Halo teman-teman semua. Summersnow hadir kembali setelah vakum cukup lama. hoho. Ini cerita baru saya yang bisa dibilang kelanjutan berupa prequel dari When Holiday Greets yg dapet respon cukup positif dari kawan semua. Cerita ini sebenarnya sudah direncakanan sejak lama, bahkan sebelum WHG tamat. Cuma waktu itu konsep ceritanya masih klise dan kurang bagus. Akhirnya, setelah dapat konsep cerita yang pas, saya garap cerita ini. Intinya cerita tentang Ibel saat SMA. Sebenarnya saya agak tergelitik karena 'seseorang di masa SMA' Ibel sempat disentil beberapa kali di cerita WHG, cuma anehnya gak ada yang sadar dan gak ada yang nanya apa yang sebenarnya terjadi di masa SMA Ibel. Well, enjoy the story!:)
Comments
“Good Morning, My Holiday.”
Aku merasakan ada sesuatu bergerak lembut di bibirku lalu berpindah ke pipiku. Sebuah salam pagi berbentuk ciuman yang selalu kudapatkan darinya setiap hari. Setidaknya setiap aku tidur di kamarnya, karena kadang kala ada saja rasa bosan sehingga ingin tidur sendiri, di kamarku sendiri.
Mataku masih agak ngantuk untuk terbuka tapi kupaksakan. Kulihat pangeranku menatapku dengan lembut dan tersenyum. Entah bagaimana, setelah tiga tahun bersama, senyuman itu tetap saja membuat hatiku bergetar hebat. Menyalurkan energi positif yang membuat aku semangat setiap harinya. Membuatku merasa bahagia setiap harinya. Aku pun tersenyum menatapnya.
Kami terus bertatapan dan saling senyum sampai dua menit lebih. Dia sama sekali tidak berkata apa-apa sementara aku semakin lama semakin merasa aneh. Ya, tingkahnya ini sudah termasuk aneh. Kami tidak pernah saling tatap dan senyum seperti pasangan gila sampai selama ini. Dari yang sudah-sudah, kalau dia bertingkah seperti ini pasti ada yang dia mau dariku.
“I won’t go,” tukasku sambil menyibak selimut yang menutupi sebagian tubuhku. Kuakhiri aksi saling tatap kami dan duduk di kasur menghadap ke jendela kamar apartemen, memunggunginya. Di luar sudah lumayan terang sehingga aku berasumsi sekarang sudah lewat dari jam 7 pagi. Dia benar-benar sedang ingin merayuku, karena sampai jam segini sama sekali belum siap-siap untuk ke kantor.
Aku menghirup nafas panjang lalu menghembuskannya. Tiba-tiba dia memelukku dari belakang dan menyandarkan dagunya di bahu kiriku. Dapat kudengar dengan jelas suara hembusan nafas dari hidungnya. Pelukannya cukup erat, dia melingkarkan tangannya di dadaku sehingga aku dan dia sama-sama bisa merasakan detak jantung masing-masing. Kurasakan irama detak jantungnya seirama dengan hembusan nafasnya. Oke, tingkahnya makin aneh. Tapi keputusanku sudah bulat, aku tidak ingin pergi.
“Please, Bel,” bisiknya lembut di telinga kiriku, lalu tanpa diminta mencium pipiku sekali. Aku menggeleng pelan sebagai jawabannya, dan dia malah memelukku makin erat. Ah kalo makin erat kan aku juga yang keenakan, Vin.
Akhirnya aku menghela nafas cukup panjang. Kuraih lengannya yang melingkari dadaku dan mengelusnya perlahan. Aku tahu dia tersenyum sekarang karena rasa nyaman dalam pelukan ini yang sama-sama kami bagi satu sama lain. Dan saat dia sudah merasa cukup nyaman, dengan nakal langsung kucubit lengan kanannya dan begitu saja pelukannya lepas. Aku langsung berdiri lalu berbalik menghadapnya yang sedang duduk di kasur, memegangi lengannya yang baru saja kucubit.
“Awak jahat!” rengeknya, bibirnya membusur terbalik. Ah, ini mah pura-pura sedih. Aku sudah tahu semua gayanya, tahu mana yang betulan mana yang pura-pura. Dan kali ini hanya pura-pura, supaya hatiku luluh dan mau ikut pergi dengannya. Perjalanan bisnisnya.
Aku melewek lalu berjalan meninggalkan kamarnya sambil berkacak pinggang. Aku yang berkuasa pagi ini. Aku melewati pintu kamarnya tanpa menoleh sedikitpun. Dan seperti yang sudah kuduga dia mengikutiku dari belakang seperti anak kecil yang sedang ingin kemauannya dituruti oleh orang tuanya.
“Ayolah, Bel. Demi saya nih,” pintanya. Meskipun sudah bertahun-tahun tinggal di Jakarta, masih saja logat melayunya tidak hilang. Ah aku juga tidak ingin hal itu hilang. Logatnya itu yang membuatku makin suka dengannya. Gak ngebosenin.
Aku tidak menghiraukannya dan terus berjalan ke dapur untuk membuat teh.
“Saya nak kopi, Bel,” teriaknya yang ternyata sudah duduk manis di meja makan. Kurang ajar, lagi ngerajuk malah nyuruh-nyuruh. Dasar! Tapi ya apa mau dikata, demi ‘suami’ tercinta akhirnya kubuatkan juga. Sambil menunggu aku menyiapkan kopinya, dia menyalakan TV seolah lupa kalau sedang merayuku untuk ikut pergi dengannya.
“Nih kopinya,” kataku sambil duduk di kursi sebelahnya. Dia meraih cangkir kopi hangatnya sambil tersenyum manis yang menurutku seperti dipaksakan.
Entah kenapa dia sepertinya lupa dengan apa yang dia inginkan dariku. Beberapa detik dia terhenyak dalam tayangan televisi, lalu ketika aku mulai ikutan menonton, jleb, TV dia matikan. Aku memandangnya dengan penuh tanda tanya. Oh, sepertinya dia ingat lagi sekarang.
“Awak ingat waktu saya pergi ke Australia sepekan dan awak tak ikut, saya jadi demam disana. Panas tinggi,” matanya membelalak, menatapku serius, tapi aku menilainya agak hiperbola, seolah-olah sakit demam itu adalah kanker stadium akhir. Aku mendengarkan saja karena aku tahu kalimat hiperboliknya masih belum selesai. “Sepekan tak jumpa awak je, saya dah sakit. Apalagi ini, dua pekan bakal tak bersua awak. Bisa stroke mungkin badan ni.”
Aku langsung memukul tangannya pelan. Apa-apaan sih ngomong sampai begitu, nyumpahin diri sendiri. Dia tidak bereaksi atas kelakuanku. “Jangan ngomong gitu ah. Ngeri tau ngebayanginnya!” omelku.
Dia nyengir yang membuatnya terlihat seperti orang bodoh. “Makanya, ikut lah Bel ke KL. Biar saya ada kawan disana. Terutama tiap malam, hehe.” Dan kali ini dia menyeringai bodoh.
Segera kuambil sehelai tisu makan di meja dan melempar ke arah mukanya. Dia malah tertawa sendiri. Bodoh. Ini orang serius gak sih ngerayu biar ikut? Sebenarnya aku mau saja ikut, tapi ini bukan perjalanan wisata. Dia akan pergi ke Kuala Lumpur untuk urusan pekerjaan. Perjalanan dinas. Itu artinya, ketika jam kerja aku bakal sendirian menunggu dia di hotel atau pilihan lainnya yaitu jalan-jalan sendiri di kota yang sama sekali tidak kukenali.
Aku bukannya tidak pernah ikut dengannya dalam perjalanan bisnis. Setahun yang lalu ketika aku baru saja lulus kuliah, dia mengajakku ke Bangkok. Aku nurut saja karena aku belum ada tanggung jawab apa-apa setelah lulus. Dan karena dia melakukan perjalanan dinas, aku hanya menunggunya pulang di hotel karena tidak berani keliling kota Bangkok sendirian. Hari pertama dan kedua sih baik-baik saja, tapi hari selanjutnya aku jadi bosan. Apalagi dia seringnya pulang lewat jam 9 malam, saat aku sudah ingin tidur. Untungnya hanya seminggu. Karena trauma dengan kejadian di Bangkok itulah aku tidak mau diajak ikut olehnya ke Australia beberapa bulan lalu, meskipun ini hanya seminggu.
Lah ini ke Kuala Lumpur selama dua minggu? Mau jadi apa aku disana?
Perkara lainnya, sekarang aku sudah membuka usaha toko baju distro sendiri di salah satu mal di kawasan Kelapa Gading. Aku sudah punya tanggung jawab. Jadi daripada aku ikut dengannya dan hanya ngendok di hotel selama dua minggu, mending aku ngurusin tokoku yang masih tahap merintis itu. Itulah kenapa aku keukeuh tidak mau ikut dia ke KL.
“No, I also have a business to do here,” tukasku. Sengaja menggunakan bahasa inggris sebagai tanda bahwa aku sudah sangat serius tentang hal ini. Dulu kami punya semacam perjanjian, bila kalimat salah satu dari kami sulit dipahami, kami akan menggunakan bahasa inggris. Dan aku seringkali memanfaatkan hal itu untuk memberi penegasan karena kuanggap dia tidak paham maksudku ketika aku mengatakannya dalam bahasa Indonesia.
Dia langsung manyun, memajukan bibirnya seperti anak kecil. Dia menatapku dengan mata yang dibesar-besarkan supaya terlihat seperti anak kecil yang sedang memelas. Ah bodo amat. Udah bulet keputusanku untuk tidak ikut.
Dengan cuek kuambil remote yang berada di dekat tangannya dan menyalakan televisi. Kufokuskan mataku menatap TV meskipun di sudut pandanganku aku tahu dia masih menatapku dengan tatapan memelas tadi. Kalau dipikir-pikir dia memang makin imut dengan tatapan begitu. Tapi kini aku sudah kebal dengan tatapan itu. Dulu memang langsung luluh, tapi sekarang seiring bertambahnya tingkat kedewasaan, duilee, aku tahu kapan harus luluh kapan tidak.
“Kamu gak ngantor?” tanyaku membuka topik pembicaraan lainnya.
“Tak nak,” cetusnya dengan nada kesal seperti anak kecil. Haha dia ngambek betulan. Bibirnya masih manyun ketika aku melirik ke arahnya. Aku terkikik sendiri melihat raut mukanya yang ngambek seperti itu.
“Kenapa?”
“Tak ada selera ke kantor lah. Bisa cuti pula saya hari ini. Bisa alasan siap-siap besok nak bertolak ke KL,” jawabnya tanpa sedikitpun menatapku. Matanya menatap lurus ke televisi yang sedang menayangkan iklan.
“Mau dimandiin?” aku bertanya dengan nada nakal. Godaanku sukses membuat raut wajahnya berubah seketika. Matanya langsung memandangku seolah bertanya apa aku serius bertanya seperti itu. Aku menaik-turunkan kedua alisku berkali-kali dan mengedip nakal padanya. Ya, aku serius. Begitulah kira-kira isyarat yang kuberikan.
Dia tidak bersuara tapi mengangguk cepat kegirangan. Ah strategi ini bukan hal yang baru tapi selalu berhasil memenangkan hatinya ketika dia ngambek bohongan. Kalau ngambek yang betulan sih beda lagi cara hadapinnya. Senyum langsung merekah dibibirnya. Dia mengangkat kedua tangannya keatas, isyarat bahwa dia minta dibukakan bajunya dulu. Ah kalau dia lagi manja begini makin gemes. Hatiku selalu berdesir hebat dibuatnya. Adrenalin seperti melesat dengan cepat ke seluruh tubuh membuatku semakin bergairah.
Sesaat aku dan dia bisa melupakan topik yang menjadi perdebatan kami pagi ini, yang sebenarnya sudah berlangsung selama beberapa hari. Aku bangkit dari dudukku dan berjalan ke belakang kursinya. Kuraih ujung bawah kaos yang dia kenakan dan menariknya ke atas, membuka bajunya seperti membuka baju anak kecil yang selalu bersemangat kalau diajak mandi. Aku suka melakukan ini. Merawatnya membuatku merasa lebih berarti. Ini salah satu caraku untuk mempertahankan cinta yang telah kami jalin bertahun-tahun.
Setelah kaosnya dibuka, kutarik dia untuk ke kamar mandi. Cara jalannya sengaja dibuat-buat seperti anak kecil, sedikit melompat kegirangan. Aku tertawa melihat tingkahnya. Dia selalu mempunyai cara untuk membuatku tersenyum dan tertawa. Sesampainya di kamar mandi, aku turut melepaskan semua pakaianku lalu membawanya ke bawah pancuran air.
Keran air kubuka, tetesan air kecil-kecil menyirami tubuhnya yang sengaja pasrah tidak melakukan apa-apa, seperti anak kecil yang sedang dimandikan. Hanya berdiri menghadapku, menatapiku dengan penuh rasa sayang. Kadang aku merasa tidak enak dipandangi seperti itu olehnya. Seringkali jantungku berdegup lebih cepat dari biasanya ketika dia melakukannya. Hatiku berdesir hebat, seperti saat ini. Tatapannya yang tajam dan tegas itu, selalu berhasil menerobos masuk lewat mata turun ke hati. Sehingga aku hanya sanggup curi-curi pandang ke matanya.
“Bel,” panggilnya lembut saat aku mulai menyabuni tubuhnya.
“Hmm?”
“Please consider it again,” pintanya.
Aku menghentikan pekerjaanku. Kutatap matanya yang dari tadi tidak lepas memandangiku. Aku tersenyum padanya, senyuman tanpa makna. Lalu perlahan kumajukan wajahku dan mencium bibirnya dengan lembut. Saat ini, aku tidak bisa memberikan jawaban tidak, tapi aku juga tidak bisa mengiyakan. Hanya ini yang bisa kuberikan. Ciuman penuh cintaku, karena apapun keputusanku aku tidak ingin sedikitpun membuatnya kecewa.
***
Kelvin dan aku, bila dihitung sudah hampir 3 tahun bersama. Untuk masalah tinggal bersama, baru kami lalui satu tahun ini, karena sebelum aku lulus kuliah aku tidak diperbolehkan untuk tinggal sendiri oleh mama. Meskipun aku mengatakan bahwa dia akan menjadi penjagaku. Rayuan itu tidak mempan ketika aku minta izin mama untuk tinggal bersama Kelvin di semester akhir kuliahku.
Ya, aku gay, dan mamaku sudah tahu kalau aku gay. Beliau juga sudah menyetujui hubungan aku dengan Kelvin setelah melewati drama paling besar dan menyakitkan dalam hidupku. Setidaknya sampai detik ini. Aku sudah cukup merasakan hal-hal itu, saat-saat ketika aku merasa kesakitan sendiri karena sesuatu yang kutahan di dalam hatiku. Yang kadang membuatku mengerang sendiri di tengah dinginnya malam tanpa aku tahu kenapa. Semuanya sudah usai, aku tidak ingin ada drama lagi dalam hidupku. Dan sejauh ini, Kelvin berhasil mewujudkannya. Hubungan kami berdua layaknya pasangan kebanyakan, tidak ada konflik besar yang layak dijadikan cerita novel atau film. Masalah datang satu persatu, dan pergi satu persatu pula. Semuanya mengalir begitu saja.
Kami tinggal di apartemen di kawasan Epicentrum Kuningan. Bukan apartemen satu kamar, melainkan dua kamar atas permintaanku. Sehingga Kelvin harus pindah dari apartemennya yang lama yang hanya punya satu kamar, satu kasur. Meskipun kami pasangan kekasih, ada kalanya kami butuh waktu pribadi masing-masing. Itulah alasanku minta dia pindah ke apartemen dua kamar bila ingin tinggal bersama.
Seusai mandi, kini dia masih berpakaian sekarang. Mengenakan kemeja dan celana bahan serta sepatu pantofel hadiah ulang tahun dariku. Aku juga berada di kamarnya, membantunya berkemas pakaian yang akan dibawanya ke Kuala Lumpur nanti malam.
“Kenapa ambil penerbangan malam? Kan penerbangan pagi-pagi besok juga keburu untuk meeting jam 9,” tanyaku mempertimbangkan. Kalau dipikir-pikir bila dia ambil penerbangan pagi akan menghemat biaya hotel satu malam. Tapi mungkin dia tidak memperdulikan itu karena yang menanggung semua akomodasi adalah kantornya.
Dia menjawabku dengan mengangkat kedua bahunya sebagai tanda tidak tahu. Lalu dia menunjukkan sebuah dasi di tangannya padaku. Aku tahu apa yang diinginkannya.
Aku berjalan mendekatinya dan meraih dasi tersebut. Lalu kupasangkan dasinya dengan telaten. Aku memakaikannya dasi bukan sekedar aksi romantis yang dapat kami lakukan berdua, tapi memang karena Kelvin tidak bisa memakai dasi sendiri. Aku pernah memintanya membeli dasi yang praktis tapi dia menolak. Alasannya? Dia ingin aku selalu memakaikan dia dasi sehingga bisa melihat wajahku dari dekat. Aku hanya tersipu saat dia mengatakannya dulu.
“Kalau misalnya aku yang kerja kantoran gimana? Kamu gak bisa pasangin aku dasi dong?” sindirku dan dia terkekeh kecil.
“Saya akan belikan awak dasi praktis yang banyak, Bel,” jawabnya disertai tawa jahil. Huh dasar! Aku memukul dadanya pelan. Aku selesai memakaikannya dasi. Kedua telapak tanganku masih mendarat di kedua belah dadanya, beberapa detik aku memandang wajahnya. Kami saling berpandangan layaknya pasangan yang baru jadian. Aku memang tidak pernah bosan dengan tatapannya yang tajam namun syahdu tersebut.
Setelah siap, kami berdua berangkat. Aku hanya mengenakan kaos polo pas badan dan celana jogger serta sepatu sport. Kontras sekali dengan Kelvin yang terlihat formal namun membuatnya memancarkan aura laki-laki yang kental. Tidak ada keperluan bagiku untuk berpakaian formal seperti itu, aku yang punya toko, aku bosnya, aku bisa melakukan apa saja. Itulah alasanku ingin membuka toko sendiri daripada harus menjadi karyawan di perusahaan orang. Terinspirasi dari mamaku yang punya beberapa butik baik di Indonesia maupun luar negeri.
Karena mobilku sedang ada di bengkel sejak seminggu yang lalu, aku dan dia selalu semobil berangkat ke tempat kerja kami masing-masing. Kelvin bahkan berharap mobilku rusak selamanya agar bisa semobil berdua terus setiap pagi. Aku hanya melotot padanya waktu itu dan dia langsung diam. Aku tahu akan ribet nantinya kalau hanya ada satu mobil. Kami punya kesibukan masing-masing.
Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku akan membawa mobil Kelvin ke mal dimana tokoku berada karena letak kantornya lebih dekat dengan apartemen sementara tokoku cukup jauh. Sebuah mobil SUV sedang berwarna hitam. Jujur aku lebih suka naik sedanku daripada naik mobil besar dan tinggi ini. Dan setiap pagi pula, aku yang membawanya agar praktis Kelvin tinggal turun saja di lobby kantornya. Tidak harus repot-repot tukar posisi.
“Bel, sehabis nonton film semalam tu, saya jadi punya pertanyaan kat awak,” katanya ketika mobil baru saja melewati gerbang parkir komplek apartemen.
“Apa?” tanyaku sembari mengingat kembali film apa yang kami tonton berdua semalam di kamarnya. Ah iya, First Time. Film yang bercerita tentang cowok dan cewek remaja Amerika yang sama-sama belum pernah melakukan hubungan seks. Aku tertawa sekali melihat wajah aktornya ketika mereka berdua selesai berhubungan untuk kali pertama dalam hidup mereka. Ada campuran rasa salah, bahagia, gelisah, bimbang, dan aneka rasa lainnya yang bergejolak di hati. Aku tahu betul apa yang mereka berdua rasakan.
“First time awak bagaimana?”
“With stranger,” jawabku cepat. Jujur. Memang itulah yang terjadi, aku baru mengenal orang itu beberapa hari dan kami langsung melakukan hubungan seks. Tanpa ada rasa, tanpa ada cinta, hanya ada nafsu dan rasa penasaran bagaimana rasanya bila melakukan hal itu. Nikmat tapi hambar di saat yang sama.
“Seriously?”
Aku mengangguk bangga sambil tersenyum jahil. Lucu melihat wajahnya ketika polos begitu. Saat dia tidak tahu apa-apa dan saat dia tahu sesuatu yang tidak dapat dia percaya.
“Kamu?”
“Tak perlu diceritakan lah. Nanti awak galau,” cetusnya. Apaan nih? Nyindir? Aku bukan tukang galau seperti dulu. Aku sudah berubah dan menjadi lebih dewasa sekarang. Aku melirik sebentar padanya yang sedang nyengir bodoh. Kemudian aku melengos kesal, kembali melihat lurus ke jalanan di depan. Kelvin tertawa melihat tingkahku.
“Kalau first kiss?” dia bertanya lagi ketika tawanya sudah berhenti. Kami sudah setengah perjalanan ke arah kantornya yang berada di Jalan Rasuna Said.
Dalam benakku tiba-tiba saja terlintas sebuah ingatan masa lalu. Ciuman pertamaku, ketika aku masih duduk di kelas 3 SMA. Tidak seperti hubungan seks pertama, ciuman pertama kulakukan dengan orang yang aku sukai. Seseorang yang kini telah hilang dari kehidupanku, dan semuanya terjadi begitu cepat. Ah, tidak perlu cerita Kelvin tentang hubungan pertamanya untuk membuat aku galau. Mengingatnya, tiba-tiba aku galau. Padahal aku sudah berhasil melupakannya beberapa tahun yang lalu. Tapi semua kenangan tentangnya tiba-tiba terbersit kembali ketika aku datang ke acara reuni SMA sabtu lalu. Seperti sebuah lilin yang telah lama padam, cahayanya kembali menyala berkat acara temu kangen dengan teman-teman SMA yang sudah banyak berubah penampilannya. Mereka berhasil mematik api yang telah lama padam.
“Bel?” tegur Kelvin, entah sudah berapa lama aku mendiamkannya dan tenggelam dalam lamunan. Ah, aku tidak seharusnya memikirkan tentang dia kembali. Masa lalu itu seharusnya sudah terkubur dalam, tapi kenapa kini aku ingin menggalinya kembali? Berkali-kali kuyakinkan diri bahwa tidak sepatutnya aku mengungkit tentang dia. Ada alasan kenapa dia pergi. Ada alasan kenapa aku melupakannya. Dan alasan itu adalah sesuatu yang menyakitkan.
Aku tidak mau lagi merasakan sakit. Kelvin sudah membuatku bahagia, tidak ada yang kurang. Semuanya sudah lengkap bagiku. Aku tidak ingin lagi menangis seperti remaja labil yang putus cinta. Aku tidak ingin lagi ada drama. Aku dan Kelvin adalah tokoh utama dalam cerita kami, tapi cerita kami bukanlah drama penuh derita seperti di film-film. Dan aku tidak ingin itu terjadi. Cukup awalnya saja cerita kami seperti sebuah drama, tidak seterusnya.
“Tak perlu diceritakan lah. Nanti awak galau,” kataku mengikuti gaya bicaranya tadi. Kelvin terbahak-bahak mendengar jawabanku barusan. Dengan gemas dia mengacak-acak rambutku sampai berantakan. Beruntung gaya rambutku memang gaya rambut berantakan, jadi tidak masalah. Yang jadi masalah adalah bila aku mengacak-acak rambutnya. Bisa gak dapet jatah satu minggu ganjarannya. Haha.
“Saya tak akan galau macam awak, Bel. Bila itu masa lalu, biarlah begitu. Kerana sekarang dan yang akan datang, saya tahu hanya ada awak dan saya. Tak ada galau, tak ada drama,” tuturnya dengan lembut. Aku tersenyum senang mendengar kalimatnya barusan. Itu benar, Kelvin selalu benar dengan kata-kata mutiaranya yang selalu memotivasiku.
“Tapi waktunya gak cukup kalau aku cerita sekarang,” aku menghentikan mobil di depan lobby gedung kantor Kelvin. Dia memandang keluar tidak percaya kalau kami sudah sampai. Aku nyengir menanggapi tatapan bingungnya.
“Awak melaju cepat tadi ya?” kritiknya. Dia begitu karena ini adalah mobilnya. Selain dia, tidak ada yang boleh ngebut-ngebut membawanya. Termasuk aku.
“Gak kok, emang kan kantor kamu deket,” aku mengelak.
Dia menghela nafas sebentar lalu mengambil tas kantornya yang diletakkan di kursi tengah. “Aku kerja dulu ya,” ujarnya sambil tersenyum. Tangan kanannya kembali mendarat di kepalaku dan rambutku dibuatnya makin berantakan.
“Koper kamu mana?” tanyaku begitu menyadari koper yang tadi aku siapkan untuknya tidak dia bawa.
“Nanti aku balik ke apartemen lagi, barulah jalan ke bandara.” Aku hanya mengangguk-angguk mendengar jawabannya. “Jangan galau selama saya pergi nanti ya,” katanya setengah menyindir.
“Kalau galau tinggal cari cowok lain lah,” kataku sambil pura-pura tertawa jahat. Kelvin langsung cemberut. Mobil di belakang sudah klakson sekali karena Kelvin lama sekali, tidak turun-turun. “Haha gurau je lah. No galau no drama,” tukasku.
Kelvin tersenyum sebentar kemudian langsung turun dari mobil. Sementara aku mulai melajukan kembali mobil ke jalanan ibukota. No galau no drama? Bisakah aku melakukannya saat ada sebuah cahaya api kecil yang menari-nari di hatiku. Sementara penyejukku akan pergi selama dua minggu. Aku berharap api ini tidak akan membesar. Aku berharap kejadian beberapa tahun lalu tidak terjadi lagi. Entah kemana aku harus melarikan diri sekarang kalau sampai kejadian lagi.
***
harus baca dulu cerita sebelumnya udah lupa soalnya.
mention ya.
Mention me klo update y
mention donk
bgus cerita nya