun masih hening.
“Bisa saya lanjutkan?” kakak pelatih kembali meminta perhatian.
“Baik, saya ucapkan terima kasih atas semangat dan kelihaian kalian yang mulai tumbuh dalam mengikuti latihan angklung. Namun, itu kalian harus tingkatkan lagi. Karena semangat dan kelihaian kalian akan ditantang untuk menghadapi sebuah pergelaran yang sakral dan bersejarah.”
“Festival Paduan Angklung IX”
***
(bersambung ke Chapter 3...)
haha
thanks bang
hoho..kynya itu guru geografi berinisial SS yg buanyaak bgt LKSnya :P
salam kenal
kalo Geografi bener banget tuh si SS hahaha, nilai pernah dipampang di tempel di depan kelas, gila yang dulu minus 2 ada banyak, ada yang minus 10 siah. Hahaha..
Eh btw di KPA seueur yang gitu ya? :P
Kalo udah Mas Noel bilang bagus, berarti emang ni cerita promising banget, hehe
gw pernah g ikut ulangan, pas minta susulan, dia malah nanya, "kamu beli buku kan? kamu udah punya nilai ko..."
kangan mami dewi nih...enam taun g ketemu...
kebetulan banget saya baca cerita ini, dan pas liat motto sekolah disebut langsung speechless lah :O ga nyangka kalo almamater saya juga banyak yg begini...
kalo di sekolah tuh saya suka minder soalnya anak-anak kan banyak gaulnya di bidang futsal -,,,-
salam kenal ya akang-akang sekalian! btw, saya masih sekolah di 3 loh )
Dtnggu lanjtannya...
aaaah...BM si BM tapi kan belok2 juga,,,(kaya gue,,wkwkw)
ahahaha, untung ga pernah diajar physics sama Mr.S..... dulu diajar guru yg selalu pake jas kalo ngajar (baru wafat kmrn, RIP pak).. Mr Santana TOP BGT kale....hohoho
Sering-sering di update ya
Sebenernya di sekolah gue jg ada eksul angklung, dan gue tertarik masuk, cuman malu udah kelas 3. haha *curhat mode : on*