BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

[Series] Ninja Next Door ★★★ 12 - Collateral Damage ★★★

1679111242

Comments

  • lanjut woy ceritanyaa
  • edited August 2011
    09
    Stand Against
    The Backfired Plan



    ninja03.gif
  • edited August 2011
    Samudera


    Aku ketahuan nyuri mobil dan bikin Rion hilang ingatan, itu aja udah sangat buruk.

    Apalagi sekarang ditambah sikap Rion jadi aneh.

    Aku udah bikin Rion jadi cowok sakit. Secara mental.

    Rion bilang sayang ama aku. Atau mungkin lebih tepatnya dia pikir dia sayang ama aku. Yeah .. sama AKU. Is that even possible? Dia cowok. Aku cowok. Dan bukannya dia punya cewek? Artinya dia normal dong, bukan gay. Tapi kenapa tiba-tiba jadi suka cowok. Trus kenapa AKU? Normalnya aku bakal langsung nolak tegas kalo ada cowok yang nembak aku. Tapi ini Rion. Aku nggak bisa bikin dia kecewa atau sedih. Apalagi keliatannya dia beneran suka, beneran sayang. Aku nggak tega ngehapus senyum dari wajahnya.

    Lamunanku dibuyarkan oleh ketukan pelan di jendela. Aku melirik keluar.

    Rion berdiri di luar jendela dan menunjuk kaca didepannya. Ia meniupkan nafasnya, membuat kaca itu berembun, lalu dengan telunjuknya dia melukis gambar hati disana, kemudian menulis tiga huruf didalamnya. SAM. Namaku.

    Aku melongo sementara Rion melambaikan tangannya senang.

    Lalu aku sadar, ngapain Rion diluar rumah? Udah hampir malem gini, ntar dia masuk angin, udara disini kan dingin.

    “Rion. Cepet masuk,” seruku keras.

    Rion tersenyum dan langsung berlari masuk. Melesat kearahku.

    “Aku kira kamu istirahat. Kamu kan tadi bilang mau tidur,” kataku agak kesal.

    Rion cemberut. “Aku bosan. Kamu nggak mau nemenin sih. Lagian aku capek pura-pura tidur terus.”

    Aku menghela napas panjang.

    “Eh liat deh,” Rion menunjuk lukisan hati yang dia buat di jendela. “Itu hatiku. Disitu ada kamu,” katanya tersenyum lebar.

    Aku terlalu shock untuk bisa berkomentar.

    “Jadi gimana? Kamu jawab apa? Mikirnya udah belum?” cerocos Rion lagi.

    Sejak pulang dari jalan-jalan ke sungai, Rion selalu menanyakan itu tiap setengah jam. Di sungai dia mengusulkan untuk pulang ke asrama hari Senin besok tapi dengan syarat aku harus jadi pacarnya. Dan waktu itu aku jawab mau mikir dulu.

    “Belum,” balasku singkat.

    Rion merenggut kecewa. “Jangan lama-lama. Katanya kamu pingin pulang.”

    Aku menoleh cepat.

    “Iya aku pengen pulang. Tapi syaratnya itu berat. Aku harus mikir dulu.”

    “Jadi mikirnya berapa lama lagi?” tanya Rion nggak sabar.

    “Jangan tanya-tanya soal itu lagi oke? Aku janji sebelum hari Senin aku udah dapet jawabannya.”

    Rion diam untuk beberapa saat, terlihat sedang berpikir. “Aku harus ngelakuin apa biar kamu nanti jawab ‘Iya’?”

    Aku menelan ludah karena Rion tampak sangat serius.

    “Rion!!” aku berdesis panik saat dia mulai mendekatkan wajahnya.

    Rion berhenti. Dia nyengir. “Sori. Kalo udah mikirnya kasih tau aku ya.”

    Rion berjalan santai ke kamar sambil bersenandung pelan. Keliatan bahagia kayak orang lagi ketiban cinta. Aku menatapnya putus asa. Dia terlihat sangat manis kalo bersikap seperti itu. Menggemaskan. Kayak anak kecil. Aku melirik gambar hati yang dibuatnya. Gambar itu terlihat lucu. Walau udara saat itu dingin tapi aku merasa kehangatan merasuk ke hatiku.

    Dini nggak pernah melakukan hal seperti itu.

    Dini .. Cewekku ..

    Aku sampai lupa ama dia. Belakangan ini pikiranku selalu dipenuhi Rion .. Rion .. dan Rion. Semua ini gara-gara tugas sialan itu sih, hidupku jadi berantakan kayak gini. Aku jadi kejebak ama Rion.

    “Sam!”

    Aku terlonjak kaget, jantungku hampir copot. Muka Rion tiba-tiba ada didepanku. Dia nyengir.

    “Ngelamun apa sih? Sampe nggak sadar aku dateng,” katanya geli.

    “Kamu ngapain kesini lagi?”

    Rion mengangkat bahu. “Bosannnn.”

    Aku menghela napas.

    “Aku istirahat disini aja ya,” dan tanpa menunggu jawabanku Rion langsung berbaring di sofa. Kepalanya bergerak pelan dipangkuanku. “Enak Sam. Empuk,” gumamnya senang.

    “Sana kekamar aja.”

    “Nggak mau. Aku bosan.” Rion menutup matanya, pura-pura tidur.

    Aku menatapnya pasrah.

    “Sam. Sejak kapan kamu suka aku?” tanya Rion masih dengan mata tertutup.

    Aku mengernyit.

    “Maksudnya?”

    “Kan kamu duluan yang nyium aku. Sampe difoto segala. Artinya kamu yang suka duluan. Ayo cerita dong, aku kan lupa,” lanjutnya lagi.

    “Orang nyium bukan berarti suka,” jawabku datar.

    Rion membuka matanya. “Masa sih? Aku nggak bisa nyium orang kalo aku nggak suka ama dia.”

    Aku diem aja.

    Rion menutup matanya lagi. “Nggak apa-apa kalo kamu nggak suka aku. Yang penting aku tetep suka kamu.”

    Suka huh?

    Ada orang bilang kalo mereka suka hujan, tapi waktu hujan turun mereka make payung biar nggak kehujanan.

    Ada orang bilang kalo mereka suka matahari, tapi waktu matahari bersinar terik mereka segera berteduh.

    Ada orang bilang kalo mereka suka angin, tapi waktu angin berhembus kencang mereka masuk rumah dan menutup pintu.

    Aku ragu kalo denger orang bilang suka sama aku.

    Karena suka itu nggak selamanya. Cuman ada saat tertentu aja. Suatu waktu pasti hilang.

    “Dulu ada cewek yang nyium aku,” aku menyeletuk.

    Rion membuka matanya cepat sekali. Memandangku liar.

    “Dia juga yang bilang sayang duluan. Aku kira dia suka ama aku, jadi aku coba pacaran ama dia,” lanjutku. “Tapi waktu aku terlanjur sayang ama dia, dia malah menjauh.”

    “Dia bego,” komentar Rion.

    Aku tertawa. “Aku yang bego.”

    Kami terdiam cukup lama. Aku melirik keluar jendela, langit sudah mulai gelap. Rion masih melihatku dengan melamun. Apa dia nggak bosan ngeliatin aku terus?

    “Kamu pengen cepet pulang ya Sam?” dia menanyaiku dengan nada serius.

    Aku diam sesaat untuk berpikir. “Ya. Tentu aja. Tapi semua terserah kamu, kalo kamu bilang nggak mau pulang ya aku nurut.”

    Rion menatapku dengan pandangan penuh penyesalan. “Sori.”

    Aku balas memandangnya. “Apa? Jangan minta maaf. Aku yang salah. Semua jadi kayak gini itu gara-gara aku.”

    “Janji ya Sam kamu akan terus nemenin aku sampai aku sembuh?”

    Aku meliriknya dan mengangguk.

    Rion tersenyum, keliatan sangat puas. “Janji kamu akan terus nemenin aku sampai ingatanku kembali?”

    “Iya. Janji,” jawabku pelan.

    Senyum Rion semakin lebar. “Sam. Aku nggak nyesel udah kecelakaan dan hilang ingatan seperti ini. Aku malah seneng bisa ngabisin waktu sama kamu.”

    Aku menahan napas, kata-katanya membuatku terdiam, dan jantungku berdebar kencang.

    Aku mengangguk pelan. “Yeah. Aku juga seneng.”

    Malamnya aku nggak bisa tidur. Kata-kata Rion terngiang terus ditelingaku.

    “Be mine.”

    Kak Sam sedang pulang ke rumahnya, kalo hari Sabtu ama Minggu dia memang biasa pulang. Kamarnya jadi terasa sepi, tapi bagus kayak gini, jadi aku bisa mikir tenang. Rion sudah tidur di kamarnya sendiri. Sebelum tidur tadi dia nanya lagi jawabanku, iya atau tidak. Dan aku belum bisa jawab lagi.

    Rion. Dia selalu buat aku pusing. Apa ini mimpi? Rion bener-bener pengen jadi pacarku. Aku nggak tau logikanya gimana tapi dia keliatan sungguh-sungguh waktu bilang sayang.

    Rion. Presiden Mahasiswa kampus naksir cowok macam aku?

    Dan itu gara-gara aku ngebikin dia hilang ingatan.

    Mungkin itu yang membuat aku kuatir. Karena dia hilang ingatan. Semua yang dia bilang sekarang itu karena dia hilang ingatan. Kalau semua ingatannya sudah kembali, dia nggak akan semanis itu lagi.

    Aku ngerasa capek, ngantuk banget dan aku belum kepikiran jawaban untuk Rion besok. Jujur, aku jadi mikirin dia mulu. Mungkin perasaan suka ada, aku suka liat dia senyum, aku suka caranya nyariin aku terus tiap kali dia butuh sesuatu, manggil-manggil namaku kayak anak ilang .. nggak nolak aku ditaksir ama cowok sebaik itu, manis lagi, ganteng .. tapi .. kalo sayang masih belum .. baru biasa-biasa aja .. nothing special.

    Aku ingat lagi kata-kata Rion. “Aku nggak minta kamu suka ama aku ato sayang ama aku. Aku cuman minta kita pacaran. Itu aja. Biar kita bisa sama-sama terus.”

    “Apa nggak bisa kita sama-sama sebagai teman?” tanyaku waktu itu.

    Rion menggeleng. “Aku nggak mau. Pokoknya harus pacar.”

    Seperti namanya. Rion. The King. Dia selalu bertingkah seperti raja, apapun maunya harus dituruti. Jadi aku harus pacaran ama dia cuman karena dia pengen aku jadi pacarnya? Sebenarnya nggak ada ruginya juga sih pacaran ama Rion. Kalo aku mau jadi pacarnya, kita akan balik ke asrama besok. Trus aku akan bantu dia biar ingat lagi, kalo dia udah ingat pasti aku bakal langsung diputus. Hmmmm .. mungkin pacaran ama Rion bukan ide yang buruk.

    Damn ..

    Are you crazy, he can't remember anything?!
    Are you blind? You’re both guys.

    Tapi ini rencana yang paling baik untuk sekarang.

    Aku harus nerima Rion. Aku harus jadi pacarnya. Yeah .. paling enggak sampai dia ingat lagi semuanya.

    Tenggorokanku terasa kering. Aku bangkit keluar kamar mencari air minum di dapur. Saat melewati kamar Rion aku mendengar suara. Aku mengernyit. Jadi dia belum tidur? Karena penasaran aku mendekat dan membuka pintu kamarnya sedikit.

    “Minggu besok gw balik Yog, iya gw janji .. Tapi lo tolong gw ya. Bawain mobil dari rumah gw. Iya yang kuning itu. Gw udah bilang ama orang rumah kok, lo tinggal ambil aja. Ntar lo bareng Dennis jemput gw ..”

    Yoga? Dennis? Itu anak Wisma Indah Lima kan?

    Kenapa Rion ingat?

    Perasaanku mulai nggak enak. Aku mengintip kedalam dan melihat Rion sedang menelpon seseorang. Sejak kapan Rion ngedapetin ponselnya?

    “Gw butuh mobil. Mobil gw yg biru itu rusak, sekarang lagi diservis, tapi kelarnya masih lama, dan gw butuhnya besok .. “ suara Rion terdengar tidak sabar.

    Aku membuka pintu dan masuk. Rion membelakangiku, jadi dia nggak sadar aku sudah didalam.

    “Pokoknya gw nggak mau tau Yoga,” Rion jelas sedang bicara sama Yoga, dan dia terdengar marah. “Kamu harus ngejemput aku. Ajak Dennis juga.”

    Lalu suaranya terdengar berbeda. Licik. “Dan aku mau nanti kita sandiwara sedikit. Ntar gw kasih tau skenarionya, pokoknya kalian ikutin aja ..”

    Sandiwara? Aku sengaja menutup pintu keras-keras.

    Rion berbalik. Matanya melihatku kaget lalu ia berkata pelan. “Udah dulu. Gw sambung ntar lagi.” Dia menurunkan ponsel dari telinganya dan menatapku tajam, menungguku untuk bicara duluan. Tapi aku tetap diam.

    Kesunyian dalam kamar itu begitu mutlak. Aku dan Rion sama-sama terdiam, saling memandang satu sama lain.

    Rion mengambil inisiatif untuk bergerak mendekatiku.

    “Berhenti,” gumamku pelan.

    Rion menghentikan langkahnya.

    “Sejak kapan?” tanyaku dingin.

    “Apanya?”

    “Gak usah berlagak bego. Sejak kapan kamu ingat?” aku memandangnya tajam. “Atau jangan-jangan dari awal emang enggak ada yang namanya hilang ingatan. Kamu cuman pura-pura.”

    Rion menarik napas panjang. “Aku ingat lagi semuanya dua hari setelah kecelakaan. Waktu itu Yoga nelpon aku, trus aku tiba-tiba ingat lagi.”

    Pikiranku langsung kosong. Badanku bergetar hebat karena marah. Jadi selama ini aku dibohongi?

    “Dan kamu pikir kamu bisa ngajak aku pulang ke asrama sambil terus pura-pura kalo kamu masih hilang ingatan?” kataku dingin, mencoba menahan diri untuk tidak langsung maju menyerangnya.

    “Itu rencananya,” jawab Rion langsung.

    Apa ini? Apa dia mau balas dendam? Apa ini caranya ngehukum aku karena udah nyuri mobilnya? Dengan pura-pura hilang ingatan, pura-pura suka, pura-pura sayang ..

    Aku memaksakan diriku untuk tersenyum. “Well .. Rencanamu gagal ..”

    “Bagaimana dengan rencanamu?” balas Rion tajam.

    Aku mengernyit. “Apa maksudmu?”

    Rion tertawa pelan. “Ayolah Sam. Aku sudah ingat. Semuanya. Kita berdua tahu kalo kamu nyuri mobilku. Jadi apa rencanamu?”

    Wajahku memucat, dan tanganku basah oleh keringat dingin. Rion menatapku puas, menungguku menjawab sambil tersenyum ganjil. Seakan dia menikmati melihatku terpojok seperti ini.

    Rion mencibir dan berdecak pelan. Dia melempar ponselnya keatas dan menangkapnya lagi. Tanpa ada setitik pun keraguan akan meleset.

    “Kamu tahu nomor siapa ini?” dia menunjukkan contact di phonebook ponsel-nya.

    Mataku melebar. Itu kan .. Caessar.

    Rion tersenyum dingin. “Apa hubungannya Caessar ama kamu nyuri mobilku?”

    Aku nggak menjawab.

    “Apa aku tanya langsung dia aja?” ancam Rion.

    “Maumu apa sih?” tanyaku putus asa.

    “Aku mau kamu,” jawabnya santai.

    Aku tertawa dingin.

    “Aku serius Sam,” kata Rion lagi.

    Aku merasakan api kemarahan menjilat-jilat dalam diriku, berkobar dalam kekosongan yang menyakitkan, memenuhinya dengan keinginan untuk menyerang Rion karena ketenangannya dan kata-kata kosongnya.

    “Serius huh?” suaraku mendadak keras dan kuat. “Kamu bener-bener pinter bohong Rion. Kamu tau nggak aku sampai percaya kalo kamu suka aku.”

    “Aku emang suka kamu,” kata Rion sangat pelan.

    Ini sudah keterlaluan. Aku maju dan meraih kerah bajunya.

    “Aku nggak mau denger kamu bilang itu lagi. Oke?” desisku murka.

    Rion memandangku dengan sorot mata penuh dengan kekecewaan. Dia tampak sangat kecewa aku menganggap pengakuannya cuman bohong. Aargh .. bukan .. dia kecewa bukan karena itu. Dia kecewa karena aku nggak percaya ama kebohongannya. Jangan tertipu Sam. Dia cuman bohong. Semua yang dia katakan bohong.

    Dia nggak benar-benar suka kamu Sam ..

    Dia nggak benar-benar sayang kamu..

    Dia cuman pura-pura ..

    Tiba-tiba hatiku terasa sangat nyeri.

    Astaga, kenapa aku merasa sesak? Aku begitu resah sampai ingin meninju sesuatu untuk melampiaskan kekesalanku sendiri. Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri, tetapi hal itu malah membuat hatiku terasa semakin sakit dan seolah-olah akan meledak.

    Aku nggak nyangka aku akan sekecewa ini, aku nggak nyangka aku akan sesedih ini.
  • edited August 2011
    Rionaldi


    Aku benar-benar suka kamu Sam ..

    Aku benar-benar sayang kamu..

    Aku nggak pura-pura ..

    Kenapa kamu nggak percaya sih? Apa sulit untuk dipercaya kalo aku suka sama kamu?

    Sam menatapku dengan kebencian yang memuncak. Hatiku sakit. Aku nggak terbiasa menerima kebencian darinya. Aku ingin melihatnya tersenyum. Aku memegang tangannya yang meremas kerah bajuku. Sam langsung menepisnya. Ia melempar pandangan sangat menghina dan berbalik, berjalan menuju pintu.

    “Sam,” aku memanggilnya. “Kita jadi pulang besok kan?” Aku mencoba berbicara dengan nada yang lebih ramah. “Kamu udah mutusin mau ngejawab apa?”

    Sam menoleh dan menatapku dingin.

    “Enggak ada ‘KITA’ lagi mulai sekarang. Aku dan kamu jalan sendiri-sendiri,” nada suaranya sangat dingin.

    “Terus jawabanmu?” tanyaku penuh harap.

    “Ah,” Sam menatapku lurus.

    Apa dia mau menjawab iya? Apa dia mau jadi pacarku?

    “Enggak!!” desis Sam panas dengan mata berkilat bahaya. “Aku nggak mau jadi pacarmu. Dan aku nggak mau ada hubungan apa pun sama kamu. Kita sama sekali nggak ada urusan.”

    DAMN. Aku merasa suara Sam bergetar, apa dia tadinya mau menjawab ‘iya’ ?

    Bego. Kenapa tadi aku nggak kunci pintunya? Satu-satunya kesempatanku untuk ngedapetin Sam jadi hilang. Sial. Aku ngerasa sangat kesal pada diriku sendiri. Kalo gini caranya aku harus cari cara lain ..

    We must play a different kind of game ..

    Aku menarik napas, dan menatap Sam dengan ekspresi bosan.

    “Kamu nggak akan ada urusan sama aku kalo kamu ada dipenjara,” gumamku pelan tapi jelas, aku memain-mainkan ponselku, melemparnya dan menangkapnya lagi.

    Muka Sam menjadi pucat. Dia memandangku waspada.

    “Dan mungkin nggak cuman kamu,” lanjutku santai. “Tapi Caessar juga .. Robin juga .. dan temen-temenmu yang lain. Yang ninja itu bukan cuman kamu kan?” aku menyeringai.

    Sam mulai gelisah, wajahnya terlihat sangat cemas.

    Aku nggak tahan melihat Sam menderita seperti itu. Aku mencengkeram erat tanganku sendiri, berusaha menahan diri untuk tidak menarik Sam kepelukanku. Oh God .. aku ingin sekali mengatakan padanya untuk tidak usah takut. Aku ingin sekali meyakinkannya kalau aku akan melakukan apa saja untuk membuat semuanya baik-baik saja.

    Kamu nggak perlu takut apa-apa lagi selama kamu punya aku, selama kamu jadi milikku.

    “Jadi maumu apa?” tanya Sam parau.

    “Aku cuman .. mau kamu Sam,” sekali lagi aku mencoba menjawab, kali ini dengan nada paling lembut dan tulus yang aku bisa.

    Sam mendengus tidak percaya. “Yeah.”

    Dia masih nggak percaya? Dadaku jadi sesak. Kenapa jadi seperti ini?

    Aku tertawa kecil. Sam menatapku hati-hati.

    “Jangan bego. Kamu pikir aku beneran suka sama kamu?” aku menyeringai, melempar pandangan meremehkan ke Sam.

    Sam tampak sangat terkejut. Seketika itu juga aku menyesal telah mengucapkan kata-kata tadi. Sam terdiam cukup lama sebelum dia berkata dengan dingin. “Jadi apa maksudmu?”

    “Aku pengen ngerasain pacaran ama cowok,” jawabku cuek. “Aku bosan ama cewek terus.”

    Mata Sam melebar kaget. “Apa?”

    “Kenapa?” aku memandangnya bosan.

    “Kalo kamu mau cowok, cari gigolo sana,” bentak Sam, tampak lebih marah daripada yang pernah kulihat. “Kenapa harus aku?”

    “Aku nggak mau repot,” balasku sambil lalu. “Lagian banyak resikonya kalo pake cowok panggilan kayak gitu. Aku punya reputasi Sam. Aku harus jaga itu semua.”

    “Aku bukan homo.”

    “Itu malah bagus. Aku juga bukan homo. I just curious, cuman main-main aja.”

    “Dan aku benci kamu,” sambar Sam panas.

    “Justru karena itu. You’re just perfect Sam. Kamu benci aku, kamu nggak akan naksir aku, jadi kalo aku bosan kita bisa akhiri semuanya kapan saja. Anggap aja kita ini lagi fooling around. Nothing to lose.”

    Sam memandangku tegang.

    “Ah .. dan satu lagi,” aku menambahkan. “Aku juga butuh kamu untuk bikin Selina mutusin aku.”

    “Selina cewekmu?”

    Aku mengangguk. “Dia jadi tambah menyebalkan akhir-akhir ini. Kalo tau aku selingkuh ama cowok dia pasti langsung minta putus.”

    Sam menggeleng tidak percaya. “Kamu benar-benar pengecut.”

    Aku menaikkan bahu. “Terserah mau bilang apa.”

    “Kalau aku setuju .. mobilnya ..” Sam mulai mengerti kemana arah pembicaraan kami.

    “Mobilnya enggak dicuri,” aku menyelesaikan kalimat Sam dengan lancar. “Aku yang ngijinin kamu make mobilku. Terus kita kecelakaan. Simple. Dan nggak ada Caessar ato Robin yang terlibat. Dan temen-temenmu yang lain juga nggak ada hubungannya.”

    Sam diam sementara dia berpikir. Wajahnya tampak berkerut samar.

    Aku mendekatinya. Tanganku menyentuh pipinya lembut. “Kamu cuman perlu bilang ‘iya’ dan semuanya akan baik-baik saja.”

    Sam memalingkan wajahnya. “Jangan sentuh aku.”

    Hatiku sakit mendengar nada dalam suara Sam. Dia takut padaku. Dia takut.

    Aku memejamkan mata. Lalu aku membukanya lagi dengan semangat baru. Aku harus menyelesaikan semua ini.

    “Kamu harus terbiasa dengan sentuhanku,” aku menyeringai. “Bagaimana kamu bisa bikin Selina percaya kita pacaran kalo kamu nggak mau dipegang?”

    Sam memandang tajam. “Selina nggak ada disini.”

    Aku tertawa pelan.

    “Jadi?” aku meliriknya dan tersenyum nakal. “Kita pacaran nih?”

    Sam memandangku jijik sebagai jawaban dan mendorongku menjauh. Dia nggak ada pilihan lain. Aku yakin dia pasti sadar itu. Dia harus terima penawaranku.

    “Aku mau kamu putus dari cewekmu,” kataku sebelum Sam keluar kamar. “Siapa itu namanya?”

    “Dini,” jawab Sam datar. “Tenang aja. Dia juga udah mau mutusin aku.”

    Aku tersenyum terus sampai Sam keluar kamar.

    Setelah aku sendirian, senyumku hilang. Aku menjatuhkan diriku ke kasur dan mengeluh kesal. Aku memaki-maki diriku sendiri. Saat itu aku baru sadar, aku telah melakukan kesalahan besar. Dengan susah payah aku menarik napas dalam-dalam untuk meredakan kekesalan —atau tepatnya, penyesalan— yang muncul dan menyesakkan dadaku. “Bodoh,” gerutuku pelan.

    But I want him.

    I will do anything. As long as he belong to me.

    Although he will hate me.
  • edited August 2011
    Liam Firman


    Aku benci konflik.

    Kenapa harus berantem segala sih?

    Sejak dulu aku selalu jadi korban kalo ada orang berantem.

    Kayak sekarang ini. Kaka dan Harris lagi berantem. Mending ya kalo berantemnya karena hal yang agak kerenan dikit, misalnya karena .. ummm .. karena .. eh setelah dipikir-pikir lagi berantem itu kan nggak baik. Jadi mending jangan berantem deh.

    Nah kasusnya Kaka ama Harris ini cuman gara-gara coklat ilang doang mereka udah kayak perang Teluk aja (apa itu perang Teluk? Baca lagi buku sejarahmu, hehe). Mereka bikin aksi diem-dieman, tutup mulut, buang muka dan banting pintu yang bikin gerah anak satu kos. Gimana nggak gerah, lagi asik tidur siang eh tau-tau ada bunyi pintu dibanting kenceng banget, untung nggak ada yang jantungan.

    Dan aku kebagian tugas sebagai juru damai. Nekat gak tuh? Nyabung nyawa ditengah banteng ngamuk gitu. Dipaksa ama Robin sih sebenernya, jadi ya mau nggak mau harus aku lakuin. Tapi tentu aja itu bukan hal yang mudah. Kaka dan Harris sama-sama keras kepala. Masing-masing sangat marah terhadap yang lain, aku jadi nggak tau caranya mendamaikan mereka.

    Harris marah sekali coklatnya hilang, padahal dia sudah bela-belain nyisihin uang jajannya bulan ini buat beli tu coklat. Dan dia juga tambah marah karena Kaka tetep nggak mau ngaku kalo dia udah nyuri coklatnya. Sementara itu, Kaka ngotot dengan pernyataannya kalo bukan dia yang nyuri, dan malah nyaranin Harris untuk nyari coklatnya lagi di kamar, jangan-jangan keselip.

    Bolak balik aku datengi mereka berdua, minta mereka untuk berdamai.

    “Bukan gw yang mulai,” teriak Kaka keki. “Harris yang duluan. Dia nuduh sembarangan. Pokoknya sebelum dia minta maaf gw gak mau baikan ama dia.”

    “Kaka itu sama sekali nggak ngerasa bersalah,” kata Harris jengkel. “Aku nggak minta dia balikin coklatku. Aku cuman minta dia ngaku salah.”

    Karena nggak mungkin mengharapkan mereka untuk baikan atas kesadaran sendiri, aku jadi terpaksa nyusun rencana. Aku beli coklat toblerone di supermarket dan nempel surat karanganku yang aku print. Kalo Harris ngira coklat ini dari Kaka pasti Harris jadi nggak marah lagi. Kalo Harris nggak marah lagi, lama-lama Kaka juga bakal luluh trus mereka baikan deh. Tak mengapa pengorbananku nombok uang buat beli coklat, yang penting mereka bisa damai. Hehe.

    Aku tersenyum senang membayangkan rencanaku.

    Waktu aku jalan di koridor menuju kamar Kaka aku melihat Ferli berjalan mondar-mandir dari satu kamar ke kamar lain. Ngapain dia?

    “Ngapain Kak?” sapaku.

    Ferli menoleh cepat. “Kamu ada makanan? Snack? Ato apa ajalah.”

    “Nggak ada,” jawabku.

    Ferli mengerling coklat ditanganku dan menaikkan alis. “Itu apa?”

    “Jangan yang ini Kak.”

    “Ini demi kepentingan negara. Sini coklatnya,” katanya sambil berusaha ngerebut coklat dari tanganku.

    “Jangan,” aku mencoba melawan.

    “Pelit banget sih, ntar diganti kok. Sini pinjem dulu coklatnya.”

    “Enggak. Jangan.”

    Tanpa sadar kami berebut coklat sampai masuk ke kamar Kaka yang terbuka lebar. Mata Ferli melebar melihat bungkusan pink berpita yang duduk manis di meja belajar Harris.

    “Liam pelitt,” ledek Ferli keki, dan dia menyambar bungkusan pink di meja Harris itu lalu langsung kabur keluar.

    Ya ampun bungkusan punya siapa tadi?

    Apa punya Harris? Wah kalo Harris tau makanannnya ilang lagi bisa gawat nih. Aku memutuskan untuk langsung meletakkan coklat perdamaianku di meja Harris. Beres. Ketika aku mau keluar, aku kuatir kalo Ferli ngambil coklat itu. Akhirnya aku jagain tu coklat sambil mainan hape. Oh iya aku lupa belum sms Jun.

    Jun bilang aku harus sms dia minimal tiga kali sehari. Katanya sih biar dia naksir aku.

    To : Arjuna
    Hai Jun.

    Sms terkirim. Bibirku masih terasa tebal gara-gara ciuman Jun kemarin. Gila .. ternyata ciuman itu ada efek sampingnya juga ya. Walopun agak enak sih, geli-geli basah gimana gitu. Tapi emang bikin candu. Pantesan aja orang pada demen ciuman.

    Ada sms masuk.

    From : Arjuna
    Hai Liam.


    Aku mengernyit. Sejauh ini kalo aku kirim sms ‘Hai Jun’ pasti dibalesnya juga cuman ‘Hai Liam’. Apa bener yang seperti ini bisa bikin dia naksir aku?

    To : Arjuna
    Sudah makan belum? Lagi ngapain?

    From : Arjuna
    Udah. Skrng lagi tiduran aja.

    Dibales apa lagi ya?

    Waktu aku sedang mikir, Harris tiba-tiba masuk. Dia kaget ngeliat aku.

    “Ngapain disini?” tanyanya heran.

    “Nemenin Kaka,” jawabku nyengir.

    Mata Harris menangkap coklat perdamaian buatanku. “Apa ini?”

    “Dari Kaka,” aku langsung berbohong. “Buat ngeganti coklatmu yang hilang .. eh yang dia curi ..”

    Ekspresi Harris melunak, aku nyaris menduga dia tersenyum. Lalu dia mengambil dompet dari lemarinya dan berjalan keluar kamar.

    “Mau kemana Ris?” aku menanyainya.

    “Supermarket,” dia menjawab kalem.

    Aku tersenyum. Yes. Rencana berhasil. Satu banteng udah ditaklukkan, berarti tinggal satu lagi. Banteng yang lagi tidur kayak kebo diatasku ini. Aku berdiri dan melirik Kaka yang tidur pulas banget. Sesekali mukanya mengerut, kayaknya dia mimpi buruk deh.
    Tapi, tampaknya aku terlalu cepat senang dengan keberhasilan rencanaku itu. Karena kenyataannya, entah bagaimana caranya, sepuluh menit kemudian Kaka dan Harris sudah mulai berantem lagi. Mereka saling bentak didepan asrama dan waktu masuk ruang tamu mereka bergantian melotot kearahku.

    “Ngapain lo ngasih coklat ke dia trus bilang kalo itu dari gw?” semprot Kaka galak sebelum berjalan cepat ke arah tangga.

    Harris cuman berdecak pelan dan melihatku dengan pandangan tidak percaya.

    Aku jadi jengkel sendiri. Kok jadi marah ke aku sih? Menyebalkan sekali mereka berdua. Pikiranku jadi kalut. Aku langsung berjalan keluar asrama dan otomatis kakiku membawaku melangkah ke Wisma Indah Lima. Aku menatap asrama bercat hijau itu dan nggak yakin kenapa aku bisa sampai disini.

    “Jun ada Kak?” aku menanyai Dennis yang sedang mainan ama kucingnya.

    “Diatas. Langsung aja,” jawabnya tanpa melihatku.

    Aku naik keatas, sampai dikamar Jun aku mengetuk pintu beberapa kali. Tapi nggak ada jawaban. Mau langsung pulang juga sayang, udah terlanjur disini, akhirnya aku buka pintunya.

    Jun sedang berbaring ditempat tidur. Matanya tertutup. Suara alunan gitar terdengar merdu dari PC-nya. Aku masuk dan melangkah hati-hati mendekati Jun. Dia tampak begitu damai, kasian juga kalo diganggu. Aku duduk didepan layar LCD, melirik playlist mp3-nya, penasaran selera musiknya Jun kayak apa sih?

    Kebanyakan sih lagu yang nggak aku kenal. Nama penyanyi dan judul lagunya asing di mataku. Richard Clayderman, Kitaro, Howard Baer and Dan Gibson .. Celtic Awakening?

    Aku melirik judul lagu yang sedang dimainkan saat itu.

    Depapepe - Let's Go!!! - 06. 風見鶏 ~ Weathercock ~.mp3

    Aku mengernyit. Depapepe? Aneh banget namanya, tapi kalo aku denger baik-baik, permainan gitarnya asik juga. Aku yang nggak ngerti apa-apa tentang gitar aja jadi suka.

    Sesekali aku melirik Jun. Muka tidurnya enak juga diliat. Jadi ikutan ngerasa damai. Aku senyum-senyum sendiri. Agak bingung juga kenapa aku malah kesini, padahal Jun orangnya nggak banyak ngomong, dan aku kalo lagi kesel biasanya lebih suka ditemenin ama temen yang banyak omong biar bisa ngobrol banyak.

    “Kenapa ngeliatin aku?” tiba-tiba Jun bersuara, matanya masih tetap terpejam.

    Aku kaget. “Jun. Kamu nggak lagi tidur?”

    “Aku nggak bilang kalo aku lagi tidur kan.”

    “Tau darimana aku liatin kamu?”

    Jun nggak menjawab.

    Aku mengernyit, nggak tau kenapa jadi kesel lagi.

    “Kenapa kamu kesini?” Jun menanyaiku kalem.

    “Lagi suntuk aja dikos,” jawabku seadanya.

    Jun menepuk kasur disampingnya. “Duduk disini,” perintahnya.

    “Kenapa?”

    “Cepet kesini,” gumam Jun pelan.

    Aku melangkah mendekatinya dan duduk.

    “Sekarang berbaring,” perintah Jun lagi.

    “Huh?”

    Jun langsung meraih bahuku dan menariknya. Aku berbaring tepat disamping Jun. Kasurnya dingin. Jun membuka matanya dan menoleh. Mata kami bertemu.

    “Kecium nggak baunya?” dia bertanya.

    “Eh? Bau apa?” kataku bingung.

    “Bau hujan,” Jun menunjuk jendela yang terbuka lebar tepat diatas kami. “Kalau abis hujan selalu ada bau kayak gini. Bau rumput basah. Bau tanah basah.” Jun menutup matanya lagi.

    Aku membaui sekelilingku. Emang ada bau sih.

    Segar. Iya .. aku ingat .. kalo hujan emang selalu ada bau kayak gini.

    “Aku suka baunya,” Jun memberitahuku.

    Aku nyengir. “Iya Jun. Seger baunya.”

    Kami terdiam menikmati saat itu, ditemani alunan merdu dari gitar depe .. hah? Depe? Dewi Persik? Eh bukan .. apa tadi namanya .. Depapepe.

    Jun memiringkan kepala, menatap mataku lurus-lurus dan bertanya dengan nada melamun. “Jadi kamu kenapa?”

    “Aku kenapa?”

    “Kenapa kamu kesini?”

    “Lagi suntuk di kos,” jawabku sambil lalu. “Pengen cari suasana baru aja.”

    “Suntuk?” ulang Jun. “Maksudnya stress, kesel, nggak semangat?”

    “Yeah, semacam itu lah.”

    “Oh.”

    Kami terdiam lagi.

    “Liam.”

    “Ya?”

    “Tutup matamu.”

    “Huh?”

    “Tutup aja.”

    Aku mengernyit heran tapi ujung-ujungnya nurut juga, aku memejamkan mataku. Kemudian aku merasa ada gerakan disamping, dan tiba-tiba aja badanku terasa berat. Aku membuka mata dan menemukan Jun sedang memelukku .. bukan .. lebih tepatnya dia menindihku. Wajah kami sangat dekat. Aku dapat merasakan hembusan napasnya.

    “Jun, apaan sih?” aku berdesis panik.

    “Diem aja.”

    “Kamu lagi ngapain?”

    “Aku lagi nolong kamu.” Jawab Jun tenang, seolah-olah dia nggak melakukan hal aneh dan aku harusnya udah tau itu, nggak perlu tanya-tanya lagi.

    “Nolong aku gimana maksudnya?”

    “Ini namanya terapi pelukan. Kamu tau nggak kalo pelukan bisa ngurangi stress, nambah semangat, membantu sistem kekebalan tubuh dan bikin kita jadi sehat,” Jun menjelaskan dengan santai.

    “Apa?”

    “Diem aja dulu.”

    Aku menatapnya kaget, bingung, heran, campur nggak percaya. Apa Jun bercanda? Tapi aku liat sama sekali nggak ada tanda-tanda dia sedang bercanda. Matanya menatapku hangat. Ekspresi wajahnya susah ditebak .. khas Jun, tenang dan kalem.

    “Panas Jun,” komentarku beberapa saat kemudian.

    Jun berpikir sebentar sebelum mengangguk. “Iya, panas.” Lalu ia bangkit sedikit dan dengan bertumpu pada sikunya berusaha melepas kaos yang dia pakai. Agak kerepotan karena posisi kami yang tumpuk-tumpukan kayak gini. Aku melotot, mulutku terbuka karena kaget. Kenapa dia buka baju?

    “Kamu ngapain Junnn?” gumamku panik ketika Jun merapikan rambutnya yang berantakan, aku melirik badannya yang tegap itu. Aku menelan ludah.

    “Panas,” jawabnya datar lalu melempar kaosnya ke kursi.

    Ketika ia bersiap-siap akan memelukku lagi aku langsung berkata dengan nada nggak percaya. “Maksudku aku yang panas.”

    “Oh. Sori. Aku salah ngerti,” setelah itu Jun mulai membuka kancing bajuku satu persatu.

    “Waaa Jun .. jangan dibukaaa bajuku ..” aku memberontak panik.

    “Tadi katanya panas,” kata Jun kalem. “Dibuka aja bajunya. Kayak aku nih, jadi nggak kepanasan lagi.”

    “Maksudku kamu minggir. Jangan nindihin aku,” kataku mulai nggak sabar.

    “Nanti dulu,” Jun memelukku lagi. “Tunggu sebentar lagi ya,” aku merasa tangannya menyusup kepundakku. Dia memelukku erat. Kepalanya terkulai disebelah kiriku, aku dapat merasakan hembusan napasnya dileherku. Aku dapat mencium bau rambutnya yang harum.

    Aku merinding.

    Bukan merinding takut, tapi merinding yang menyenangkan. Merinding yang membuat tubuhku bergetar dan jantungku berdebar kencang.

    Pelan-pelan tanganku melingkar di badan Jun, aku merasakan kehangatan mengalir. Dan aku sadar aku mau lebih. Aku balas memeluknya.

    Napasku tertahan di tenggorokan. Aku memeluk Jun erat-erat dan membelai kepalanya. Itu bukan pelukan sambil lalu. Bukan juga pelukan bersahabat. Itu pelukan dalam arti sebenarnya. Saat itu juga aku mendadak merasa damai, seakan seluruh bebanku terserap keluar. Yang tersisa hanya rasa senang di hatiku.

    Aku melepas pelukanku ketika Jun mulai bergerak. Dia mengangkat kepalanya dan menatapku lekat-lekat, hidung kami hampir bersentuhan. “Udah selesai,” gumamnya pelan.

    “Ah .. Oh .. Eh iya ..” balasku setengah melamun, masih shock dengan peristiwa barusan.

    Jun bangkit dan duduk di pinggir tempat tidur.

    Aku ikutan duduk disebelahnya.

    “Gimana? Udah rada mendingan?” tanya Jun kemudian.

    “Lumayan,” kataku sambil tertawa gugup melirik Jun yang masih shirtless. Dengan diam aku memperhatikannya. Dia berkulit putih, body-nya ramping berisi, istilahnya sih body cowok gaul jaman sekarang.

    Aneh juga cowok satu ini, kemarin aku kesini dicium, sekarang dipeluk. Besok-besok kalo aku maen kesini lagi mau diapain lagi nih? Cara persahabatan Jun agak berbahaya rupanya.

    Tiba-tiba Jun menatapku tajam.

    Eh?

    Lalu dia mendekat. Aku menelan ludah, mulutku komat-kamit baca doa (dikira Jun setan apa?) .. Jun semakin dekat .. aku dapat melihat matanya dengan sangat jelas .. dan bibirnya juga. Aku menahan napas. Tegang. Deg-degan. Padahal ekspresi Jun masih cuek aja.

    Kemudian tangan Jun meraih kaosnya yang tergantung di kursi disampingku. Dan dengan santai dia memakai lagi kaosnya. Aku udah salah tanggap .. Kirain .. Napas yang tadi aku tahan akhirnya terhembus. Nggak tau deh terhembusnya karena kesel ato lega. Pokoknya rugi deh tadi pake acara deg-degan segala.

    Aku langsung bangkit. “Jun aku balik dulu ya.”

    Sampai di pintu Jun memanggilku. “Lain kali kalo kamu suntuk lagi kesini aja,” dia menawarkan dengan nada serius. “Pasti aku bantuin lagi.”

    Dibantuin lagi? Dipeluk lagi maksudnya?

    Aku tertawa gugup. “Oke Jun.”

    Sepanjang perjalanan pulang aku jadi kepikiran terus. Apa bener ada terapi pelukan? Ntar tanya Harris aja deh .. eh jangan .. Harris galak. Kalo gitu Kaka aja .. ummmm tapi Kaka suka ngaco kalo ngasih jawaban. Ah iya tanya Sam aja ntar kalo dia udah balik.

    Sampai di asrama, anak-anak sedang kumpul di ruang tamu, pada senyum semua.

    “Ada apa sih?” aku bertanya heran.

    “Sam besok pulang,” Ferli menjawab sementara aku duduk disebelah Harris.

    “Sam tadi nelpon. Dia bilang besok dia pulang,” Harris menjelaskan.

    Aku tersenyum senang. Disaat aku butuh Sam, dia pulang juga. Artinya aku nggak perlu pusing sendirian lagi ngurusin Kaka ama Harris.

    “Oh iya tadi itu bungkusan pink ada pita-pita punya sapa?” Ferli menanyaiku.

    “Harris kan?” jawabku nggak yakin.

    “Bukan punyaku,” kata Harris pelan.

    “Lho tapi ada dikamarmu,” Ferli mengernyit heran. “Tadi aku pinjem buat sesajen.”

    “Hah?” aku dan Harris berseru bingung.

    Ferli meringgis. “Mbak Nyit-Nyit tadi kesini. Nagih uang kos anak-anak yang belom lunas. Dia kan kalo lagi nagih gitu harus dikasih sesajen biar nggak tambah galak. Nah kebetulan semua pada nggak punya makanan, jadi kita bingung deh. Tapi untung aja ada bingkisan pink itu. Dia seneng banget lho.”

    Aku termenung. “Mungkin itu punya Kaka.”

    Harris menoleh cepat.

    “Dia mau minta maaf sama kamu Ris makanya dia ngasih kamu itu. Tadi kan aslinya bingkisan itu ada di meja kamu. Artinya buat kamu kan?”

    “Nggak mungkin,” Harris mencibir. “Pasti kerjaanmu lagi kan?”

    “Suer bukan aku. Kalo coklat tobleron itu emang dari aku.”

    Harris terdiam, seakan sedang mikir sesuatu.

    “Kaka itu nggak sejahat yang kamu kira Ris,” kataku bijak. “Dia memang keras kepala tapi dia baik kok.”

    Harris tetap diam.

    “Yaudah, aku ke dapur dulu ya. Mo minum. Haus.”

    Sampai didapur ada Kaka duduk sendirian di meja makan. Kayak sedang melamun. Tatapan matanya kosong kedepan. Ah iya .. dia kan masih berantem ama Harris, tadi ada Harris di ruang tamu jadi Kaka pasti nggak mau satu ruangan ama dia, makanya dia ngungsi ke sini. Aku mengambil air minum dan menghampirinya.

    “Woy Ka,” sapaku.

    Kaka menoleh cepat lalu mencibir.

    “Ngapain sendirian disini?” aku bertanya kalem.

    Kaka tidak menjawab.

    “Nggak capek apa berantem terus?” kataku lagi.

    “Tapi dia duluan yang mulai.”

    “Siapapun yang mulai duluan, kalo ada perang kayak gini semua pihak sama-sama salah,” aku mengambil roti dari lemari dan menyodorkannya ke Kaka. “Harusnya kamu bisa lebih maklumin sifat Harris yang seperti itu Kak ..”

    Aku jadi heran sendiri, kenapa tiba-tiba aku jadi sok bijak trus nasehatin kayak gini ya? Efek dari terapi pelukan-kah?

    Kaka menggigit roti sambil merenungkan sesuatu.

    “Nggak ada rasanya,” komentarnya kemudian.

    “Hah?”

    “Rotinya tawar,” Kaka menunjuk roti ditangannya.

    Aku ikut memakan roti itu. Iya .. tawar.

    “Kamu ngambil dimana sih?” tanya Kaka penasaran.

    Aku menujuk lemari disebelah kulkas. “Disitu.”

    Kaka langsung menyemburkan roti yang sudah terlanjur dia makan. Matanya melotot ngeri. “Itu kan rotinya Harris.”

    Aku ikut-ikutan memandang Kaka ngeri.

    “Gw nggak ikut-ikutan lho ya,” gumam Kaka nggak jelas sambil membereskan sisa rotinya. Dengan cepat memakannya semua. Menghilangkan barang bukti.

    “Aduh, aku kan nggak tau,” kataku panik.

    Tepat saat itu Harris masuk. Aku dan Kaka langsung membeku.

    Mata Harris berpindah antara aku, Kaka dan roti didepan kami yang sudah hampir setengah habis. Gawat. Pasti ngamuk-ngamuk nih.

    “Siapa yang makan rotiku?” tanya Harris datar.

    “Liam,” jawab Kaka cepat, menunjukku. Padahal jelas-jelas mulutnya penuh roti.

    Aku memandangnya nggak percaya. Cepet banget dia berkhianat.

    Tapi bukannya marah, Harris malah memandangku ramah. “Udah nyoba pake selai kacang?”

    “Eh?”

    “Kalo dimakan pake selai kacang tambah enak rotinya,” Harris tersenyum menenangkan. “Kalau mau ambil aja di kulkas.”

    Kaka tampak sangat terkejut dengan perkataan Harris barusan.

    “Kamu nggak marah Ris?” tanya Kaka takjub.

    “Sama temen kan harus berbagi,” Harris menyingkirkan rambut yang jatuh di dahinya. “Aku nggak sepelit dugaanmu Kak.”

    “Udah ya, aku mau ke kamar mandi dulu. Mau cuci muka,” lalu Harris pun berjalan dengan dramatis ke kamar mandi.

    Kaka menatapku nggak percaya.

    “Tuh kan,” kataku penuh kemenangan. “Harris tu sebenernya baik.”

    Kaka mengangguk dan mengambil selai kacang di kulkas.

    Lalu terdengar suara ribut dari kamar mandi. Pintu terbanting. Ada langkah kaki cepat dan terburu-buru. Harris pun muncul lagi di dapur. Mukanya merah, matanya berkilat-kilat berbahaya. Dia membawa produk Vaseline for Men di tangan kanannya.

    “Siapa yang make pembersih mukaku?” teriaknya menggelegar. “Ngaku!! Aku baru beli tadi di supermarket tapi kenapa sudah berkurang banyak banget. Siapa yang make?”

    Kaka yang sedang mengoleskan selai kacang di rotinya cuman bengong.
  • edited August 2011
    10
    Coming Home



    ninja05.gif
  • edited August 2011
    Samudera


    Aku sama sekali nggak bisa tidur sepanjang malam. Aku cuman duduk diam di pinggir jendela kamar Kak Sam sambil melamun ngeliatin langit malam yang hitam tanpa ada bintang satu pun. Gelap. Suram. Sama kayak nasibku akhir-akhir ini.

    Jam sudah menunjuk di angka tiga pagi tapi aku nggak ngantuk sedikit pun. Begitu kembali dari kamar Rion lima jam yang lalu aku udah berusaha tidur karena kepalaku berat sekali. Tapi setelah setengah jam berjuang untuk tewas dan nggak ada hasilnya, aku menyerah.

    Aku tau aku harus berpikir, aku harus mikirin gimana caranya biar bisa lolos dari Rion. Tapi aku tidak ingin berpikir. Kepalaku sakit, pusing, dan berat. Terlalu banyak yang berlalu-lalang di benakku sampai aku nggak tau lagi harus berpikir apa. Semakin dipikir, semakin aku jadi tambah pusing.

    Damn that boy.

    He really got me.

    Aku nggak ada pilihan. Sementara ini aku terpaksa harus mau ngikutin permainannya. Aku terpaksa harus jadi .. pacarnya ..

    Aku menarik napas panjang dan lama, lalu mengembuskannya dengan pelan. Dadaku terasa sakit. Bernapas ternyata bisa juga menyakitkan.

    Aku tetap duduk diam di pinggir jendela, sepanjang malam, tanpa bergerak, dan nyaris tanpa bersuara, sampai langit berubah warna dari hitam menjadi biru, lalu biru muda. Saat itulah aku baru nyadar kalau hari sudah terang dan aku nggak tidur semalaman.

    Badanku kaku semua. Nggak mudah memaksa diriku bergerak, tapi aku harus keluar kamar. Udah mulai ada suara-suara dari rumah, pertanda orang-orang sudah pada bangun. Aku juga harus memberitahu Bapak Wahyu sekeluarga kalo aku ama Rion akan pulang hari ini.

    “Gimana tidurnya? Pules?” tanya Rion dengan suara yang diramah-ramahin waktu aku ngelewatin dia di dapur. Tumben dia udah bangun duluan, udah duduk manis sambil nyeruput teh anget bareng Bu Wahyu yang lagi nungguin gorengannya mateng. Aku berusaha nggak melihatnya dan langsung melesat ke meja makan.

    “Eh Mas Sam, mau dibikinin teh juga nggak? Ato mau kopi?” tanya Bu Wahyu riang waktu menyadari kedatanganku.

    Aku tersenyum. “Nggak usah bu. Aer putih aja, bisa ambil sendiri kok”

    Rion berdehem agak keras. “Gimana tidurnya? Pules?” ulangnya nggak sabar.

    Jadi dia mau aku buat ngejawab? Walaupun aku lagi nggak mau ngejawab?

    Aku menoleh dan tersenyum kering. “I—Ya.”

    Rion cukup puas dengan jawabanku karena dia akhirnya menyeringai menyebalkan.

    Aku duduk di meja makan dengan segelas air putih. Oh iya kalau habis bangun tidur emang katanya sih bagusnya minum air putih, udah sejak SMP aku ngebiasain diri buat minum air putih kalau pagi.

    Nggak lama kemudian Rion bergabung juga di meja makan, disusul Bu Wahyu yang membawa senampan pisang goreng dan mendoan.

    “Pak .. Bu .. hari ini rencananya kita mau balik,” Rion bersuara setelah mencomot pisang goreng yang paling gede. Baru juga aku mau ngomong soal itu, dia udah ngomong duluan.

    “Lho .. kok cepet banget to mas? Apa nggak betah disini?” sahut Pak Wahyu keheranan.

    Rion ketawa sopan. “Betah banget kok Pak. Malah saya mau sekali kalo disuruh nginep terus disini. Tapi Sam mulai besok kan udah harus ospek,” dia tiba-tiba mengerling kearahku. Aku yang lagi kepedesan gara-gara ngegigit cabe rawit buat makan mendoan langsung buru-buru tersenyum mengiyakan.

    “Saya juga udah mulai dicariin ama temen-temen saya Pak, diancem kalo nggak cepet pulang mo dilaporin ke polisi katanya, biar masuk daftar orang hilang. Kan malu saya Pak kalo foto saya ntar nyebar dimana-mana.” Lanjut Rion nyengir.

    “Malu kenapa to. Wong cah bagus gitu kok,” komentar Bu Wahyu cekikikan.

    “Emang mas Rion udah ngerasa sehat?” tanya Pak Wahyu.

    Rion mengangguk penuh semangat. “Udah kok Pak. Udah sembuh, tanya Sam tuh. Iya kan Sam?“ dia tersenyum lebar.

    Aku mendengus nggak percaya tapi memaksakan wajahku untuk membentuk ekspresi senang dan tersenyum. Bisa-bisanya dia bersikap seolah-olah nggak terjadi apa-apa diantara kita. Can’t you see that I hate you? Stop acting like we’re best friends or something. Kadang aku ngerasa Rion tuh persis kayak macan, yang suka banget main-mainin mangsanya dulu sebelum akhirnya dimakan secara sadis.

    Siang harinya dua mobil memasuki pelataran rumah Bapak Wahyu. Orang-orang disekitar rumah pada ngumpul buat ngeliatin dua benda besi keren itu. Banyak anak-anak kecil juga karena sekarang hari Minggu, jadi sekolah libur. Mereka berhenti main lompat tali dan gobak sodor buat ngeliat siapa sih yang naik mobil itu.

    Dari Honda Civic berwarna biru keluar Dennis, anak Wisma Indah Lima, temen sekost Rion. Aku melirik mobil birunya dengan agak dongkol, harusnya mobil itu yang aku curi, bukan mobilnya Rion. Dan dari mobil satunya yang bercat kuning dengan strip hitam keluar Yoga, temen satu kost Rion juga, yang celana dalemnya dicuri Kaka. Jadi penasaran, gimana ya nasib celana dalem itu sekarang? Yoga langsung tersenyum begitu melihat Rion berjalan mendekatinya.

    “Kamu sembunyi disini to,” seru Dennis keras.

    “Sialan kamu Yo, enak-enakan plesir disini, asrama kamu tinggal gitu aja,” sahut Yoga kesal tapi masih sempet nyengir. “Kamu dicariin anak kampus juga tuh, gimana sih kamu ini, besok kan udah mulai ospek tapi kok kamunya malah ngilang.”

    Rion tertawa kecil.

    “Sori. Sekali-kali kan nggak apa-apa liburan. Gw kan jarang banget bisa santai kayak gini.”

    Aku langsung bergabung ke dalam pasukan Wisma Indah Lima itu.

    “Hai .. Kak Dennis ama Kak Yoga ya? Kenalin saya Sam,” sapaku ramah memperkenalkan diri, tersenyum lebar sambil mengulurkan tangan untuk salaman.

    “Oh hai .. Lho? Ini Yo temenmu yang kamu bilang itu?” tanya Yoga heran menyambut uluran tanganku. Hmmmm jadi Rion udah cerita tentang aku ke temennya? Cerita apa aja dia? Pasti yang enggak-enggak ..

    Rion mengangguk.

    “Barangnya udah siap semua?” Rion buru-buru menanyaiku, dengan cepat melepaskan tanganku yang masih salaman ama Dennis.

    Aku menoleh dan mengangguk. “Udah, cuman sedikit kok. Mau diangkutin sekarang?”

    “Boleh. Langsung masukin aja ke mobil. Aku harus cepet kekampus. Ada yang nyariin. Urusan kampus katanya jadi rada penting.”

    “Kenapa aku juga ikut bawa mobil sih? Yoga aja kan cukup?” tanya Dennis penasaran.

    “Ntar kamu bareng ama Yoga,” jawab Rion lancar sambil menunjuk dua temannya itu. “Aku bareng ama Sam.”

    “Lah satu mobil kan cukup buat berempat. Ngapain pake dua segala?”

    Iya juga. Satu mobil sebenarnya cukup kan? Aku ikutan memandang Rion juga, menunggu jawaban. Rion keliatan agak panik diliatin gitu, lalu dia mulai jadi galak.

    “Udah ah. Nggak penting juga, kalo aku mau pake dua emang kenapa? Ada yang ngelarang?” bentaknya kesal.

    Aku mengernyit.

    Dennis dan Yoga bergumam bosan, tampak sudah sangat terbiasa dengan watak Rion yang seperti itu kalau sudah minta sesuatu, “As you wish King.”

    Setelah berterima kasih pada Bapak Wahyu sekeluarga, kami berpamitan. Bolak-balik Bu Wahyu memelukku dan Rion bergantian. Kalaupun ada sisi baik dari kecelakaanku bareng Rion kemaren, itu adalah aku jadi kenal sama Pak Wahyu sekeluarga ini.

    “Kalo ada waktu mampir kesini lagi ya.”

    “Oke bu, pasti kita sempet-sempetin,” jawab Rion antusias. “Kita pasti sering-sering maen kesini kok. Iya kan Sam?” dia menoleh dan tersenyum senang.

    Kita? Kamu aja situ sendirian. Kalau aku maen kesini lagi itu juga nggak bakalan ngajak-ngajak kamu tau.

    Ketika Rion mulai melajukan mobilnya aku melambaikan tangan sekali lagi ke Pak Wahyu sekeluarga dan herannya dibalas lambaian tangan juga oleh semua orang yang waktu itu ikut menyaksikan. Berasa jadi pejabat waktu lagi kunjungan ke desa. Waktu rumah Pak Wahyu sudah tidah terlihat lagi aku duduk sambil berusaha meluruskan kaki, lalu menghela nafas.

    “Nggak usah kuatir, ntar kita pasti mampir kesini lagi kok,” Rion tersenyum kearahku kelewat ramah.

    Ngapain dia masih bersikap manis kayak gitu. Kan udah nggak ada orang lain lagi sekarang.

    Setelah melewati jalan setapak yang ajrut-ajrutan akhirnya mobil memasuki jalan beraspal yang menuju ke kota Yogyakarta. Finally. Road to home. Sepanjang perjalanan pemandangannya bagus, suasana hatiku yang lagi kacau gara-gara Rion jadi agak terobati sedikit.

    Bolak balik Rion berusaha memancing percakapan, aku cuek aja pura-pura nggak denger, pura-pura lagi konsentrasi ngeliatin pemandangan.

    “Sam kamu laper nggak? Ntar nyampe Jogja kita mampir makan dulu ya? masih agak lama sih, empat puluh lima menitan lah.”

    Ah itu perkebunan apa sih? Teh?

    “Eh ada yang jual jagung bakar tuh. Kamu mau nggak?”

    Enggak mungkin, di Yogya setauku nggak ada perkebunan teh.

    “Ummm .. eh mobilku keren nggak? Udah mirip belom sama Bumblebee kayak yang di Transformer itu. Waktu nonton film-nya gw langsung naksir ama Camaro-nya, tapi mo beli kemahalan. Mana cuman ada yang setir kiri aja, nggak masuk pasar Asia Tenggara sih. Jadi ya gw modif aja mobil gw yang ini biar mirip Bumblebee.”

    Kalau itu perkebunan buah naga, aku hapal ama buahnya yang merah itu. Wah ada kebun salak. Ah iya Yogya kan penghasil salah pondoh juga.

    “Besok kamu mulai ospek yah? Kalo ada perlu apa-apa bilang gw aja ya? gw kenal kok ama panitia yang ngurusin ospek taon ini.”

    Ngeliatin pemandangan yang seliweran gini bikin mata jadi ngantuk. Mana semalem aku nggak sempet tidur. Tambah sepet aja nih mata.

    “Ngomong-ngomong kamu ambil jurusan apa Sam?”

    Tidur aja ah. Masih lama juga nyampai kota-nya.

    “Sam?!!”

    “…”

    “Stop acting like that.”

    “…”

    “Don’t ignore me.”

    “…”

    Tiba-tiba aku ngerasa mobil berhenti mendadak. Rion telah menginjak rem. Kepalaku hampir benjut ketabrak dasbor mobil. Badanku maju kedepan gara-gara momentum yang tercipta. Mobil yang dinaiki Dennis dan Yoga sudah jauh melaju di depan, meninggalkan kami sendirian.

    “Ada apa sih?” protesku kaget.

    Mata hitam Rion menatap lurus dan tajam tepat kearahku, pandangan matanya yang dalam seakan ingin menelanku, penuh dengan api kemarahan dan jelas menunjukkan kalau dia sudah tidak bisa lagi menahan emosinya.

    Aku menatapnya sejenak lalu bergumam, “Apa?”

    Wajahnya tambah marah, kedua tangannya menggenggam erat kemudi.

    “Nggak bisa kayak gini,” katanya kesal, memukul dasbor dengan keras. “Bagaimana bisa lo jadi pacar gw kalo lo malah nyuekin gw kayak gitu? Bagaimana lo bisa ngeyakinin Selina kalo kita pacaran?”

    Aku baru mau menjawab ketika Rion langsung membuka pintu dan keluar, dia memukul atap mobil dengan tidak sabar. “Keluar.”

    Aku ikut keluar. Rion telah menghentikan mobil di tengah jalan yang diapit perkebunan salak yang luas. Sepi, nggak ada orang, dimana-mana cuman ada pohon salak. Dia berdiri sambil bersender pada bagian belakang mobil. Tangannya terlipat. Aku mendekatinya.
    Rion memandangku. Tatapan matanya terlalu dingin untuk seorang cowok yang sebelum ini selalu bersikap manis didepanku. Nggak tau kenapa nafasku tiba-tiba jadi sesak.

    “Godain gw,” bukan hanya tatapannya, suaranya pun terdengar dingin.

    “Hah?”

    “Coba lo goda gw. Seperti cowok ngegoda pacarnya.”

    Aku mengerutkan kening. Apa lagi mau cowok ini?

    “Lo lagi marah sama gw. Lo lagi bersikap marah ke gw. Gw nggak mau itu,” lanjutnya dengan nada yang makin meninggi. “Kita harusnya pacaran. Sekarang gw pacar lo. Lo harus bersikap manis ke gw.”

    “Rion, aku cuman harus ngeyakinin Selina. Jadi aku cuman akan bersikap jadi pacarmu kalo ada dia. Got it?”

    Rion mengangkat wajahnya yang pucat. Matanya lagi-lagi menatapku dengan tajam. Tubuhnya gemetar menahan amarah. “Gimana bisa lo ngeyakinin Selina kalo lo nggak bisa ngeyakinin gw?” katanya dengan nada rendah dan dingin.

    Dia serius.

    Damn. I’ve woken up the sleeping tiger.

    Besides, he was right, he has a point. And I hates that he had a point.

    “Ayo Sam. Tunjukin kalo lo bisa bersikap manis ke gw walaupun lo lagi marah. Yakinkan gw kalo lo bener-bener pacar gw,” Rion sudah kehilangan kesabarannya, dan aku tahu dia nggak akan berhenti marah sampai keinginannya dipenuhi.

    You damn spoiled boy.

    Aku menghela nafas dan mengangkat wajah, menatap Rion yang balas menatapku dengan kesal. Okay I have to do this .. act sweet to him ..

    Rion masih diam menunggu.

    Aku mendekatinya, membayangkan Rion yang ada dihadapanku ini adalah Rion beberapa hari yang lalu. Rion yang dapat membuatku tersenyum. Rion yang dapat membuat jantungku berdebar hangat. Rion yang melukis gambar hati di jendela untukku ..

    Aku merangkulkan tanganku di lehernya, memandangnya sayu ..

    Aku tersenyum.

    Mata Rion balas memandangku.

    Kami terdiam cukup lama. Tanpa bersuara. Hanya saling mengamati.

    Perlahan ekspresinya melunak. Pelan-pelan matanya kembali bercahaya. Tatapan matanya menjadi lembut dan hangat. Dia seperti kembali menjadi Rion yang dulu. Rion yang manis. Kalau aku melihatnya dari sudut pandang seperti ini dia memang terlihat manis. Tampan.

    Aku membelai pipinya.

    Rion tersenyum samar. Pipinya memerah.

    “I love you,” bisikku pelan.

    Dia memandangku lekat-lekat sebelum membalas, “love you too, Sam.”

    Jantungku berdebar.

    Shit. He looks like he really mean it.

    You’re a damn great actor Rion.

    Kami berdua kembali terdiam beberapa saat. Seolah menikmati keheningan yang hanya diselingi desahan pelan nafas kami. Entah kenapa ada sepercik perasaan damai saat itu. Kalau boleh, aku ingin waktu berhenti saat itu juga. Aku ingin menikmati kesunyian itu, perasaan damai itu, dan pandangan mata Rion yang menenangkan

    Tangan Rion membelai rambutku. Kakiku langsung terasa lemas, wajahku tiba-tiba menjadi panas. Crap. Am I blushing?

    Aku merasakan dorongan untuk memeluknya.

    Dan bibirnya itu .. aku ingin menciumnya lagi ..

    Debar-debar di jantungku semakin kencang.

    Stop it moron. Stop beating so fast over some spoiled guy like him.

    Tanpa sadar aku mendekatkan wajahku ..

    Rion tampak kaget .. tapi dia tetap diam ..
  • edited August 2011
    Rionaldi


    Aku hampir yakin jantungku berhenti berdebar sesaat dan aku harus memaksa diriku bernapas karena kalau nggak aku pasti bakal pingsan di tempat. Sial. Gw gugup. Gw gugup gara-gara Sam ngeliatin gw kayak gitu.

    Otak gw juga mendadak kosong sejenak. Blank.

    Selain suara Sam dan debar jantungku sendiri yang berdebar keras, aku nggak bisa mendengar apa-apa lagi. Dunia seolah-olah mengecil di sekeliling kami berdua.

    Sam mendekatkan wajahnya. Aku bisa melihat dengan jelas matanya.

    Hidung kami hampir bersentuhan. Aku menghirup pelan-pelan aroma khas Sam yang merasuk ke hidungku. Shit. I got excited. Aku bisa merasakan darah mengalir deras ke otakku. Memberiku sinyal untuk segera melakukan hal yang benar-benar aku inginkan.

    Gw nggak tahan. Jantungku udah berdebar terlalu cepat. I want him. I want to kiss him ..

    Aku baru akan menciumnya ketika tiba-tiba Sam mendorong dadaku dan menjauh.

    Ekspresinya seketika berubah.

    “So? Did I pass?” tanya Sam dingin, menatapku dengan tatapan yang nggak kalah dingin.

    Aku menelan ludah. Belum bisa pulih dari keadaanku.

    “Yeah.”

    “Good then,” Sam mengangkat bahu dan melangkah santai kembali ke dalam mobil.

    Ketika yakin Sam sudah diluar jangkauan penglihatan, aku menghela napas panjang untuk menormalkan aliran darahku. Aku membuka beberapa kancing kemeja yang aku pakai untuk mengusir panas yang tiba-tiba muncul. Damn. So hot here.

    Tarik napas.

    Buang.

    Tarik napas .. buang lagi ..

    Aku berjalan ke kursi kemudi, kakiku terasa bergetar, lemas. Aku masuk ke mobil dan menutup pintu. Aku nggak berani melirik Sam. Tanpa basa-basi aku menyalakan mesin dan kembali melaju menyusuri jalanan yang sepi.

    Setelah beberapa menit akhirnya kami memasuki jalan utama, suasana mulai ramai, aku memberanikan diri melirik Sam. Dia kembali ke sikap cueknya. Dia menganggapku tidak ada. Kenapa kalo aku bersikap ramah padanya dia selalu cuek seperti ini. Masa gw harus bolak-balik marah untuk narik perhatiannya.

    Aku tunggu beberapa saat, tapi ternyata Sam masih terus mengacuhkanku, lama kelamaan aku jadi kesal sendiri. Aku harus bikin topik pembicaraan. Kita harus ngobrol.

    Ah. Ada satu topik.

    “Kenapa kamu ngelakuin itu?” suaraku terdengar lebih keras dari yang kurencanakan.

    “Ngelakuin apa?” balas Sam tanpa memandangku.

    “Kenapa kamu nyuri mobilku?”

    Sejak dulu aku penasaran, kenapa Sam nyuri mobilku? Dan kenapa Caessar dan Robin juga terlibat? Apa ini semacam modus pencurian gaya baru atau semacamnya?

    Sam menghela napas dan diam sejenak sebelum menjawab. “Itu tugas.”

    “Apa?”

    “Tugas untuk bisa masuk Wisma Indah Empat.”

    “Tugas?”

    “Yep.”

    Tugas? Ah .. Tiba-tiba semua menjadi jelas di kepalaku. Aku mengerti semuanya.

    Yeah tentu aja. Caessar kan pemimpinnya, dia memang punya tradisi suka ngospek anak-anak baru di asramanya tiap tahun. Ngasih mereka tugas-tugas nggak masuk akal buat dituntasin. Dan kalau Wisma Indah Empat-nya Caessar bikin acara ospek, itu artinya Selina dan anak-anak Wisma Tidar Tiga juga pasti ikutan. Damn .. jadi anak-anak Wind Four sama Wist Three pada kelayaban nyuri mobil?

    MOBIL?

    Aku jadi merinding. Berapa banyak mobil yang mereka curi? Ini nggak bisa dibiarin, begitu nyampe asrama aku harus langsung manggil mereka berdua. Ketua asrama tapi kenapa sikapnya ngawur kayak gitu. Nyuruh juniornya nyuri mobil? Gak masuk akal banget.

    Kalau Selina masih bisa aku maklumi, dia orangnya emang nggak pernah mikir panjang kalo mutusin sesuatu. Tapi Caessar ..

    He is a smart guy .. smarter than me I thought ..

    “I’ll kill him,” aku menggerutu kesal.

    “Siapa?”

    “Caessar.”

    “Kamu kenal Caessar?” tanya Sam penasaran.

    “Tentu aja kenal,” jawabku seadanya, mataku menyipit tajam. “Lebih dari kenal sebenernya. Dan kamu Sam,” aku memandang Sam marah, tiba-tiba merasa kesal cowok itu mau-maunya dibegoin seniornya, “kenapa kamu nurut aja disuruh nyuri mobil? Apa kamu nggak mikirin resikonya kalo kamu ketangkep polisi? Itu kriminal Sam. Bisa dipenjara kamu.”

    Sam tampak kaget mendengarku marah, lalu dia menoleh ke jendela dan berdecak kesal. “Tapi semua anak asrama pernah ngelakuin itu. Ferli, Yudha, Robin, malah Caessar sendiri bilang kalo dulu dia juga kena ospek asrama.”

    Aku mendengus nggak sabar. “Yeah. Dulu dia bareng aku ospeknya. Waktu itu pertama kali dateng di Jogja aku masih ngekost di Wisma Indah Empat. Tapi sejak Wisma Indah Lima selesai dibangun aku langsung pindah kesana.”

    Sam menoleh cepat. “Hah? Kamu dulu anak asramaku?”

    “Yeah. And something happened. And I pissed off. And then I moved.”

    “What happened?”

    “Not your business.”

    “Okay. Right. Not my business.”

    Sam memalingkan mukanya dan kembali diam.

    Shit. Sam keliatan tersinggung. Kalo begini terus dia nggak akan bicara lagi sepanjang perjalanan. Tapi gw bener-bener nggak mau ngebicarain masalah yang dulu itu. Apalagi ke Sam. Dia nggak boleh sampai tau. Masalah waktu itu rahasia antara gw, Caessar dan Efran. Gw harus cari topik lain. Arah pembicaraan ini harus dirubah.

    “Steal a heart,” gumamku pelan, akhirnya aku memutuskan untuk ngebicarain soal tugasku waktu itu.

    Sam mengernyit dan menoleh heran.

    “That was my task back then.”

    “Whose heart?”

    “Selina.”

    “Oh.”

    Kesunyian menyelimuti kami sekali lagi.

    “Steal a kiss.”

    “Hm?”

    “My task. Steal a kiss.”

    “A kiss?”

    “Yeah. From you.”

    “HAH?”

    Mobil yang aku kendarai hampir menabrak pickup di depan. Aku bener-bener kaget, konsentrasiku menyetir sejenak buyar. Sejak kapan ada tugas nyuri ciuman? Gw yakin dulu nggak ada. Siapa yang bikin tugas kayak gitu?

    “Ati-ati. Aku nggak mau kita kecelakaan lagi,” kata Sam memperingatkan.

    Ciuman yang ada di foto itu. So .. he kissed me because of a task?

    “Wait .. Tadi katamu tugasmu nyuri mobil?” tanyaku bingung.

    “Tugas pertama nyuri ciuman. Tugas kedua nyuri mobil. Tapi nyuri mobilnya dikerjain bareng-bareng. Tugas kelompok.”

    Ada dua tugas? Ada tugas kelompok? Kok jadi makin beda jauh gini sama jamanku dulu. Caessar udah ngubah peraturan ospeknya seenaknya sendiri.

    “Denger ya kalo Caessar nyuruh kamu ngelakuin hal aneh lagi kamu jangan mau,” aku memperingatkan Sam dengan agak kasar, udah nggak bisa sabar lagi soalnya. “Kalau dia ngancem mau ngeluarin kamu dari kos kamu keluar aja. Nanti kamu aku masukin ke asramaku. Ngerti nggak?!”

    Sam berguman nggak jelas.

    “Jawab!!” bentakku keras.

    “Iya. Ngerti,” balas Sam segera.

    Lalu lintas kendaraan hari itu agak padat tapi masih lancar. Aku nggak banyak bicara sepanjang sisa perjalanan, masih nggak percaya ama apa yang terjadi di asrama tetanggaku itu. Setelah kami sampai di jalan kecil yang kami kenali, aku menoleh ke Sam.

    “Bentar lagi kita nyampe asrama. Denger Sam, kalo Caessar ato temen-temenmu nanya apa aja yang terjadi seminggu belakangan ini kamu harus cerita seperti yang aku bilang ini ..”

    Aku pun menyusun skenario cerita tentang kecelakaan yang terjadi seminggu yang lalu. Membuang bagian yang nggak perlu seperti fakta kalo Sam nyuri mobilku dan aku hilang ingatan. Mengisinya dengan kisah lain yang masuk akal dan sama sekali nggak mencurigakan. Sam mendengarkan dengan cermat dan nggak banyak tanya.

    “Jadi kita bohong?” gumam Sam cuek setelah aku menyelesaikan skenarioku.

    “Ini bukan bohong. Kita cuman memanipulasi kebenaran sedikit.”

    “Sedikit?” seru Sam nggak percaya. “Apanya yang sedikit? Ini udah bener-bener lain dari yang sebenernya.”

    “Just do it Sam,” kataku memaksa.

    “Okay,” Sam menyerah.

    Akhirnya mobilku sampai di depan Wisma Indah Empat. Asrama bercat merah itu tampak mencolok di siang hari. Ketika Sam turun dia langsung disambut teman-temannya yang berseru dan tertawa keras. Wajah mereka tampak asing semua. Anak baru-kah? Apa mereka junior yang ikutan misi nyuri mobil? Semuanya keliatan seperti anak baik-baik, eh tunggu, itu yang kurus ceking tampangnya kayak berandalan.

    Sam ikut tertawa bersama mereka. Aku menyadari kalo aku ikut senang melihatnya tertawa. Mataku terus mengawasi Sam yang sudah sampai di depan pintu asrama.

    Ayo Sam .. balik badanmu ..

    Look at me.

    Dan Sam berbalik.

    Yes.

    Dia melambaikan tangannya dan nyengir lebar. “Aku masuk dulu ya,” serunya lantang.

    Aku balas nyengir dan mengangguk. Yeah dia menjalankan semuanya sesuai skenario. Aku yang minta dia (agak maksa dan ngancem dikit sih) buat ngelakuin semua adegan itu, biar kita berdua terlihat akrab dimata orang lain.

    “Thanks,” ada suara bergumam disebelahku.

    Aku otomatis menoleh, agak kaget dikit. Dan menemukan Caessar sedang berdiri santai, tangannya terlipat, pandangannya ramah, but you can’t really judge him by his looks. Sejak kapan dia ada disitu?

    “Thanks udah nganterin Sam pulang,” dia tersenyum.

    Naluriku mengatakan aku harus waspada dan tetap tenang. Aku diam sebentar sebelum senyum juga dan menjawab, “no problem.”

    “What’s your plan?” tanyanya dengan nada kalem.

    “What plan?” apa dia tau soal perbuatanku ke Sam, maksa Sam jadi pacarku. Kalo dia ikut campur bisa rumit urusannya.

    “Sam,” gumam Caessar pelan tapi jelas. “Apa yang mau kamu lakuin ke Sam?”

    Aku mengernyit. Dia belum tahu.

    But he knows something is wrong.

    “Nothing.” Aku berbohong.

    Caessar tertawa pelan.

    “Beneran. Aku nggak mau ngapa-ngapain dia,” kataku kesal.

    “Oke. Aku percaya,” Caessar berhenti tertawa, lalu suaranya menjadi dalam dan lebih serius. “Tapi kamu tau kan kalau dia anak Wisma Indah Empat, dan aku nggak suka kalau ada orang yang nyari gara-gara sama anak asramaku?”

    “Aku nggak nyari gara-gara ama dia.”

    Caessar menatapku tajam, seakan ingin mengetahui isi pikiranku.

    “Pokoknya aku nggak mau Sam sampai kenapa-napa,” lanjutnya.

    “And what about you?”

    “What about me?”

    “Steal a kiss, steal a car, and what else?” aku bersenandung pelan.

    Keheningan yang menyusul serasa berdering.

    “Hei, Caessar, kamu sebenarnya mau apa?” tanyaku sekali lagi ketika setelah beberapa saat Caessar hanya berdiri diam tanpa melakukan apa-apa. Aku nggak bisa melihat ekspresinya dengan jelas karena cowok itu menunduk, tapi aku bisa melihat bibirnya membentuk seulas senyum.

    “I just wanna have fun,” jawabnya santai. Dia mulai berjalan pelan ke asramanya sambil melambaikan tangannya. “See ya.”

    “You have to stop it,” kataku tajam. “Jangan diterusin lagi.”

    Caessar menoleh dan tersenyum. “Kenapa aku harus nurut sama kamu?”

    “Gw serius,” tambahku dengan nada agak mengancam.

    Caessar mengangkat bahu dan terus melangkah. Kemudian dia berhenti dan berbalik. “I think I owe you an apologize.”

    “Do you?”

    “Yeah. So, I’m sorry.”

    “For what?”

    “Your Car. Sam. Everything.” Caessar memandangku beberapa saat kemudian berkata dengan sangat serius. “Aku yang salah, aku yang nyuruh Sam buat ngelakuin itu, jadi jangan marah ke Sam. Aku yang akan tanggung jawab.”

    Dia tersenyum lagi sebelum berbalik dan berjalan santai menuju asramanya. Aku mengawasinya sampai dia masuk dan hilang dari pandangan. Mau nyoba nutupin kesalahan anak buahnya ya? Sorry Caes .. kali ini aku nggak mau ada yang ikut campur ama masalahku dengan Sam.

    “Kok lama banget kamu Yo?” Yoga nongol dan menanyaiku setelah menyadari aku masih bersender disamping mobilku dengan diam. “Aku udah nyampe dari tadi.”

    “Iya tadi aku nyantai bawa mobilnya,” aku nyengir.

    “Ohh .. Ayo masuk, ditungguin anak-anak tuh.”

    “Bentar ya gw mo nelpon dulu.”

    “Oke,” Yoga melangkah masuk ke gerbang asrama Wisma Indah Lima.

    Aku merogoh saku celana dan mengeluarkan ponselku. Setelah menekan speed-dial di angka sembilan aku menempelkannya di telinga. Aku harus menunggu cukup lama sebelum orang diseberang sana mengangkatnya.

    “Halo? Selina? Gw mau ngomong, kapan lo ada waktu?”
  • edited August 2011
    Liam Firman


    Malem itu kami ngumpul di kamar Sam.

    Sam baru aja pulang dan kami langsung menagih ceritanya, asiknya lagi dia juga ngebawa segembol oleh-oleh cemilan dari hasil ngilangnya bareng Rion itu. Kebetulan lagi laper, jadi semua pada seneng banget dapet makanan gratis. Aku, Kaka ama Harris ngobrol di kamarnya sambil nonton film.

    “Aku nggak beneran nyuri mobilnya Rion,” Sam menjelaskan panjang lebar. “Waktu aku masuk mobilnya ternyata udah ada Rion disana, dia minta aku nyupirin dia. Soalnya dia udah ngantuk. Jadi aku pikir kenapa enggak, kan sekalian nyelesaiin misi ..”

    Anak-anak mengangguk-angguk sambil terus menggeratak peyek kacang, lumayan buat ngeganjel perut.

    “Trus kita kecelakaan, makanya itu kita nggak bisa langsung balik, kepaksa nginep di rumah warga sana,” lanjut Sam.

    Kami menerima cerita Sam tanpa pertanyaan. Cuman Harris yang terus mandang Sam curiga. Sam menangkap pandangan itu dan meneruskan. “Sekarang aku cuman bisa cerita itu aja.”

    Sam menjadi tidak sabar karena Harris tetap memandangnya curiga. “Denger ya. Aku nggak mau bohong lebih banyak lagi ama kalian. So stop asking me or I’ll tell you more lies. OK?”

    Harris kayaknya mau berbicara tapi Kaka buru-buru memotongnya.

    “Udahlah Ris, yang penting kan Sam udah balik dan dia nggak kenapa-napa.”

    Tampaknya Harris ingin membalas dengan tajam, tapi mungkin dia tidak mau bertengkar lagi, dia akhirnya berpuas diri dengan menggelengkan kepalanya nggak percaya ketika Kaka berpaling darinya.

    Kaka dan Harris rupanya telah mencapai kesepakatan tak terlulis untuk tidak mendiskusikan pertengkaran mereka kemarin (soal coklat yang hilang itu lho, masih inget kan?). Sekarang mereka saling bersikap cukup ramah terhadap yang lain, walaupun agak formal, jadi aneh ngeliatnya.

    “Jadi gimana disini?” tanya Sam kemudian.

    “Aman-aman aja kok,” jawabku segera. “Nggak ada masalah.”

    “Oh iya besok kan mulai orientasi di kampus, kira-kira bakal susah nggak ya?” tanyaku kuatir.

    Sam mengangkat bahu. “Setauku di kampus kita ada tiga ospeknya. Ospek fakultas, ospek jurusan ama ospek prodi. Yang paling berat tuh ospek fakultas. Kamu Fakultas Teknik kan?” ia menanyaiku.

    Aku mengangguk. “Iya bareng ama Kaka.”

    “Aku Fakultas MIPA, berarti bareng ama kamu ya Ris?” Sam menoleh ke Harris yang mengangguk sebelum memandangku lagi. “Ati-ati lho, katanya yang paling berat tu ospeknya anak Teknik.”

    “Serius?” Kaka berseru pelan.

    “Katanya sih. Semoga aja taon ini nggak berat.”

    “Anak Teknik Geo malah ospeknya satu semester, tiap Sabtu ngumpul buat lari-lari keliling fakultas,” tambah Harris yakin.

    Obrolan kami pun beralih ke soal ospek besok di kampus. Walaupun tiap tahun bahasanya diperhalus dengan nama yang aneh, saking anehnya aku sampe lupa tapi intinya ya tetep sama, ya Ospek itu, dikerjain ama senior. Kamar Sam jadi berisik banget, padahal kosan udah sepi dari tadi, soalnya penghuni kos lain yang lebih senior pada kekampus buat persiapan ospek besok. Mereka kan ikut panitia ospek, jadi besok ya mereka itu yang bakal menghardik kita-kita. Ferli udah pesen kalau dia nggak peduli mau temen satu kos kek, mau sodara kek, tetep bakal dia semprot habis-habisan kalo ntar bikin ulah.

    Agak maleman dikit Robin nongol di pintu nyuruh kita buat ngumpul di bawah. Wajahnya serius banget. Anak-anak pada heran, tapi akhirnya kita ikutin dia. Di ruang tengah sudah berkumpul anak-anak kos yang lain. Ferli, Yudha, Kevin dan Caessar. Rupanya mereka semua udah balik dari kampus.

    “Ada apa nih?” tanya Kaka sambil duduk di sofa.

    Di ruang tengah, aku, Sam, Kaka dan Harris duduk di sofa paling pojok, sementara lima senior kost memandangi kami dengan pandangan menilai. Jadi serasa dejavu, inget waktu dulu pertama kali dapet tugas nyuri.

    “Ini soal tugas kalian,” jawab Robin tanpa basa-basi.

    ”Maksudnya?” Sam mengernyit.

    “Jadi ..” Caessar baru akan bicara ketika pintu depan tiba-tiba terbuka. Seorang cowok berbadan tegap masuk, otomatis semua mata tertuju padanya. Ketika melewati ruang tengah dia bergumam pelan, suaranya agak serak. “Aku pulang.”

    Anak-anak langsung ramai memberi balasan dengan bersemangat. Ngerubutin cowok itu dan menyambar oleh-oleh yang dibawanya. Yang dikangenin pertama kali ternyata makanannya, bukan orangnya. Sementara aku, Sam, Kaka dan Harris saling bertukar pandangan penuh tanda tanya karena kami nggak kenal cowok itu.

    Caessar berdiri dan menepuk pundak cowok itu. “Akhirnya balik juga kamu. Oh iya kenalin itu anak-anak baru disini. Sam, Kaka, Harris sama Liam.” Dia menunjuk kami satu-persatu lalu merangkul cowok itu dengan akrab. “Dan ini Efran, dia yang nempati kamar nomer tujuh.”

    Kami tersenyum kikuk menyambut Efran. Tapi rupanya dia tipe cowok cool, nggak tampak sedikit senyum pun dibibirnya, dia cuman mengangguk pelan ketika Caessar memperkenalkan kami. Parasnya dingin, kaku dan cuek abis. Matanya menyorot tajam dan sinis, kesannya malah jadi kayak orang nggak ramah. Bibirnya agak kemerahan.

    “Aku mau tidur. Capek diperjalanan. Besok harus ke kampus pagi-pagi,” kata Efran kemudian, masih dengan suara serak-serak basahnya, dan dengan cuek membetulkan posisi backpacknya.

    “Oke. Met tidur ya,” kata Caessar riang sambil menepuk-nepuk pundak Efran sebelum cowok itu mulai berjalan menuju tangga.

    Kami memandangi sosok Efran yang menaiki tangga dengan cepat, lalu menghilang di ujung tangga.

    “Itu cowok yang nempatin kamar nomer tujuh?” tanya Sam hati-hati begitu yakin dia sudah berada diluar jangkauan pendengaran Efran. Di asrama ada sepuluh kamar, tapi selama ini kamar nomer tujuh dan nomer empat kosong ditinggal mudik penghuninya.

    Caessar mengangguk.

    “Dia satu angkatan ama aku,” Robin menjelaskan begitu Caessar memutuskan untuk bergabung dengan Yudha memakan cemilan yang dibawa Efran. “Seangkatan ama Caessar juga. Ama Rion juga ..” dia berhenti sebelum melanjutkan, “yah jadi sekarang asrama udah lengkap kan? Tinggal nunggu Miki balik aja.”

    “Tampangnya galak bener,” komentar Kaka sambil ikut makan.

    “Kalo udah kenal anaknya asik kok,” kata Ferli membela.

    “Tapi tetep aja, orangnya kayak judes gitu,” gumam Kaka nggak jelas, ngelirik Harris dengan pandangan meremehkan. “Tambah satu lagi deh orang galak dikos.”

    Harris pura-pura tidak mendengarnya. “Tadi katanya mau ngomong. Emang ada apa?” katanya mengingatkan.

    “Oh itu,” Caessar menelan makanan dimulutnya sebelum melanjutkan, dia berdehem. “Kalian kami nyatakan lulus.”

    “Lulus?” ulang Harris.

    “Yep,” kata Kevin.

    “Kalian lulus,” Caessar tersenyum sementara Sam dan Harris masih memandangnya curiga. “Jadi kalian bisa ngelupain tugas-tugas kalian yang dulu itu. Steal a kiss, steal a ring, steal an underwear, steal a car, umm trus apalagi?”

    “Steal a heart,” sambar Robin cepat.

    “Yeah steal a heart. Mulai besok kalian bisa ngembalikin barang-barang yang kalian curi,” lanjut Caessar kalem, lalu dia menoleh kearahku. “Dan kamu Liam, kamu bisa berhenti nyuri hati Arjuna.”

    Aku terlonjak kaget. “Hah?”

    “Kamu nggak perlu lagi bikin dia naksir kamu.”

    “Kenapa?” tanyaku segera.

    “Yah .. karena tugasnya udah selesai. Kalian udah kami terima di asrama ini.”

    “Tapi kenapa tiba-tiba gini?” tanya Sam curiga. “Bukannya Liam masih punya waktu sebulan?”

    “Well. Ada sesuatu Sam,” kata Caessar penuh rahasia, membuat Sam jadi tambah curiga. “Atau kalian mau ditambah lagi tugasnya?”

    Sam dan Harris mencibir dongkol.

    “Enggak usah,” kata Harris. “Jadi udah selesai kan tesnya? Kita udah bebas?”

    Robin mengacungkan jempolnya, nyengir. “Selesai.”

    Jadi aku tidak perlu lagi usaha buat ngedapetin hatinya Jun? Tidak perlu susah-susah lagi untuk bikin Jun suka sama aku?

    Oke, ini berita bagus, tapi ada yang salah, ada yang nggak bener.

    Aku kan udah terlanjur nembak Jun, terus gimana dong? Masa aku tarik lagi penembakanku waktu itu. Apa kata Jun nanti? Dia pasti tersinggung. Dia pasti marah kalo aku bilang aku nembak dia cuman karena tugas.

    Yang lain menerima berita ini dengan agak berbeda.

    Harris mengangguk pelan dan bilang kalau besok dia bisa mengembalikan cincin-nya Putri, sementara Kaka histeris karena dia lupa naruh celana dalem-nya Yoga dimana . Semua langsung memandang Kaka nggak percaya. Sementara Sam yang tidak perlu mengembalikan apa-apa cuman duduk santai di sofa sambil memainkan ponselnya.

    Saat Ferli lagi ngebego-begoin Kaka, aku duduk dengan gelisah dan jadi tambah cemas. Aku ngerasa nggak enak sama Jun. Dia udah baik sama aku.

    Aku jadi tambah ragu.

    Apa aku bisa untuk nggak terus nyuri hatinya Jun.
  • edited August 2011
    hha, kelamaan ya?
    kemaren nyoba pake telkomsel
    cepet bgt buat donlod, dapet banyak bgt film nih
    (sayang lg puasa jd gag donlod bokep)

    cuman bf kok diblok ya ama telkomsel?
    ada yg ngalamin juga gag? jd katanya difilter krn mengandung pornografi
    padahal gif nggak ke blok lhooo
    ah payah nih ..

    baru bisa buka bf kalo pake proxy
    trus kalo pake proxy susah buat ngepost, error mulu
    jadi ya puasa juga deh bf-nya, hha



    @coolmon
    hhe, sini tak jitak kalo gitu
    enak aja ngasih menyan, emang setan apa

    @adinu
    yahh biasalah janji tinggal janji, hha
    soal gif ntar juga gw bikin lapak lagi kok disana

    @rrioo
    gw enam taon dijogja broo, kuliah + pasca kul
    dulu malah sempet ngontrak rumah juga bareng temen2

    @Fendy_vanilla_latte
    makasihhh, baca terus yahh

    @gernumbli
    hhe, makasih

    @loafer_boy
    hhe, weird romance? iya juga sih

    @sandy.buruan
    bacanya sih cepet tapi nulis ceritanya itu lho, lamaaaaa
    hha, yg sabar aja ya nunggu lanjutannya

    @rhein_a
    makasih ^^
    wah kalo part kesukaan gw sih mungkin bagian-nya kaka

    @dheeotherside @Secret|admirer
    ho oh, udah nyampe chapter 11 kalo di gif yg dulu
    iyah gif udah balik lagi, ntar juga gw post disana kok

    @buzz.
    hha, makasih broo

    @LordNike
    hhe, makasihhh

    @tri_s
    loh? eh ketemu disini, hhe, avatar-nya masih panda poo juga
    miss u broo

    @hantuusil @Aness
    yoa yoa .. hha .. sabarr
    eits dilarang lempar2 kompor gas, tar mbledug

    @Dhika_smg
    iyah, sampe chapter 11 di gif

    @a_hatter
    hha, jgn lupa tidur dong

    @garasi
    wah ini juga cerita pertama gw bro
    jadi kalo kumpulan2 cerita ya belom ada, baru ini doang

    @pokemon
    sabarr yaa, gag bisa update regular nih

    @Abid_15_Ponorogo
    wah baru mampir sini ya?

    @fansnyaAdele
    hha, makasih, baca terus yaa

    @bibay007
    awww, hi rafa, kamu juga tuh, cepetan updatenya
    kok keliatannya mulai ngaret, hhe, dulu kan tiap jumat malem
    sibuk ya?

    @AoiSora
    wah sora aoi? hhe, sabar yaaa

    @dancingangel
    woy juga deh, hha
    sabar dong broo
  • edited August 2011
    Apa ini!? Apa ini!? Ceritanya kok bagus kayak gini seee!
    #gulung-gulung.di.kasur

    @coatwest, makasih update-nya. Ini settingnya di Jogja apa California sih, kok pake bhs. Inggris segala. Hahahaha! Tapi gak papa! Malah bikin ceritanya tambah renyah.
    K0nflik-nya pas. Masuk di nalar. Runtut. Ada suspense-nya. Ada beberapa bagian yg quite surprising. Klop dah pokoknya!

    Nb. Mas, itu foto profilnya cute banget. Fotomu kah? Hehe
  • “Aku nggak minta kamu suka ama aku ato sayang ama aku. Aku cuman minta kita pacaran. Itu aja. Biar kita bisa sama-sama terus.”
    bener2 kata2 seorang yg lagi kesengsem abissss

    hahaha
  • Werty123 wrote:
    “Aku nggak minta kamu suka ama aku ato sayang ama aku. Aku cuman minta kita pacaran. Itu aja. Biar kita bisa sama-sama terus.”
    bener2 kata2 seorang yg lagi kesengsem abissss

    hahaha

    Orang yg bilang begitu, berarti lagi desperate, bro. Dia kepingin bgt dicintai, tapi gak tw gimana caranya agar bisa dicintai.
  • eh iya, bf di blok kalo pake telkomsel, payah nih flash -..-"
  • eh iya, bf di blok kalo pake telkomsel, payah nih flash -..-"
Sign In or Register to comment.