It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Persahabatanku dengan Deni dimulai karena acara temu alumni. Deni dan anggota band nya mengisi acara di temu alumni tersebut. Ya, acara yang aku gawangi itu sudah berlalu. Tidak sukses besar namun tetaplah menghibur. Apalagi kalau bukan karena perwakilan alumni boleh menyumbang acara sehingga menambah kesan dari acara temu alumni. Namun, buatku pribadi, Deni adalah bintang acara malam itu. Jelas sekali bahwa dia adalah favorit dari teman-teman yang mengenal dirinya ketika menjadi mahasiswa. Dokter umum yang tampan itu membius peserta yang hadir dengan suara dan petikan gitarnya.
Hmmmm… Laki-laki bersuara merdu dan bisa memainkan alat musik, kurang apalagi coba. Pikirku. Sempurna. Tapi, apakah hal yang percuma untuk menumbuhkan perasaanku padanya. Bagaimana kalau dia sudah ada yang punya? Bagaimana kalau dia homofobia?
“Hai, aku akan manggung di Bar Fantasy besok malam. Kalau sempat datang ya!?” aku menggenggam handphoneku erat-erat. Aku mencermati isi SMS darinya. Dia mengundangku untuk menonton dirinya menyanyi. Hatiku berbunga-bunga mendapatkan SMS itu namun juga bingung apakah aku hanya salah mengartikan undangannya tersebut. Pernahkan kalian merasa kegirangan ketika seseorang yang sangat sangat sangat dan sangat kalian taksir, tiba-tiba mengirim SMS laksana serangan fajar di hatimu? Aku mengalaminya dan SMS nya membuatku lupa makan, lupa rasa kantuk, lupa kuliah…..
“Hai, hari ini jadi kan?” SMS lain masuk ke handphoneku. Kali ini dari Aldo. Hari ini aku akan menemuinya setelah beberapa bulan kami tidak bertemu sejak perjumpaan terakhir kami yang dramatis.
“Jadi. Aku tunggu ya.” balasku. Tiga puluh menit kemudian, Aldo datang dengan motornya. Suara yang sangat kukenal dan membangkitkan rindu yang sudah lama aku pendam. Ketika sampai di pelataran rumah, ia langsung memelukku singkat. Kami masuk ke dalam rumah, kali ini ia memelukku lagi dengan lebih erat. Aku memeluknya juga dengan tidak kalah erat. Bau badannya membuatku terkenang rasa cinta yang dulu pernah kami susun selama bertahun-tahun.
“Aku merindukanmu,” kata Aldo sambil menciumiku. Rambutku diacak-acaknya. Aku tidak mampu menjawab rasa rindunya dengan kata-kata. Sesaat, tiba-tiba kami terdiam, berhenti dari nostalgia.
“Ini salah,” kata Aldo lagi sambil menunduk.
“Ya, semuanya kesalahan,” kataku. Aku menyadari kelakuan kami ini hanya mempersulit keadaan. Bukankah kami harus melakukan perubahan dalam hidup kami.
Aldo terduduk di sofa. Ia mengelus-elus sofa itu dan memandanginya seakan-akan ia mengenang saat dia pernah tertidur di sofa tersebut di dalam pelukanku.
“Bagaimana kabarmu, Do?” tanyaku sambil duduk di sebelahnya. Ingin aku meraih tangannya, menggenggamnya erat-erat. Siang itu, Aldo mengenakan kemeja ungu muda. Aku ingat sekali aku menemaninya membeli kemeja itu. Ia sungguh tampan, dalam hatiku memujinya. Bukan, aku memujanya.
“Aku baik-baik saja,” ujar Aldo sambil merebahkan punggungnya ke sandaran sofa. Ia memalingkan kepalanya dan memandangku dengan tatapan yang hangat. Aku tiba-tiba diliputi rasa bersalah karena selama beberapa bulan ini kepalaku penuh dengan Deni. Aku merasa berselingkuh. Aku merasa pria murahan yang dengan mudahnya mengganti perasaanku.
“Boleh aku menyandarkan kepalaku ke pundakmu?” pintanya. Aku memandangnya dalam-dalam, ingin langsung meraihnya namun akal sehatku berkata untuk menolaknya.
“Sekali ini, saja…,” pinta Aldo. Mana mungkin aku menolaknya. Aku mengangguk pelan. Aldo kemudian menaruh kepalanya di pundakku. Menaruh rasa lelahnya di pundakku.
“Boleh aku jujur padamu?” kata Aldo lagi. Aku sungguh heran mengapa hari ini dirinya yang banyak bicara. Padahal ia biasanya pendiam. Kata-katanya barusan sungguh mengusik hatiku.
“Kau katakan saja terus terang. Di antara kita tidak pernah ada kebohongan kan?” kataku.
“Aku… akan menikah,” kata Aldo pelan namun menghujam jantungku. Sungguh bukan kata-kata yang kuharapkan untuk kudengar. Mengapa sungguh klise akhir hidup kami ini. Kaum gay yang terpaksa atau dipaksa menikah demi status dan kenyamanan sosial.
Aku tidak menjawabnya. Aku terdiam seribu bahasa.
“Aku… terpaksa. Ibuku sangat menginginkan aku segera menikah. Ia ingin aku menjadi normal. Ia memilihkan jodoh untukku,” Aldo tertawa dengan sinis. Ia mengasihani dirinya adalah Siti Nurbaya dalam versi lelaki. Lelaki gay.
“Aku mengerti, Do. Ini sudah tidak dapat kita elakkan lagi,” ujarku perlahan.
“Kamu tahu kan konsekuensinya?” kataku lagi.
Aldo terdiam. Ia tidak menjawab.
“Setelah salah satu di antara kita menikah, kita tidak akan bertemu lagi untuk selama-lamanya. Itu komitmen kita,” aku mengingatkan dirinya.
“Tapi, kita bisa mencoba seperti di film Brokeback Mountain. Kita bisa tetap bertemu. Diam-diam bertemu,” Aldo setengah menjerit.
“Dan kamu mau nasib kita seperti di film itu? Melukai istrimu karena akhirnya hubungan kita ketahuan juga?” balasku, “pernikahan itu dilandasi sumpah terhadap Allah, Do. Hubungan kita ini saja sudah penuh dosa. Jangan sampai kita menambahnya dengan melanggar sumpahmu terhadap Allah.”
Aldo terdiam.
“Do, aku sungguh bahagia kalau kamu bisa hidup normal. Belajarlah sungguh-sungguh untuk mencintai istrimu nanti,” kataku sok bijaksana.
“Tapi aku tidak bisa hidup tanpa dirimu,” katanya. Kali ini tanpa air mata atau tangis di antara kami. Kami berdua sudah terlalu banyak terluka.
“Bisa… kamu harus bisa. Aku juga harus bisa,” aku mencoba menegarkan hati.
“Aku bahkan tidak mengenal calon istriku,” kata Aldo lagi.
“Biarkan waktu yang mengajari kita semua, Do,” aku meraih tangannya. Aku genggam erat-erat. Dalam hatiku, aku takut. Aku takut kehilangan dirinya.
Esok harinya, aku bersiap-siap menuju ke tempat Deni “konser.” Aku mengenakan kaos terbaikku, celana baru, parfum yang wangi. Dandan all out biar tidak tampil memalukan.
Separuh hatiku, aku sangat bersemangat menemui Deni, mendengarkannya tampil di atas panggung dengan lagu-lagu cinta. Separuh hatiku sendiri sedih dan hampa mendengar kata-kata, “aku akan menikah” dari bibir Aldo.
Handphoneku berbunyi. SMS dari Deni, “Kamu jadi datang? Kamu sendirian atau bersama pacarmu?” katanya. SMS nya sekali lagi seperti serangan kejut di hatiku. Aku merasa dipermainkan oleh perasaan ini.
“Aku datang sendirian. Aku jomblo nih.” balasku sambil tersenyum.
“Kalau begitu, aku jemput ya?” SMS darinya membuatku bertanya-tanya. Apa yang ia inginkan daripadaku.
“Jangan… aku tidak mau merepotkan.” balasku lagi.
“Tidak mungkin repot. Aku sudah di depan rumahmu.” SMS darinya kali ini benar-benar membuatku terkejut.
Aku segera mengintip dari balik jendela. Aku melihat Deni menunggu sambil menyandarkan dirinya ke mobil. Ia melambaikan tangannya kepadaku ketika ia melihatku mengintip dari balik korden.
“Sejak kapan kamu ada di sini?” tanyaku.
“Aku kebetulan lewat kok,” katanya sambil mempersilakan aku masuk ke mobil terlebih dahulu.
Aku masuk ke dalam mobilnya yang nyaman dan memasang sabuk pengaman.
“Terima kasih ya,” kataku. Ia tersenyum simpul padaku.
“Aku yang berterima kasih karena kamu mau datang,” ujarnya sambil melajukan mobil memecah ramainya jalanan malam itu. Aku tiba-tiba menyadari bahwa aku dan Deni tidak terlalu mengenal. Kami menjadi rikuh di dalam mobil. Aku mengalihkan pandangan ke kaca samping. Aku jadi terbayang Aldo kembali. Aku terbuai dalam lamunan kesedihan ketika mengingat dirinya lagi.
Tampaknya, Deni mengenali perubahan raut wajahku.
“Kamu sedang sedih ya?” tanya Deni.
“Oh, tidak. Aku cuma melamun saja” aku tersenyum padanya mencoba meyakinkan bahwa aku baik-baik saja, “kamu nanti akan nyanyi lagu apa saja?” Walaupun ia lebih senior, ia meyakinkan untuk tidak perlu memanggilnya dengan sebutan yang mempertua dirinya.
“Kamu mau request?” tantangnya.
“Boleh…,” sahutku.
Aku meneguk gelas berisikan jus jeruk. Sungguh konyol ketika orang lain menenggak minuman keras di bar ini, aku malah duduk di sudut dengan jus jeruk. Aku memang berjanji dengan Aldo untuk tidak meminum minuman keras.
Aku sedari tadi melambungkan pikiranku tentang Aldo. Apa yang akan terjadi ketika aku melihatnya bersama istrinya bergandengan tangan. Atau ketika aku menerima kabar istrinya tengah hamil muda, mengandung anak Aldo.
Suara Deni kemudian memecahkan lamunanku.
“Oke, ini lagu terakhir kami untuk malam ini. Lagu ini kupersembahkan untuk seseorang yang sudah meminta lagu ini secara khusus. Sayang sekali lagunya kok sedih sekali, ya.”
Aku memandangi Deni yang mulai memetik gitarnya. Dia kembali menjadi bintang di panggung itu. Dia begitu penuh semangat. Penuh gairah hidup. Aku kembali terbuai oleh alunan suara untuk lagu yang ia tujukan bagi diriku itu.
If tomorrow never comes
Will she know how much I loved her
Did I try in every way to show her every day
That she's my only one
And if my time on earth were through
And she must face this world without me
Is the love I gave her in the past
Gonna be enough to last
If tomorrow never comes
Jika saja malam ini tidak berganti
Hari ini tetap tidak bergulir
Dan aku tahu cinta kami tetap abadi
Jika saja besok tidak datang
Bersambung…
kereen.... 8)
mengharu biru... :oops:
just 1 more word...
Lanjoooootttt............. :twisted:
Setelah melihat apa yang terjadi antara karakter utama dengan Aldo, apakah berlebihan kalau gue berharap mereka bakalan balik lagi?
Lanjut lib,smg tmbh bgs tlsannya.
pesan SBY, Lanjutkan!!!!
Lanjutannya mannnnah????
sekarang udah hampir september 2009
bakal lanjut gak ya?
kenapa ga dilanjutin nih?? gilagilagila. the greatest story (komen klise but it's true!)
dr awal baca tak henti hingfa akhir sangat bagus. minim typo, alurnya bagus. tema yang dibawakan juga bagus. cerita yang berbeda dan dikemas secara apik.
please lanjutin
minta ijin bookmark. (ayoo udh sampe di bookmark nih) hehe