Setengah jam lebih kami hanya berkeliling disekitar kota. Cuaca dingin pagi membuatku merasa seperti mati rasa. Dan sepertinya Nicko tak mau memperlambat laju motornya.
"Kita mau kemana?"
Tanyaku pada Nicko. Aku harus sedikit berteriak padanya agar dia bisa mendengar suaraku. Tapi tampaknya sia sia. Nicko tak merespon sama sekali.
"Kita mau kemana?"
Sekali lagi aku bertanya padanya. Kali ini aku berteriak lebih kencang dari sebelumnya, tapi masih saja sia sia.
Aku menepuk bahunya, berharap dia mau mendengarkan aku.
"Kita mau kemana?"
Aku bertanya padanya sekali lagi.
Tampaknya Nicko mendengar apa yang aku tanyakan. Kaca helm nya sedikit dibuka, seperti dia akan mengucapkan sesuatu.
"Gua juga bingung... tapi gua denger ada satu pantai yang tempatnya sedikit jauh dari kota ini, bagaimana kalau kita kesana?"
Nicko harus berteriak agar aku bisa mendengar apa yang dikatakannya. Deru angin seolah menelan setiap kata yang diucapkannya. Tapi aku kasih bisa mendengar apa yang diucapkannya. Hanya saja, aku diam tak menjawab, karena aku sendiri ingin tahu seperti apa tempat itu, karena bagiku, inilah kesempatanku satu satunya untuk bisa bersenang senang menghabiskan waktu bebas, tanpa batas waktu yang selalu mengganggu...
Comments
Rasanya perjalanan itu memakan waktu yang sangat lama, karena aku merasa tak kunjung tiba ditempat itu, dan sekarang aku mulai merasa panas dibagian pantatku, mungkin karena aku terlalu lama duduk. Dan pinggangku rasanya pegal pegal karena tak ada sandaran yang bisa kugunakan seperti saat aku berada didalam mobil.
"Yuk... bapak tadi bilang saat sampai di jalan bercabang, kita harus belok kemana ya? Kanan atau kiri?"
Motor Nicko kini tak melaju kencang seperti sebelumnya, mungkin karena dia takut ada jalan yang terlewat, hingga bisa membuat perjalanan ini semakin lama.
"Um... kalo ga salah kekiri deh Nick, trus nanti ada semacam jembatan kita nyebrang aja, trus kita ikutin jalan setapak disebelah sungai itu, pasti kita bisa sampai, karena sungai itu bermuara ke laut.."
Jawabku sambil sedikit mengingat ingat apa yang dikatakan oleh bapak bapak yang tadi kami tanyai.
"Iya, bener juga, ya udh, mungkin sebentar lagi kita akan sampai..."
Jawab Nicko enteng.
Kulirik jam tanganku, hampir menunjukkan pukul sebelas siang, yang pasti hari ini aku akan pulang terlambat. Kuputuskan untuk mengirim pesan pada mama dengan alasan aku ada kerja kelompok dengan Rico, dan segera kumatikan ponselku, sebelum mama mencoba untuk menelfonku...
Pantas saja tak kutemui pemungutan tiket masuk, mungkin karena pantai ini memang tidak digunakan untuk tempat wisata. Karena tempat ini tak ada keistimewaannya.
Rasanya panas begitu menyengat. Hanya sedikit pohon yang tumbuh didaerah pantai, itupun sudah dipakai beberapa orang yang sedang berpacaran. Tapi Nicko tak menyerah untuk mencari tempat berteduh, karena dia juga tak mau berpanas panasan dibawah terik matahari.
"Duh, pantainya kenapa seperti ini ya?"
Ucap Nicko sesaat setelah kami memarkirkan motor.
Tas ranselnya dibiarkan menggantung diatas motor. Helmnya juga di gantung pada kaca spion. Sedangkan aku meletakkannya diatas jok motor, dan tas ranselku, masih berada dipunggungku.
"Yuki, kesana yuk, kayanya lebih asyik..."
Kata Nicko padaku sambil menunjuk satu tempat yang cukup jauh.
Perahu yang sangat besar berdiri kokoh diatas pasir ditempat yang kami tuju. Nicko benar, disini memang lebih asyik, karena kami juga bisa berteduh dibawah sebuah perahu nelayan. Perahu itu sudah sedikit lapuk, cat nya mengelupas disana sini, dan sepertinya perahu ini memang sengaja diletakkan disini karena tak pernah dipakai lagi.
Perahu itu menghasilkan sebuah bayangan gelap yang kami gunakan untuk duduk, karena sudah tak ada lagi pohon yang bisa kami tempati, jadi kami memilih untuk duduk dibawah perahu besar itu.
"Disini aja Yuk... pasti nyaman..."
Ucapnya padaku sambil duduk dipasir.
Aku ikut duduk disebelahnya, dan ikut melepas sepatuku sama seperti Nicko.
"Lo pasti blum pernah ketempat seperti ini kan?"
Tanya Nicko padaku.
Aku yang masih sibuk melepas sepatuku langsung menoleh padanya, karena aku tak begitu dengar dengan apa yang ditanyakannya.
"Ha, apa?"
"Iya, lo pasti jarang pergi kepantaikan? Atau mungkin malah tidak pernah?"
Tanyanya lagi padaku.
Aku diam, karena aku memang sangat jarang bisa pergi ketempat seperti ini, terlebih karena aku membolos.
Aku mengangguk ringan dan melanjutkan kesibukanku melepas sepatu. Lalu meletakkan tasku disamping tempat dudukku.
"Kalau gua dulu sering... waktu bokap gua masih hidup, bahkan bokap gua sering ngajakin gua mancing ditengah laut..."
Lagi lagi aku terdiam. Mungkin karena aku baru mendengar kata kata yang sedikit mengganggu. Apa maksud dari kata kata yang baru saja Nicko ucapkan?
"Maksud lo Nick..?"
Tanyaku sedikit bingung...
"Ya, dulu waktu gua masih kecil dan bokap gua masih hidup, bokap sering ngajak gua pergi kepantai atau mancing ditengah laut dengan memakai perahu nelayan. Sama seperti perahu yang ada disamping kita ini..."
Jawabnya sambil mengarahkan pandangannya pada perahu yang ada disamping kami.
Aku bingung harus berkata apa, jadi aku lebih memilih untuk diam daripada harus berkomentar yang ga jelas.
Angin yang bertiup membuat rambut kami berdua serasa menari nari diatas kepala kami, dan suara ombak seakan menjadi backsound dari cerita yang diceritakan Nicko.
"Dulu, hampir tiap bulan kami menghabiskan waktu bersama. Meskipun nyokap tidak pernah ikut, tapi kami senang bisa kepantai berdua. Dulu gua tinggal dikota yang tak jauh dari pantai sebelum gua pindah dikota ini. Kemudian gua dan nyokap pindah setelah bokap meninggal. Dan sekarang nyokap sudah menikah lagi, jadi gua harus tinggal dengan keluarga baru gua..."
Nicko bercerita tentang masa lalunya padaku. Semua itu membuatku sadar, ternyata hidupnya tak lebih baik daripada hidupku. Karena dia pasti sangat menderita karena harus tinggal bersama dengan ayah tirinya.
Entah aku harus berkata apa. Bingung rasanya diriku. Tapi ingin rasanya aku bisa berkata "semua akan baik baik saja" tapi kata kata itu hanya bisa tersangkut ditenggorokanku.
Aku memandang perlahan kearahnya. Aku takut akan ada air mata yang keluar membasahi pipinya. Air mata yang mampu membuatnya merasa begitu lemah. Tapi aku salah, karena yang kutemui adalah senyum manisnya yang tak bisa kuartikan maknanya.
"Gua selalu merasa bangga pada bokap gua, karena bokap gua adalah inspirasi gua, bahkan bokap gua tak merasa keberatan saat dia tahu gua adalah Gay..."
Aku semakin bingung harus berkata apa, haruskah aku menanyakan padanya apakah aku tidak salah dengar? Bokapnya tau bahwa dia Gay? Dan itu berarti Nicko adalah Gay?
Apakah semua yang dikatakannya itu benar? Atau dia hanya sedang bercanda...?
Rasanya aku tak bisa membendung lagi rasa keingin tahuanku terhadap cerita Nicko. Akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya padanya.
Nicko hanya tersenyum padaku. Sedikit air mata yang mulai membuat matanya berkaca kaca. Tapi semua itu tak menghapus wajah tampan yang dimilikinya.
"kenapa? Lo takut dengan gua sekarang?"
Jawab Nicko masih dengan senyumnya.
Tak ada keraguan yang terlihat di wajahnya. Dan aku kagum padanya. Tentang keberanian yang dimilikinya. Dan kejujuran yang tak akan pernah bisa aku lakukan.
Aku menatap matanya semakin dalam. Ingin rasanya aku berkata bahwa aku sama dengannya. Terjebak dalam masalah yang tak ada bedanya.Tapi aku takut, aku terlalu takut untuk mengakui semua itu, karena aku tak seberani dia.
Aku menjawab pertanyaan Nicko dengan gelengan kecilku. Mataku masih menatapnya, karena aku ingin dia tahu bahwa aku memang tidak berbohong padanya, tapi aku juga tak menginginkan dia tahu bahwa aku sama sepertinya.
Aku mengaguminya... Perlahan lahan aku iba padanya. Dan mungkin, aku menyayanginya. Seandainya dia tahu bahwa dia tidak sendiri dalam menghadapi semua ini, aku akan sangat bangga untuk mengatakan bahwa aku senang mengenalnya...
Tiba tiba Nicko bertanya padaku.
Pandangannya kini beralih pada hamparan luas laut yang ada didepannya. Tapi aku masih bisa melihat dia mengembangkan senyumnya.
"Pasti lo ga akan pernah ngerti, karena semua masalah yang lo hadapi, lo selalu berusaha untuk menghadapinya sendiri. Bukan begitu Yuk...???"
Nicko tak memberikan kesempatan padaku untuk menjawab pertanyaannya yang sebelumnya. Melainkan kini dia sedang memojokkanku disudut yang paling dalam.
"Lo selalu menyelesaikan semua hal dengan kemampua lo sendirikan?"
Tanyanya kembali padaku, tapi tak kujawab.
"Kadang gua pengen bisa menjadi orang seperti lo... Bisa menyelesaikan semua masalah kita sendiri. Karena kita adalah orang yang mandiri. Tapi kenyataannya gua hanyalah seorang yang penakut, bukankah begitu?"
Lagi lagi Nicko bertanya padaku.
Aku masih tak menjawabnya. Aku membiarkannya mengeluarkan semua masalah yang ada didalam hatinya. Aku ingin dia bisa terbebas dari semua itu, karena aku ingin tahu sampai kapan dia akan seperti ini. Dan itu akan mempermudah aku untuk mengenalnya.
"Bokap gua bilang, cinta itu tak mengenal usia, atau bahkan gender,,, karena cinta itu adalah cinta... tak bisa ditahan oleh apapun, termasuk pikiran kita... karena semua itu adalah perasaan sponta yang keluar dari dalam hati kita... Lo setuju?"
Tiba tiba rasa penasaran menjalari seluruh tubuhku. Aku penasaran dengan sosok ayah yang dimiliki oleh Nicko. Betapa bangganya kita apabila kita memiliki ayah yang berfikir seperti itu. Dan yang pasti, kita tidak akan pernah merasa menyesal hidup didunia ini, walau kita dilahirkan dengan tidak sempurna.
"Lo pasti bangga dengan bokap lo..."
Aku mulai membuka pembicaraanku dengannya.
"Lo pasti seneng bisa berbagi cerita seperti ini dengan bokap lo... Dan bokap lo pasti juga merasa bangga, karena anaknya mempercayai ayahnya untuk menceritakan kisah cintanya..."
Lanjutku sedikit merasa terharu.
"Sayang, bokap gua beda dengan bokap lo... Jangankan gua bercerita hal seperti itu pada bokap gua, gua dapet nilai ujian dibawah delapan aja pasti dia akan marah marah..."
Aku merasakan senyum yang sama dengan senyum Nicko yang tadi dia perlihatkan saat dia bercerita. Rasanya aneh, tapi ada kepuasan tersendiri saat kita tersenyum karena hal itu.
"Kalau lo sendiri, menceritakan semua ini sama siapa?"
Tiba tiba Nicko bertanya padaku.
Aku sedikit bingung dengan pertanyaannya. Apa maksud yang di katakannya???
"Maksud lo Nick..??"
Aku langsung menoleh dan bertanya padanya.
Tapi Nicko hanya memandangku sesaat dan kembali memandang laut sambil terdiam penuh makna...
Tiba tiba rasa penasaran menjalari seluruh tubuhku. Aku penasaran dengan sosok ayah yang dimiliki oleh Nicko. Betapa bangganya kita apabila kita memiliki ayah yang berfikir seperti itu. Dan yang pasti, kita tidak akan pernah merasa menyesal hidup didunia ini, walau kita dilahirkan dengan tidak sempurna.
"Lo pasti bangga dengan bokap lo..."
Aku mulai membuka pembicaraanku dengannya.
"Lo pasti seneng bisa berbagi cerita seperti ini dengan bokap lo... Dan bokap lo pasti juga merasa bangga, karena anaknya mempercayai ayahnya untuk menceritakan kisah cintanya..."
Lanjutku sedikit merasa terharu.
"Sayang, bokap gua beda dengan bokap lo... Jangankan gua bercerita hal seperti itu pada bokap gua, gua dapet nilai ujian dibawah delapan aja pasti dia akan marah marah..."
Aku merasakan senyum yang sama dengan senyum Nicko yang tadi dia perlihatkan saat dia bercerita. Rasanya aneh, tapi ada kepuasan tersendiri saat kita tersenyum karena hal itu.
"Kalau lo sendiri, menceritakan semua ini sama siapa?"
Tiba tiba Nicko bertanya padaku.
Aku sedikit bingung dengan pertanyaannya. Apa maksud yang di katakannya???
"Maksud lo Nick..??"
Aku langsung menoleh dan bertanya padanya.
Tapi Nicko hanya memandangku sesaat dan kembali memandang laut sambil terdiam penuh makna...
poor tolong batuan nya dong , coz poor lum pande untuk ikutan di web ne..
wah jadi bingung sendiri neeh ...
aduh kakak tolong ea,,,,,
hei pangeran kecil terus berkarya ok
"Jadi lo punya masalah yang sama beratnya seperti gua?"
Tiba tiba dia berkata demikian.
"Masalah gua ga seberat seperti masalah lo kok Nick... Semua baik baik saja, hanya saja terkadang bokap gua sering menekan gua untuk selalu menuruti apa yang diperintahkannya..."
Jawabku dengan nada datar.
Nicko sepertinya tak merespon apa yang baru saja aku katakan. Tapi bagiku itu lebih bagus, karena aku sendiri tak ingin membahasnya lebih jauh lagi.
"Jadi orangtua lo adalah orangtua yang selalu menginginkan lo untuk menuruti semua hal yang mereka inginkan? Itu berarti lo tertekan dirumah?"
Tanyanya lagi padaku. Nada suaranya kini sedikit berbeda. Nicko seolah sedang mengejek apa yang baru saja aku katakan.
"Gua sering baca kisah anak anak seperti itu... Dan mereka memiliki banyak cara untuk mengakhirinya. Kalau lo sendiri, akan memilih cara apa untuk mengakhirinya?"
Nicko menyambung kata kata yang diucapkannya. Tapi aku sendiri tak bisa menangkap makna dari kata kata tersebut.
"Maksud lo Nick? Gua ga ngerti?"
Jawabku dengan nada bingung. Alisku sedikit aku angkat sebagai tanda tak mengerti, dan Nicko langsung mengalihkan pandangannya padaku.
"Iya... mereka mempunyai banyak cara untuk mengakhiri semua itu. Ada yang gantung diri, meminum racun serangga, atau memotong urat nadi mereka... Kalau lo pilih yang mana?"
"Sorry, maksud lo?"
Tanyaku padanya dengan nada bergetar. Dalam hatiku sebenarnya aku mengerti semua yang dikatakannya, tapi aku juga ingin tahu apakah yang dikatakan Nicko itu serius? Atau dia hanya bercanda?
"Iya, lo mau mati dengan cara apa? Bukannya semua itu hanya bisa diakhiri dengan kematian? Sama seperti masalah gua, hanya bisa berakhir bila gua mati..."
Jawab Nicko menjelaskan semua yang dikatakannya. Ternyata semua itu bermakna sama dengan yang aku pikirkan. Aku bingung harus berkata apa. Tapi aku tak mampu mengelak karena kami sedang saling menatap.
"Kau ini bicara apa..."
Jawabku sambil mengalihkan perhatianku pada hamparan laut yang ada didepanku. Nada mencemooh sengaja kupakai agar Nicko merasa sungkan padaku. Tapi semua itu tak berhasil, karena saat aku melirik kearahnya, Nicko masih dengan wajah seriusnya menatap padaku.
"Gua serius... Karena udah ga ada lagi yang harus gua perjuangkan didunia ini..."
Kata Nicko padaku masih menatap tajam padaku.
Aku membalas tatapan itu dan berharap bisa menemukan bukti bahwa semua itu hanya lelucon di kedua matanya. Tapi salah, karena aku hanya bisa menemukan keseriusan yang mendalam.
"Lo mau maen tebak tebakan ma gua?"
Tiba tiba Nicko mengalihkan pembicaraanya. Dan aku bersyukur atas hal itu. Karena Aku tak mau membicarakan hal ini lagi karena semua itu hanyalah omong kosong belaka...
Kamar itu tampak penuh oleh perabotan perabotan yang lumayan banyak. Tv plasma dan kelengkapannya tersusun rapi tepat didepan tempat tidurnya. Meja Komputernya sedikit berantakan karena beberapa buku yang tergeletak sembarangan diatasnya. Tempat tidurnya yang tertata rapi memberikan kesan bahwa Nicko bukanlah tipikal orang jorok. Tapi yang paling membuatku heran adalah banyaknya photo yang terpajang disana sini bahkan tergantung dan tertempel didinding kamarnya.
"Lo kenapa Yuk..."
Tanya Nicko padaku sedikit heran.
"Um... ga papa... lo narciz juga ya ternyata?"
Jawabku sambil mengejeknya.
Tapi Nicko malah tersenyum. Tak ada kesan malu yang tersirat diwajahnya.
"Lo tau Yuk... satu buah photo itu bisa mengatakan seribu hal padamu. Bahkan mereka bisa menunjukkan kepurapuraan dan keikhlasan kita..."
Kata Nicko padaku. Saat itu aku melihat raut mukanya menjadi sedikit sedih. Tapi dia berusaha menutupinya.
Aku tak tahu kenapa tiba tiba Nicko bisa seperti itu, tapi yang jelas, aku harus mengalihkan arah pembicaraan kami.
Aku berjalan mendekat kemeja komputernya. Aku melihat photo Nicko yang saat itu sedang bersama dengan seseorang yang berumur lebih tua darinya.
"Ini pasti bokap lo ya...??"
Tanyaku padanya.
Photo itu menggambarkan Nicko sedang berdiri bersama dengan ayahnya. Seekor ikan berukuran besar berada dipelukan tangan Nicko. Ayah Nicko memeluk bahu Nicko dari samping, dan mereka tampak begitu bahagia.
"Iya... ini saat terakhir kali kami memancing bersama. Dan photo ini juga menjadi photo kami yang terakhir, karena tepat dua minggu setelah itu papa sakit dan akhirnya meninggal..."
Jawab Nicko padaku.
Aku semakin merasa tolol saat itu karena aku semakin memperkeruh suasana hatinya. Tapi kali ini wajah Nicko malah terhias oleh senyumnya. Dia tampak bahagia dan bangga, tak tersirat kesedihan diwajahnya.
Aku duduk dipinggir ranjangnya, dan Nicko mengikutiku. Kami sama sama duduk bersama disitu. Lalu Nicko merebahkan tubuhnya dan menghela nafas panjang panjang seakan membuang racun dalam tubuhnya.
Beberapa menit kami sempat terdiam. Tak ada yang bicara sama sekali. Bahkan bunyi jam dinding pun bisa kami dengar saat itu.
"Kalau gua pikir sih, memang lebih baik kalau bokap gua cepet diambil aja ama Tuhan..."
Tiba tiba Nicko memecahkan keheningan diantara kami.
Aku sedikit kaget dengan apa yang baru saja dikatakannya. Apa maksud semua itu?
"Maksud lo Nick?"
Aku memberanikan diri bertanya padanya. Mungkin rasa penasaranku yang membuat aku nekat menanyakan hal ini padanya.
"Iya... Kepergiannya adalah jalan terbaik baginya... karena kalau dia tetap hidup, penyakit itu hanya akan semakin membuatnya tersiksa... Dan gua akan lebih merasa tak tega lagi kalau itu sampai terjadi.."
Entah seperti apa raut wajah Nicko saat itu. Karena aku tak bisa memandangnya. Posisi kami berbeda, aku duduk, sedang Nicko tidur diranjangnya. Tapi yang jelas, pasti hatinya merasa ingin menjerit atas apa yang sudah terjadi.
"Cepat atau lambat, kematian itu pasti akan menghampiri kita. Satu hal yang harus kita lakukan hanyalah, melakukan yang terbaik untuk hidup kita selama kita masih memiliki waktu. Dalam hidup, gua ga pernah menyesali semua yang terjadi, tapi satu hal yang membuatku ingin menangis adalah, saat aku sadar aku belum sempat membahagiakan ayahku... Semua itu terasa begitu berat membebaniku..."
Nicko menjelaskan semua itu padaku. Nada bicaranya sedikit bergetar saat itu. Mungkin karena dia menahan tangis atau mungkin karena dia menyimpan rasa bersalahnya.
Aku mencoba memutar otakku. Mencoba mengambil sisi positif dari semua ini. Aku tahu aku tak akan bisa membuatnnya tertawa, tapi aku yakin aku bisa menenangkan hatinya.
"Gua yakin kok Nick, bokap lo bangga punya anak seperti lo... Karena hanya itu yang bisa membuatnya tersenyum bahagia seperti yang terukir jelas didalam photo ini..."
Jawabku pada Nicko mencoba membuatnya tenang.
"Lo bilangkan tadi, kalau photo itu mampu mengatakan seribu kata. Dan didalam photo ini bokap lo jelas berkata bahwa dia bangga punya anak seperti lo..."