It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Keputusanku untuk tetap menyimpan rapat rapat statusku yang sebenarnya bukan tanpa alasan. Melainkan aku tak ingin kehilangan dia saat nanti ada konflik diantara kami berdua. Jadi biarlah ini semua tetap menjadi sebuah cerita antara aku dan dia.
Jo benar benar sudah tak peduli lagi padaku. Entah kenapa dan ada apa dengannya. Tak satupun email balasan kudapat darinya dan semua itu membuatku terpaksa perlahan lahan mulai melupakannya.
Rico, Jeremy, dan yang lain, mereka menganggapku sombong. Tak ada yang mau lagi mendekat padaku, dan aku sendiri sudah mulai lelah dengan semua ini, belum lagi ujian semester ganjil yang tinggal beberapa hari lagi dan aku harus menyiapkan semua keperluanku untuk menyambut ujian.
Saat itu sedang weekend. Tapi aku menghabiskan waktuku didalam kamar untuk belajar. Aku tak mau papa lebih membenciku lagi gara gara nilai nilaiku turun. Aku harus bisa menunjukkan padanya bahwa aku pantas menjadi anaknya, bukan hanya Josh.
Ponselku yang kuletakkan diatas tempat tidur tiba tiba berdering. Ada pesan masuk rupanya. Dengan perasaan enggan aku berjalan dan memeriksa pesan yang aku terima. Pesan itu ternyata dari Josh. Dia memberiku semangat agar aku bisa mengerjakan ujian nanti.
Kuletakkan kembali ponselku dan kembali kemeja belajarku. Banyak bab yang harus kubaca dan memahami isi bacaannya, tapi itu tak membuatku merasa malas, karena aku dilahirkan memang untuk menjadi orang yang keranjingan akan membaca.
Kulirik jam dinding dikamarku, jarumnya tepat menunjukkan pukul 9 malam. Sesaat setelah itu ponselku kembali berdering. Satu pesan lagi kuterima, tapi kuputuskan tak menghiraukannya, karena itu pasti pesan dari Josh. Dia suka mengirim pesan lagi saat aku lana tak membalas pesan darinya. Bahkan tak jarang pula dia mencoba menelfonku.
Setelah beberapa saat membaca, ponselku kembali berdering mengisyaratkan ada satu pesan lagi. Masih tak kuhiraukan karena aku terlalu malas untuk membacanya.
Tak lama setelah itu, Josh mulai menelfonku, tapi masih kubiarkan tanpa menyentuhnya. Kukeluarkan ipod dari dalam laci meja, kemudian kusumpal kedua telingaku dengan earphone dan mulai kumainkan lagu sebagai teman belajar sekaligus menghilangkan suara berisik dari ponselku...
Ponsel yang sedari tadi berdering kini sudah tak berdering lagi. Mungkin karena Josh sudah bosan menggangguku dengan sms dan telponnya yang ga jelas. Kumatikam lampu belajarku dan bangkit berdiri menuju kamar mandi. Kubasuh wajahku sebelum tidur, dan tak lupa aku menggosok gigi. Air kamar mandi terasa begitu dingin. Rasanya seperti menusuk kedalam tulangku. Tidak biasa air kamar mandi terasa sedingin ini. Mungkin cuaca diluar sedang dingin, hingga membuat air didalam rumah terasa begitu dingin.
Setelah membersihkan diri aku berniat untuk langsung merebahkan tubuhku diatas tempat tidurku yang empuk. Rasanya tulang punggungku seperti mau patah karena dari tadi belum sempat aku istirahatkan. Tapi sebelum itu, kuambil ponselku yang sedari tadi tergeletak diatas kasur. Kucoba periksa isi sms dari Josh.
"3 missed call dan 3 messages received"
"Dasar Josh kurang kerjaan. Kenapa dia harus selalu menggangguku..."
Pikirku dalam hati.
Tapi betapa kagetnya aku ketika membuka daftar panggilanku, bukan nama Josh yang keluar, melainkan nama Nicko. Semua panggilan tak terjawab itu berasal dari ponselnya. Segera kubuka pesan yang kuterima, dan mataku terbelalak ketika pesan pesan itu berasal dari Nicko juga.
"Yuk... lo bisa keluar ga? Gua ada ditaman deket rumah lo..."
"Yuk,,, lo bisa keluar sebentar? gua lagi ditaman deket rumah lo..."
"Yuk... lo bisa nemenin gua ga? gua lagi butuh teman buat berbagi cerita nih..."
Ketiga sms itu membuatku merasa bersalah karena ku tak memperdulikannya dari tadi. Aku measa bersalah karena aku mengacuhkan permintaan Nicko untuk bertemu denganku. Aku merasa sangat sedih karena seharusnya aku sekarang ada disampingnya untuk menemaninya.
Tanpa berfikir panjang, kuambil jaket dan celana panjangku. Aku langsung berlari keluar rumah setelah mengganti pakaianku. Dan tebakanku tentang dingingnya cuaca diluar memang benar, angin dingin yang berhembus terasa seakan menusuk leherku. Bagian yang tak tertutupi oleh jaket. Tapi aku tak peduli, karena yang kuinginkan sekarang hanyalah segera menemui Nicko.
Aku berlari dan terus berlari. Taman yang biasanya dekat kini terasa sangat jauh jaraknya. Sesekali aku mencoba menelpon ponsel Nicko, tapi sia sia karena ponselnya sudah tidak aktif. Mungkin dia merasa kecewa atas sikapku. Dan sekarang, aku hanya bisa berharap Nicko masih ada disana menungguku.
Suasana diluar tampak sangat sepi. Hanya beberapa orang yang sedang asyik mengobrol didepan rumah mereka. Tampaknya cuaca dingin ini mempengaruhi lingkungan disekitar rumahku.
Tanpa menghentikan langkahku, aku berlari dan terus berlari sampai aku merasa kehabisan nafas...
Aku berjalan memasuki taman, kakiku mulai menginjak rumput basah. Dan aku merasakan udara yang sangat dingin tengah berhembus mencoba membuat malam ini semakin memilukan.
Mataku mencari berkeliling kemana Nicko berada. Bangku bangku kosong mulai basah oleh embun malam.
Tampak olehku sesosok orang yang sedang duduk dibawah cahaya lampu taman. Rambut hitamnya tampak berkilau terkena cahaya lampu. Kepalanya tertunduk pasrah menghadap kebawah. Entah apa yang di pikirkannya.
Aku tahu dia adalah Nicko.
Tapi aku ragu untuk mendekat padanya. Entah apa yang terjadi padanya sekarang. Yang jelas, aku hanya mampu menatapnya dari jauh...
"Hi Nick..."
Ucapku saat aku mulai berani mendekat padanya.
Jarakku dengannya sekitar dua meter. Tapi aku bisa melihat jelas air mata yang sedang luluh dikedua pipinya.
Nicko tersenyum padaku. Tapi aku tahu itu bukan senyum bahagia.
Matanya menyipit melihatku. Mungkin karena dia mendongak keatas dan terkena cahaya lampu. Tapi semua itu tak membuat ketampanannya memudar.
Aku tersenyum padanya. Mencoba mengatakan semuanya akan baik baik saja. Karena kini dia tidak sendiri.
Aku mendekat padanya dan duduk disebelahnya. Nicko tak memakai jaketnyamalam ini. Entah kenapa dia melakukan hal senekat ini.
"Lo kenapa Nick...?"
Tanyaku padanya membuka pembicaraan.
Aku memandangnya lekat lekat. Air matanya masih tersisa dipipinya.
"Nick... apapun yang terjadi, lo bisa cerita kok ma gua... gua siap mendengar semua cerita lo..."
Kini Nicko memandangku. Matanya sedikit bengkak karena tangisannya. Hidungnya memerah, tapi tetap membuatnya tampak menarik.
Aku melepaskan jaket yang aku kenakan. Jaket itu ku selimutkan dibagian belakang tubuh Nicko yang saat itu terasa sangat dingin. Mungkin sudah lebih dari dua jam dia menggigil, tapi tak dirasakannya.
"Thankz ya Yuk... Lo mau peduli ma gua... dan Lo ga takut ma gua..."
Kata Nicko padaku. Wajahnya tersenyum gembira. Dan aku senang akan hal itu.
"Dasar bodoh... kau ini bicara apa... tentu saja gua peduli ma lo... kalo bukan gua sapa lagi, eh?"
Senyum Nicko mulai mengembang. Dan saat itu, aku bangga pada diriku sendiri karena aku mampu membuatnya tersenyum kembali. Rasanya aku bisa menemukan sebuah permata yang hilang saat aku mampu membuatnya kembali tersenyum. Dan aku merasa senang bisa selalu ada untuknya. Seandainya dia tahu bahwa aku sama sepertinya, mungkin kami akan menjadi sepasang kekasih. Tapi itu tak mungkin terjadi, karena aku tak ingin kehilangan dia hanya karena aku ingin menjadi kekasihnya. Karena bagiku, persahabatan kami jauh lebih berharga dari apapun...
Aku melanjutkan langkahku memasuki pekarangan rumah, langkahku terhenti saat aku lihat dua orang yang sedang duduk berdua didepan kamar Nicko. Nicko dan seorang temannya sedang berbincang sedikit serius, entah apa yang mereka bicarakan tapi yang pasti itu adalah sesuatu yang cukup serius.
Aku berhenti dan memperhatikan mereka diantara tanaman hias yang mulai menguning daunnya. Tanaman tanaman itu sedikit membantuku untuk bersembunyi. Apa yang sebenarnya aku tunggu? Kenapa aku tidak langsung datang dan menghampiri mereka? Ada sedikit ragu di dalam hatiku, dan aku lebih memilih untuk menunggu giliranku tiba.
Lama mereka berbicara, namun tak tampak Nicko peduli dengan orang itu. Mungkin dia seumuran dengan Nicko, tapi tubuhnya sedikit lebih besar dari Nicko, dan rambutnya dibiarkan sedikit panjang hingga kesan dewasa terlihat jelas padanya.
Menurutku orang itu terlalu banyak bicara sehingga Nicko enggan untuk menjawab. Tak sekalipun Nicko memandang kearahnya, dan tak sekalipun terlihat olehku Nicko menjawab atau sekedar mengomentari apa yang sedang dikatakan orang itu.
Mereka duduk tidak terlalu jauh, tapi tampak seperti orang yang sedang bertengkar. Mataku beralih sesaat pada rumah utama yang ada disebelah kamar Nicko, pintunya tertutup rapat dan tak nampak ada aktivitas didalam rumah tersebut.
Pandanganku kembali beralih kepada Nicko dan temannya, dan tiba tiba timbul perasaan tak enak saat aku melihat teman Nicko sedang menggenggam tangannya dengan erat. Matanya memandang tajam kearah Nicko. Seolah pandangan itu ditujukan pada kekasihnya.
Nicko masih tak bergeming dari diamnya, matanya pun tak membalas pandangan yang diberikan temannya, dan aku sendiri mulai sadar bahwa mereka bukan hanya seorang teman. Mungkin aku masih sulit memahami situasi yang sedang terjadi, atau aku terlalu naif untuk mengakui semua itu, bahwa pada kenyataannya mereka adalah sepasang kekasih...
RAsa kecewa mulai menyelimutiku, tapi aku masih tak percaya aku sedang menyaksikan semua ini dengan mataku sendiri. Aku menyaksikan orang yang aku cintai tengah dipeluk dan digenggam erat tangannya oleh orang lain.
Aku tersenyum, senyum kekecewaan yang tak sanggup aku tutupi. Senyum kesedihan yang tak dapat aku hindari. Dan senyum keterpurukan karena aku telah kehilangan orang yang aku cintai.
Rasa penyesalan itu datang menghampiriku, seandainya aku mengatakan perasaanku dari awal, mungkin aku tak akan sesakit ini. Mungkin aku tak akan sekecewa ini. Tapi semua itu terlambat, semua itu hanya sebuah penyesalan yang tak berarti.
Aku melangkah pulang dengan hati hancur yang tak tersisa. Semua yang aku lihat harus aku akui bahwa semua itu nyata. Aku harus mengakui bahwa apa yang terjadi adalah sesuatu yang harus aku yakini kebenarannya, bahwa Nicko masih mencintai kekasihnya walau dia telah tersakiti. Mungkin apa yang dilakukannya sekarang sama seperti yang aku lakukan. Akupun masih mencintai Jo walau aku sendiri tahu bahwa dia tak akan pernah kembali. Walau aku tahu dia telah menyakitiku. Semua itu adalah sebuah kewajaran, karena cinta itu tak mengenal seberapa banyak kita tersakiti, tapi seberapa besar kita mencintai.
Mungki Nicko adalah satu dari sekian banyak orang yang tak menginginkan cintanya pergi begitu saja. Mungkin Nicko adalah orang yang tak ingin apa yang telah diperolehnya hilang begitu saja. Tapi aku sendiri, kenapa aku harus merasa tambah tersakiti saat aku mulai melupakan Jo dan mulai untuk mencintai orang lain. Kenapa aku harus merasa bahwa aku adalah seorang pecundang yang akan selalu merasa terluka oleh cinta?
Seandainya aku boleh memilih, aku akan lebih memilih hidup dalam keadaan normal dan tak memiliki rasa yang begitu berat membebaniku, karena aku akan menjadi orang yang bahagia saat aku memiliki seorang kekasih yang tak perlu aku tutupi keberadaannya.
Mungkin memang inilah yang harus aku tanggung saat aku memilih jalan seperti ini. Jalan yang tak semua orang lalui, jalan yang membuatmu seolah sedang berada dipersimpangan dan kau tak tahu kemana harus memilih langkah, karena kau selau takut dengan resiko yang akan kau dapatkan. Tapi dibalik semua itu, aku tahu ada makna tersembunyi yang belum aku ketahui artinya dan belum kumengerti alasannya bisa terjadi...
Belum ada lanjutan neh...
How disappointing.