Holla.
It is my Story
Bila ada kesamaan nama, kesamaan tempat, kesamaan kejadian atau kesamaan lainnya, semua itu semata-mata hanyalah karena ketidakmampuan saya untuk membedakannya belaka.
Terimakasih. Enjoy, Please
==================================================
==================================================
==================================================
==================================================
Satu
Kunikmati aliran kata di majalah mobil dalam genggaman tanganku pada malam hari yang hangat di kota yang dingin ini. Baris demi baris bahasa teknis informatif ini membius diriku ke dalam sebuah suasana yang nyaman dan mendamaikan. Sambil tengkurap di atas kasur berseprei yang bergambar mobil berwarna merah dengan warna latar biru, bersandarkan bantal dengan motif serupa, terus kunikmati majalah bulanan ini. Menikmati sajian gambar-gambar benda beroda empat sambil meniti untaian kata yang menerangkannya.
...GREP...
Sepasang tangan hangat menutup kedua mataku dari belakang. Tak kuusahakan untuk melepaskannya. Malah kunikmati kelembutan dan kehangatan kulit pemilik sepasang tangan itu di wajahku.
Rambut hitam lembutku disibak dan dikecup wajah pemilik sepasang tangan itu. Dengan penuh kelembutan wajah itu mencumbu rambut hingga perlahan ke belakang kuping kiriku. Kurasakan hembusan lembut nafasnya menyentuh kulitku. Cintanya mengalir seiring hembusan nafasnya.
Kuukir senyumku, "Udah makan, Yang?" Menyapa mesra manusia yang sedang menutup mataku dan memanjakan diriku.
Kubalikkan perlahan tubuhku, rebah di samping tubuh ramping manusia itu. Kurasakan keningku dikecup lembut olehnya sehingga bibir tipisnya terasa lembut mendamaikan perasaanku, dan sepasang tangannya kini telah berpindah merengkuh kedua sisi pipiku.
"Belum. Kamu?" Bibir lembut itu mengucapkan jawaban sapaanku tadi.
Kulingkarkan tangan kananku di pinggangnya dengan siku dan lengat atas di atas pahanya. Dengan jari-jariku kuusap-usap bagian belakang punggungnya. Kuarahkan tangan kiriku menggapai tangan kanannya yang melingkari pinggangku. Kugenggam tangan hangat itu, kubelai sambil seraya membawanya menuju kecupanku. Kubalas kemesraannya.
"Mau makan apa?" Setelah kukecup tangannya sambil jari-jariku terus membelainya.
Tangan kirinya membelai pipiku dengan ibu jari membelai bibir bawahku. "Aku pengen makan cumi-cumi, nih. Gimana?" Tangan kanannya membalas belaian tangan kiriku. Kedua tangan dari dua tubuh berbeda saling membelai mesra dan penuh kasih sayang. Badannya duduk di tepi ranjang single-ku. Mata teduhnya memandang sayang mataku, bibir tipisnya indah tersenyum mendamaikanku, jemari lembutnya membelai pipi, bibir dan tanganku. Sayangnya terus mengalir ke tubuhku.
Dia adalah pacarku. Cowok dengan perawakan langsing tinggi Asia berkulit kuning dengan sepasang bibir merah tipis bermata bening indah dihiasi hidung ramping dan pipi merona manampilkan kesempurnaan wajah baby facenya yang membuat siapapun berharap untuk memilikinya. Dialah pacarku. Teman sekelasku sejak semester pertama.
"Ayo, deh. Tapi aku ayam bakar aja, yah." Tubuhku bangkit mencoba duduk di sampingnya lalu kukecup keningnya. Kuambil dompetku yang tergeletak di atas meja kecil di samping ranjangku lalu berdiri, merapihkan kaos biru yang kupakai. Bersiap-siap makan malam dengan kekasih hati tercinta. Christ namanya.
Dia sudah bangun dari duduknya berjalan menuju pintu kamar. Kumatikan lampu dan laptopku yang sedang melantunkan lagu Bella Luna dengan suara indahnya Jason Mraz. Kuikuti dia menuju pintu keluar kamarku. Tak lupa menguncinya dari luar.
"Yuk". Senyumku terukir tulus untuknya yang berdiri di teras kamar kos ku.
Dia menganggukkan kepalanya yang berambut hitam lurus itu dengan ulasan senyum di bibir tipisnya.
Berdua kami berjalan menuju warung makan, beriringan tanpa saling bergandengan, mengobrol sepanjang perjalanan.
Selamat Makan Malam.
Comments
Tempat yang baru adalah kehidupan yang baru juga. Melihat orang-orang baru, lingkungan baru, jalan yang baru, dan tentu pemikiran baru. Ini adalah kehidupan baruku. Pendidikan baru, bangku kuliah. Setelah 3 tahun menjadi remaja SMA, usia dewasa sedang menyambutku di sini. Belum ada yang kukenal di sini, kecuali nama kampus, nama kota ini dan ibu kosku. Wajah-wajah baru dari berbagai pribadi-pribadi yang datang dari lingkungan berbeda. Bagi mereka yang baru datang sepertiku, kota yang dingin ini, juga adalah lingkungan baru.
Duduk di bangku kuliah, sendirian di keramaian manusia-manusia muda seusia. Belum ada yang kukenal di kelasku. Saat-saat seperti inilah banyak terdengar dialog-dialog perkenalan sepanjang kuliah berlangsung. Pertanyaan tentang nama, kota asal, SMA asal, dan berbagai pertanyaan lain saling bersahutan. Saling mencari tahu dan memberi jawaban.
Hari kedua, kususuri pandanganku ke seluruh penjuru kelas.
‘TRING’
Ada yang menarik perhatianku. Di pojok, bangku kedua dari belakang, pertama dari kiri. Duduk rapi dengan ibu jari tangan kanan menopang dagu, jari telunjuk lurus ke atas menopang hidung sebelah kanan, dan jari tengah, jari manis serta kelingking melingkar menutup mulutnya. Pose yang artistik. Sementara tangan kirinya sibuk mencatat dan mata memandang lurus ke papan tulis di depan. Kidal ternyata.
Kulitnya kuning langsat, rambut lurus tipikal Chinese, kaos berkerah warna cokelat tanah dengan garis-garis kuning di ujung tiap lengan pendeknya, melekat serasi di tubuh rampingnya. Sepertinya manis.
Siapa dia? Sepertinya dia baru hadir hari ini, karena kemarin pandanganku tidak terhalang keindahan itu. Sialnya, dosen sudah mengabsen tadi, jadi, sampai kuliah selesai, aku belum tahu siapa dia. Yang aku tahu, setelah tangan kanannya itu berubah posisi, wajahnya kini terlihat dari samping kanannya. Bibir tipis merah indah, bulu mata lurus memayungi mata sipitnya, pipi merona seperti pipi balita, dia sungguh childish. Menggemaskan.
Sepanjang kuliah berlangsung, pandanganku sering berlabuh memperhatikan dia. Bahasa tubuhnya menarik perhatianku. Elegan, cuek, sopan, mencerminkan pribadi yang menarik dan edukatif. Duduknya tegak, kepala tegak lurus mengantarkan matanya memandang ke depan, memperhatikan dosen, sambil tangan kirinya sesekali mencatat catatan di papan tulis, sambil sesekali berhenti, dan jari-jarinya menunjukkan kelincahan saat memutar-mutar ballpoint di tangannya. Tangan kanannya begitu sering menopang dagunya dengan tiap jari melakukan tugasnya masing-masing. Ibu jari sebagai penopang dagu, telunjuk lurus di samping hidung mancungnya, dan jari-jari lainnya melingkar menutup bibir tipisnya. Tipe orang pendiam. Bicara hanya dengan bahasa tubuh. Posenya itu seperti mengatakan kepada orang lain, “”Sorry, I wont say anything””.
Kuliah telah usai untuk hari ini. Aku bergegas pulang, setelah say goodbye kepada beberapa orang yang sudah kukenal. Berusaha mengejar langkah cepat orang yang belum kuketahui namanya tapi sudah menyita perhatianku. Jalan pulang kami searah.
Selamat Tinggal, Sampai Nanti.
Hampir sebulan aku jadi mahasiswa. Selama sebulan ini aku banyak belajar berbagai macam hal. Banyak berkenalan dengan berbagai tipe orang. Banyak mengunjungi tempat-tempat baru di kota yang dingin ini. Sekarang sedang musim panas sih, jadi udaranya sedikit menghangat. Lumayan.
Kuliah pertama hari ini telah selesai. Kuliah berikutnya 1 jam lagi. Kesempatan buat ngenet. Duduk di koridor depan kelas, buka laptop, say hy to my friends, pada pasangan yang baru jadian 3 hari yang lalu, dan pada Christ.
Christ? Selama sebulan kuliah ini tidak terasa aku sudah kenal seluruh 50 penghuni kelas. Walau masih banyak yang hanya baru kenal wajah lupa nama. Itu masih lumrah. Kan masih baru sebulan. Seperti halnya dengan Christ, kenal sekilas. Karena sama-sama tahu bahwa kita sekelas. Kalo aku pasti tahu banget bahwa dia adalah classmateku, secara tiap kuliah aku sering curi-curi pandang memperhatikan dia. Pemuja rahasia.
Samping kiriku pasangan yang baru jadian 3 hari yang lalu tadi, dan di sebelah kanan, duduk manis seorang yang rupawan dengan wajah baby face dan tubuh rampingnya. Membuatku deg-degan. Betapa selama ini aku perhatikan dia yang begitu indah, tidak terbayangkan bisa duduk bersebelahan dengan dia. Kalo di kelas saja aku selalu mencari tempat duduk yang agak jauh dari dia, minimal 3 bangku. Tidak kuat dengan keindahannya. Cukup memperhatikan dari jauh saja. Dari jarak aman agar aku tidak terbakar pesonanya yang mematikan. LEBAY.
Tulisan Welcome di laptopku menyambut. Selanjutnya Loading, Booting dan siap. Ready to use. Setelah mengkoneksikan ke hotspot, double klik Mozilla Firefox, muncul pilihan, Restore Previus Session atau Start New Session. Kupilih yang pertama, membuka sesi browsing yang tadi kulakukan sebelum kuliah.
JDAR!!!!!!
Mozilla langsung menampilkan halaman Friendster yang sedang membuka salah satu profil orang dengan gambar seorang cowok bugil tanpa busana.
ARRRRRRRRRRRGGGGGGGGGGGGG!!!!!!!!!!!!!!!!
Gemetaran tangan ini menuntun mouse menuju tanda X merah di sudut kanan atas Mozilla. Susah payah aku membawanya hingga sampai kesana karena gemetaran, dan...
–KLIK-
Ilang sudah page itu. Padahal sudah nunggu loading lama-lama. Sial.
By the way any way busway bajay lebay, kira-kira manusia sempurna yang indah dan mempesona di samping kananku ini liat enggak ya? Kan dari tadi dia merhatiin desktopku, yang menampilkan Aston Martin V8 Vantage ini, sejak Booting. Hancur sudah reputasiku. Dia bakal tahu siapa diriku. Aku takut banget. Masih gemeteran tanganku. Jantungku masih berdegup kencang. Pikiranku masih tidak karuan memikirkan apa yang akan kudengar nanti dari bibir seksinya, membayangkan apa yang dia pikirkan tentang diriku dalam pikiran brilliant-nya. Padahal kenal deket aja belum, malah udah menciptakan jurang pemisah. Berharap-harap cemas semoga dia tidak melihatnya. Amin.
Ampun, aku gak berani ngapa-ngapain laptopku. Ku buka folder gambar mobilku aja. Ganti desktop, daripada nganggur tidak keruan. Kenapa aku begitu tulalitnya, tidak meng-close page sialan itu sebelum aku matiin laptopku tadi. Membuat langkahku untuk mendekati dia semakin susah aja. Dia kan pendiem, kalo ditanya jawabnya seperlunya aja. Aku sudah pernah mencoba sok akrab ngobrol sama dia, ujung-ujungnya aku makan jantung karena jawaban dia yang hanya ‘iya’ dan ‘tidak’ saja. Sekarang ditambah dengan page Mozilla tadi bukan tidak mungkin dia akan menjauhiku. Karena dia akan tahu siapa aku. Seorang cowok yang membuka page berisi gambar cowok telanjang.
“Boleh pinjem catetannya nggak?” sebuah suara merdu mengalun di kupingku beberapa saat setelah degup jantungku kembali tenang. Suara itu merdu, nyaman sekali di telingaku, membuat sudut bibirku naik ke atas menyunggingkan senyum senang dan tenang. Karena suara itu, aku tahu, lahir dari sepasang bibir seksi berwarna merah indah itu. Yah, dari bibir orang yang duduk manis di samping kananku yang tadi telah membuat aku deg-degan memikirkan berbagai macam hal.
Aneh, kok dia tidak mengomentari hal tadi? semoga saja ini berarti dia gak ngeliat page tadi. semoga hari ini aku bisa bernafas dengan lega. Amin. Horeeeee........ (bodoh).
Segera kuberikan buku catatanku padanya, “Mau nyatet materi apa? Punyaku juga kurang lengkap sih.” Basa-basi basi. Buat netralisisr deg-deganku.
“Yang tadi. Ga papa deh”. Cukup jelas dan singkat kata-katanya. Seperti biasa. Menyebalkan.
“Kok isinya gambar mobil semua?” pertanyaan orang keseribu kalinya yang menanyakan isi buku catatanku yang mayoritas dominan sebagian besar isinya adalah gambar-gambar mobil hasil kerja malas tangan kananku. Sejak SD, setiap kali di kelas, yang kulakukan adalah lebih banyak menggambar mobil daripada nyatat pelajaran. Penuh deh bukuku dengan barisan mobil-mobil yang lahir dari buah tanganku ini.
“Iya, aku males nyatet.” Untuk menjawab pertanyaan bibir manis tipis merah itu.
“Kamu suka mobil?” tidak kusangka orang yang selama ini begitu kutakuti untuk kuajak ngobrol karena sifat pendiemnya itu ternyata mampu mengucapkan pertanyaan ini.
“Sejak baru lahir aku udah minta mobil-mobilan sama Emakku. He he.” Kalimat bodoh ini keluar untuk yang ketujuh ratus delapan puluh lima ribu kalinya.
“Ini, makasih.”
Lho? Kok dibalikin. Cepet amat. Batinku.
Rupanya dia gak nafsu menyalin catatanku yang bikin kepala setiap orang yang melihatnya jadi pusing.
“Enggak nyatet?” please, deh. Kayak yang ada catetannya aja buku catatanku ini.
“Enggak, deh.” Jawaban yang lagi-lagi cukup singkat, jelas dan padat. Like usual.
Senyum aja deh. Itung-itung amal.
Sambil terus berharap dia benar-benar tidak melihat page yang tadi. kubuka Internet Explore aja deh, dari pada nganggur. Mending ngenet lagi. Sementara manusia rupawan di samping kananku ini sibuk menikmati buku catatannya.
Selamat Membaca.
nice story..
Pemuja rahasia. Berharap dapat memiliki orang yang dipuja. Ingin dekat dengannya, menjaganya, menemaninya, mendampinginya dan membahagiakannya. Kalau tidak bisa menjadi kekasihnya, cukuplah sebagai sahabatnya saja.
Langkahku untuk dapat dekat dengan dia begitu sulit. Dia adalah pribadi yang begitu introvert. Tertutup. Sehingga menyulitkan gerakku untuk membuka dirinya. Kucoba untuk jadi temannya, tapi sepertinya dia tidak begitu welcome menerima kehadiranku di sisinya, aku mundur kembali. So down.
Berbagai kesempatan kumanfaatkan, agar bisa lebih akrab dengannya. Berbagai kalimat kuutarakan, agar dapat berbincang dengannya. Berbagai tindakan kulakukan, agar dapat perhatian darinya. Tapi sepertinya dia masih belum juga memberi perhatiannya kepadaku.
Seorang cowok yang menyukai cowok. Segala sesuatunya lebih sulit daripada saat mencintai cewek. Kemungkinannya lebih banyak, ketidakpastiannya lebih membingungkan, pertanyaannya lebih banyak membutuhkan jawaban, dan keberanian seluruh jiwa dan raga dipertaruhkan. Lebih mendingan kalau yang disuka juga sama-sama penyuka sesama jenis. Setidaknya resikonya lebih sedikit. Maybe.
Saat cowok menyukai cewek, tinggal kumpulkan keberanian saja untuk mengutarakan perasaan. Masalah berikutnya, hanya menanggung resiko diterima atau ditolak saja, paling bakal kecewa kalo dapat penolakan. Lain halnya saat mencintai cowok lagi, keberanian saja belum cukup. Seluruh hidup dipertaruhkan untuk mengutarakannya. Terkesan lebay memang, tapi itulah yang aku rasakan. Aku tidak mampu mengutarakan perasaanku kepadanya. Karena aku tidak tahu, apakah dia sama sepertiku? Lebih santai keadaannya seandainya ia juga sama. Nama baik akan tercoreng bila dia berbeda.
Tidak melelahkan setiap hari aku memperhatikan dia. Menikmati senyumnya, melihat geraknya, meresapi pribadinya. Walau hanya dari jarak jauh, cukuplah bagiku untuk suplemen penyemangat hari-hariku.
Begitu mudahnya aku bisa menyukainya. Perjumpaan yang baru seumur jagung, telah menanamkan benih yang menyiksa dalam diriku. Membuatku selalu memikirkannya. Padahal kenal dekat saja belum. Menyakitkan. Sekaligus menyedihkan juga.
Apakah dia bisa merasakan kekhawatiranku saat aku memikirkannya? Apakah ia mampu mendengar panggilanku saat malam aku memanggil namanya? Apakah ia memimpikan aku juga saat aku memimpikannya? Apakah ia pernah merasakan kerinduanku terhadapnya? Apakah dia pernah memikirkan tentang aku? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang selalu berputar di otakku, tanpa ada jawabannya.
Setiap hari aku berdoa untuk kesehatannya, agar ia selalu bisa hadir saat kuliah, agar aku bisa selalu melihatnya. Setiap hari. Sehari dia tidak hadir, sehari itu pikiranku bekerja lebih keras memikirkan apa yang terjadi dengan dia. Bertanya-tanya apakah esok dia akan ada. Beharap, semoga tidak terjadi apa-apa dengan dia.
Saat malam, sebelum tidur, kupanggil namanya, berharap ia dapat hadir dalam mimpiku, berharap juga ia mampu memimpikan aku. Terlebih saat kantuk tak kunjung datang, pikiran tentang dia menemani diriku sepanjang malam. Menyesakkan.
Seperti halnya malam ini. Tak dapat kupejamkan mataku, dan hanya dia yang hadir dalam anganku. Membayangi diriku, seolah dia benar-benar ada di dekatku. Apakah dia merasakan hal itu juga terhadapku?
Selamat pagi dunia, sampai pagi aku belum memejamkan mata.
Selamat Pagi, Semoga Harimu Indah.
“Kos di mana, Gung?” Tanya Fahri yang duduk di sebelahku. Kuliah pertama telah usai, masih ada waktu 1 jam 40 menit lagi sebelum kuliah berikutnya.
“Di SB. Jauh.” Senyum ikhlas kuberikan menemani jawaban pertanyaan Fahri tadi. Pertanyaan yang sering terdengar beberapa minggu ini, maklum karena masih dalam tahap perkenalan.
“Kayaknya jauhan gua dah kosannya.” Nantang juga nih Fahri. Ngajak jauh-jauhan tempat tinggal. Emang dia kos di mana yah?
“Emang lu kos di mana, Fah?” jadi penasaran.
“Gua di CP. Bareng sama si Christ.” CP? Di mana tuh? Batinku.
“Di mana tuh?” kuucapkan juga pertanyaan ini. By the Way........ WHAAAAAAATTTTTT!!!!!! SI FAHRI KOS BARENG SAMA SI CHRIST?
“Lu bareng sama si Christ?” padahal pertanyaan yang tadi aja belum dijawab. Baru sadar aku, kalo si Fahri mengatakan dirinya kos bareng sama si ganteng dan rupawan pujaan hatiku tercinta, Christ.
“Iya, kita tiap hari mendaki bareng. Kosan kita di atas.” Beruntungnya si Fahri ini bisa satu kosan dengan pria yang begitu indah.
“Emang kosan lu di gunung?” lanjutkan.
“Jalan ke arah Lembang, kan naek tuh. Nanti deh kalo mau tahu lu maen aja.” Wew, kesempatan.
Dengan pura-pura tidak terlalu kaget dan terkejut mengetahui bahwa dia bareng sama si Christ, kulanjutkan dialog dengan si Fahri dengan menanyakan berbagai macam hal mengenai kenapa mereka bisa kos bareng gitu. Dari info yang aku peroleh berkat penyelidikan dari Fahri, bahwa mereka kos di satu rumah tapi beda kamar (aku patut bersyukur akan hal ini). Pantes sering kulihat si Fahri ini pulang bareng sama si You-know-who.
“Maen ke kosanmu yu, Gung.” Langsung kuiyakan saja ajakan Fahri ini, karena beliau juga mengajak serta si orang-yang-tak-dapat-kusebutkan-namanya itu. Kesempatan untuk bisa deket sama dia. Ibarat kata, kalo pengen wangi, dekati penjual parfum. Kalo pengen dapet ikan, dekati orang yang punya jala. Nah, sekarang , kalo aku pengen deket sama si ganteng dan si tampan Christ, maka dekatilah Fahri, yang notabene temen kosannya. Pintu kesempatan pun terbuka. Tidak akan kusia-siakan. Oke deh. Hari itu kuajak Fahri dan Christ mengarungi panasnya jalanan menuju kosanku yang nun jauh di sana. 30 menit nyampe. Itu karena kita makan siang dulu di warung nasi Padang di jalan menuju kosanku tercinta. Home sweet home.
Sepanjang perjalanan aku Cuma ngobrol sama si Fahri aja, sementara beliau yang pendiam itu jalan di depan kami dengan langkahnya yang begitu cepat sperti orang mau nagih utang. Udah biasa. Kata Fahri.
“Dia itu anak yang beda sih, Gung. Suka ngelakuin hal-hal yang tidak biasa dilakuin orang lain. Setiap pulang bareng aja dia selalu ninggalin gue seperti ini, jadi santai aja.” Fahri bercurhat ria kepadaku. He he, info yang bermanfaat. Sebagai pemuja rahasia aku suka mengetahui hal-hal tentang pujaanku. Dengan cara yang wajar seperti ini.
“Sebenernya dia asik kok. Cuma kalo belum kenal emang cuek kayak gitu.” Fahri yang baik hati, rajin menabung, rajin menjahit, rajin membaca dan tidak sombong ini menambahkan info berharga lagi. Sesuai dengan harpanku.
Sampe kosan, kami lanjutkan ngobrol-mengobrol. Sekarang si Christ mulai ikut terlibat dalam serunya obrolan kami. Membicarakan masalah kuliah, biaya hidup, komputer, dan lain-lain, membuat aku semakin tahu siapa si ganteng yang rupawan ini. Dengan obrolan ini juga, aku jadi punya kesempatan untuk membuka diri kepada Christ, memulai suatu ikatan pertemanan.
Selamat Mengobrol.
Kuliah kedua baru aja kelar. Ada tugas nih. Pekerjaan rumah (eh kosan) tambahan setelah beberapa tugas dari mata kuliah lain.
“Gung, katanya mau maen ke kosan gua? Sekarang aja deh, mumpung cuacanya lagi bagus.” Fahri menawarkan kebaikan dan ketulusan kepadaku. Maen ke kosan Fahri yah? Berarti sama saja maen ke kosan Christ. Oke deh.
“Ayu deh. Sekalian ngerjain tugas ini aja yuk. Gua masih bingung nih. Keknya kalo bareng-bareng bakal lebih gampang deh.” Kusambut ajakan beliau. Kesempatan untuk tahu lebih banyak tentang pujaan hatiku.
“Yuk.” Kamipun segera berangkat menuju hunian Fahri dan Christ yang letaknya benar-benar jauh dari kampus. Dengan tidak adanya angkot di jalur ini, dengan semangat kami mendaki bukit dan menuruni lembah untuk sampai ke sana. Seperti saat menuju kosanku, Dia yang tampan dan rupawan itu jalan duluan di depan. Sepertinya dia tipe orang yang tidak suka berbincang-bincang saat jalan. Sedikit aneh. Tak lupa kami sempatkan beli gorengan untuk camilan.
Sampe kosan kami langsung menuju ke kamar Fahri, yang begitu lumayan sedikit berantakan. Khas kamar cowok yang jauh dari ibu dan ayah. Ingin rasanya aku bertandang ke kamar Christ juga, tapi apalah daya, yang punya kamar sedang tidak ingin menerima tamu. Jadi, di kamar Fahri lah kami menghabiskan waktu sore itu dengan ngobrol sambil ngerjain tugas (atau ngerjain tugas sambil ngobrol).
Selamat Mengerjakan Tugas
Let’s sweem!
Week end ini aku, Fahri dan Christ pujaan hatiku, pergi berenang bersama-sama dengan penuh suka ria tanpa canda. Setelah menyusun rencana saat kemarin di kamar Fahri, teman yang banyak memberiku peluang untuk dapat deket dengan Christ.
Swimming pool. Here we come. Setelah melihat-lihat keadaan dan sebelumnya membayar tiket masuk, kami segera melepaskan kostum masing-masing dan menggantinya dengan pakaian dinas renang. Alias koloran doang. What? Kolor? Cuma kolor? Yes, boy. Just color. Hee...
PUCUK DI CINTA KOLOR PUN TIBA. Dalam keadaan ini, sebagai pemuja rahasia aku berada dalam situasi yang baik dan juga buruk. Situasi baiknya, tahu kan. Aku dapat melihat dia yang begitu indah itu tanpa busana. I can see his body. Mukanya (TENTU SAJA!), lehernya, dadanya, perutnya, pusernya, keteknya (kagak juga sih), dan put...-nya. Wew. Mantaph. Tak lupa aku juga dapat melihat sedikit bulu-bulu halus yang berbaris rapih di bawah pusernya. GLEK. Lemes semua badanku. Tanpa daya terkesima karena pemandangan yang serba indah dari dirinya. Curi-curi pandang dengan gelisah. Takut ketahuan.
Situasi buruknya, otak cabul, otak mesum, otak kotor, dan berbagai sodara-nya akan hadir membayangiku. Mau gimana lagi, siapa sih yang gak ngiler melihat pujaan hatinya di depan mata tanpa busana tanpa terpaksa? Keadaanlah yang memaksa diriku untuk berpikiran macam-macam. Sungguh, aku tak tahan. Takut ketahuan bahwasannya diriku begitu salah tingkah dan langkah dalam menghadapinya yang sedang dalam keadaan setengah telanjang menampilkan keindahan raganya yang begitu sempurna. Salah siapa kalau dia melepaskan bajunya dan membuat diriku jadi bergairah? Dasar.
Sungguh beatifull. Walau badannya tidak begitu atletis, tapi perut ratanya, kulit putihnya, puting pinknya, puser indahnya dan bulu-bulu halusnya membuatku menelan ludah dan darah. LEBAY. Aku rela deh jadi tukang pijet untuk memijit tubuh indahnya saat dia lelah. Aku mau jadi tukang kerok untuk ngerokin dia saat masuk angin (walau sayang, kulit putihnya nanti jadi belang). Dan aku juga ikhlas jadi tukang urut untuk ngurut perutnya saat ia mules. Mau deh.
Udah deh. Aku enggak kuat lagi. Ambil ancang-ancang aja deh. Yok, nyemplung. JBURRRRRRRR!!!!!!!!! Kita pun berenang dengan bahagianya.
Selamat Berenang.
Kuliah pagi-pagi, memaksaku untuk bangun pagi-pagi, mandi air yang begitu dingin pagi-pagi, kedinginan setelah mandi pagi-pagi, dan berangkat menyusuri jalan menuju kampus pagi-pagi. Masuk kuliah jam 7 pagi. Kayak anak sekolah. Pikirku. Dengan mata yang masih sedikit asem, aku masuk ke kampus yang masih begitu sepi. Berjalan menyusuri koridor, menaiki tangga (itung-itung olah raga, aku kurang suka pake lift), sampai lantai 4 (pegel juga), jalan menyusuri koridor lagi, masih tetap sepi, dan,... pintu kelas sudah sedikit terbuka, berarti sudah ada orang.
Sudah dapat kuduga siapa di dalam sana. Orang yang selalu datang lebih awal dari yang lain. Membuatku sering menjadi orang kedua yang datang. Pasti si ganteng yang pintar, pandai, rajin, baik hati dan tidak sombong itu yang sudah di dalam kelas. Kudorong sedikit pintu kelas ini, dan benarkan. Dia sedang duduk manis khusyuk bercengkerama dengan laptop mini warna putih berliannya. Aku langsung semangat.
“Pagi.” Kukibarkan senyum awalku pagi ini, kupersembahkan khusus bagi beliau yang berada di pojok sana. Dia selalu duduk di pojok. Pemalu sih. Dia mendongak, melihat kedatanganku, menyunggingkan senyum yang terlihat sedikit dipaksakan. Pahit banget. Hiks....
Sedikit kecewa. Tapi biarlah. Aku beranikan diri mengambil tempat duduk di sebelahnya. Ini untuk pertama kalinya. Kupikir kita pasti sudah jadi temen, karena kemaren kan kita baru renang bareng. Jadi aku tidak ragu lagi untuk duduk di dekat beliau. Walau tetap saja aku deg-degan setengah mati. Kayak mau ngadep polisi tukang interogasi di dalam jeruji besi tanpa isi dan eisi (AC). Krieeeetttt....... derit suara bangku yang kumundurkan sedikit agar pantat seksiku ini dapat duduk dengan indah di sana.
Ehm...... deg-degan gak ilang-ilang. Sementara makhluk rupawan di samping kananku tetep stay cool menikmati page-page internet di layar laptop yang sama imutnya dengan yang empunya. Glek. Jadi pengen.
Kubuka laptopku juga. Turn on button kutekan, dan, menyalalah lampu indikator di sudut kanan bawah. Tring. Layar telah menunjukkan tanda-tanda kehidupan, tulisan Microsoft berjoget di sana. Dan beberapa menit kemudian, berselancarlah diriku menikmati dunia tanpa batas yang bernama internet. Sambil jantung tetep berdetak tidak karuan karena di samping kanan ada energi yang tak tertahankan pesonanya. Sepertinya sebentar lagi aku akan meledak.
KRIEEEEETTTTTTT...........
HUH!
Aku tersentak. Lagi deg-degannya pintu kelas terbuka. Oh, syukurlah. Aku tak jadi meledak deh. Padahal tadi udah pasrah mau diapain aja. (emang siapa ya yang mau ngapa-ngapain aku?). Dasar. Aku berterima kasih sekali pada temanku yang baru datang ini dengan memberikan senyum manisku secara ikhlas padanya dan mengucapkan selamat pagi juga.
Sampe kuliah selesai, tak ada bedanya aku duduk di samping dia. Tetep aja aku gak berani ngajak dia ngobrol. Takut banget. Yang ada aku malah gak tenang duduknya, jadi gak bisa merhatiin dia terus-terusan deh. Takut ketahuan nglirik-nglirik mulu. Kan duduknya sebelahan. Jadi aku sok jaim aja tadi memperhatikan dosen yang terus berucap dengan adil, makmur dan bijaksana, walaupun banyak dari mahasisiwa di kelas ini yang tidak begitu memperhatikan beliau, sibuk dengan urusan masing-masing. Terutama sama HP dan laptopnya. Mahasisiwa tidak tahu terimakasih. Seperti aku. Heee....
Saat pulang, kuikuti dia. Berharap bisa pulang bareng. Semoga saja ada kesempatan.
“Mau pulang?” (udah tahu nanya), “Bareng yuk.” Cengengesan aku mengajak dia sambil terus berharap-harap cemas semoga beliau tidak keberatan dengan ajakanku. Sambil terus jalan di sampingnya, menuruni tangga, kutunggu kata-kata dari bibir tipisnya.
“Gue mau makan dulu. Gimana?” Owh. Dia bertanya bagaimana? Berarti apakah beliau menerimaku untuk pulang bersamanya hari ini? Padahal aku belum laper. Tapi demi dapat bersama dia yang kupuja aku rela memaksa perutku untuk melakukan tugasnya menampung makanan yang nanti aku makan bersamanya. He.... oke deh. Aku mah ngikut aja.
“Ayu deh. Aku juga laper.” (BOHOOOOOOOOOOOONGGGGGGGGGG!!!!!!!!!!!!)
Tapi apalah daya. Mumpung ada kesempatan dan mumpung dia tidak keberatan.
Tapi tetep aja. Kami lalui semuanya dalam kebisuan dan kesunyian tanpa ada kata-kata dari masing-masing mulut kami. Aku pun tak berani mengucapkan sepatah katapun, kaku banget lidah dan bibirku ini. Begitu juga dengan beliau yang super duper pendiem dan close minded itu. Jadi, sampai kami berpisah di jalanpun, kami hanya diam.
“Bye.” Cuma satu kata itu yang dapat kuucapkan. Itu juga kupaksakan demi menjaga sopan santun perpisahan dengan orang yang kukenal (dan kusuka, tentunya). Senyumnya terukir membalas salam perpisahanku tadi. Oh, So SWEET.
Dan kamipun berpisah di pertigaan yang memisahkan jalan kami. Cintaku menghilang di pertigaan. Yah, besok juga ketemu lagi kan.
See You. Good Bye.
Selesai makan malam dan ngumpul di ruang tengah, sudah waktunya kami untuk tidur. Besok pagi kami akan kembali pulang ke Bandung sebelum akhirnya pulang ke kampung masing-masing, setelah enam bulan ini menimba ilmu, jauh dari rumah, ayah dan ibu. Memanfaatkan waktu liburan satu bulan ke depan bersama keluarga dan teman-teman tercinta di kampung halaman.
Aku, dan Christ yang begitu indah dan mempesona, sudah berduaan di dalam kamar. Bersiap-siap hendak tidur, tapi kantukku belum juga hadir, padahal malam sudah semakin larut. Christ sudah pamit untuk memejamkan matanya duluan, dan tidak lama kemudian kudengar nafas teraturnya, dia sudah tidur. Sementara aku masih belum merasakan kantuk sedikitpun. Sepertinya akan kumat lagi.
Kepalaku sakit, nyut-nyutan di bagian tengah, membuatku merana dan meronta menahannya. Malam ini akan menjadi malam yang panjang buatku. Kubangkitkan diriku dari posisi rebah, turun dari ranjang, berjalan menuju balkon. Kubuka tirai dan pintunya. Dingin banget. Tapi tetap kulangkahkan kakiku ke luar, menikmati udara dingin yang kuharapkan akan menjadi sejuk, dan berusaha menghilangkan rasa sakit di kepalaku yang lumayan sering datang, apalagi saat malam. Kuambil kursi rias di dalam kamar, lalu kunikmati malam yang sepi ini dengan duduk-duduk di balkon sendirian, merasakan angin malam yang begitu tenang, tapi sakit kepalaku tak kunjung hilang. ku ambil laptopku, membuka dan mengaktifkannya. Kubuka folder yang berisi gambar-gambar mobil hasil download-anku selama ini. Kunikmati satu-persatu gambar-gambar benda beroda empat yang indah itu. Ini adalah satu-satunya obat yang lumayan manjur untuk mengurangi sakit kepala yang kurasakan. Sedikit-demi-sedikit kepalaku terasa ringan kembali sampai akhirnya tidak terasa sakit lagi.
Sakit kepala ini datang tiba-tiba, dan dapat hilang dengan cara yang lumayan mudah. Tak perlu pil ataupun kapsul, hanya suasana rileks dan gambar-gambar mobil yang kubutuhkan. Itulah yang selama ini kulakukan saat sakit kepala yang suka menghampiriku datang. Lama, akhirnya kantuk mulai memayungi mataku, udara malampun kurasakan semakin dingin. Kembali aku masuk ke dalam kamar yang menghadap ke selatan ini, dan kujumpai dia yang sedang tidur terlelap menghadap dinding.
Kurebahkan diriku untuk yang kedua kalinya malam ini, di sampinnya, makhluk Tuhan yang paling indah. Kuperhatikan dia yang tidur menghadap ke arahku. Nafasnya lembut teratur, wajahnya damai, membuatku ingin membelai. Kantuk yang tadi kurasakan entah kenapa tiba-tiba hilang hanya karena memandang orang yang kusayang yang terlelap di sampingku dengan tenang.
Lama kupandangi wajah imutnya, kunikmati setiap keindahannya, hanya lewat mata, tak sanggup raga ini menyentuhnya, tapi itu hanya awalnya, karena akhirnya tanganku menyentuhnya juga, karena diriku begitu tergoda oleh pesona tidurnya. Wajah yang halus, pipi yang mulus, kuelus-elus, pelan, takut mengganggu mimpinya. Tak ada reaksi dari pemilik wajah imut itu, hingga tak terasa tangan kiriku sudah menyentuh lehernya. Hangat. Dia sedikit tersentak. Aku labih tersentak. Kutarik secepat kilat tangan ini, hingga dia kembali tenang lagi, masih dalam posisi seperti tadi, menghadap ke arah kiri, menghadap ke arahku.
Aku tak berani menyentuhnya lagi, tak mau mengganggu ketenangannya. Biarlah aku hanya memandanginya, menjaganya, dan berusaha menyayanginya. Semakin lekat mataku memandang, semakin kuat rasa sayang, dan nafsu jahat semakin hilang. suasana masih begitu tenang, nafasnya masih tetap halus, dan mataku masih belum juga layu, masih terus memandanginya, menghirup harum nafasnya, menikmati aroma tubuhnya, dalam posisi saling hadap, dengan jarak yang lumayan dekat. Dia begitu indah, selalu indah, setiap hari aku melihatnya, selalu bertambah indah, dan aku semakin cinta.
Lelap tidurnya, dengkuran halus nafasnya, ketenangan wajahnya, menghadirkan ketenangan jiwa, di malam yang sunyi dan sepi ini, tak ingin kupejamkan mata, tidak ingin kehilangan momen langka. Ini malam terakhir kami tidur bersama, malam yang tidak dapat kusangka akan ada, malam yang selama ini kuharapkan, tidur bersama sang pujaan. Aku begitu beruntung, padahal, dulu harapan seolah musnah karena suatu dan lain masalah. Tak kusangka, akhirnya, aku dapat kembali dekat dengannya. Malah lebih dekat, hanya berjarak beberapa mili saja. Dan aku tidak meledak, malah tenang. Begitu tenang.
Andai ia tahu apa yang kurasakan. Apakah dia juga merasakan hal yang sama saat kita bersama? Ketenangan, kebahagiaan dan kedamaian. Semoga dia juga merasakannya.
Aku sering memimpikannya, mimpi yang indah, karena ada dia. Aku bahagia, walau saat pagi aku harus kecewa, karena dia hilang seiring dengan hadirnya kesadaranku, dan aku bangun dengan senyum, berharap, dalam tidurku yang berikutnya, dia akan datang kembali, dan mengindahkan tidurku lagi.
“ Tidurlah yang nyenyak, Sayang. Aku akan menjagamu sepanjang malam. Tak akan kubiarkan kau terancam, aku akan siap berjuang. Untukmu, Wahai Pujaan.” Hanya dalam hati kata-kata itu mengalir. Tak mampu kuucapkan, berharap dia dapat mendengarnya, dan tahu, bahwa aku memujanya, bahwa aku mencintainya, bahwa aku menyayanginya. Sangat menyayanginya.
Jika kau dapat melihat parasmu dari mataku
Jika kau dapat mendengar suaramu dari telingaku
Jika kau dapat menyentuh ragamu lewat jemariku
Maka kau tahu pasti dirimu telah per-indah hariku
Jika kau dapat cium aromamu lewat kecupku
Jika kau dapat resapi mimpimu lewat tidurku
Kalau kau mau mencoba meramu hidupmu hidupku
Akan kau tahu pasti dirimu t’lah perindah hariku
Cobalah mengerti,
Cobalah mengerti,
Cobalah mengerti.
Kekasih, kau bingkisan Tuhan untukku
Sekian lama kumenunggu
Kekasih, ku tergila-gila padamu
Kusajikan bentuk hatiku
Kekasih, dengar janjiku
BINGKISAN TUHAN
SHEILA ON 7 (507)
Aku Mencintaimu, Sayang.
"mencari tempat perlindungan dari ancaman perasaan"
lanjuut...
penasaran..
btw, CP itu ci"palu"kah?
hehe..