,
Halo semuanya, saya balik lagi nih
setelah absen lama nulis cerita bersambung, saya akhirnya posting lagi.
Kali ini, bisa dibilang bukan cerpen, dan cerita panjang juga bukan sebenenrnya. Lebih kayak nonton drama Broadway gitu, hehehe. Akan ada tiga babak dan setiap babak berkisar antara 6000an kata, bisa juga lebih. Jadi, secara jumlah kata, hampir setara kayak EGAR.
Cerita ini adalah salahs atu cerita yang udah pengen banget ditulis sejak lama, dan inspirasinya datang dari Before trilogi. Kalau udah ada yang pernah nonton, pasti tahu, kalau ketiga filmnya, fokus ke obrolan dua karakter utama, bahkan, bisa dibilang, seluruh cerita isinya cuma dua orang ngobrol. Cerita ini mirip dengan itu. Lagi, ini adalah salah satu trial and error, karena sebagai penulis, saya selalu ingin menulis dengan gaya cerita yang beda dan ini salah satunya. Mungkin, banyak yang akan protes dan nggak suka, tapi mungkin juga akan ada yang enjoy.
Kritik dan saran kembali ditunggu dan semoga menikmati!!!
Maaf kalau mention ini mengganggu
@dirpra @chaliszz @yuzz @darkrealm @arieat @YANS FILAN
@megane @tialawliet @zackattack @savanablue @AoiSora @freakymonster58 @revian97 @Nunu0219 @Different @DiFer @oxygen_full @pria_apa_adanya @yunjaedaughter @kukangjawa @Jhody @didit_wicaksono @fianpoulz @shuda2001 @luketan @iboobb7 @andy_b05 @sly_mawt @zulkorich @Daramdhan @raroma @loud_boy43 @budhayutzzz @heavenstar @marckent05 @jakasembung @tera9 @Shika @venussalacca @fenan_d @Lonely_guy @Zhar_12 @DM_0607 @tyo_ary @totalfreak @Adam08 @hwankyung69 @Adra_84 @Putra Abu-abu
@bponkh @masdabudd @Hangatkuku @Andhi90 @Emtidi @BB3117 @tama_putra @totalfreak @WinteRose @Mr0crocodile @alvian_reimond @adzhar @fenan_d @timmysuryo @yeltz @kimo_chie @Adra_84 @adam25 @tyo_ary @Kim leonard
@chandisch @christian9denny @Adamx @yeniariani @gege_panda17 @ABI_Manyu @DarrenHat @iansunda @tialawliet @masdabudd @BB3117 @zackattack @hwankyung69 @kyiskoiwai @WinteRose @Venussalacca @Zhar12 @Lonely_Guy @faghag @Emtidi @iboobb7 @3llo @masa_depan @BenNext @andreaboyz @peace123456789 @AryaPutra_25 @kanemuraben @andropogon @bocahilang @rulli arto
@justifie @kvnandrs6 @kiki_hn @rarasipau @arieat
,
Abi
Comments
They're dating!
Sejak mendengarnya semalam, hanya kalimat itu yang menguasai pikiranku. They're dating, they're dating, they're dating.
Aku berusaha menikmati pemandangan di luar kereta yang akan membawaku ke Florence. Gundukan salju menutupi sebagian besar pohon-pohon pinus yang telanjang tanpa dedaunan sama sekali. Sementara langit di atas, masih belum beranjak dari warna kelabu, yang sejak tadi pagi menggantung di atas Rimini. Masih empat jam lagi sebelum kereta berhenti di stasiun Maria Santa Novello, Florence. Pikiranku akan masih penuh dengan kenapa dan bagaimana.
Sembari meluruskan kaki, aku menghela napas, sementara kereta mengurangi kecepatannya untuk berhenti di stasiun Forli. Suara orang bercakap dalam bahasa Italia mulai terdengar dan aku memutuskan untuk mengambil buku yang ada di ransel. Buku, yang belum satu halaman pun terbaca olehku. The City and The Pillar karya klasik Gore Vidal adalah buku yang sudah cukup lama berada dalam daftar buku yang ingin aku baca. Namun, begitu mendapatkannya, buku itu malah terabaikan.
Ketika baru menyentuh halaman pertama yang berisi tentang pujian untuk The City and The Pillar, seorang pria dengan koper kecil berwarna biru, memberikan senyumnya, sebelum menempati tempat duduk di depanku. Tidak semua kursi terisi di gerbong aku berada, hingga keputusan pria itu untuk mengambil tempat duduk itu, agak mengherankan. Ketika mengedarkan pandangan, sebagian besar kursi-kursi itu terisi oleh orang-orang yang mengenal satu sama lain. Entah keluarga, teman, atau pasangan. Aku memang duduk sendiri dan pertanyaanku akan keputusannya untuk menempati seat di depanku, segera terlupakan ketika pria itu kembali memberikan senyumnya.
Dua senyuman dalam kurun waktu kurang dari tiga menit. Dan aku sama sekali tidak membalasnya.
Buku yang ada di tanganku, kembali menjadi fokus, sementara pandangan pria itu fokus pada tablet di pangkuannya. Dari syal biru muda bergaris hitam yang melilit leher hingga tubuhnya yang terbungkus kemeja lengan panjang hitam dan celana bahan yang serasi dengan mendung di luar, aku menebak bahwa pria ini adalah seorang pekerja eksekutif. Atau paling tidak, salah satu dari sekian juta orang yang bekerja untuk perusahaan besar dengan jabatan mentereng. Pria berpenampilan necis memang menjadi kelemahanku. Melihat mereka dengan kemeja, dasi, jas dan celana bahan selalu bisa membuat bayanganku menjadi liar. Membayangkan tanganku melepas dasi dan kancing kemeja satu per satu...
"Such a great read."
Lamunanku tentang melepas kancing kemeja satu per satu, langsung hilang ketika pria itu membuka mulutnya untuk mengomentari buku di tanganku. Ada aksen Italia dalam suaranya, tapi tidak terlalu kental. Bahkan, artikulasinya akan bahasa Inggris cukup bagus. Mengesankan! Aku kembali menggelengkan kepala untuk mengusir pikiran tidak penting itu dan menatap pria di hadapanku.
"Baru sampai halaman pertama, jadi, aku belum bisa setuju dengan apa yang kamu bilang."
Dia kembali tersenyum.
"Gore Vidal adalah salah satu penulis favoritku. Esai-esai dia sangat menarik. The City and The Pillar serta Julian adalah dua buku yang aku baca lebih dari sekali. Trust me, you're going to list that book as one of your favorites as well."
Aku mengedikkan bahu. "Maybe."
Kami terdiam sementara pria itu memasukkan tablet-nya ke tas yang ada di sebelahnya.
"I can't wait for April."
Kalimatnya itu mengejutkanku. Tidak menyangka bahwa aku akan mendengarnya mengatakan sesuatu lagi. Aku masih diam.
"April adalah awal dari musim yang akan memberikan cuaca luar biasa bagus. I am one among millions people who hates winter with all my heart."
"Bukankah banyak juga yang bisa dilakukan saat musim dingin? Ice skating, snow boarding, snow man, Christmas is always better with snow and hot wine. Aku tidak membenci musim dingin, tapi juga bukan musim favorit. Mengenakan pakaian berlapis sama sekali bukan sesuatu yang menyenangkan dan sangat repot."
"I don't celebrate Christmas so it doesn't really matter much for me whether it is snowing or not. I do love snow boarding, but I still can do that in April as well. I prefer wine in its original form, because hot wine ruins its character. So, there's nothing about winter that I like."
"So, why are you here if you hate winter that much?"
Februari di Bari masih cukup dingin, apalagi Rimini yang berbatasan langsung dengan laut. Meski salju sudah tidak turun sesering Desember dan Januari, temperatur masih berda di bawah 10 derajat.
"Good question," jawabnya sambil menyilangkan kaki. "Aku bukan orang kaya, yang bisa menghabiskan uang untuk pergi ke tempat yang lebih hangat setiap tiga bulan dalam setahun, even though I could if I wanted to, but there are priorities in my life. Aku juga tidak bisa pergi begitu saja karena tanggung jawab yang tidak bisa ditinggalkan dalam hitungan bulan. Lagipula, aku tidak suka menjadi turis. I even hate that word. I'm more a traveler than a tourist, even though many people think they are the same words. I'm tired of giving explanation."
"Aku rasa, ada begitu banyak hal di dunia ini yang tidak membutuhkan penjelasan apa pun. Jadi, masalah mereka memandangmu sebagai seorang turis atau traveler, harusnya tidak perlu jadi sesuatu yang mengganggu."
"Aku salah satu dari sedikit orang yang masih berpikiran untuk mengoreksi setiap perkataan orang. A bad habit."
"Are you a professor of English language? Or a writer?"
Dia tertawa mendengar pertanyaanku. Deretan rapi giginya serta suara tawanya, membuatku tertegun. Aku bukan jenis orang yang melebih-lebihkan segala hal, apalagi cuma sekedar tawa. Namun, aku tidak bisa menolak pendapatku sendiri, bahwa suara tawanya benar-benar membuatku ingin menyimpannya. Just like...
"Damn!" desisku sambil menyandarkan punggung dan mengalihkan pandangan ke hamparan tanah berwarna cokelat yang masih dihiasi sedikit salju di sana-sini.
Aku menelan ludah sebelum kembali menatap pria di hadapanku yang dariekspresi wajahnya, terkejut mendengar kalimat kutukan yang keluar dariku. Dia hanya diam dan memandangku.
"Aku harap, kalimat itu bukan kamu tujukan untukku."
Aku menggeleng. "I'm sorry. It's just that..." Aku bahkan tidak mampu melanjutkan kalimatku. "Suara tawamu mengingatkanku akan seseorang."
"I will try not to laugh, then."
"Jangan konyol. It's just me," jawabku untuk membuatnya merasa lebih baik, bahwa bukan suara tawanya yang harus disalahkan.
"Okay then."
Begitu aku bisa menyingkirkan sebentar pikiranku akan Carlos, aku kembali memandang pria yang belum aku ketahui namanya.
"Menjawab pertanyaanmu sebelumnya, aku bukan profesor dan bukan juga penulis. Aku tidak akan mengatakan alasan kenapa tidak mungkin pergi lama kalau aku seorang penulis. And I'm bad at teaching. Thank God, I knew it in my teenage years, so I had no embarrassing or failure story about teaching. Aku hanya staf di sebuah organisasi yang bergerak di bidang kesetaraan hak asasi manusia. And that's including gay marriage."
Dia menyukai Gore Vidal serta The City and The Pillar adalah salah satu buku favoritnya, jadi kemungkinan besar dia seorang homoseksual adalah jelas. Yang mengejutkanku adalah fakta mengenai pekerjaannya. Dugaanku mengenai pria ini salah besar.
"That's...really impressive."
"Jika melihat hanya dari bidang yang kami kerjakan, memang terlihat sangat luar biasa. Namun, ini jelas bukan pekerjaan yang mudah. Birokrasi, kepercayaan dan adat-istiadat selalu jadi kendala terbesar. Just like Italy, ruled by church. Apa yang kami perjuangkan masih sangat panjang."
"Aku melihat Italia hampir mirip dengan Indonesia."
"Are you from Indonesia?" Ada nada terkejut dalam suaranya ketika menanyakan itu.
Aku mengangguk. "Italia dan Indonesia sama-sama diatur oleh agama. Di Indonesia, budaya dan masyarakat yang suka ikut campur urusan orang lain jadi tambahan yang membuat homoseksualitas semakin sulit diterima."
"We could have interesting conversations about this topic."
Aku tersenyum. "Why not?"
"Apa tujuan kamu ke Florence?"
"Kenapa kamu bisa bilang kalau aku akan ke Florence?"
"Rasanya, kamu tidak mungkin pergi ke Bologna karena kota itu penuh dengan mahasiswa. Prato? Ada apa di sana? Jadi, tebakanku sangat beralasan."
Aku biasanya langsung berusaha untuk mengakhiri pembicaraan dengan orang yang terlalu banyak bicara, apalagi terkesan sok tahu. Namun, kenapa kali ini berbeda, aku sungguh tidak tahu alasan sebenarnya. Apakah karena dia berpakaian necis yang menjadi titik lemahku akan seorang pria atau karena pekerjaannya? Aku berusaha untuk tidak membiarkan pertanyaan itu menggangguku lebih lama dan berusaha menikmati apa yang terjadi saat ini.
"Yes, I'm heading to Florence. What about you?"
"I live in Florence."
Jawabannya jelas membuatku terkejut. Pikiranku segera membuat daftar segala kemungkinan yang bisa terjadi jika kami sama-sama akan turun di Florence. Bad habit. Pria itu kemudian memajukan tubuhnya hingga jarak kami bisa diukur dengan jari-jari tangan kananku.
"So, who are you?" tanyanya sambil tersenyum.
Aku tidak sudi menyebutkan nama terlebih dahulu karena dia juga belum melakukannya. Jadi, aku menyusun kalimat yang akan memberikannya sedikit gambaran tentang pertanyaannya itu.
"Aku dari Indonesia, sekarang sedang menjadi relawan di salah satu NGO di Bari."
"A volunteer! Who woulad have thought?"
Keningku berkerut. Tidak menyangka reaksinya akan seperti itu. Memang dikiranya aku apa?
"Lalu, apa yang ada di pikiran kamu? Mahasiswa?"
Dia mengangguk. "Kamu masih sangat muda, jadi tebakanku pasti tidak jauh dari mahasiswa. You can't be more than 22."
Menjadi satu-satunya perwakilan Asia di NGO tempatku menjadi relawan, ucapan pria itu tidak membuatku kaget. I wish I could go back to be 22! Mereka akan berkata "Really??" ketika aku mengatakan bahwa usiaku sudah menginjak angka 27. Jadi, anggapan orang bahwa aku masih mahasiswa sama sekali bukan hal baru.
"Asian gene."
"Boleh tahu apa nama NGO kamu? Aku juga bekerja sama dengan banyak NGO. Aku yakin, pasti kenal dengan orang-orang dari NGO kamu."
Sekali lagi, aku biasanya akan langsung cari alasan jitu untuk menghindar dari orang macam ini, tapi yang terjadi justru sebaliknya.
"ASM Bari."
"Ah! Apa kabar Gianluca dan Maria? Mereka pasti punya banyak sekali proyek. Gianluca pasti masih suka minum Espresso lima kali sehari."
So, it wasn't just a bluff. Mengenal dua nama penting dalam organisasiku jelas bukan sesuatu yang kebetulan. Pria ini bukan sekedar tahu, jika dia bisa menyebutkan kebiasaan Luca yang memang harus minum espresso lima kali sehari.
"Aku rasa, akan butuh keajaiban dunia kalau Luca bisa berhenti dari kebiasaan itu," balasku sambil tersenyum.
"Aku terakhir ketemu mereka setengah tahun yang lalu ketika kami ada konferensi di Brussels. It will be nice to see them again."
"Kamu pasti punya banyak kenalan dari organisasi di seluruh dunia."
"Kalau seluruh dunia rasanya terlalu berlebihan, tapi organisasi kami memang punya relasi dari lima benua. Bahkan, aku akan bertolak ke Vemezuela minggu depan untuk menengok proyek yang kami kerjakan bersama."
"You travel a lot."
Dia mengangguk. "As much as I love this job, it's pretty tiring sometimes, but I have a goal that always keeps me motivated."
"Terkadang, ingat tujuan kita memang penyemangat paling kuat."
Dia mengangguk. "Aku ingin membantu negara-negara di Asia, Eropa dan Amerika Latin agar homoseksualitas bisa diterima sebagai sesuatu yang wajar, kalau bisa, hingga pernikahan sesama jenis dilegalkan."
"Apa kamu yang bertanggung jawab untuk hal itu?"
"Maksud kamu?"
"Kamu bilang, organisasi kamu bergerak di bidang kesetaraan hak asasi manusia, yang pastinya bukan hanya berfokus pada kaum homoseksual saja. Kesetaraan gaji buruh wanita, hingga kesempatan untuk wanita agar tidak dipandang sebelah untuk mendapatkan pekerjaan atau hak gadis-gadis yang dipaksa menikah di beberapa negara Asia Tengah, bukankah itu juga penting?"
Pria di depanku ini menatapku lama sebelum kembali menyandarkan tubuhnya.
"Tentu saja kami juga terlibat dengan hal-hal yang kamu sebutkan di atas. Organisasi kami terdiri dari beberapa staf yang memiliki tanggung jawab masing-masing. Aku memang yang bertanggung jawab untuk segala hal yang berhubungan dengan isu homoseksual."
"Just because you're gay?"
"I don't like that," sahutnya.
"Karena?"
"I thought you would never said that," jawabnya sambil mengalihkan pandangannya ke luar sebelum kembali menatapku. "Sepertinya, segala hal yang berbau homoseksual harus dilakukan oleh orang yang mempunyai preferensi sama. Isn't that the same thing as labeling? Tanggung jawab ini diberikan kepadaku karena aku punya kemampuan untuk membantu mereka yang masih belum sepenuhnya diterima. The fact that I'm gay is not as important as the goal, even though, in many cases, it helps a lot."
"Alasan kamu sama sekali dangkal, kalau aku boleh bilang."
"Tell me why."
"Well, kalau kamu bilang fakta bahwa kamu gay sama sekali tidak sepenting tujuan yang ingin kamu capai, itu sama saja kamu tidak ingin dianggap sebagai seorang gay. Seperti ingin menutupi fakta itu. Kamu pasti pernah berpikir kenapa kamu tidak ditugaskan untuk mengurusi masalah child trafficking misalnya kalau memang homoseksualitas bukan hal yang penting. Alasan kenapa kamu ditugaskan untuk menangani segala sesuatu yang berhubungan dengan homoseksualitas adalah kamu salah satu dari mereka dan kamu bisa memahami permasalahan mereka dengan lebih baik. You could've said something like this instead of that shallow reason you gave me."
"Wow, I'm impressed at how someone that I barely know, could say something like that."
"It's my opinion and you shouldn't be offended by that."
Kami terdiam. Dia meraih tablet-nya dan menyibukkan diri, sementara aku yang masih menunggu reaksinya, kemudian kembali membuka buku yang belum tersentuh olehku.
Sebagai orang yang sering bepergian, apalagi pekerjaannya menuntut untuk memahami persoalan manusia dengan berbagai latar belakang, aku terkejut mendapati reaksinya. Tinggal di Italia selama 7 bulan, serta serumah dengan 6 orang dari belahan penjuru Eropa, membuat cara pandangku tentang banyak hal berubah. I wasn't the guy I used to be. Aku bahkan takut dengan apa yang akan terjadi kalau nanti kembali ke Indonesia. Bisakah aku menjadi diriku yang sekarang tanpa punya ketakutan untuk menjadi omongan bnayak orang?
"You're right. That was a shallow reason."
Aku mengangkat wajah dari The City and The Pillar untuk memandangnya.
Dia tersenyum tipis.
"You're welcome."
"Apa ini pertama kalinya kamu ke Florence?"
Aku mengangguk. "Semua orang yang aku temui, bilang, aku harus ke Florence."
"Aku rasa, mereka tidak berlebihan."
"Aku juga akan mengatakan hal yang sama kalau lahir dan besar di Florence."
Dia tertawa. Mungkin menangkap maksud kalimatku yang penuh dengan sarkasme.
"Believe me, Florence is beautiful. You're going to like it and list it as one of your favorite cities."
Jika di awal aku sempat mengutuki kenapa pria angkuh ini duduk di hadapanku, sekarang, aku tidak menganggap serius kalimat yang baru diucapkannya. Aku harus berterima kasih karena perjalanan panjangku dari Rimini, tidak diisi dengan kebosanan. Jadi, aku membalas kalimatnya dengan senyuman.
"We'll see."
"How's your Italian?"
"Eh?"
Salah satu pertanyaan paling aku benci sejak dua bulan yang lalu. Bukannya aku membenci bahasa Italia, hanya saja, aku masih perlu waktu untuk bisa bicara dalam salah satu bahasa Romanic itu. Aku mengerti jika orang bicara dalam bahasa Italia, tapi untuk membalas kalimat mereka dengan bahasa Italia, aku masih belum punya kepercayaan diri.
"Dari skala 1 sampai 10, aku bisa bilang bahasa Italia-ku ada di skala 5,5."
"Italian is easy."
"For you," sahutku cepat.
Aku masih belum sepenuhnya memahami kenapa banyak orang bilang, kalau bahasa Italia itu mudah. Sama sekali tidak! Mungkin tidak sesulit bahasa Prancis, yang lafal dengan penulisannya berbeda, tapi terlalu banyak aturan dalam bahasa Italia. Belum lagi, kata kerja tak beraturan yang jumlahnya entah berapa ratus itu.
"Salah satu faktor untuk cepat menguasai sebuah bahasa adalah dengan memiliki kekasih dari negara di mana bahasa itu digunakan."
"Aku percaya itu. Hanya saja, masih banyak faktor lain selain memaksakan diri untuk mempunyai pasangan hanya karena ingin menguasai sebuah bahasa."
"It happened to me."
Aku terdiam. Menunggu kalimat lanjutan darinya.
"Dua tahun yang lalu, aku sering pergi ke Braga di Portugal untuk urusan pekerjaan. Kadang, aku harus di sana selama dua minggu dalam satu bulan. It lasted for more than 6 months. Aku bertemu seseorang dan selama kunjunganku ke sana, aku belajar bahasa Portugis dengannya. Bisa dibilang, aku bisa berkomunikasi dengan lancar sekarang, meskipun kami sudah berpisah. I thanked him for my Portuguese."
"Bahasa Portugis dan Italia tidak beda jauh kan? Sama-sama berakar dari bahasa Latin."
"Kalau kamu menguasai salah satu dan harus belajar yang lain, kamu akan tahu betapa berbedanya dua bahasa itu."
"Rasanya, tidak akan berpengaruh kalau aku bertemu dengan pria Italia. Afer what happened, I have no intention of giving my heart to a guy. Not now."
Baru tadi malam aku mendapati kenyataan, bahwa aku dan Carlos tidak akan pernah punya kisah. Bayangan akan mendapatkan kekecewaan yang sama cukup untuk membuatku tidak terburu nafsu. Tidak akan ada cinta dalam waktu dekat. Akan butuh pria yang luar biasa untuk melepaskan Carlos dari hatiku.
Dia mencondongkan tubuhnya. "Apa yang baru saja terjadi? Did someone break your heart?"
Aku menghela napas. Membagi kisahku dengan pria asing, yang bahkan tidak aku ketahui namanya, bukanlah hal yang bijak. Apalagi, aku masih begitu dikuasai oleh rasa kecewa dan marah atas apa yang terjadi. Aku tidak ingin pria ini jadi pelampiasan.
"Long story. I don't want to bore you with it."
"Kita masih punya sekitar 2 jam 57 menit sebelum sampai di Florence. I talked too much already. Your turn."
"Well, this guy that I fell with, he's dating someone else. And I just found out last night. Aku khawatir kamu akan jadi pelampiasan kalau aku cerita sekarang."
"The wound is still fresh, then."
Aku mengangguk. "Jadi, ada alasan kuat kenapa aku tidak ingin jatuh cinta dalam waktu dekat, meski aku tahu itu alasan yang sangat dangkal. Namun, akan butuh waktu untuk lepas dari Carlos."
"Is he Latin?"
Aku kembali mengangguk. "Costa Rican."
Dia terseyum tipis. "Aku selalu menghindari orang Latin, meski aku juga tidak punya kuasa atas itu."
"Karena?"
Dia mendesah pelan. "Three of my previous relationships were with Latin men. Argentinian, Spaniard and Brazilian. Kalau kamu meganggap Portugis adalah orang Latin, berarti empat. Entahlah, mungkin karena kami punya kepribadian yang hampir sama, hingga ketika terjadi perselisihan, kami sama-sama teguh pada pendirian masing-masing. Aku tidak pernah menyalahkan mereka, karena aku juga menjadi faktor berakhirnya hubunganku dengan pria-pria itu."
"Kamu pasti tahu kalau mereka hanya satu dari sekian juta pria yang punya sifat seperti itu. There are million others."
"I know. Hanya saja, ketika kamu berulang kali gagal menjalin hubungan, dan dalam kasusku semuanya orang Latin, ada bagian dari diri kamu yang antipati dengan alasan itu. Aku tidak pernah memiliki tipe, karena bagiku, itu diskriminasi terhadap perasaan."
"I thought Latin man is romantic."
Dia tertawa kecil. "Romantisme hanya bagian kecil dari sebuah hubungan. Penting memang, tapi bukan yang paling utama. Aku rasa, pria Latin tidak semuanya seperti itu. Bagaimana dengan Carlos?"
Aku mengedikkan bahu. "Dia bilang, dia bukan tipe seperti itu. Maybe you should ask Luis."
"Luis?"
"The Portuguese guy he's dating at the moment."
"Oh."
Kami terdiam. Menyebut nama Carlos dan Luis masih membuat dadaku sesak. Apalagi membayangkan mereka berdua. Sayangnya, aku harus menguatkan hati ketika kembali ke Bari nanti.
"Maybe you need this."
Pikiranku begitu sibuk dengan bayangan Carlos dan Luis hingga tidak sadar, pria di depanku mengulurkan tablet-nya. Aku mengerutkan kening, tetapi dia hanya mengangguk.
Ketika lenganku terulur untuk menerimanya, layar tablet yang menunjukkan halaman di Youtube, langsung memenuhi pandanganku. Jariku memencet tombol PLAY dan sebuah adegan saling mengejar langsung terpampang.
Tidak butuh waktu lama sebelum aku menyadari bahwa pria di video adalah Charlie Chaplin. Adegan kejar mengejar itu berlangsung sekitar 7 menit dan aku bisa mendengar suara tawa yang keluar dari mulutku. Begitu video itu selesai, aku menyerahkannya kembali. Dia tersenyum.
"Adegan itu diambil dari The Circus, film Charlie Chaplin yang diliris pada tahun 1928. Dari sekian banyak filmnya, aku selalu menonton ulang adegan itu setiap kali ingin melupakan ruwetnya suasan hati dan pikiran. Dan aku tidak pernah merasa bosan."
"Mungkin aku harus menonton filmnya secara utuh."
"Asalkan kamu kuat untuk menonton flm bisu selama 71 menit."
"I can always try, can't I?"
"Banyak orang akan mengantuk ketika film baru berjalan sepuluh menit."
"Are you a movie freak?"
Dia tersenyum. "Some people think so."
"Mungkin aku perlu belajar dari kamu."
"Hahahaha. Aku khawatir kamu akan sangat bosan."
"Atau mungkin sebaliknya."
"Apa film favorit kamu?"
Aku menggeleng. "Aku jarang menonton film, tapi sampai sekarang, Midnight In Paris adalah satu-satunya film yang berhasil membuatku pergi ke bioskop 3 kali selama film itu diputar."
"Film yang unik."
"Aku tidak begitu menyukai Owen Wilson. Alasanku pergi sampai tiga kali adalah untuk melihat Marion Cotillard dalam pakaian tahun 20an."
"She's pretty isn't she?"
"Aku juga tidak keberatan bertemu dengan mereka."
"Do you have favorite book?"
"Banyak."
"Bagaimana kalau satu atau dua?"
"Aku baca The Hours milik Michael Cunningham tiga kali setelah baca Mrs. Dalloway. Apakah itu termasuk kategori favorit?"
"Kamu suka versi film dari The Hours?"
"Aku menontonnya lima kali."
"That's impressive."
"You?"
"Selain semua karya Gore Vidal, aku membaca The Charioteer milik Mary Renault empat kali. Menurutku, itu salah satu gay literature paling penting, selain Giovanni's Room milik James Baldwin."
"Aku harus membaca dua buku itu."
"Aku bisa memberimu rekomendasi gay literature yang harus dibaca. Bukan hanya karena temanya, tapi juga kondisi sosial serta bagaiman buku itu ditulis. Aku lebih suka membaca buku yang memiliki sejarah, meski bukan masuk dalam daftar buku terbaik. Lagipula, segala sesuatu itu sangat subyetif, hingga embel-embel yang menyertai buku itu tidak pernah menjadi pertimbangan utama..."
This man has a charm. Jika omongannya di awal pertemuan kami terdengar seperti menyombongkan diri atau rasa percaya diri yang berlebihan, sekarang aku menganggapnya sebagai bagian dari pesonanya.
"...bahkan, aku berpendapat kalau buku-buku dengan label best seller itu adalah sebuah kebohongan publik. Biasanya, buku-buku dengan label itu diberikan kepada penulis besar dengan cerita yang sedang-sedang saja. Tentu saja tidak semuanya. Setiap kali aku membeli buku, aku selalu melihat ceritanya, tidak peduli apakah itu ditulis oleh penulis debutan. Bagaimana menurut kamu?"
"Aku juga jarang menjadikan label best seller sebagai patokan membeli buku."
"Aku tidak me..." Pria itu merogoh saku celananya dan kemudian mengambil ponsel dan memandang layarnya, Dia tersenyum sembari menatapku. "I have to take this call, sorry."
Aku hanya mengangguk.
Dia kemudian bicara dalam bahasa Italia. Aku sama sekali tidak berniat untuk menguping pembicaraannya, lagipula, aku juga tidak memahami apa yang dia katakan. Hanya saja, senyumnya mengembang ketika menerima panggilan itu. Paling tidak, berita baik.
Senyumnya masih mengembang, bahkan ketika selesai dengan pembicaraannya di telepon.
"Kita menang lagi," ucapnya dengan kegembiraan yang jelas tidak bisa disembunyikannya.
Aku, yang masih belum mengerti kenapa dia bersikap seperti itu, hanya mengerutkan kening.
"Explanation, please."
"Irlandia baru saja melegalkan pernikahan sesama jenis! Aku rasa, Italia juga suatu saat akan melakukan hal yang sama. Aku cukup lega ketika Roma melegalkan Civil Union. Semakin banyak negara yang melegalkan gay marriage dan aku sangat lega. Another battle has won."
Aku tersenyum. "That's a very good thing to hear."
Dia memperlihatkan euforia yang tidak sepenuhnya aku mengerti. Masih banyak negara, terutama di Asia dan Afrika yang bahkan belum menerima keberadaan kaum sepertiku. Perjuangan masih sangat jauh dari kemenangan.
"Meskipun masih banyak negara di Asia dan Afrika yang bahkan, belum bisa menerima keberadaan kaum homoseksual."
Dia mengangguk. "Masih panjang jalan untuk mencapai itu, tapi paling tidak, Irlandia akan menjadi pancingan untuk negara-negara lain yang bahkan belum mengakui Civil Union. World changed and we can't let people keep discriminating gay people. Akan butuh waktu yang sangat lama, tapi suatu hari nanti, pernikahan sesama jenis akan menjadi normal layaknya pernikahan kaum straight."
"Indonesia mungkin akan jadi negara terakhir yang akan melegalkan itu."
"Don't be so pessimistic."
"Ada perbedaan besar antara pesimis dan realistis. Aku hanya mencoba menjadi realistis."
"I know, tapi bukan berarti bahwa tidak ada kemungkinan untuk itu. Selama ini, yang jadi halangan kenapa pernikahan sesama jenis tidak bisa dilegalkan begitu saja adalah karena agama. Irlandia adalah negara yang cukup religious, apalagi Spanyol. Buktinya, mereka berhasil melegalkan pernikahan sesama jenis. Aku rasa, di negara-negara Muslim juga tidak akan berbeda. It takes times but it will happen eventually. Semoga, ketika itu terjadi, aku masih hidup."
"Terkadang, aku benci menjadi warga negara Indonesia."
Dia menggeleng. "Why? Indonesia is a beautiful country, you shouldn't be ashamed being part of such an amazing country."
"I'm not talking about its nature or culture. If you were straight, then yes. Indonesia can be really beautiful because everyone accepts you. But people like me suffer. Mereka harus menikah dengan wanita dan menolak homoseksualitas mereka karena tuntutan keluarga dan masyarakat. Ada begitu banyak pria homoseksual yang tinggal di kota kecil, bahkan tidak berani mengakui bahwa mereka lebih menyukai lelaki. Indonesia is hypocrite when it comes to things like this. Lambang negara kami mengatakan bahwa berbeda-beda namun tetap satu jua. What does that supposed to mean when you dismissed homosexual people?"
Amarah dan kekecewaan memang selalu menguasaiku setiap kali aku terlibat pembahasan mengenai homoseksualitas. Indonesia memang cukup beruntung bahwa menjadi gay tidak akan membuat kami dijebloskan ke penjara. Hanya saja, begitu banyak kemunafikan yang ada di Indonesia, selaras dengan 252 juta jiwa yang menghuni negara kepulauan terbesar di dunia itu.
"Ada banyak persoalan menyangkut homoseksualitas di dunia ini. Kamu beruntung, karena beberapa negera di Afrika bahkan akan memasukkan kamu ke penjara hanya karena kamu seorang homoseksual. Paling tidak, di Indonesia, menjadi seorang gay bukanlah tindak kriminal. "
Aku terdiam. Kalimatnya memang benar. Sekeras apa pun mencoba untuk memahami apa yang dialami kaumku di belahan benua lain, aku masih gagal untuk tidak bersikap egois. Memikirkan semua homosekual di Indonesia daripada mereka yang harus masuk bui hanya karena mereka mencintai sesama jenis.
"Kamu lupa tentang Aceh," balasku sambil menyebutkan satu propinsi di Indonesia yang memberlakukan hukum Islam.
Dia tersenyum. "Paling tidak, mereka masih bisa pergi ke daerah lain. Bali misalnya. Aku dengar, masyarakat di sana jauh lebih terbuka."
"Terlalu banyak pengaruh asing di Bali, hingga mereka tidak begitu peduli mengenai orientasi seksual yang ada."
Dia memandangku dengan konentrasi penuh.
"Apakah kamu pernah berpikir untuk menjadi semacam aktivis?"
Dari semua kemungkinan pertanyaan yang akan diajukannya, aku tidak menyangka akan mendapatkan pertanyaan itu.
Aku menghela napas. "Aku belum pernah berpikir ke sana."
Kereta muai melambatkan lajunya sebelum berhenti dengan penuh. Aku menengok ke luar jendela dan BOLOGNA CENTRALE tertangkap olehku.
Sekitar dua jam lagi sebelum kami sampai di Florence.
Kami masih saling bertatapan ketika seorang pria dan wanita -yang kutaksir usia mereka ada di pertengahan 50an dan merupakan suami istri- berhenti di deretan tempat duduk kami. Semua terjadi begitu cepat, hingga ketika benar-benar menyadari apa yang terjadi, pria yang maih belum aku tahu namanya, sudah duduk di sebelahku. Sementara tempat duduknya tadi, sudah diisi oleh pasangan tengah baya. Mereka langsung sibuk dengan sebuah obrolan dalam bahasa Italia, hingga aku memutuskan untuk memalaingkan wajahku ke pria yang duduk di sebelahku.
Selama beberapa detik, kami saling bertatapan. Matanya yang biru cerah itu membuatku susah untuk berpaling. Aku sadar apa yang sedang bermain di dalam kepalaku. Dan aku sama sekali tidak berniat untuk menebak apa yang ada di pikirannya saat ini. Matanya terlalu indah untuk dikacaukan dengan menebak apa isi kepalanya.
Ketika kereta perlahan mulai meninggalkan Bologna Centrale, dia menelan ludah sebelum sebuah senyum terpasang di wajahnya.
"Were you thinking about the same thing?"
"I beg your pardon?"Aku sengaja mengucapkan kalimat itu agar dia kembali mengucapkan apa yang baru saja aku dengar.
"Aku tidak perlu mengulanginya. Aku yakin, kamu mendengarnya dengan jelas."
"Aku hanya memandang mata kamu. They're beautiful,"ucapku tanpa takut dengan apa yang akan menjadi balasannya..
"Kamu bukan orang pertama yang mengucapkan itu. I got that compliment since I was a baby."
"Lucky you."
"I'm thinking a possibility about us."
Aku mengerutkan kening menengar kalimatnya. Memikirkan tentang kami? Apa maksudnya?
"Sorry. I don't get flattered easily."
Dia menggeleng. "Aku tidak bermaksud seperti itu. Kita berdua sama-sama gay, tujuan akhir kita adalah Florence dan dari obrolan kita, aku merasa kita cocok. There must be attraction between us, a small one that could be bigger if both of us willing to make it bigger."
Aku sama sekali tidak memahami apa yang baru saja aku dengar. Aku belum tuli, hingga rasanya, apa yang dia ucapkan bukanlah sesuatu yang salah tertangkap oleh telingaku.
"Aku rasa, tidak ada kebenaran dalam kalimat kamu selain bahwa kita sama-sama menyukai lelaki dan tujuan akhir kita. Hanya karena aku memuji mata kamu, bukan berarti aku memberikan tanda bahwa aku tertarik denganmu. Kamu sangat salah menilaiku."
Dia tertawa kecil, tapi cukup untuk membuat pasangan yang duduk di depan kami, mengangkat kepala untuk memandang kami. Aku juga tidak tahu, apa yang lucu dari obrolan kami.
"Akan ada saat di mana kamu akan mengoreksi kalimat itu."
Aku menggeleng, tidak percaya betapa tingginya percaya diri -atau ego?- pria ini.
"Kalau kamu suka menunggu sia-sia, silakan."
Dia terdiam, sebelum kembali membuka mulutnya. "Ah, I see. You're that hard-to-please kind of person."
Aku mengabaikan kalimatnya.
"I thought you're the same like every guy."
Kali ini, aku memalingkan wajah untuk menatapnya.
"Kalimat kamu punya konotasi yang negatif. Kamu pasti tahu."
Dia membalasnya dengan senyuman. "Apa arti negatif itu?"
Aku menghela napas sembari menggelengkan kepala. Ingin rasanya mengabaikan pria ini, tapi gatal rasanya untuk tidak membalas kalimatnya.
"Kamu bisa menjelaskan sendiri arti kata itu. You're smart enough."
"Aku dapat lima E dan 3 D ketika kuliah. Itu menjelaskan kenapa aku tidak sepintar yang kamu kira."
Tanganku meraih The City and The Pillar dari dalam buku dan mulai membuka halamannya. Akan lebih mudah untuk mengalihkan pikiranku dengan membaca.
Sudut mataku menangkap dia sedang berpangku tangan sambil menyilangkan kaki. Namun, aku melanjutkan niatku untuk membaca.
Entah berapa lama kami terdiam, hingga kemudian, aku mendengar suaranya lagi.
"Banyak pria yang memuji mataku hanya untuk mengajakku ke tempat tidur mereka. It's their pick-up line. My stepfather even did the same."
Kalimat terakhirnya, berhasil membuatku menoleh untuk menatapnya. Tepat ketika dia juga melakukan hal yang sama.
"My eyes, both are blessing and disaster."
Aku sengaja tidak membalas kalimatnya, karena tahu, masih ada yang ingin disampaikannya.
"Jorge, Andres, Ello serta Miguel adalah sebuah pengecualian. Paling tidak, mereka tidak berniat untuk mengajakku ke tempat tidur dalam pertemuan pertama. Dan aku mencintai mereka. Setelah putus dari Miguel, aku sama sekali tidak berniat untuk memulai sebuah hubungan lagi. One night stand, for me is more than enough and it's easier. Aku bahkan tidak ingat nama mereka. Ironis bukan? Bahwa pekerjaan dan kisah cintaku sangat kontras."
"Kamu jelas bukan satu-satunya."
Dia mengangguk. "Orang cenderung akan berpikir tentang diri mereka sendiri jika menyangkut tentang cinta."
"Mungkin, ada bagusnya kamu tidak sedang menjalin hubungan karena pekerjaan menuntut kamu untuk sering bepergian."
"Kadang, aku berpikir seperti itu."
"Apakah kamu percaya dengan konsep belahan jiwa?"
Dia menghela napas. "Antara percaya dan tidak."
"Aku belum pernah mendengar siapa pun bilang antara percaya dan tidak."
Dia tertawa kecil. "Aku percaya karena setiap orang membutuhkan pasangan dan bukankah belahan jiwa itu juga sama dengan memiliki pasangan? Namun, aku tidak percaya karena belahan jiwa harusnya orang kita cintai dengan sepenuh hati, tanpa ada pikiran untuk jatuh cinta dengan orang lain. Bagiku, itu hal yang sangat mustahil. "Life is full of temptations. The most faithful person, at some point in their lives, must succumb to temptations. What about you?"
"Bagiku, belahan jiwa itu tidakerarti pasangan. Bahkan, teman terbaik kita juga bia jadi belahan jiwa. Aku tidak habis pikir kenapa orang mengganggap bahwa belahan jiwa itu adalah pasangan kita."
"Jadi, kamu juga tidak percaya dengan konsep happily ever after?"
Aku menggeleng. "It only happens in movie, novel and fairytale."
"Apakah kamu selalu bersikap seperti ini jika menyangkut urusan hati? Apa ini karena Carlos dan Luis?"
"This is me. It has nothing to do with anyone, let alone Carlos and Luis."
Dia mengangguk pelan.
"Aku harus ke toilet. Permisi."
Aku hanya diam sementara, untuk pertama kalinya, dia beranjak dari tempat duduknya.
Selama ini, aku selalu percaya bahwa kejadian yang aku alami sekarang, hanya terjadi dalam sebuah film atau novel. Cerita fiksi. Dua orang yang tidak saling mengenal, sangat mustahil untuk bisa jadi teman bicara yang membahas tentang banyak hal, apalagi dalam sebuah perjalanan. Aku bahkan tidak berpikir mengenai bagaimana nanti kalau kami sampai di Florence. Akan lebih baik kalau kami tidak saling mengenal setelah kereta ini berhenti di stasiun Santa Maria Novella.
Ketika sosoknya kembali tertangkap mataku, dia memberikan senyum sebelum duduk di sebelahku.
"Kamu tidak ingin ke toilet?"
Aku menggeleng. "Aku tidak pernah bisa ke toilet kalau sedang di kereta."
"Kenapa?"
Aku mengedikkan bahu. "Terasa aneh."
"Jadi, kamu menahannya?"
"Aku tidak punya pilihan lain kan?"
"Well, you do," dia mengucapkannya sambil kembali memperlihatkan senyumya.
"Do you go to the office everyday?"
Pertanyaan tiba-tiba yang sama sekali tidak berhubungan dengan bahasan kami sebelumnya, membuatnya melebarkan mata.
"Tidak setiap hari, hanya ketika ada rapat atau masalah yang membutuhkan kehadiranku."
"Lalu, apa yang kamu lakukan kalau tidak ke kantor"
"Memantau proyek-proyek yang aku tangani, membaca berita-berita terbaru mengenai apa yanng dialami kaum homosekual di belahan negara lain. Jadi, sama dengan kerja dari rumah. The rest, coffee, snacking and napping."
"Apakah pria-pria yang pernah bersama kamu pernah tertarik karena kamuu begitu cerdas?"
Dia tertawa kecil. "Aku sudah bilang, bahwa aku sama sekali tidak cerdas. Aku hanya suka membaca dan aku tahu banyak hal dari itu. Biasanya, mereka bosan setiap kali aku membahas mengenai isu-isu homoseksual."
"I think they're stupid."
"I guess, you're right."
Untuk pertama kalinya, kami berdua tertawa, dan kembali, tatapan kami berhenti sekian detik, sebelum aku mengalihkan pandangan ke luar jendela. Tahu bahwa waktu kami semakin pendek.
"Kamu...kamu sudah tahu mau menginap di mana di Florence?"
Aku kembali menatapnya dan menggeleng. "Aku rasa, akan banyak hostel di sana."
Dia seperti menimbang sesuatu, sebelum mengatakanya. "Aku ada kamar tamu di rumah. Kalau mau, aku tidak akan keberatan kamu menggunakannya."
Tawarannya adalah sesuatu yang tidak aku duga sama sekali. Kami saling bertatapan, di kepalaku berputar banyak pertanyaan kenapa dia melakukannya.
"It's...so nice of you to offer me to stay in your house but I'm afraid I can't"
"Kenapa? Karena kita belum saling mengenal atau tahu nama satu sama lain?"
Aku mengangguk.
Dia menghela napas. "Bagaimana kalau aku bilang bahwa Carabinieri letaknya tidak jauh dari rumah? Jadi, kalau kamu takut aku seorang pembunuh berantai, kamu langsung bisa lari. Atau, aku bisa memberikan kamu ini," katanya sambil mengambil sesuatu dari saku celananya. Ketika aku tahu, bahwa dia mengambil dompet, sebelum mengeluarkan sesuatu dan memyodorkannya kepadaku. "Ini kartu nama, serta alamat kantor. Kamu bisa menghubungi nomor itu untuk meyakinkan bahwa aku warga negara yang baik dan tanpa catatan kriminal," jelasnya sambil tersenyum.
Ada godaan untuk melirik kartu nama itu, tapi aku menahannya. Aku kemudian menggeleng.
"Kenapa kamu ingin sekali aku menginap di tempatmu?"
"Because I still want to talk to you. It's been a long time since I had this kind of conversation with someone. If you think, it's a lame excuse, then I really don't know what else to tell you, because that's the only reason."
Aku menggeser tempat dudukku, berusaha untuk menghentikan berbagai pikirana yang sekarang melintas di kepala. Ini sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ada keraguan dan juga keinginan untuk menerima tawarannya. Sahabat-sahabat dektku di Indonesia pasti mengganggapku gila jika memutuskan untuk menerima tawarannya, tapi, mereka juga pasti bisa mengatakan bahwa aku melepaskan sebuah kesempatan jika menolaknya. Terlebih lagi, setelah mengetahui bahwa aku tidak pernah akan punya cerita dengan Carlos.
Pria yang duduk di sebelahku ini, pasti menunggu jawaban dan apa yang harus aku katakan kepadanya?
"If you decided to say yes, I promise you, I will be a good host," dia kembali berusaha meyakinanku agar mengatakan iya.
Aku menarik napas dalam sebelum mengembusaknnya, tahu jawaban apa yang akan aku berikan.
"Unfortunately, I feel that I..."
Suara nyaring kereta yang memelankan mesinnya, sebelum berhenti dengan semourna di stasiun kereta Prato, menelan jawabanku hingga kemudian, kerumunan orang mulai memasuki kereta.
Aku berniat mengulangi kalimatku, tapi dia menggelengkan kepala.
"Aku mengerti alasan kamu," ucapnya.
to be continued....
percakapan nya juga menarik. dan untuk bagian yang terakhir itu cukup bikin penasaran, apa yang akan terjadi selanjutnya. hehe
yaa, secara keseluruhan bagus. SELALU, cerita @abiyasha memang menarik. tp ada beberapa kata yg kurang huruf di dlm cerita td.(maaf gak bisa nunjukin yg mana, soalnya ol-nya pake hp)
jika berkenan boeh saya masuk list mention. untuk update-an selanjutnya
maaf komennya kepanjangan.
Kapan nih lanjutannya?
kok baper
baca cerita2 kk di wattpad rasanya beda sama jaman kk aktiv disini beberapa tahun lalu
kangeeenn ,dulu rame bgt tiap kk abiyasha post cerita