It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
ayo ayo lanjutin ceritanya
Sejak hari itu, kami jadi bersahabat. Pihak sekolah menelponnya dan memberitahukan bahwa Aldo tidak jadi dikeluarkan namun tetap harus menjalankan skorsing. Ayah dan ibuku tentu berkeberatan dan selalu menaruh curiga atas diri Aldo yang dikira mereka akan membawa pengaruh buruk terhadap diriku. Akan tetapi, tidak demikian dengan keluarga Aldo. Mereka menerimaku dengan sangat baik dan justru menganggap diriku membawa angin perubahan bagi diri Aldo.
Aku tidak hanya mengenal Aldo namun juga mengenal teman-teman Aldo yang ada di geng bermotor. Mereka memang bandel dan liar. Namun, mereka bukanlah kerumunan hewan buas yang memangsa siapa saja yang mengganggu mereka seperti bayanganku sebelumnya.
Persahabatanku dengan Aldo juga semakin erat ketika kami naik tingkat ke SMA. Aku kehilangan teman baikku. Tomas yang cerdas mendapat beasiswa ke sekolah yang prestisius. Agung dipindahkan oleh orangtuanya ke Perth, Australia untuk menemani kakaknya yang kuliah di sana.
Hanya Ruben yang tetap satu sekolah denganku namun kami berbeda kelas. Yang mengejutkan, aku satu kelas dengan Aldo. Sungguh suatu kebetulan, pikirku.
Hari-hari pertama kami masuk sekolah diawali dengan orientasi. Yang namanya orientasi adalah ajang pembalasan dendam oleh kakak-kakak kelas yang pernah mengalami orientasi serupa. Bentakan-bentakan, caci-maki, dan tugas-tugas yang berat (hampir tidak masuk akal) diberikan kepada kami. Hari pertama, aku sudah terkena hukuman karena panjang rambutku lebih pendek 0,05 milimeter dibandingkan anak-anak lain. Akupun tidak tahu darimana mereka memiliki kemampuan mengukur sedetil itu. Akibatnya, selama jam istirahat, aku diharuskan untuk “mengenal” sekolah lebih lanjut dengan menghitung jumlah genteng di gedung timur. Sore hari, badan kami sudah pegal, capek, dan lusuh namun kami tetap dihadiahi tugas mencatat berita di televisi serta membawa “puding rasa bahagia” dan “roti laba-laba.” Entah apa maksudnya.
Ketika aku pulang, aku baru tersadar bahwa seharian ini aku tidak bertemu dengan Aldo yang katanya satu kelas denganku. Aku mau menemuinya namun kalau aku menemuinya, aku tidak akan sempat menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan. Apakah ia sakit, pikirku. Aku yakin ia akan masuk besok, namun jangan-jangan ia tidak tahu ada tugas tersebut. Aku kemudian membuat dua roti laba-laba dan dua puding rasa bahagia. Roti laba-laba adalah roti tawar yang aku cetak bulat dengan empat “kaki.” Sedangkan puding rasa bahagia aku buat dengan mencampur puding rasa jeruk dan anggur jadi satu. Entahlah rasanya seperti apa, benar atau tidak, aku pasrah.
Namun, keesokan harinya, aku malah terkena hukuman karena membawa puding dan roti lebih dari jatah seharusnya. Aku memang membawa lebih karena aku akan memberikan puding dan roti tersebut untuk Aldo jika ia lupa membawanya. Ia tidak lupa membawanya karena Aldo tidak datang lagi. Bahkan sampai orientasi usai dan pelajaran di hari pertama di mulai, ia tidak menampakkan diri. Aku mulai kuatir dan memutuskan untuk ke rumahnya, barangkali ia sungguh-sungguh sakit.
Aku memencet bel rumahnya, sambil berharap Aldo yang akan membukakan pintu dalam keadaan sehat. Namun, ternyata ibu Aldo yang datang dan membukakan pintu.
“Selamat siang tante. Aldonya ada?” tanyaku.
“Oh, kau nak…,” sang ibu tampak canggung menyambutku. Senyumnya tidak seperti biasanya.
“Saya ingin tahu apa Aldo sakit karena sudah berhari-hari ia tidak masuk kelas,” tanyaku.
Ibu Aldo menarik napas panjang dan menghembuskannya, “masuklah nak. Aldo ada di lantai dua,” ujarnya sambil membukakan pagar.
Ketika aku memasuki rumahnya, aku terkejut dengan begitu banyaknya kotak kardus di mana. Rumah terlihat lowong dengan barang-barang yang sudah menghilang. Televisi, sofa, lemari, semua yang biasa ada di rumah Aldo hilang lenyap. Sebagian barang yang kukenal dimasukkan ke dalam kardus. Apa mereka mau pindah rumah, pikirku. Aku menyusuri rumah tersebut dengan pandangan kebingungan. Aku takut melihat ke arah ibu Aldo yang menemaniku hingga ke tangga. Aku takut pandangan mataku menyinggung perasaannya.
Sampai di lantai dua, aku mengetuk pintu kamar Aldo yang bersebelahan dengan kamar adik-adiknya. Lama tidak ada jawaban, tiba-tiba pintu kamar terbuka dan Aldo berdiri di depanku. Ia mendadak terkejut dan tidak menyambut kedatanganku.
“Mau apa kamu ke sini?” hardiknya. Aku lebih terkejut dengan sapaannya.
“Aku… aku…,” aku tidak mampu menjelaskan maksud kedatanganku.
“Pulanglah, aku sibuk!” tukasnya.
“Maaf, Al. Aku hanya ingin tahu kenapa kamu tidak masuk sekolah beberapa hari ini.”
Kali ini giliran Aldo yang terdiam dengan pertanyaanku.
“Kalau memang aku mengganggu, aku pulang saja,” jawabku sedikit kesal.
Ketika aku membalikkan badan, Aldo meraih tanganku, “Jangan… masuklah!” Ini pertama kalinya Aldo memegang tanganku. Jantungku seakan berhenti berdetak.
Aku pun masuk ke kamarnya dengan pemandangan yang tak jauh berbeda dengan di lantai bahwa. Kotak kardus di mana-mana dan barang-barang Aldo lenyap dari tempatnya.
“Kau sudah lihat bukan?” tanyanya sambil terduduk di lantai.
“Al, kamu mau pindah ya?” pikirku sambil membayangkan rasa sakitnya kehilangan Tomas dan Agung. Aku tidak mau kehilangan satu lagi sahabatku. Aldo terdiam. Aldo tidak menjawab dan kepalanya tertunduk, persis ketika pertama kali bertemu.
“Al, jawab aku. Kamu mau pindah ya?” serbuku lagi. Aldo tetap tidak menjawab. Aku baru mau menghantamnya lagi dengan pertanyaan namun aku berhenti ketika aku melihat titik-titik air mata berjatuhan di lantainya.
Baru kali ini kusadari Aldo sudah dewasa, sudah SMA. Sudah tidak pantas lagi ia mengenakan celana pendek warna biru, seragam SMP kami. Aku yakin ia akan terlihat sangat tampan dengan seragam SMA nya. Rambut lurus hitam pendek dan kulit cokelatnya yang dahulu pernah dan masih mempesonaku. Badannya sudah semakin tinggi dibandingkan pertama kali kami bertemu. Dibandingkan badanku, Aldo tampak lebih kurus tapi juga lebih atletis. Kumis tipis halus menghiasi wajahnya, tanda ia sedang melalui masa pubertas. Mata cokelatnya kali ini pasti dibanjiri oleh air mata yang berlinang. Ia semakin dewasa, tapi justru baru kali ini aku melihatnya menangis, paling tidak di hadapanku. Aldo yang selama ini tegar menangis di hadapanku. Aku merasa tersanjung ia mau menampakkan kesedihannya dan tidak perlu berpura-pura di hadapanku.
Aku menjatuhkan diriku, duduk di sebelahnya. Aku takut berkata-kata karena aku tidak tahu masalahnya apa. Aku hendak meraihnya namun aku ragu. Jangan-jangan ia merasa risih. Namun, aku nekat. Aku mengelus punggungnya.
“Kamu kenapa, Al? Kamu mau cerita dengan diriku?” tanyaku sambil mengelus punggungnya yang terasa hangat. Ia menggeleng dan tetap menangis.
“Ya sudah. Tapi kamu harus tahu, aku ini teman baikmu kan? Dan, apapun yang terjadi, kita tetap berteman,” aku merapal kata-kata sekenanya.
Aldo tidak menjawab namun tiba-tiba ia menyandarkan kepalanya ke pundakku. Aku terkejut dan sekaligus bahagia. Aku merasa berdosa karena harus merasa bahagia di saat temanku bersedih hati. Sore itu, kami tidak berkata apa-apa satu sama lain. Aku duduk saja hingga akhirnya ia tertidur di pundakku. Mungkin karena kelelahan.
Aku terbuyar dari ingatan masa laluku. Aldo yang dulu dan Aldo yang sekarang adalah Aldo yang sama. Aldo yang berusaha tegar, Aldo yang tidak pernah lemah ketika menghadapi masalah. Aldo yang mempercayakan beban hidupnya di dalam diriku. Aku masih ingat suasana di kamar Aldo ketika itu, ketika tangisnya jatuh membasahi pundakku.
Hari itu, hidup Aldo berubah drastis. Usaha jual beli mobil milik ayahnya bangkrut karena terlilit hutang. Untuk melunasi hutang, Aldo dan keluarga harus menjual rumah dan barang berharga lainnya lalu pindah ke rumah yang lebih kecil. Sudah bagus Aldo dan ketiga adiknya masih dapat melanjutkan sekolah.
Hari itu, di dalam hatiku aku mengucapkan sumpah yang masih kupegang hingga sekarang.
“Aldo, bangun yuk,” aku berbisik membangunkan Aldo yang tertidur di pangkuanku. Ia lelah sekali sepulang dari pemakaman ayahnya. Sudah jam empat pagi. Namun, ia tetap terlelap. Dengan sekuat tenaga, aku mencoba menggendongnya dan pindah ke kamar. Aku merebahkan ia di atas ranjang lalu membuka bajunya satu persatu.
Ia terbangun, “Oh… sekarang sudah jam berapa?”
“Sudah jam empat. Kau nyenyak sekali, sayang,” aku menindih tubuhnya dan mencium pipinya, “aku membangunkanmu ya?”
Aldo menggeleng lemah dan memelukku erat.
“Sebentar, aku buka baju dulu,” aku beringsut dari pelukannya dan ikut menanggalkan bajuku. Aku meraih selimut dan menyelimuti tubuhnya.
“Ayo tidur lagi, Al. Besok hari yang panjang untuk kita,” kataku sambil masuk ke bawah selimut.
Ia merangkulku dan perlahan rasa kantukku mulai menyerang kembali. Saat berada dalam pelukannya, aku merasa nyaman. Aku merasa aman.
Aku mengusap rambutnya, “Aldo, kamu tahu dulu aku pernah bersumpah untukmu?”
“Apa itu?” tanya Aldo.
Aku tersenyum sambil memandang wajahnya.
“Selamat tidur, sayangku.”
Aku bersumpah
Aku akan menjagamu selalu
Di saat suka dan duka
Aku akan menemanimu selalu
Bersambung….
@ Kaisar: thank you :oops: :oops: udah pulang dari kantor??
@ Rainbow_Bdg: Good to see you again....
Pernahkah kalian berada dalam suatu situasi, saat kalian tahu bahwa besok kalian akan mati? Pasti mati. Saat kalian divonis hidup kalian tidak akan lama lagi.
Saat ini, aku berada dalam situasi yang seperti itu. Aku tahu bahwa saat-saat bersamanya sudah tidak lama lagi. Aku yang membuat ketetapan bagaimana ending ini harus dibuat, harus sesakit dan sedramatis apa. Aku sendiri yang menetapkan hari ini, semua akan disudahi. Hanya satu yang aku tidak tahu, sanggupkah aku bertahan hidup tanpa dirinya. Dan aku tidak tahu apakah pagi ini saat yang tepat untuk mengungkapkannya.
“Halo…,” sapa Aldo penuh cerita. Aku membalasnya dengan senyuman yang dingin sambil meneguk kopi. Sudah lama sekali sejak aku mencoba berhenti minum kopi. Tanganku bergetar demikian pula cangkir yang kupegang.
“Koq diam begitu? Padahal sudah aku sapa dengan ramah,” tanyanya sambil cemberut. Hatiku miris dibuatnya karena pagi itu ia terlihat tampan sekali dengan kemeja biru muda.
“Do…,” aku mencoba memulai pembicaraan tapi tidak tahu harus berkata dari mana. Ia penuh keheranan dengan semua sikapku pagi ini.
“Ada apa sih? Kamu dua hari ini koq aneh sekali?” tanyanya. Aku mengintip di pergelangan tangannya melingkar jam tangan pemberianku.
“Kemarin ibumu mencariku di sini,” kataku sambil menggenggam cangkir dengan kedua tanganku seakan-akan aku takut cangkir itu akan terjatuh, “kau pasti sudah tahu apa yang ia inginkan.”
“Apa itu?” Aldo kebingungan.
“Kamu sadar kan posisimu? Anak pertama dari empat bersaudara. Satu-satunya anak laki-laki. Dan sekarang menjadi tulang punggung keluarga sepeninggal ayahmu,” aku meremas cangkir itu dan berharap cangkir tersebut pecah seperti hatiku saat ini yang mulai retak.
“Aku… aku sudah pernah memikirkannya,” jawab Aldo sambil menundukkan kepala. Semua pembicaraan yang seharusnya sudah kita pikirkan sejak lama akhirnya mengemuka semua dalam sekejap. Tidak siap. Terlalu mendadak.
“Lalu?” pancingku.
“Siapa yang akan menjagamu?” tanyanya mengalihkan inti pembicaraan kami.
“Jawab dulu, Do. Apa yang ada di pikiranmu?” jarang aku memanggilnya dengan panggilan “Do.”
“Apa kita akan selamanya seperti ini? Tidakkah kamu mau menikah, punya keluarga, punya anak, jadi orang normal?” tanya Aldo. Aku tidak akan mendebatnya dengan argumentasi bahwa aku merasa tidak ada yang salah dengan diriku. Aku normal.
“Jadi sudah jelas, Do…,” kataku lagi.
“Tolong, pahamilah diriku,” pinta Aldo kepadaku. Aku tersenyum kepadanya, ingin meneguhkan hatinya.
“Aku tidak akan menghalangimu, Do. Aku tahu siapa diriku dan bagaimana posisimu. Yang paling penting, aku tidak mau egois dengan menghalangi dirimu,” aku menguatkan diri untuk tersenyum.
“Tapi, tapi…, siapa yang akan menjagamu? Siapa yang akan menemanimu? Kamu harus menikah, kamu harus berkeluarga!” Aldo hampir berteriak dalam paniknya. Aku melihat matanya mulai berkaca-kaca.
Aku menggeleng perlahan, “Aldo, bagiku bukan menikah atau punya anak yang penting. Tapi menjadi diri sendiri, tidak mengingkari diri sendiri, dan hidup bersama-sama dengan orang yang aku cintai sepenuh hati, itu yang paling penting.”
Aldo terdiam.
“Kamu sendiri, masihkah kamu sanggup mencintai perempuan? Atau kamu menganggap ini hanya pengorbanan untuk keluargamu?” tanyaku.
“Aku… aku ingin jadi normal tapi aku kuatir dengan dirimu. Aku tidak mau kamu sendirian,” air matanya mulai berlinang.
Aku bangkit dari kursi dan merangkulnya, “jangan kuatirkan diriku, Do. Pikirkanlah ibumu, adik-adikmu. Aku akan baik-baik saja.”
Air matanya berlinang, ia memelukku erat. Aku menghapus air mata yang menjatuhi pipinya, “hei, kamu kan mau kerja. Nanti apa kata orang kalau matamu bengkak begini.”
“Selama ini, hanya kamu yang aku punya,” katanya terbata-bata.
“Iya. Aku juga hanya memilikimu saat ini. Tapi kelak, kita belajar untuk memiliki hidup baru, masing-masing,” aku mencari kata-kata yang paling rasional. Aku tidak merasakan sakit itu. Aneh.
Aldo menangis terisak dalam pelukanku.
“Aku takut kamu akan melupakanku,” katanya lagi dalam tangis.
“Aku akan. Begitupula dirimu. Kelak, suatu ketika, kita akan jalan masing-masing. Sekarang memang terasa berat tapi suatu ketika, kamu akan lupa. Aku juga. Tapi, kenangan bahwa kamu orang yang pernah mewarnai hidupku, akan ada di hati kita masing-masing,” kataku berusaha realistis.
“Besok, aku akan membantumu bersiap-siap. Kamu jangan lupa hubungi ibumu kalau kamu akan kembali ke rumahnya,” kataku.
Hari-hari selanjutnya terasa begitu berat. Berat rasanya ketika selama ini aku terbiasa melipat baju Aldo untuk dipakainya ke tempat kerja namun kali ini justru untuk suatu perpisahan. Aku memilah yang mana milikku, yang mana miliknya. Bagaimana bisa aku membagi dua, hitam dan putih, hidupku dan hidupmu. Setelah selama ini, segala sesuatu kami bersama, dan secara tiba-tiba harus dipisahkan. Dirobek. Ditanggalkan. Yang satu jadi abu, yang satu jadi arang.
Sepanjang malam, Aldo memelukku erat. Setiap pagi, aku menciumi Aldo berkali-kali. Seakan-akan, sebelum hari perpisahan, kami mau memuaskan apa yang masih bisa kami miliki.
Aldo memutuskan ia hanya akan membawa baju-baju dan barang-barang yang berhubungan dengan pekerjaan saja. Semua perabotan menurutnya harus tetap ada di rumah ini. Aku memintanya untuk menyimpan semua hadiah yang pernah kuberikan untuknya. Jam tangan. Kemeja. Dan, satu foto kami berdua yang dibingkai dengan pigura perak. Aku meyakinkannya untuk mau membawanya dan menyimpannya baik-baik sehingga tidak terlihat oleh keluarganya. Aku ingin itu menjadi kenangan yang akan terbawa walau entah nanti kalau dia sudah tidak membutuhkannya, ia dapat membuangnya.
“Aku sudah memanggil taksi,” kataku kepada Aldo sambil mengecek koper-koper yang akan dimasukkan ke dalam taksi.
Aldo berdiam diri di kamar tidur, tidak mau keluar. Ia duduk di pinggir ranjang dan memeluk selimut kesayangan kami berdua. Aku memeluknya dari belakang.
“Aldo, kamu harus tegar. Kamu harus kuat. Keluargamu membutuhkanmu,” aku mencoba meneguhkan dirinya dengan kalimat-kalimat sampah. Bunyi taksi yang telah sampai memecah kesedihan kami.
“Aku masukkan barang-barangmu dulu. Setelah ini, kamu keluar ya,” kataku sambil meninggalkan Aldo ke depan.
Aku memasukkan satu-persatu koper-koper Aldo ke dalam taksi. Aldo tetap belum keluar dari dalam rumah.
“Sebentar ya, pak,” kataku kepada sopir taksi sambil masuk lagi ke dalam rumah.
Aku melihat Aldo berdiri di ruang tamu. Pandangannya kosong. Aku tahu, ia takut untuk menangis.
“Aldo, mari kita berpelukan. Lakukan perpisahan seperti orang-orang lain yang akan berpisah. Lalu kamu naik ke taksi. Tidak perlu ada air mata,” aku tidak menyadari bahwa setelah ini mungkin kita akan terpisahkan untuk selama-lamanya.
Aldo mengangguk dan memelukku. Aku balas memeluknya. Erat namun tidak seerat kami menyerahkan perasaan kami di dalam pelukan itu. Pelukan yang ringan, cepat, dan berlalu begitu saja….
Aldo masuk di dalam taksi yang kemudian menghilang dari pandanganku. Aku menutup pagar, masuk ke dalam rumah, mengunci pintu, menutup korden, mematikan semua lampu. Siang jadi terasa gelap. Petang. Kelam.
Aku masuk ke dalam kamar, merangkul selimut yang masih tercium jelas harum tubuhnya. Dalam hati, aku berdoa….
Tuhan, sekiranya Tuhan mau
Ambillah nyawaku saat ini
Hari ini malam ini
Jangan biarkan aku kehilangan rasa
Rasa cintaku padanya
Jangan biarkan aku berganti rasa
Rasa sayangku pada dirinya
Panggil aku ke rumahMu
Aku takkan sanggup
Merasakan kehilangan, hidup tanpa dirinya
Bersambung.
Aduh... om LIBERATED! betapa bagus karyamu... namun tahukah kau? ....
"Don, aku akan menjaga hatiku yg akan tetap menyimpan dirimu. Pergilah!! Kuharap Alejandra akan mengerti dan memaafkan kesalahan kita! Semoga bahagia"
Dan iapun pergi!! bersama pesawat yg ternyata bukan membawanya pergi ke ke negerinya, namun menghantarnya menemui Sang Pencipta-nya.
We said let go but I keep on hangin’ on
Inside I know it’s over you really gone
It’s killing me coz there’s nothing that I can do
Baby, I stay in love with you
Bagaimana caramu merayakan perpisahan? Bagaimana caramu menghayati putus cinta?
Kau pergi minum-minum sepanjang malam? Nonton film drama dengan sesendok es krim vanila? Berteriak-teriak menyanyikan lagu “I Will Survive”?
Aku tidak tahu apakah aku putus cinta, ketika aku dan Aldo berpisah di saat hati kami masih saling mencinta. Kami tidak putus karena pengkhianatan atau orang ketiga. Kami tidak bertengkar karena perbedaan prinsip. Kami tidak berpisah karena sudah tidak ada kecocokan. Kami terpisah karena kami adalah sesama laki-laki yang saling mencinta.
Sungguh aneh rasanya ketika hari-hariku disiksa dengan rindu yang sangat hebat. Kadang tanganku tak kuasa ingin menelponnya atau mengirim pesan kepadanya. Otomatis. Kalau saja tidak kuingat hubungan kami sudah berakhir, aku pasti tak mampu menahan rinduku mendengarkan suaranya. Aku memang meminta Aldo supaya kami tidak usah bertemu dulu atau saling menghubungi satu sama lain. Buatku dengan tetap saling berhubungan, hal itu akan memperlama proses kami untuk dapat melepaskan satu sama lain.
Tapi, aku rindu sekali. Setiap bunyi telpon atau SMS, aku selalu berharap itu dari dirinya. Setiap malam aku berdiri di depan pintu rumah berharap dia pulang dan memilih diriku. Semua harapan itu rasanya susah terwujud. Aku masih tetap berdoa supaya cepat saja Tuhan memanggilku pulang. Aku tidak sanggup lagi. Kalau saja aku tidak berjanji untuk tidak membuatnya kuatir, aku yakin aku sudah bunuh diri di hari pertama Aldo pergi dari rumah ini. Kami memang telah berjanji, bahwa kami harus tetap hidup, tidak boleh membuat kuatir satu sama lain.
Hari ini, sudah sebulan aku hidup sendiri. Tanpa kehadiran Aldo di sisiku. Aku tetap belum terbiasa tidur tanpa pelukannya. Aku masih tidur sambil memakai baju milik Aldo yang tidak sengaja tertinggal di rumah. Rumah kami.
“Aldo, kamu sudah bangun belum?” aku memeluk guling sambil bertanya-tanya, apakah ia sudah bangun. Aku jadi semakin sering bercakap-cakap sendiri karena aku kehilangan lawan bicara. Aku jadi kuatir apakah aku akan jadi orang gila atau tidak.
Tanpa Aldo, motivasi hidupku benar-benar berubah. Aku jadi malas kuliah. Malas makan. Malas bersih-bersih rumah. Semua kujalani apa adanya. Sudah beberapa hari ini, aku hanya makan mie instan. Padahal selama ini, aku yang melarang Aldo untuk tidak memakan makanan yang tidak sehat tersebut.
Pagi-pagi benar, aku menaiki motor. Matahari masih bersinar lemah dan udara dingin menusuk kulit. Aku meninggalkan jaket di rumah dan menikmati siksaan dingin tersebut. Aku ingin rasa sakit memenuhi diriku sehingga aku lupa sakit hati yang jauh lebih menyiksaku.
Orang-orang banyak yang berolahraga pagi. Jogging. Ada pula yang sudah siap berbelanja di pasar. Udara masih bersih bebas polusi,bebas macet. Aku membelah kedamaian pagi hingga kira-kira 30 menit perjalanan. Aku memarkirkan motorku di balik pohon dan menunggu….
Satu menit
Dua menit
Setengah jam
Satu jam
Aku melihat dari tempat persembunyianku di balik pohon dan tersenyum. Aku memandang seseorang yang sangat kukenal. Sosok itu adalah Aldo. Aku akui aku memang konyol. Setiap pagi, aku ke rumahnya dan menunggu…. Menunggu Aldo keluar dari rumah, berangkat kerja, dan memastikan ia baik-baik saja. Aku melihat ibu Aldo menemani Aldo membukakan pagar. Aku lega setiap hari masih bisa tahu Aldo baik-baik saja dan berada di dalam kehangatan keluarganya.
Aku tahu aku masih terjebak dengan perasaanku terhadap Aldo, tapi aku perlu meyakinkan diri kalau dia baik-baik saja.
Sore hari, aku baru saja pulang kuliah. Membedah mayat yang sudah beku dan menemani adik-adik kelas berhadapan dengan tubuh yang sudah hancur lebur. Ya, mayat yang dipakai biasanya adalah mayat korban kecelakaan yang sudah tidak dapat dikenali lagi siapa identitas orang tersebut. Teman-teman mengajakku menonton film namun aku bilang aku sudah memiliki janji.
Aku melajukan motorku, membelah udara sore hari yang kebetulan mendung gelap. Tak terasa, rintik gerimis mulai turun membasahi bumi. Aku tidak siap dengan jaket apalagi jas hujan. Namun, aku tetap membawa motorku. Kembali ke tempat yang sama di pagi hari. Rumah Aldo.
Cuaca tampaknya tidak ingin bersahabat dengan pemuda putus asa. Gerimis kini berubah menjadi amuk hujan lebat. Aku menunggu dengan sabar, kapan kira-kira Aldo akan pulang di tengah hujan seperti ini. Matahari sudah ingin berganti shift dengan bulan, hujan juga perlahan mulai tenang. Aku kembali disengat dingin. Bajuku basah kuyup. Aku tidak peduli nasib handphoneku yang mungkin sudah tewas karena air hujan.
Akhirnya Aldo pulang juga setelah satu jam lebih aku menunggunya. Aku sudah kuatir jangan-jangan Aldo terjebak hujan atau banjir. Namun, kini ia sudah ada di rumah, ada keluarga yang menunggunya, menyiapkan makanan hangat untuknya, aku lega.
Akupun kembali pulang ke rumah. Rumah kami. Tepatnya, Rumahku yang dingin dan sepi. Aku lupa kalau aku belum membeli makanan atau bahan untuk memasak makanan. Tinggal stok mie instan yang tersisa. Aku tidak punya pilihan lain.
Sama seperti hari-hari sebelumnya, aku duduk di ranjang, makan mie instan rasa ayam bawang, dan menonton sinetron episode ke 215 yang bercerita tentang kejahatan menantu-mertua.
“Jam berapa ini?” sahutku sambil mencoba membuka mata dan mencoba melihat jam dinding. Kepala terasa berat dan aku bersin-bersin. Sial, aku kena flu, pikirku. Badanku terasa lemas sekali. Ketika tenagaku sudah sedikit terkumpul, aku terkejut bukan kepalang ketika tahu sudah jam 11. Terlambat untuk pergi kuliah dan apalagi untuk melihat Aldo. Aku merasa sedih sekali karena untuk pertama kalinya, aku melewatkan kesempatan untuk melihat Aldo pergi kerja.
Aku terbaring lemah, malas untuk beraktivitas dan memutuskan untuk istirahat total di ranjang. Tidur. Tidur. Tidur. Dan berdoa ketika aku membuka mata, aku sudah disambut oleh Tuhan di rumah-Nya.
Malam hari tiba, aku benar-benar lemas. Aku tidak ada tenaga untuk bergerak. Flu semakin parah dengan tambahan batuk yang entah dari mana datangnya. Namun, tiba-tiba kudengar suara bel rumah. Bel itu dibunyikan berkali-kali dengan tidak sabarnya.
“Ya, sebentar,” aku mencoba berteriak dan memaksakan diri untuk beranjak dari kasurku.
Bel tidak berhenti dibunyikan, malah semakin kencang. Aku jadi sebal dengan tamu tidak tahu diri itu. Apa dia tidak tahu aku sedang sakit? Jelas saja dia tidak tahu. Siapa yang akan tahu.
Ketika aku membuka pintu, aku terkejut, senang, dan marah. Aldo ada di balik pagar.
“Untuk apa kamu ke sini?” bentakku.
“Bukakan aku pintu!” pintanya.
“Aku sudah bilang pada dirimu, untuk sementara kita tidak usah saling bertemu dulu!” aku membentaknya lagi, “pergi kamu!” teriakku sehingga lupa dengan batuk yang menyerangku.
“Kamu sakit kah?” tanyanya sambil menggoyang-goyang pagar.
“Dari mana kamu tahu?” aku terkejut dengan pertanyaannya.
“Bukakan pintu. Sebentar saja!” ia memohon lagi. Kali ini aku mengalah dan membukakan pintu.
Ia masuk ke dalam rumah dan terkejut melihat pemandangan rumah yang berubah menjadi kapal hantu.
“Aku baik-baik saja. Katakan apa maumu dan pulanglah,” seruku dengan ketus.
Ia tidak menjawab namun memelukku erat. Aku mematung seperti batang pohon kelapa. Aku terkejut dengan pelukan yang begitu kurindukan ini. Aku menjatuhkan tubuhku dalam pelukannya.
“Ya Tuhan, badanmu panas sekali!” katanya dengan cemas, “kamu sakit!”
Aku menggeleng.
“Jangan bodoh kamu! Kamu sudah minum obat?” tanyanya dengan sedikit marah.
“Aku tidak perlu minum obat! Aku sehat-sehat saja!” aku berlagak kuat namun akhirnya aku roboh juga. Aku tidak mampu melawan kecuali aku melihat Aldo menangkap tubuhku dan membaringkanku di sofa.
“Tunggu sebentar ya. Aku akan mencarikan obat,” Aldo masuk ke dalam kamar dan kembali membawa obat dan selimut. Ia menyelimutiku sementara aku hanya terkapar di sofa.
“Kamu jangan-jangan belum makan seharian ya?” tanya Aldo dengan penuh curiga. Aku tidak menjawabnya. Aldo ke dapur dan mengeceknya. Aku yakin yang akan ia temukan hanyalah tumpukan sampah bungkus mie instan. Ia kembali dari dapur, mendengus marah.
“Apa-apaan ini? Kamu sering makan mie instan ya? Pantas saja kamu sakit!”
“Aldo, tolong…,” pintaku agar ia tenang. Ia sadar kalau aku sedang sakit dan jadi terdiam. Ia berlutu di sampingku dan membelai rambutku.
“Tunggu sebentar ya, aku belikan kamu makanan di luar,” katanya sambil bangkit berdiri. Aku dengan sisa tenagaku meraih tangannya.
“Ada apa?” tanyanya.
“Kamu… kenapa kamu tahu kalau aku sakit?” ujarku pelan sambil menahan batuk.
Aldo berlutut lagi di sampingku. Ia tersenyum dan mencium keningku.
“Aku tahu karena kamu tidak datang. Pagi ini dan sore tadi, kamu tidak ada di balik pohon,” katanya dengan menggenggam tanganku.
Aku terkejut dengan jawaban itu.
“Setiap pagi dan sore hari, aku menantikan kedatanganmu. Paling tidak kalau aku tahu kamu ada di balik pohon, berarti kamu baik-baik saja.”
“Dari mana kamu tahu aku ada di situ?” tanyaku.
“Sebenarnya, aku pernah ke rumah ini untuk melakukan hal yang sama tapi rumah ini kosong. Aku kembali ke rumahku dan mendapati kamu sudah menungguku terlebih dahulu. Oleh karena itu, aku tahu kamu selalu ada di situ, pagi dan sore hari,” katanya sambil tersenyum padaku. Melihat senyumnya, aku yakin aku akan sembuh dalam sekejap.
“Aldo…,” aku meremas tangannya. Aku sungguh sayang padanya.
“Sebentar ya, aku carikan makanan dulu. Tapi bukan berarti, aku sudah tidak marah padamu. Kau jelas-jelas sudah melanggar janji dengan membuatku kuatir!” katanya lagi.
Aku mengangguk lemah dan tertidur dalam pelukan singkatnya. Sungguh aku merindukan pelukan ini walau hanya sesaat.
Malam ini
Tidurlah
Ada aku
Bersambung.
Aku merasa tidur yang sangat lama. Entah berapa lama aku terhanyut dalam mimpi. Mimpi serasa diriku dalam buaian ibu. Aku seakan kembali menjadi bayi kembali. Mimpi menjadi dari awal lagi.
Aku melihat cahaya yang perlahan-lahan membangunkanku. Suara yang pelan membawaku kembali ke suatu kesadaran. Aku mencoba membuka mata dan aku tahu bahwa hari telah siang.
“Do…,” panggilku. Aku mencoba memanggil dirinya sambil berharap ia ada di sampingku.
“Sudah bangun?” suara seseorang yang sangat familiar kudengar. Namun, itu bukan suara Aldo. Itu suara perempuan. Aku mencoba menemukan dari mana sumber suara tersebut. Betapa terkejut ketika aku melihat sosok perempuan duduk di samping ranjangku sambil memegang kepalaku.
“Mama…,” seruku dalam keterkejutan. Aku mencoba bangun namun badanku terasa lemas.
“Kamu jangan banyak bergerak dulu. Istirahatlah,” ujar ibuku sambil mendorong tubuhku ke atas ranjang.
“Mama, kenapa ada di sini?” tanyaku penuh keheranan sambil mencari-cari tanda-tanda keberadaan Aldo.
“Aldo yang memberi tahu mama,” katanya singkat namun kata-kata itu seakan menghujamku ke dalam ruang gelap dan dingin. Apakah ibuku tahu… tentang kami….
“Aldo?” tanyaku singkat.
“Ia sudah pulang,” ibuku seakan tahu bahwa aku mencari dirinya.
“Berapa kali mama bilang, kamu ini harus bisa jaga diri. Sudah gede tapi kok bisa-bisanya sakit seperti ini. Rumah berantakan seperti kapal pecah,” omel ibuku sambil bangkit berdiri dan merapikan kamarku sedikit-sedikit. Betapa aku rindu suara ibu yang sudah lama sekali tidak kutemui.
Aku terdiam dan merenung apa saja yang sudah terjadi. Apa yang Aldo katakan ke ibuku dan apa saja yang sudah diketahui oleh ibuku.
“Kenapa kamu sampai sakit begini?” tanya ibuku. Aku mencoba memikirkan jawaban yang tepat dan aman supaya terhindar dari omelannya tapi ibuku sudah memotongku lagi, “kamu putus cinta ya?”
Aku terdiam lagi. Tercekat. Tidak berdaya dengan pertanyaannya.
“Tentang kamu dan Aldo, mama sudah tahu,” katanya dingin sambil tetap merapikan meja tulisku yang berantakan. Aku serasa dihajar oleh petir maha dahsyat. Tenggorokanku kering.
“Walau kamu tidak pernah cerita, mama sudah tahu perasaanmu ke dia. Sejak kamu sering membawa ia ke rumah untuk menginap. Sejak kamu setiap hari selalu menceritakan tentang dirinya. Ada yang berbeda dengan kamu dan Aldo,” suara ibuku mulai bergetar.
“Mama marah padaku?” tanyaku pelan.
“Kau tahu, sejak semula mama tidak suka Aldo menjadi temanmu. Apalagi ketika mama mulai sadar hubungan antara kalian berdua. Tapi…,” ibuku tidak melanjutkan kata-katanya dan berdiri sambil membelakangiku.
“Tapi apa, ma?” tanyaku lagi.
“Bagaimanapun kamu adalah anakku. Tidak mungkin seorang ibu meninggalkan anaknya,” katanya lagi.
“Papa tahu?” aku merasa bibirku pahit.
“Tidak pernah sekalipun mama dan papamu membahas perkara ini. Hati kami masing-masing sibuk beradu dengan kegalauan masing-masing namun papa dan mama seakan-akan ingin melupakan hal tersebut pernah terjadi,” katanya lagi.
Aku terdiam, tidak tahu harus berkata apa-apa lagi.
“Bertahun-tahun, mama memendam rasa kecewa, rasa sakit. Mama merasa gagal mendidik anak. Mama kurang perhatian dalam mengasuh dirimu sehingga semua ini terjadi,” suara ibuku kembali bergetar seakan ia menahan tumpahnya luapan emosi.
Ingin aku menangkis semua ucapannya bahwa menjadi gay bukanlah kesalahan dirinya namun pilihanku sendiri.
Ia membalikkan badan dan menatapku dalam-dalam.
“Sekarang saatnya… kamu punya kesempatan untuk menata diri. Kamu punya kesempatan untuk menyangkal diri,” suaranya meninggi.
“Tapi ma…,” aku mencoba membela diri.
“Dengarkan mama. Sudah cukup mama mengalah! Tidak tahukah kamu betapa malu dan sakit mendengarkan gosip tentang anakku sendiri kalau anakku hidup bersama…,” ibuku bahkan tidak sanggup menyelesaikan kata ‘sesama laki-laki.’
“Pernahkah kamu merasakan di pihak mama, menanggung sakit mendengar anak mama sendiri dicemooh orang?” air mata mulai jatuh di pipinya.
Dalam hati aku berteriak lirih, aku pernah merasakan penghinaan itu. Aku pernah mendapatkan cemoohan itu. Tapi, aku memilih jalan yang kuyakini, jalan bersama orang yang dahulu dan hingga kini masih sangat kucintai.
“Jangan kamu bicara tentang cinta tapi pikirkan juga orang lain yang ada di sekitarmu!” ibuku berkata lagi.
Aku tidak mampu membantahnya. Aku terdiam dan terpojokkan. Bagaimana mungkin kamu bisa melawan ibumu sekali lagi ketika ia menceritakan betapa sakit dan terlukanya selama ini. Bagaimana kamu bisa membela dirimu ketika kamu disadarkan bahwa kamu sudah gagal menjadi anak yang berbakti untuk orangtua.
Ini sudah bukan tentang menjadi diri sendiri tapi tentang ayahku. Tentang ibuku.
“Sudah… jangan kita bicarakan lagi. Kamu istirahatlah. Ibu siapkan makan dulu,” katanya sambil meninggalkanku di kamar. Aku menangis… menangis sejadi-jadinya. Aku juga terluka, terluka karena aku sudah melukai hati orangtuaku selama ini. Aku terluka, karena aku tidak bisa bersama dengan orang yang kucintai. Mengapa cinta harus dipersalahkan….
Hari sudah sore. Ibuku menyuapiku bubur hangat secara perlahan-lahan. Aku kembali ke masa anak-anak dulu. Masa ibuku menjaga diriku dan aku menjadi anaknya yang penurut.
“Sampai kapan mama di sini?” tanyaku.
“Besok mungkin mama akan pulang. Papa yang jemput. Tapi yang penting kamu harus sembuh dulu,” katanya sambil menyendokkan bubur ke dalam mulutku.
Sama sekali tidak ada sisa kemarahan dalam dirinya. Ia tetaplah ibuku yang kukenal. Ibuku yang baik hati.
“Permisi…,” suara Aldo pelan memecah keheningan di antara kami. Ia membungkukkan badan, malu-malu dan ragu-ragu untuk memasuki kamar.
“Oh… kamu,” ibuku seakan tidak terkejut melihat kedatangan Aldo. Keringat dingin mulai membasahi punggungku, takut membayangkan ibuku akan mengusir Aldo.
“Duduk, nak,” ibuku menunjuk ke arah kursi di dekat Aldo.
“Terima kasih,” kata Aldo sopan lalu menggeret kursi ke dekat ranjang dan duduk manis di situ.
“Kamu baru pulang kerja?” tanya ibuku sambil tetap menyuapiku. Rikuh rasanya ketika ada Aldo dan ibuku di satu ruangan yang sama. Apalagi aku yakin, masing-masing berperang dengan pemikirannya sendiri. Aldo mengangguk.
“Untung ada kamu, jadi ibu tahu anaknya sakit,” kata ibuku kepada Aldo lagi. Aldo tersenyum kecil seakan takut bersuara.
“Kamu… dulu tinggal di sini?” tanya ibuku ragu-ragu. Aldo tampak terkejut dengan pertanyaan tersebut namun ia menjawab pelan, “iya.”
Ibuku terdiam tidak memberikan respon apapun. Ia seakan berpikir panjang lalu menyerahkan piring berisikan bubur itu kepada Aldo. Aldo terheran-heran, sama seperti diriku.
“Bisa kamu yang melanjutkan? Ibu mau ke dapur dulu, beres-beres. Lagipula ibu yakin banyak yang ingin kalian bicarakan,” ujar ibuku.
“Ma…,” aku merasa tidak enak dengan perkataan ibuku tadi.
“Sudahlah, mama tahu kamu ingin ketemu Aldo. Dan cuma Aldo yang bisa buat kamu cepat sembuh. Mama tinggal dulu ya,” nada suaranya tidak marah namun juga tidak bahagia. Ibuku bangkit berdiri dan meninggalkan kami berdua di kamar.
Aldo tersenyum dan mengambil satu sendok penuh bubur kemudian disuapkan ke mulutku, “ibumu….” Aldo kehabisan kata-kata untuk menggambarkan perilaku ibuku barusan.
“Kamu datang, Do…,” aku meraih tangannya dan menggenggamnya erat.
“Iya, aku sudah berjanji kan untuk menjagamu,” katanya sambil mengelus rambutku, “kamu cepat sembuh ya.” Aku mengangguk pelan.
Di dalam kedamaian bersama Aldo, ada sejuta perang berkecamuk dalam batinku.
Ke mana harus kulangkahkan masa depanku.
Ke mana harus kubunuh cintaku.
Bagaimana harus kubahagiakan orangtuaku.
Untuk siapa aku hidup dan bertahan.
Bersambung.
Selain itu, saya juga lagi sering sakit jadi tersendat-sendat.
Akhirnya, alur cerita berlanjut dengan sedikit lambat.... Keputusan yang sulit untuk memasukkan karakter baru namun kita lihat saja kelanjutannya seperti apa......
Aku benci membaca novel atau menonton film dengan tema gay atau homoseksualitas. Kamu akan dibuai dengan kisah indah dan penuh konflik akan cerita-cerita mereka, adegan-adegan mesra mereka yang dilakukan dengan sembunyi, namun tiba-tiba di akhir cerita, salah satu tokoh harus meninggal dunia atau dialog perpisahan yang mengatakan bahwa cinta tidak harus memiliki. Bahkan ketika mereka bersatu untuk selama-lamanya, tiba-tiba ayah ibu mereka dari yang semula mati-matian mengutuk hubungan mereka jadi berbalik merestui. Betapa indahnya dunia….
Yang paling aku benci adalah kisahku dengan Aldo harus diakhiri dengan ending seperti apa?? Apakah kami harus terus mencoba berjuang ketika kau tahu dengan akal sehatmu bahwa hubunganku dengan Aldo akan melukai banyak orang? Atau apakah kami harus mengalah dan menjalani proses pahit ini?
Sudah tiga bulan lebih kami berpisah dan nyaris tanpa kabar satu sama lain. Lama sekali menunggu hari berganti. Lama sekali menyelesaikan 24 jam dalam kesepian. Ayah dan ibu jadi sering mengunjungiku, memastikan aku baik-baik saja dan tidak melakukan hal-hal bodoh. Aku memastikan hidupku penuh dengan kesibukan… kuliah, menjadi asisten mahasiswa, menjadi anggota badan eksekutif mahasiswa, dan memastikan untuk segera lulus dengan nilai yang memuaskan.
Kesibukanku di perkuliahan sudah menyita seluruh waktuku. Tidak ada waktu untuk cinta. Dan aku cukup bahagia dengan kondisi ini.
Pagi itu, aku ada rapat di kampus. Pihak fakultas memintaku menjadi panitia temu alumni. Aku harus menyiapkan acara untuk memeriahkan suasana. Aku sudah bersiap dengan laptopku untuk mempresentasikan rancangan acara temu alumni. Tanganku penuh dengan kertas-kertas dan aku optimis konsepku akan dipakai. Aku sudah siap dengan semua “perbekalanku” namun tiba-tiba telepon berdering. Nomor tidak dikenal. Aku malas mengangkatnya. Aku lanjut saja naik motor ke kampus sebelum terlambat.
Jam enam, aku baru saja pulang dari kampus. Rapat berjalan melelahkan dengan koordinasi panitia dan memenuhi tuntutan dari Dekan. Untunglah secara umum konsep temu alumni yang aku rancang diterima dengan baik. Aku mengundang para alumni untuk menyumbang acara sehingga jadi lebih berkesan bagi undangan yang datang. Aku baru saja mau membuka nasi bungkus yang aku beli, dan tiba-tiba telponku berbunyi lagi. Nomor yang sama dengan yang menelponku tadi. Dengan malas aku mengangkat telpon tersebut.
“Halo?” sapaku dengan tidak ramah.
“Halo, ini panitia pendaftaran temu alumni?” balas suara seorang pria di balik sana. Suaranya memberikan gambaran bahwa ia sudah berusia 30an. Suaranya lembut dan menenangkan orang-orang yang mendengarkan.
“I… iya…,” sahutku tercekat. Kaget dengan kehangat suaranya.
“Mas, saya Deni. Saya ada informasi kalau ada temu alumni dan alumni yang mau mengisi suara diminta menghubungi nomor ini,” kata pria bernama Deni tersebut.
“Oh iya. Mas Deni ini dari angkatan ke berapa?” tanyaku lagi.
“Saya angkatan ke-18. Kebetulan saya dan teman-teman angkatan 18 masih aktif bertemu dan punya kegiatan main musik. Kalau boleh kami mau sumbang acara musik. Nge-band gitu,” ujarnya dengan ramah. Dari tutur katanya, aku menebak kalau orang ini sangat supel dan riang. Orang yang menyenangkan untuk diajak bicara.
Aku terbius suaranya.
“Lalu?” kata Deni yang memecah lamunanku.
“Oh… besok mungkin kita bisa ketemu untuk menyamakan konsep acara?” kataku.
“Jam berapa?” tanyanya.
“Enam sore di Café Mardan?” tanyaku kembali.
“Siap….” ujarnya semangat. Entah mengapa suaranya malam itu membiusku. Terngiang-ngiang di kepalaku. Aku tidak sabar bertemu dengannya walau kutidak tahu siapa dirinya.
Matahari sudah mulai terbenam. Aku sudah duduk dengan nyaman di tempat kami janjian. Suasana temaram dan iringan piano yang perlahan membuat suasan menjadi semakin syahdu. Aku suka tempat ini walau harganya agak mahal. Tempat ini pas untuk suasana yang romantis atau juga tempat yang tepat untuk mengobrol hal-hal yang penting. Nyaman dan tidak berisik.
Aku meratapi diriku yang tampil kumal, apa adanya. Peluh keringat karena seharian di kampus, kuliah, rapat persiapan temu alumni, dan segudang kesibukan lainnya. Kemeja sudah berantakan ditambah perut lapar. Aku duduk dan menanti dalam ketegangan, siapa gerangan orang yang akan aku temui. Setiap pintu terbuka, aku menatap tajam dan menyaring kemungkinan-kemungkinan apakah orang tersebut adalah Deni. Bodohnya aku karena aku tidak membuat janji yang lebih spesifik sehingga aku tahu yang mana namanya Deni.
Tiba-tiba, pintu terbuka lagi. Kali ini seorang pria dengan kemeja biru gelap lengan panjang masuk ke dalam Café. Wajahnya sangat rupawan dengan kulit kuning, rambut hitam gelap, dan sorot mata yang berapi-api-namun terlihat ramah. Dari awal ia masuk pintu, aku berharap pria itu adalah Deni. Matanya terlihat mencari-cari di tengah pengunjung Café. Aku menatapnya tajam seakan ingin mengirimkan sinyal, “hai… aku di sini… menantimu.”
Sesaat, pandangan matanya bertautan dengan pandangan mataku. Lalu ia tersenyum padaku dan melangkah ke arah mejaku, tidak menghiraukan pelayan Café yang menanyakan apakah ia sudah ada janji dengan seseorang.
Ketika pria itu sudah sampai di hadapan mejaku, aku menyapanya terlebih dahulu, “kamu pasti Deni?”
Ia tertawa renyah dan mengangguk, “dari mana kamu bisa tahu?”
“Firasat,” kataku sambil menghela nafas lega. Bayanganku tentang Deni tidak jauh dari kenyatannya. Dia sungguh-sungguh tampan.
“Jadi… apa yang harus kita lakukan sekarang?” katanya sambil merentangkan tangan.
Aku terbius lagi. Terbius oleh pesonanya, ketenangannya, dan keteduhan setiap kata-katanya. Entah mengapa, malam ini aku melupakan semuanya… Malam ini aku mendengarkan setiap kata-kata yang meluncur dari bibirnya bagaikan lagu pelipur lara. Aku melupakan kepahitan yang sudah kujalani selama berbulan-bulan. Apa aku jatuh cinta dengan seorang asing yang belum aku tahu sama sekali siapa dirinya?
Pernahkah kalian merasakan gairah? Semangat karena bertemu dengan seseorang yang kalian tidak tahu apa orientasinya, namun kalian hanya merasakan semangat itu bergelora. Kalian tidak mengenal sama sekali bagaimana latar belakangnya, apakah ibunya anti-gay, ataukah dia berbeda agama. Kalian hanya tahu perasaan itu meletup dan menghidupi setiap sel di dalam hidup tubuhmu.
Jika saja malam ini aku harus menyesal… Penyesalan itu adalah karena malam itu, selama lebih dari tiga detik aku melupakan Aldo dari pikiranku.
Sial….
Bersambung
Aku benci membaca novel atau menonton film dengan tema gay atau homoseksualitas. Kamu akan dibuai dengan kisah indah dan penuh konflik akan cerita-cerita mereka, adegan-adegan mesra mereka yang dilakukan dengan sembunyi, namun tiba-tiba di akhir cerita, salah satu tokoh harus meninggal dunia atau dialog perpisahan yang mengatakan bahwa cinta tidak harus memiliki. Bahkan ketika mereka bersatu untuk selama-lamanya, tiba-tiba ayah ibu mereka dari yang semula mati-matian mengutuk hubungan mereka jadi berbalik merestui. Betapa indahnya dunia….
Yang paling aku benci adalah kisahku dengan Aldo harus diakhiri dengan ending seperti apa?? Apakah kami harus terus mencoba berjuang ketika kau tahu dengan akal sehatmu bahwa hubunganku dengan Aldo akan melukai banyak orang? Atau apakah kami harus mengalah dan menjalani proses pahit ini?
Sudah tiga bulan lebih kami berpisah dan nyaris tanpa kabar satu sama lain. Lama sekali menunggu hari berganti. Lama sekali menyelesaikan 24 jam dalam kesepian. Ayah dan ibu jadi sering mengunjungiku, memastikan aku baik-baik saja dan tidak melakukan hal-hal bodoh. Aku memastikan hidupku penuh dengan kesibukan… kuliah, menjadi asisten mahasiswa, menjadi anggota badan eksekutif mahasiswa, dan memastikan untuk segera lulus dengan nilai yang memuaskan.
Kesibukanku di perkuliahan sudah menyita seluruh waktuku. Tidak ada waktu untuk cinta. Dan aku cukup bahagia dengan kondisi ini.
Pagi itu, aku ada rapat di kampus. Pihak fakultas memintaku menjadi panitia temu alumni. Aku harus menyiapkan acara untuk memeriahkan suasana. Aku sudah bersiap dengan laptopku untuk mempresentasikan rancangan acara temu alumni. Tanganku penuh dengan kertas-kertas dan aku optimis konsepku akan dipakai. Aku sudah siap dengan semua “perbekalanku” namun tiba-tiba telepon berdering. Nomor tidak dikenal. Aku malas mengangkatnya. Aku lanjut saja naik motor ke kampus sebelum terlambat.
Jam enam, aku baru saja pulang dari kampus. Rapat berjalan melelahkan dengan koordinasi panitia dan memenuhi tuntutan dari Dekan. Untunglah secara umum konsep temu alumni yang aku rancang diterima dengan baik. Aku mengundang para alumni untuk menyumbang acara sehingga jadi lebih berkesan bagi undangan yang datang. Aku baru saja mau membuka nasi bungkus yang aku beli, dan tiba-tiba telponku berbunyi lagi. Nomor yang sama dengan yang menelponku tadi. Dengan malas aku mengangkat telpon tersebut.
“Halo?” sapaku dengan tidak ramah.
“Halo, ini panitia pendaftaran temu alumni?” balas suara seorang pria di balik sana. Suaranya memberikan gambaran bahwa ia sudah berusia 30an. Suaranya lembut dan menenangkan orang-orang yang mendengarkan.
“I… iya…,” sahutku tercekat. Kaget dengan kehangat suaranya.
“Mas, saya Deni. Saya ada informasi kalau ada temu alumni dan alumni yang mau mengisi suara diminta menghubungi nomor ini,” kata pria bernama Deni tersebut.
“Oh iya. Mas Deni ini dari angkatan ke berapa?” tanyaku lagi.
“Saya angkatan ke-18. Kebetulan saya dan teman-teman angkatan 18 masih aktif bertemu dan punya kegiatan main musik. Kalau boleh kami mau sumbang acara musik. Nge-band gitu,” ujarnya dengan ramah. Dari tutur katanya, aku menebak kalau orang ini sangat supel dan riang. Orang yang menyenangkan untuk diajak bicara.
Aku terbius suaranya.
“Lalu?” kata Deni yang memecah lamunanku.
“Oh… besok mungkin kita bisa ketemu untuk menyamakan konsep acara?” kataku.
“Jam berapa?” tanyanya.
“Enam sore di Café Mardan?” tanyaku kembali.
“Siap….” ujarnya semangat. Entah mengapa suaranya malam itu membiusku. Terngiang-ngiang di kepalaku. Aku tidak sabar bertemu dengannya walau kutidak tahu siapa dirinya.
Matahari sudah mulai terbenam. Aku sudah duduk dengan nyaman di tempat kami janjian. Suasana temaram dan iringan piano yang perlahan membuat suasan menjadi semakin syahdu. Aku suka tempat ini walau harganya agak mahal. Tempat ini pas untuk suasana yang romantis atau juga tempat yang tepat untuk mengobrol hal-hal yang penting. Nyaman dan tidak berisik.
Aku meratapi diriku yang tampil kumal, apa adanya. Peluh keringat karena seharian di kampus, kuliah, rapat persiapan temu alumni, dan segudang kesibukan lainnya. Kemeja sudah berantakan ditambah perut lapar. Aku duduk dan menanti dalam ketegangan, siapa gerangan orang yang akan aku temui. Setiap pintu terbuka, aku menatap tajam dan menyaring kemungkinan-kemungkinan apakah orang tersebut adalah Deni. Bodohnya aku karena aku tidak membuat janji yang lebih spesifik sehingga aku tahu yang mana namanya Deni.
Tiba-tiba, pintu terbuka lagi. Kali ini seorang pria dengan kemeja biru gelap lengan panjang masuk ke dalam Café. Wajahnya sangat rupawan dengan kulit kuning, rambut hitam gelap, dan sorot mata yang berapi-api-namun terlihat ramah. Dari awal ia masuk pintu, aku berharap pria itu adalah Deni. Matanya terlihat mencari-cari di tengah pengunjung Café. Aku menatapnya tajam seakan ingin mengirimkan sinyal, “hai… aku di sini… menantimu.”
Sesaat, pandangan matanya bertautan dengan pandangan mataku. Lalu ia tersenyum padaku dan melangkah ke arah mejaku, tidak menghiraukan pelayan Café yang menanyakan apakah ia sudah ada janji dengan seseorang.
Ketika pria itu sudah sampai di hadapan mejaku, aku menyapanya terlebih dahulu, “kamu pasti Deni?”
Ia tertawa renyah dan mengangguk, “dari mana kamu bisa tahu?”
“Firasat,” kataku sambil menghela nafas lega. Bayanganku tentang Deni tidak jauh dari kenyatannya. Dia sungguh-sungguh tampan.
“Jadi… apa yang harus kita lakukan sekarang?” katanya sambil merentangkan tangan.
Aku terbius lagi. Terbius oleh pesonanya, ketenangannya, dan keteduhan setiap kata-katanya. Entah mengapa, malam ini aku melupakan semuanya… Malam ini aku mendengarkan setiap kata-kata yang meluncur dari bibirnya bagaikan lagu pelipur lara. Aku melupakan kepahitan yang sudah kujalani selama berbulan-bulan. Apa aku jatuh cinta dengan seorang asing yang belum aku tahu sama sekali siapa dirinya?
Pernahkah kalian merasakan gairah? Semangat karena bertemu dengan seseorang yang kalian tidak tahu apa orientasinya, namun kalian hanya merasakan semangat itu bergelora. Kalian tidak mengenal sama sekali bagaimana latar belakangnya, apakah ibunya anti-gay, ataukah dia berbeda agama. Kalian hanya tahu perasaan itu meletup dan menghidupi setiap sel di dalam hidup tubuhmu.
Jika saja malam ini aku harus menyesal… Penyesalan itu adalah karena malam itu, selama lebih dari tiga detik aku melupakan Aldo dari pikiranku.
Sial….
Bersambung