It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Lelah.
Hari itu aku sudahi acara olahraga sore hari di tempat ini. Keringat bercucur membasahi wajah. Bangkit berdiri kumenuju lorong menurun. Sekilas kutatap sosok yang terpantul di cermin. Wajah kusam, penuh keringat, mulut terngaga, rambut basah acak-acakan. Sama sekali tidak menarik. Pantas saja tidak ada anak gadis yang berani mendekati selama ini. Atau akukah yang tidak peka terhadap sinyal para wanita?
Mereka berkata jiwa-jiwa itu berkumpul. Mereka yang sama akan bergerombol. Dan mereka yang tak seiya akan berpisah. Dan aku selalu bertanya, di manakah lagi kalian wahai para jiwa yang sekata denganku?
Panas, berdebu, dan juga bising. Tidaklah mudah berjalan di lajur pulang ini. Pengap rasanya kepala ini menjadi saksi keriweuhan jalan. Namun begitu indah suasana sore yang memendar di antara pepohonan kampung. Tak terasa tangan ikut bergerak-gerak riang begitu memasuki jalanan yang sepi. Kini senyum pun menyungging lebar menghirup temaram udara sore.
Kubuka pintu kamarku. Remang kamar mensyahdukan suasana sore itu. Terpampang kaca besar di samping tempat tidurku. Kutatap wajah itu sekali lagi. Apa lagi yang engkau cari wahai jiwa yang kesepian?
Wanitakah, priakah?
Kumainkan bibirku ke atas dan ke bawah. Kubuat rautku menjadi sejelek yang kubisa. Dan akupun terkaget juga dengan hasilnya, "Ih, jelek amat!" Bahak tawa keluar dari tubuhku. Kurebahkan punggungku ke kasur. Kumainkan jemari tanganku ke atas langit-langit. Secercah cahaya lampu terlihat melintas di bayang telapak.
Tak lama kemudian aku pun membersihkan diri untuk kemudian keluar menyapa malam mencari kehangatan perut ini.
Hari berganti. Aktivitas yang sama masih kulakukan hari itu. Kesibukan yang sama, kesenjangan yang sama, dan keterpakuan yang sama. Tak lupa sebelum pulang, kuhampiri tempat yang biasa aku datangi melepas penat. Ramai saat itu parkiran terlihat. Kusapa bapak penjaga parkir seperti biasa. Kusapa pula wanita semampai penjaga pintu. Segera kumasuki ruang loker.
Seorang lelaki kulihat terduduk termangu sendiri di depan deretan loker. Ah, lelaki kan sudah sering kulihat di tempat ini. Tapi korneaku hari itu begitu tercekat dengan pemandangan hari itu. Seorang anak yang tak bisa kutebak apakah masih duduk di bangku SMA ataukah sudah bekerja. Dia begitu mirip dengan orang yang pernah memporak-poranda dada ini pada tahun lalu. Namun bisa kupastikan, dia orang yang berbeda. Kutatap lekat lelaki ini, sebuah perpaduan menarik antara ras China dan Jawa, di mana engkau masih bisa mendapatkan keeksotikan coklatnya kulit lelaki dengan raut muka tirus oriental.
Dada ini semakin bergemuruh. Aku pun beranikan diri berbicara, "Permisi, saya pakai lokernya ya."
"Oh iya," angguknya saat itu. Salting sangat hari itu aku di hadapannya.
Kesaltinganku pun berlanjut sampai di lantai atas. Konsentrasiku buyar sebuyar-buyarnya. Tak bisa kupingkiri mata ini tak bisa kutahan untuk mencuri-curi pandang dia sore itu. Kulihat dia memulai hari itu dengan pemanasan ringan di ujung ruangan.
... Oh, dia duduk di sisi belakang dekat jendela.
... Main hape rupanya.
... Siapakah yang engkau ajak bicara wahai pria.
... Beruntungnya mereka yang dekat denganmu.
... Sudah mulai latihan rupanya.
Puas menyelidik dia, aku melanjutkan latihanku. Kukelilingi ruangan itu mencari alat lain yang bisa kupakai. Kuajak bicara juga ibu pelatih sore itu. Kulakukan pula latihan-latihan baru yang baru saja kupelajari di internet.
Hingga di satu titik ketika aku mulai letih berlatih, kutangkap sebuah mata yang melihatku dari jauh. Ah, sang pria tampan itu. Mungkin hanya menatap tak sengaja. Aku pun melanjutkan latihanku di tempat lain. Namun lagi-lagi, ketika letih mulai menyapa lagi, sudut mata ini menangkap sebuah mata yang menatap lagi dari jauh. Lagi, lagi, dan lagi.
Pria ini, sakitkah juga sepertiku?
Ah, salahkah aku berpakaian sore itu? Ngondekkah aku saat itu?
Kutatap sekelilingku, tidak ada yang salah tampaknya. Semua orang masih berinteraksi biasa satu dengan yang lain. Tak ada tatapan aneh ataupun melecehkan dari anggota lainnya.
Kusudahi sore itu dengan segera. Kuberlari menuju kamar. Sesak rasanya dada ini.
Namun aku suka rasa sesak ini. Bagaikan segala bentuk kebaikan kimia menjalar dan teraktifkan di seluruh otak. Dan kutemui lagi diri yang lusuh di depan cermin besar kamarku. Kutatap lekat-lekat sosok itu. Aku pun tak bisa menyimpulkan, apakah aku ini menarik, jelek, aneh, ataukah unik. Apakah pria tadi menatapku hanya karena dia penasaran telah melihat lelaki terjelek yang pernah ia temui. Kukubur rasa suka sore itu dalam-dalam.
Hari-hari pun berlalu. Deru angin sore masih menjatuhkan dedaunan cemara pinggir jalan di hadapanku. Bebauan segar udara sore masih syahdu menyapa hidungku. Lelaki itu juga masih sering aku temui di sana. Kami pun juga masih sering melakukan aktifitas curi-curi pandang di sepanjang latihan. Sampai aku pun terbiasa dengan kegiatan malu-malu kucing ini.
Pertanyaan seperti ini berulang kali muncul di benak. Maklum, sering aku merasa rendah diri. Seumur-umur belum pernah ada orang yang memujiku tampan, kecuali lelaki banci yang pernah kukenal dahulu.
Sekarang aku pun sudah berani menatap dia dengan lekat dari dekat. Basah terlihat wajahnya. Cucuran keringat besar-besar seukuran biji jagung membanjir keningnya. Ternganga mulutnya menahan sakit. Terkadang ekspresinya justru terlihat lucu. Dimonyongkannya mulutnya mendengus bibirnya mendekati hidung dengan dahi berkerut maksimal. Kalau sudah seperti ini dia benar-benar tampak seperti anak SMA. Tapi jika dia sudah duduk termenung di ujung ruangan menatap layar hapenya, tampaklah seorang lelaki gagah yang terlihat termenung sendiri, sepi dalam kesedihannya.
Padahal dia sama sekali tidak berbadan besar. Ototnya pun masih terlihat malu-malu mencuat di lengannya. Walau begitu badanku masih kalah jauh dibanding badannya. Terkadang aku pun tak percaya diri berdiri di dekatnya. Namun lelaki ini, pria ini, begitu menyenangkan untuk didekat-dekati. Bolehkah aku tahu namamu wahai kawan?
Hari-hari berlalu semakin menyenangkan. Dan aku pun semakin tahu karakteristik lelaki menggemaskan ini. Tak banyak teman yang ia punya tampaknya di sana. Aku, orang yang pernah menyapa dia di ruang loker dahulu, bisa jadi merupakah salah satu seseorang yang sangat ia harapkan untuk menjadi temannya di sana. Seakan ia menatap dan berkata, "Hoi engkau, yang pernah menyapaku dahulu, tak maukah engkau menyapaku lagi dan berteman denganku?"
Maaf, sayangnya aku tak tertarik menjadi temanmu. Aku tertarik menjadi orang yang kau ajak bicara di tiap-tiap malam sebelum tidurmu. Aku tertarik menjadi orang yang menjadi peneman istirahatmu di saat lelahmu. Aku tertarik menjadi orang yang duduk bersama denganmu, diam menikmati kesunyian bersama dalam kesibukan masing-masing. Aku tertarik menjadi orang yang menyertaimu, menyemangatimu, di kala engkau sakit ataupun sedih.
Namun pantaskah aku untukmu wahai pria yang mendentum-dentumkan dada ini?
Sudah teramat lama sekali aku tidak menikmati tubuh lelaki dalam keadaan suka sama suka. Aku begitu lugu saat itu. Bahkan rasanya bibir lelaki pun aku lupa.
Seperti apakah rasanya mulut lelaki itu? Tiba-tiba terlontar pertanyaan itu.
Dan di sana, ada seorang lelaki yang dengan sopannya berbicara denganku. Bertukar fotolah kami. Kulihat fotonya, sama sekali bukan tipeku. Tapi aku tahu, aku bisa saja terangsang dengan dia, asalkan dia punya batang. Kulihat wajahnya. Biasa saja, bahkan cenderung tidak suka. Kulihat bibirnya, gelap eksotis. Namun, rupanya dia suka. Dia pun mengajakku datang ke tempatnya.
Terangsanglah aku tiba-tiba saat itu. Nafsu pun menjalar sampai ke ubun-ubun. Aku pun bertekad siang itu untuk menemui dia. Sekedar mencoba menyentuh bibir gelap itu, dengan bibirku, untuk aku coba sesap dan rasa. Kami pun bertemu. Kupasang senyum terbaikku siang itu. Sama sekali, sama sekali bukan tipeku. Jauh dari foto yang ia berikan padaku malah. Namun nafsu sudah di ubun-ubun. Siang itu, dia memanggilku dengan penuh panggilan kasih. Beragam kata gombal, sayang-sayangan meluncur dari mulutnya. Jatuh cinta rupanya. Geli aku mendengarnya.
Seperti inikah rasanya seorang digombali lelaki. Aku mahfum, selama ini para lelaki diidentikan dengan kehidupan keras. Di jalan, di beragam tempat, selalu dan selalu, ekspresi standar bosan ala kadarnya terpasang di wajah kebanyakan lelaki jika bertemu dengan lelaki asing lain. Bahkan tak jarang ungkapan-ungkapan "Yaaah, cowok," "Sayangnya dia cowok," digunakan untuk mengungkapkan kekecewaan ketika tahu orang asing yang baru mereka ketahui adalah lelaki. Dua lelaki bertengkar itu wajar, namun dua lelaki saling bersayangan itu tidak wajar. Mereka yang berada di luar zona itu, selalu sangat bisa dikategorikan sebagai suspect homo.
Kembali ke lelaki di hadapanku ini. Tampaknya ia menemukan wadahnya untuk menumpah ruahkan segala perasaan yang ia pendam selama ini, yaitu rasa sayangnya pada lelaki.
Kami pun berciuman.
Seperti inikah rasa mulut lelaki? Seperti inikah rasa ludah lelaki? Di manakah feromon-feromon dan bebauan yang biasa membangkitkan gairah seksualku ketika aku berdekatan di setiap lelaki yang kusuka.
Tidak ada. Sama sekali tidak ada.
Rasanya seperti mencium karet tak berbau. Cenderung pahit malahan. Begitupun ludahnya, seperti menenggak air putih saja rasanya. Kutatap wajahnya, dan tak kurasakan gairah di dada.
Tiba-tiba aku merasa ada yang menyeruak di dalam dada.
Aku pun mencoba sedikit bangkit menghindar darinya untuk mencoba menghirup udara saat itu. Pengap rasanya ruangan itu saat itu. Aku pun segera pamit darinya untuk segera pulang.
Di sepanjang jalan otakku berpikir keras.
Di manakah kenikmatan-kenikmatan sayup-sayup yang kurasakan jika berada dekat dengan para lelaki menggairahkan. Apakah karena dia bukan tipeku semua gelora nafsu tadi hilang sama sekali.
Kupegang kontolku, keras menegang. Nafsu, tanpa cinta, bahkan untuk orang yang tidak kusuka sekali pun.
Aku pun menangis.
Tak lama kemudian aku muntah di jalan. Muntah terhebat yang pernah kurasakan.
Kutatap nanar wajahku di kamar mandi. Pertama kalinya aku merasa diriku sangat kotor. Sebegitu murahnyakah diri ini? Masih aku menangis sesenggukan di kamar mandi. Aku pun muntah kembali. Jijik rasanya mengingatnya. Sebuah ciuman, sebuah ciuman antar lelaki yang selalu aku idam-idamkan, entah mengapa justru membuat aku ingin melupakannya. Tak sadar aku pun meminta ampun kepada Tuhan.
Waktu pun berlalu. Dan kini pun aku tahu tentang diriku lebih dalam. Tak peduli siapapun orangnya, baik pria ataupun wanita, baik rupawan ataupun tidak, asalkan kontolku dipegang olehnya, pasti bakalan ngaceng.
Maka sejak hari itu aku pun menjadi straight.
Walau kadang masih suka lirik-lirik sana sini. Terutama dengan si mas-mas pujaan hati, yang sampai hari ini kerjaannya masih lirik-lirik melulu. Duh mas, say hi maybe?
- Tamat
Semoga hidup kakak juga penuh puisi dan asa.
Keren
Hihihi
eeh ini bukan trit shearing yah. kwkwkkk
Asyik ya kak dpt ciuman pertama. Iya tha rasa karet busa. kwkwkkk. Ditunggu kisah ciuman kedua, ketiga, dstnya yaak.
makasih kakak
semoga kakak boy kelak mendapatkan ciuman yang sakinah dan mawadah ya
Hihihi
ughhh, jadi iri ih sama omdain dapet jackpot ager-ager. padahal aku suka yang rasa nutrijel.
tapi kalau dipikir-pikir om, tingkat sugesti kesukaan kita terhadap seseorang itu tampaknya bisa jadi bumbu masako tersendiri, walaupun baunya bau jengkol, rasanya jadi rasa jengkol yang enak.
ih ndak asik ommm, serasa menghilangkan keperawanan kepada orang yang bukan kita suka. bahkan gua pun sampai nyoba nyari-nyari rasa-rasa bekas makanan di mulut dia tapi ndak nemu.