BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

TEBING TERJAL

Salam kenal ...
Mohon izinkan cerita ini hadir ya Bro diantara banyak cerita baru yang tidak pernah paripurna. Semoga cerita ini dapat mengalir sampai jauh. Ketika pembaca sudah mulai bosan maka itulah waktunya untuk menghentikan cerita ini.
Mari kita lihat sejauh mana pembaca mau menyimak cerita ini ...
«13456787

Comments

  • Mana?..Mana?..Mana?
  • ditunggu ceritanya ....
  • mana ceritanya?
  • edited December 2014
    Para pembaca budiman,
    Kita akan tengok sejenak suasana desa Sekarmulia yang terletak di tepi anak sungai Batang Hari daerah Muaro Tebo Provinsi Jambi. Desa ini dipagar oleh alang-alang, pohon singkong, dan pohon kedondong yang tidak pernah berbuah. Kami menyebutnya pohon kedondong jantan.
    Jika mata kita arahkan ke bawah dari barisan pohon kedondong ini, terlihat tebing terjal. Tebing inilah yang melindungi desa Sekarmulia dari aliran air sungai. Meski ini anak sungai, tapi ukurannya sangatlah lebar. Sungai Batang Hari sebagai induknya merupakan salah satu sungai terbesar dan terpanjang di pulau Sumatra.
    Untuk mencapai sungai, penduduk harus menuruni tangga yang terbuat dari kayu. Tangga itu kokoh memagut tebing terjal. Ketika sampai dibawah, kita akan disambut oleh riak sungai yang mengalun oleh hembusan angin.
    Musim kemarau kita bisa dapati tepi sungai, tetapi musim penghujan saat air banyak tercurah, maka separoh dari tangga yang memagut tebing itu akan ditutupi oleh permukaan air sungai. Di tepi sungai terdapat perahu yang terikat kokoh di bagian bawah tebing.
    Perahu itu memiliki motor tempel dan dikendalikan oleh seorang anak laki-laki berumur 13 tahun dan bapaknya yang berumur 41 tahun. Anak laki-laki ini bernama Rusli Mansur yang artinya si Rusli anak pak Mansur. Pekerjaan pak Mansur adalah menyeberangkan penduduk dari suatu tebing ke tebing yang lainnya. Terutama teman-teman Rusli yang sedang menempuh pendidikan SMP kelas VIII di seberang tebing sana. Usai pelajaran di sekolah, Rusli biasanya membantu sang bapak mengoperasionalkan perahu itu.



    Point of View dari Rusli

    Om, kakak, abang, mbak dan tante semua, perkenalkan namaku Rusli umur 13 tahun. Kata orang, itu masanya puber.
    Tubuhku tidak istimewa seperti kebanyakan anak desa dengan kulit kecoklatan karena banyak berjemur dibawah mentari. Aku tidak menarik di mata anak perempuan di sekolahku.
    Desa kami berbatasan dengan hutan belantara sedangkan di tebing seberang itu, mereka yang tinggal disana dengan mudah bisa pergi ke Muaro Tebo atau Muaro Bungo dengan berbagai kemajuan.
    Sekolah SMP dan SMA pun adanya di tebing seberang.


    Hari ini meskipun hari Minggu, ada penyambutan dokter yang baru bertugas.
    Kami para siswa diharuskan hadir sebagai bentuk penghormatan.
    Semua siswa sibuk tidak karuan.
    Terutama Nanda anak terhormat di kelasku. Yaaa ituu, dokter itu adalah kakak tertua dari Nanda. Kakak yang cantik itu sudah mendapat izin sebagai dokter dan ditempatkan tidak jauh dari sekolah dan rumah Nanda.
    Nanda anak terpandang. Papa Nanda pengusaha besar kebon karet dan kelapa sawit.
    banyak orang Malaysia dan Singapura yang lalu lalang di rumah Nanda untuk berbisnis dengan papanya.
    Kakak tengah dari Nanda adalah Bang Jasri. Sekarang bang Jasri sedang SMA di kota Jambi.

    Nanda selalu juara kelas dan menjadi kebanggan wali kelas kami. Aku yakin itu karena kemampuan Nanda memang lebih berkat tambahan belajar (bimbel = bahasa kami "les") yang diperolehnya di kota Muaro Tebo.
    Sedangkan aku, jangankan tambahan belajar, buku saja aku minjam sama Wulan.
    Iya, kenapa aku ga minjam sama Nanda, karena Nanda pilih-pilih teman.
    Teman Nanda adalah anak-anak dari tebing yang sama dan berasal dari keluarga yang berada juga.

    Nama kakak perempuan Nanda adalah Kharunisa. Dia terlihat tambah cantik. Waktu kecil dulu bapakku sering mengajakku ke pengolahan kelapa sawit mereka dan kak Nisa ini sering ikut sama papanya. Tapi prinsipnya aku ga akrab dengan mereka hanya sedikit kenal dengan Bang Jasri.
    Selesai penyambutan anak-anak bergerombolan ke rumah Nanda. Nanda ingin menunjukkan hasil latihan Dance mereka dengan anak-anak berada di sekolah kami.
    Di rumah itu aku melihat bang Jasri yang sedang di rumah kalau Sabtu dan Minggu dan sekarang dia main gitar dengan kawan-kawannya yang sering aku lihat dulu mereka duduk di pinggir jalan kota Muaro Tebo - Muaro Tembesi.
    Aku ga mengerti, Dance itu apa ? yang aku tahu ya tari payung dan tari persembahan.
    Aku takjub dengan hasil latihan mereka dengan pergerakkan yang lincah hampir tak tertangkap mata dan hal hasil mataku berkunang-kunang puyeng.
    Kami bertepuk tangan.

    "Aku harap ada yang nyanyi juga tidak hanya kami yang tampil. Bisa solo bisa juga vocal grup" kata Nanda berapi-api. Mama nya dan kakak nya yang dokter itu senyum lebar. Papa Nanda lama mengamati diriku.

    "siapo yang akan nyanyi ? Iyo siapo ?" tanya anak-anak kelasku

    "Rusli !!! dari SD sudah biaso nyanyi tu" kata Wulan teman SD ku

    "walah SD Tebing seberang !!!!!!" sorak anggota Dance itu

    "misal ado anak tebing seberang Kenapo ???? suaro itu anugrah tuhan" tiba-tiba bang Jasri bersuara

    "sudah kami idak bagus ! paling kami tahu lagu iwan fals" kataku seadanya dan jujur karena bapak hanya ada kaset iwan fals heheh

    "aduh sekarangkan zamannya boyband" kata sang dokter cantik

    Aku dan Wulan terdiam

    Aku melihat tatapan mata papa Nanda sesaat dan kemudian dia berlalu dari hadapan kami. Beberapa teman bang Jasri ikut mobil papa Nanda.

    "Yo sudah lah Rus ! kami tidak butuh suaro kau" sorak teman-temanku dan berniat segera meninggalkan rumah itu. Mengapalah teman-temanku seperti ini ? siapa yang ingin tampil ? tidak pernah sedikitpun aku ingin tampil. Pakai baju apa ? pakai sepatu apa ? sungguh tidak mudah untuk tampil dan bermimpi tentang itupun aku tidak.

    Siang itu di Hari Sabtu yang cerah, wali kelas kami mengajak kami kembali melihat hasil latihan Dance Nanda dan grup.
    Masih juga melihat itu dan aku bersiap-siap untuk tidak pusing.
    Di akhir pergerakkan mereka itu, kami kembali memberi tepuk tangan yang meriah.


    "Iyo seperti keinginan sekolah, ado vocal akan lebih bagus pementasan sekolah kita" saran wali kelas

    "Jangan saja Rusli lagu wong dusun, lari penonton" senandung Nanda

    "hahahahhhhh......" seringai teman-temannya

    Aku dan Wulan tertunduk, ini sudah kuperkirakan, sebenarnya aku ga pengen datang kesini kalau ga wali kelas ini yang menyuruh. Hmm wali kelas yang berjiwa seni karena mengajar kesenian daerah, tetapi kok memuja tari seperti ini.

    Papa Nanda kembali lama memandangku dan tidak tahu harus berbuat apa untuk melawan sorakan bernada cemooh dari anak-anak kelasku.

    "kau biso diam dak ? tidak ada Rusli ingin tampil ! kau tulah yang meraso hebat" ini yang ke dua kali Bang Jasril membungkam mulut adiknya.

    Mata Nanda dan kakaknya yang dokter itu sangat awas memandang bang Jasril.


    Malam harinya sukses membuatku terpuruk di kasur tidak mendampingi bapak membaca Al Qur'an. Suara bapak terdengar begitu merdu berpadu dengan irama air sungai dari kejauhan. Aku bahagia punya teman secerdas dan seaktif Nanda. Dia hebat, dan aku bertepuk tangan kok memuji kehebatannya. Mengapa dia selalu merendahkan orang yang rendah ?
    Tidak direndahkanpun, aku tetaplah tidak berarti di mata teman-teman.

    Dulu aku begitu semangat bersekolah di tebing seberang ini salah satu motivasinya adalah berjalan di depan rumah Nanda ketika menuju sekolah hehehe dan bertemu dengan Nanda di dalam sekolah.
    Tetapi yang sering aku temui di depan rumah adalah bang Jasril dan papa Nanda. Nanda melihatku dari jauh saja dia langsung masuk rumah.
    Ya tidak apa juga, belum waktunya kali ! suatu hari nanti Nanda mau berteman denganku dan aku ingin lihat dia tersenyum. Selama ini dia kehilangan senyum untukku yang ada hanya judes.

    "sudaaahhh, bapak sudah dengar dari Wulan ! besok jangan kesana lagi ya nak" saran bapak

    "iya pak ! tadi wali kelas yang nyuruh" jawabku

    "Sudah makan kau Rus ? makanlah dulu yo ? besok si Nanda tu akan baik" hibur bapak

    "Nanda baik kok pak. Tidak mau berteman denganku itu hak dia kan pak ?" aku berusaha tersenyum


    Sebagai pennaggung jawab penuh terhadap sanitasi sekolah, kak Nisa atau Dokter Nisa selalu ketat mengawas setiap senin. Ini program percontohan bagi dia
    Jam sholat zuhur aku dengan langkah takut menghampiri meja kak Nisa yang memanggilku

    "Jangan ketakutan begitu kau !" hardiknya

    "Iyo kak" balasku

    "dok ! dok ! ngerti kau dak ?" kata dia

    "oh iya Dok" kesalahanku

    "Tolong lah orang dusun kau melihat programku" pinta kak Nisa dengan nada tinggi. Ini orang minta tolong atau memaksa

    "aku belum biasa berdialog dengan mereka dok" aku merendah

    "bilang saja program dokter Nisa perlu dilihat di tebing seberang, dijamin harga layanannya murah untuk kesehatan" kata dokter sombong itu. Siapa pula yang mau berobat sama dia ini.

    "oh iya dok, semampuku bicara dengan tetangga-tetangga" kesanggupanku


    Sorenya setelah menolong bapak menarik perahu penyeberangan, kami kembali kerumah untuk mandi dan istirahat.
    Setelah aku mengutarakan semua keinginan kak Nisa, bapak dan mamak tersenyum. Kata mereka papa Nanda sewaktu aku sekolah tadi dia datang ke rumah untuk meyampaikan persis yang dikatakan kak Nisa itu. Hmmm bapak ga cerita selama di perahu tadi.


    Aku ingat tatapan mata papa Nanda yang berlama-lama memandangku. Dari dulu aku ada pertanyaan, apa Bapak dan papa Nanda dulu temanan atau seperti aku dan Nanda ...

    "hmmm Bapak itu teman atau hanya kenal saja dengan papa Nanda ?" tanyaku secara hati-hati

    "Heeeiii Bapak kau tuh dak hanya temanan tapi sahabatan" potong mamak

    aku tertegun ....

    sahabatan ?, kok anaknya bermulut sadis dan suka merendahkan orang.

    Bada' magrib kami mengunjungi rumah-rumah tetangga. Cara mamak dan bapak sudah dipahami oleh tetangga dan ternyata mereka juga mengenal bapak adalah sahabat papa Nanda dulu waktu sekolah. Sekarang mereka sudah sama-sama sibuk dengan nasib masing-masing.
    Satu bernasip baik, satu bernasib kurang.


    Ke esokan paginya, rombongan pertama dari tetangga aku dampingi menuju tempat kerja kak Nisa. Rombongan ke dua akan dijemput balik oleh bapak. Lalu babapklah yang mendampingi rombongan ke dua. Syukurnya cuaca cerah tidak ada angin kencang dan arus sungai juga asik. Sebagai bentuk tanggung jawab dari bapak, ongkos penyeberangan pp gratis. Semua cuma-cuma berupa layanan dari bapak.
    Setelah perahu bapak menjauh kami lanjutkan perjalanan.


    Jam istirahat pertama, aku bergegas menuju tempat kerja kak Nisa. Tentunya para tetangga sudah berkeinginan pulang dan aku antar lagi ke perahu bapak.


    Takut sekali aku berhadapan dan bicara dengan dokter yang hebat ini. Ketika melihat wajahku yang tidak menarik ini dia langsung berkata judes. Yah dikota besar kak Nisa ini terbiasa bergaul dengan anak berbaju bagus dan berpenampilan bagus nan licah.


    "mau apa kau kesini lagi ? mau minta balas jasa ? sudah syukur perahu bapak kau kebanjiran ongkos, harusnya kau berterimo kasih" hardik si dokter judes


    "heh mulut kau ! dia tu mau njemput kami kembali ke parahu. Semua ongkos gratis dari bapaknyo ! kalau tidak bapaknyo yang meyakini kami, mana mau kami melihat dokter kehebatan seperti kau" balasan hinaan dari makcik Karim


    Mulut si dokter tercekal ......


    Aku berlalu saja dengan rombongan ibu-ibu menunuju tebing bawah dimana bapak menunggu dengan perahunya.
    Aku turut bapak dan rombongan pulang dan tidak masuk kelas. Kali ini perasaanku ga karuan untuk anak seumurku melihat ketidak adilan hidup.


    Keesokan harinya aku didampingi oleh bapak dan makcik Karim menuju sekolah sekedar menghadapi serangan dari wali kelas.
    Betul sekali, di ruangan guru kami disambut oleh tolak-pinggang sang ibu wali kelas


    "hebat sekali kau cabut dari jam pelajaran" teriak si ibu


    guru agama dan guru lain terkesima menyimak apa yang terjadi


    "kakak anak kesayang ibulah yang pantas dimarahi. Dia meyuruh anak SMP untuk mengajak penduduk dusun tebing seberang melihat program yang ditawarkan ! dokter macam itu" balas makcik Karim dengan berwibawa


    "Dokter itu nyuruh kau ?" interogasi dari guru agama


    "iya" jawabku


    "tidak hanya itu, dokter itu malah menuduh Rusli minta imbalan dari pertolongan penyeberangan gratis yang diberikan oleh Rusli dan bapaknyo" informasi dari makcik


    "baiklah, untuk kebaikan bersama, tugas dokter itu mengawasi sanitasi dari siapo ? ada ya dokter mau mudah seperti itu?" guru sejarah mendamaikan


    "ado lah pak, buktinya dia ditugaskan negara di depan halaman rumah orang tuanya dengan cara seperti apa ? dokter lain dibuang ke dusun terpencil" serobot guru matematika


    "huuuuuu ..." gemuruh cemoohan suara guru-gurupada wali kelas itu. Dalam keadaan hujan gerimis bapak dan makcik Karim kembali ke tebing bawah. Syukurnya di hulu tidak gelap, pertanda tidak hujan dan air sungai tidaklah deras. Aku masuk dalam kelas ketika hujan semakin deras. Kami memulai pelajaran matematika dalam gemuruh hujan dari atap seng sekolah kami. Percikan airnya membasahi buku catatanku. Beberapa tetes airnya mampu membuat kembang tinta pena pilot yang kugunakan, tembus ...


    Jam itirahat pertama terdengar pengumuman dari suara wali kelas
    "Rusli dan Wulan tolong ke lantai koridor sekolah. Lantai itu kotor oleh sepatu murid dari air hujan"... gema dari pengeras suara

    "haha...hhh tuuuhhh tukang sapu, bersihin lantai sekolah" teriak Nanda

    Aku dan Wulan berlari menuju suara pengumuman itu

    Bapak yang mengajar matematika itu melemparkan kotak kapur ke arah Nanda dan frends, kemudian bapak itu tak kalah cepat menyusul langkah kami.


    bersambung ...
  • Menarik ceritanya.

    Jadi ikut kesel ama tu Dokter Muda 1186337168717.gif
  • danke el @3ll0

    yupp ceritanya menarik. satu lagi cerita berlatarkan tanah sumatra
    mention yee!!
    gw gak suka sama dokter nisa itu. kok bgtu sih?
    nanda itu ce apa co?
    dari awal udah ada pertanyaan jasril itu menaruh perhatian sama rusli atau dia tau kelakuan kakak dan adiknya gak bener? yg tau cuma kau tees
  • makasih didi tayang @3ll0 ;)
    ehmmm ... pernah adain survey lapangan d daerah Jambi juga, tapi ga notice sama yg d sebutin d atas...
    Klo ngomong tradisi masyarakat yg masih semi-feodal itu real adanya bahkan d wariskan sampai anak cucunya ... d sekolah mereka berkelompok, si kaya dg si kaya, si miskin dg si miskin ... miris memang, ya tp itulah manusia selalu melihat apa yg d dpn mata tanpa bs merasakan kedalaman hati .m. nice share TS ... lanjut yak :D
  • bagusss" aq tunggu kenanjutannya ya...
    di mention juga boleh
  • Lumayaaan, kalo update mention yaaaaak.
  • 3ll0 wrote: »
    Menarik ceritanya.

    Jadi ikut kesel ama tu Dokter Muda 1186337168717.gif

    mksh @3ll0 ,,,, iye gw juga gemes ama si nisa nih ,,, ayo lanjut tees
  • cerita yang bagus dan beda ... ada apa dengan bapaknya Nanda ...?
  • Cerita yg menarik
  • edited December 2014
    Sampai di depan ruang guru, aku dan Wulan segera membuka sepatu dan kaos kaki. Kami secepat kilat mengambil kain pel dan ember-ember. Tak jauh dari sana kami melihat cairan untuk mengepel lantai. Selanjutnya tanpa melihat lebih jauh dalam ruangan guru kami melaksanakan tugas. Hingga langkah kami mulai meyusuri koridor yang lantainya begitu kotor oleh tanah yang terbawa pada tapak sepatu siswa.
    Terdengar adu mulut di dalam ruangan guru.
    Menurutku, ini bukanlah pekerjaan sulit, namun gengsi dan kedudukan sosial yang mengatakan pekerjaan ini adalah berat karena menyangkut martabat.

    Kami segera menuju kembali ke ruang guru itu dan terdengarlah apa yang mereka persoalkan


    "masih dendam sama anak kecil ? ibu mencari masalah dengan anak didik !" komen pak guru matematik

    "sebagai pendidik seharusnya kitalah yang menyelesaikan masalah anak didik" saran pak guru agama

    "saya heran sama bapak berdua ! apa saya layak menyuruh Nanda, Dina, dan Ririn ? yang pantas disuruh itu anak laki-laki" kekesalan ibu wali kelas

    "tidak bapak berdua itu saja kalee!!!! lah Wulan itu kan anak perempuan juga ! sepertinya ibu sudah keluar dari batas. Jangan heran ya bu sekolah ini akan jadi gunjingan masyarakat gara-gara ibu" giliran ibu guru yang mengajar sejarah berbicara

    "terserah lah yang penting sekarang lantai koridor sudah bersih jadi kalau ada pantauan dari dokter Nisa kita aman dengan sanitasi baik" ibu wali kelas berlalu menuju kantin dengan menyuruh kami mundur tidak menghalangi jalan beliau.

    "Hati bu yang disanitasi, bukan lantai" gertak pak guru matematik

    "ya terima kasih nak ! ini ada jatah lontong gulai nangka dari ibu berdua, makanlah nak" tawaran dari Ibu guru sejarah

    Kami menolaknya. Malu sekali rasanya harus makan di ruang guru. Lagi pula itu adalah jatah sarapan pagi guru bukan untuk kami.
    Selanjutnya kami ke posisi sepatu yang kami buka tadi dan ternyata satu sepatuku dan satu sepatu Wulan telah lenyap.
    Ternyata anak-anak disini memang tidak menginginkan kami menuntut ilmu disini. Aku dan Wulan termenung.
    Dunia anak-anak memang seperti ini, agak jahil dan happy. Namun tidak begitu bagi yang dikerjain.
    Dengan tidak membuang waktu kami kembali lagi ke ruang guru.


    "Pak sepatu kami hilang" kataku

    "Ini betul-betul sudah keterlaluan ! sudah ada yang membersihkan lantai, sepatu mereka dikerjai juga" dan kali ini pak guru matematik dan bu guru sejarah sudah kehilangan kesabaran

    Kedua kalinya bapak itu berlari, sekarang dia didampingi oleh bu guru sejarah mengarah ke kantin. Suasana cicikan manja dan santai di kantin itu terhenti oleh tarikan tangan secara paksa oleh kedua guru itu.

    "ada apa ini pak ? saya merasa tidak suka dengan perbuatan bapak pagi ini" hardik ibu guru wali kelas

    "tidak usah banyak bicara ! kita rapatkan di ruang guru" ibu guru sejarah juga terpancing untuk menghardik


    Kami bingung, kok begini jadinya ?
    Untuk menguatkan tuntutan pak guru matematika dan bu guru sejarah kami ikut menuju ruang guru


    "saya mau lihat selanjutnya kalau hujan giliran Nanda, Ririn, dan Dina yang mengepel lantai, lalu sepatunya juga hilang" kalimat menusuk dari beberapa guru yang mulai terusik

    "yang penting sekarang ibu segera mencari mana sepatu anak kita ini ! lihat itu kaki mereka sudah pucat terkena air" perintah pak guru matematika


    Ternyata kejadian ini menjadi serius dan yang berlaku jahil jadi ketakutan. Kalau sudah begini mereka akan jauh dari mengaku dan pura-pura tidak tahu.
    Hingga istirahat ke dua, sepatu kami tidak juga kunjung datang dan siapa yang jahil seperti tenggelam dalam bumi.


    "idak apolah Rus ! mudah-mudahan ado jalan untuk kita beli sepatu pengganti" hibur Wulan

    "iya Wulan" persetujuanku

    "aku lapar nih Rus. Kalau kau mau aku bawa paruik ayam" tawaran dari Wulan. Paruik ayam itu adalah tidak berhubungan dengan daging ayam itu berupa parutan ubi kayu yang digoreng lalu dilapisi oleh gula pasir yang meleleh dalam penggorengan. Kadang dibeberapa desa lain adonan ubi kayu itu ditambah pisang jadi bentuknya mirip perut ayam.

    Di bangku halaman sekolah kami duduk berdua dengan tidak bersemangat sambil memakan paruik ayam. Teman-teman ya seperti teman-teman pada masa SMP sungguh ceria. Tidak tahu mereka sekarang bahwa kami menggunakan sendal jepit milik pak guru matematik dan bu guru sejarah.

    "untung ada sendal ini Wulan" aku berkata pada Wulan

    "iya Rus, lumayanlah biar telapak kaki kita ga sakit pulang menuju sungai" persetujuan Wulan

    "kalau hujan putus ini sendal" aku kembali berpendapat

    "kita hindari tanah liat Rus, injak rumput ! " saran dari Wulan oh temanku mana pulalah ada rumput sepanjang jalan itu ya ilalang kalaupun rumput itu adalah rumput teki jatuh kita kalau menginjak rumput teki.


    Dalam perjalanan pulang pada perahu bapak, ada 4 orang ibu-ibu sehabis berjualan di pasar Muaro Tebo. Bapak malah senyum melihat kelakuan anak SMP. Namun dalam hati bapak siapa yang tahu. Air semakin coklat saja akibat dihulu sungai hujan sudah teratur turun. Hujan ini mengikis tanah dan itulah yang menyebabkan air warna coklat. Daun-daun dan ranting juga bagaikan jala di permukaan sungai. Namun semua keindahan ini tidak bisa menghibur hati kami.


    "yailaahh malang nian nasibmu nak ! dah disuruh ngepel lantai, sepatu hilang pula" komen ga bermutu dari bapak maksudnya untuk menghibur

    "idak apa bapak, tapi besok aku pakai sepatu apa ya pak ?" tanyaku miris

    Bapak dan Wulan terdiam


    Sesampai di tangga kayu itu, kami menaiki tebing antri satu-satu sebagai barisan.
    Dari kejauhan ku lihat mata bapak melepasku untuk sampai di atas tebing, setelah itu bapak melanjutkan tugasnya menyeberangkan masyarakat. Sedikit banyak aku belajar dari bapak mendalami hidup. Kalau bukan rezeki, apapun bisa hilang. Tidak harus ada kata sedih.
    Senyum ikhlas mampu membuat bapak bertahan hidup ...


    Sesampainya di halaman rumah, aku melihat mamak sedang menggendong anak tetangga ditemani oleh da orang ibu muda. Rumah kami adalah rumah panggung. Ada kandang di bawah yang terbuka sehingga kalau musim air, rumah kami tidak banjir.
    Senangnya musim banyak air, kami bisa langsung timba air sumur dari pintu jendela dapur sehingga tidak perlu turun.


    "oi oi anak hanya satu belikanlah sepatu baru !" saran ibu muda itu yang kasihan melihatku mencuci sepatu bekas yang disimpan mamak dalam kardus.

    "anak satu ga harus dimanja-manja kan ?" jawab mamak


    Pagi harinya aku kembali untuk belajar di sekolah. Dengan sepatu yang masih basah kakiku terasa dingin. Apa lagi ada angin berhembus dalam perjalanan di atas sungai ini.

    "Pak dingin kaki ku" kataku pada bapak yang konsentrasi dengan laju perahunya

    "Jangan difikir, ntar kau lupa sendiri" saran bapak


    Entahlah, namun pagi hari Sabtu ini kembali mendung mendera. Ntar kalau hujan aku lagi yang disuruh mengepel sekolah.
    Kalau ini terjadi lagi, aku dengan ikhlas tidak akan kembali lagi ke sekolah itu.
    Mungkin sudah takdirku untuk putus sekolah. Tentunya Nanda, guru wali kelas dan kumunitasnya senyum senang melihat kepergianku.


    Jam 11 siang hujan semakin deras mengguyur. Hari ini juga inspeksi dari dokter Nisa yang diprogramkannya hari Senin yang lalu.
    Benar saja langsung ada pengeras suara
    "......................." berupa panggilan terhadap diriku dan Wulan untuk mengepel lantai lagi. Terima kasih Ya Allah, aku terima dengan lapang dada.


    Bu guru sejarah langsung tersentak di depan kami sambi berucap


    "sekolah ini macam milik nenek dan sedulurnya !" rutuk ibu guru sejarah yang tenyata ke luar lebih dahulu dari kami


    Kali ini teman-teman ga ada yang bersuara ! Tapi bukan berarti mereka peduli padaku dan Wulan. Mereka hanya asik dengan kegiatan masing-masing.

    Aku memandang pada sepatu Wulan yang usang tak kalah usang dari sepatuku

    "kalau ini hilang lagi, berarti kita ga bisa jalan ke sekolah ini lagi ya Wulan" kalimatku

    "iya Rus. Aku dak apa kok" serah diri Wulan


    Lima menit kami mengepel terlihat 5 orang guru juga ikut membantu kami termasuk pak guru matematik dan bu guru sejarah. Kami semua membuka sepatu biar lantai jadi kinclong dengan sanitasi baik program dokter cantik Nisa.


    Setelah selesai ...


    "Terima kasih ya pak ibu" kata kami

    "sama-sama nak, sekarang kita makan bareng di ruang guru ya" ajak ibu guru sejarah

    "tapi sepatu kami ?" Wulan mundur

    "tenang, tadi sepatu kalan sudah aman di dekat meja Ibu" kata beliau


    Dalam ruang guru kami makan bersama indah sekali akhir masa ketidak adilan ini.
    Syukur ya Tuhan kami tidak melihat wajah wali kelas dan dokter cantik itu. Satu lagi pertanyaan mendalam dari diriku, kepala sekolahnya mana ? apa dan bagaimana sikap bawahannya apa terpantau ?
    Satu semester kami hanya sekali ketemu degan beliau yaitu pada hari pertemuan siswa dan wali dengan sekolah untuk pembagian evaluasi belajar. Semoga semua baik saja apapun kesibukan mereka.


    Usai pelajaran sekolah, seperti biasa di hari Sabtu unjuk kreativitas siswa joged-joged di rumah Nanda difasilitasi oleh wali kelas dan dokter cantik.
    Aku dan Wulan sudah mual dengan sikap mereka dan tidak ada terbersit dalam hati untuk melihat tingkah mereka.


    "heehhhh kemana kalian ????? main selonong saja !" hardik sang dokter

    "aku mau bantu bapak di penyeberangan" alasanku

    "aku mau bantu bapak nyadap karet" alasan Wulan

    "anak perempuan nyadap karet ?" herannya dokter Nisa

    "ada kok. Kakak ku perempuan juga nyadap karet" balas Wulan


    Aku ga berani komen takut sekali aku lihat wajah penuh hardikan dari dokter ini


    "eh anak perempuan saja yang ikut joged, anak laki ngapoi pulo ikut-ikut" pancing Wulan heheh ada-ada saja


    "huuu apo urusan kau ! " teriak beberapa teman laki-laki kumpulan orang berada


    Mereka berbelok ke dalam pekarangan rumah Nanda ... Mobil papa Nanda terparkir di halaman. Hatiku masih senyum meihat bunga kemuning di halaman itu. Kalau pagi hari aroma bunga ini wangi sekali. Kali ini aku kehilangan tatapan mata sejuk dari bang Jasri. Mungkin dia sibuk di kota Jambi sana.
    Kami melangkah lurus menuruni jalan hingga mencapai sisi tebing dan tentunya bapak sudah menunggu disana.


    "cluuuuuuuuuuuuubbbb baaaaaaaa" sebuah suara mengejutkan. Orang itu berbalik badan setelah berbincang-bincang dengan bapak

    "ohhhhhh abang ! tadi aku lewat rumah abang" kataku takjub orang itu ternyata bang Jasri.

    Wulan ketawa cengengesan dag dag dug dig kali hati Wulan melihat cowok SMA yang benar itu dag dig dig

    "iya tadi aku lihat, aku ambil jalan pintas dari halaman turun kesini !" kata bang Jasri

    aku heran, kok bapak ga pernah cerita

    "jangan heran ! jangan pulo kau lakui ! rutenyo bahayo" saran bapak menyambut keheranan pada wajahku

    "naaaahhh siang nih kito temani bapak menyeberang yo dek" ajak bang Jasri

    "siiip tarik mang" persetujuan dariku


    Dalam perjalanan perahu itu dah serasa di Titanic aja menurut Wulan hahah


    "Jasri, ajaklah nak Wulan tuh ngobrol" saran bapak

    "wkwkwkwk" sorakku

    wulan memukul pundakku

    "ai bapak nih, malu aku pak" wajah bang Jasri memerah


    Ketika Wulan sudah sampai pada sisi tebing dan ada dua orang warga yang hendak ke tebing seberang, kami kembali memutar perahu.
    Dari kejauhan terlihat barisan orang menaiki tangga di sisi tebing itu.
    Indah sekali .....
    Inilah rasanya ketika mata bapak menatapku dari jauh ketika menuju atas tebing.
    Dunia terasa damai ....
    Namun jika kita malakoninya kawan, itu adalah sulit, dan energi yang keluar tidak sesuai dengan keadilan hidup yang kita terima.
    Mataku rasanya kosong
    Ada dekapan tangan bang Jasri pada pundakku. Dia seolah mengumpulkan asa yang lepas dari sanubariku.

    Meskipun demikian kami tetap optimis melanjutkan kehidupan sampai mana berakhirnya.

    "Kenapa dek ? abang lihat mato kau kosong dari tadi" tanya bang Jasri dengan lembut

    Bapak tidak berbicara ! ada banyak cerita di mata bapak yang entah kapan bisa disampaikan pada diriku. Mungkin nunggu aku dewasa. Iya pak akan ku tunggu.

    "idak ada kok bang ! " kataku

    Di tengah sungai, terasa agin begitu sepoi dan sisi tebing dusun kami kembali terlihat sepi. Tentunya rombongan tadi telah menuju rumah masing-masing. Ingin rasanya ku bertanya, apa gerangan bang Jasri ikut mondar-mandir dengan perahu bapak ? tapi aku ga enak kalau dicap kepo.

    Tiba-tiba terdengarlah seorang penumpang

    "Ini anaknya pak Ridwan ya ?" kata ibu itu

    "Iya" jawab bapak

    "beda ya dari kakaknya yang judes" kata ibu itu dan aku senyum kecut pada ibu mengingat pengalaman kami beberapa hari yang lalu dengan kakak bang Jasri yaitu dokter cantik itu.

    Bang Jasri tidak membantah dan tidak juga membela

    "bukanyo sembuh tapi malah nambah penyakit ketemu dengan dia" sambaran dari ibu yang lainnya

    Jam 15.00 sore di hari Minggunya ketika aku hendak membantu bapak aku dapati adu mulut antara bang Jasri dengan mamanya

    "Apo gawe kau ? lihat tuh kulit dah gosong berjemur-jemur" marah mamanya di pinggir tebing itu. Kusaksikan ada dokter Nisa dan adiknya si Nanda bagai harimau mau mencengram wajahku

    "serah aku lah ! papa sajo idak marah" ngeles bang Jasri yang kiranya dari pagi sudah ikut bapak. Dia tidak tau kalau aku menemani mamak ke kebun makcik Karim.

    "nih gara-gara anak hitam ini ! ngajak-ngajak si oon Jasri" si Nanda membuka suara

    "ya sudah, anakku ga salah ! dia baru juga menolong aku di kebon" sangkal mamak dengan tidak membela siapa-siapa apa adanya saja

    Semua terdiam

    "tuh kan asal tuduh saja ! orang ga salah dibawa-bawa" protes bang Jasri

    Mataku tidak berniat untuk memandang mereka lebih jauh aku lebih berlindung dalam bayangan tubuh mamak ku saat matahai sore di pinggir sungai itu.

    Mereka menjauh ke seberang sana, kami juga berlalu dengan perahu yang dikemudikan bapak. Ada rasa tersisa di hati mamak ku, tetapi cendrung seperti diriku, pertanyaan itu berubah jadi bungkam.
    Bang Jasri tidak bahagia di tengah keluarga itu. Tidak ada sanak saudara di kota Jambi dia memilih SMA disana, padahal di kota Muaro Tebo lebih dekat, ada kok SMA disana.

    Dalam makan malam bersama bapak dan mamak, aku mendengar nasehat yang tak putus-putus dari orang tuaku itu

    "Nak, makin besar, makin banyak masalah hidup. Jangan diambil hati" saran bijak dari mamak

    "iya" persetujuan dariku

    "Kalau Sabtu dan Minggu mau dak kau belajar tambahan ?" tawaran bapak

    "mau pak" jawabku

    "kau masih ingat teman Jasri, si Sudi" tanya bapak

    "masih pak, waktu di rumah bang Jasri, aku melihat mereka main gitar" kataku

    "baguslah, bapak lah ngomong samo dia untuk menolong kau belajar" kata bapak

    "makasih pak" jawabku

    Waktu yang bergulir mengantarkan ku pada suasana Ramadhan. Meski puasa tidak harus bermalasan. Justru pas puasa rezeki bapak agak meningkat
    Demikianlah Sabtu dan Minggu siang hingga sore aku membuka segenap jiwa untuk menimba ilmu tambahan untuk melengkapi kemampuan di sekolah. Bang Sudi lumayan cerdas dan tidak sulit bagi mereka untuk mengajari anak SMP. Bang Jasri sudah disana serta bang Rafli mereka 3 cowok SMA yang lagi suka senyum. Tanpa diberitahupun aku punya keyakinan, tambahan belajar ini semua adalah ide dari bang Jasri. Allah maha pengasih, Ramadhan ini terasa memberi berkah sendiri dalam masa sekolahku. Terasa lebih bermanfaat dengan semakin bertambahnya usiaku. Waktu menahan lapar dan haus tidak terasa dengan belajar dan sesekali diselingi oleh main gitar mereka.

    Pada suatu kesempatan bang Jasri bertanya,

    "dek, ado dak bapak kau nyuruh putar kaset ?" tanya dia

    "iyo bang tadi malam, bagus musiknyo bang, itu kaset abang ?" tanyaku

    "Iyo" jawab bang Jasri

    "kalau begitu, ini buku syair lagunya, kau nyanyi yo yang bagus ! kan kau sudah dengar tadi malam" ajak nan persuasif dari Bang Sudi

    "aku coba ya bang" jawabku

    "ok" jawab mereka

    Tiga suara gitar yang padu dengan bagian masing-masing. Sepertinya mereka sudah terbiasa memainkan lagu ini. Aku.... semampuku masuk dalam irama gitar mereka dan menyuarakan syair yang ku baca dari kertas itu.
    Tidak kubuat-buat karena lagunya memang bagus
    Syairnyapun belum ku paham, bang Jasr lah yang lebih paham
    Pada akhir lagu yang keluar dari mulutku bang Jasri tidak mampu lagi menahan perasaan. Dia menekur dan menghentikan gitarnya. Dua temannya menarik nafas

    "terbukti dek, suara kau bagus sekali. Selama ini bapak kau menutup-nutupinya" suara hati dari Bang Sudi, dan temannya yang satu itu mengiyakan.

    "sudah Jasri, batal puaso kau menangis" kata bang Rafli

    "maaf bang ! aku salah ya ?" tanyaku

    "idak dek ! abang tersentuh samo makna lagunyo" jawab bang Jasri


    Berkat bantuan bnag Jasri CS, kemampuanku serasa bertambah terutama sikap mental yang tidak harus selamanya mengalah.
    Selama Ramadhan suasana sekolah total berubah.
    Aku kurang percaya.
    Untuk urusan sepatuku yang tinggal satu-satunya, aku masih waspada, kalau sepatu ini hilang lagi, dengan apa aku akan berjalan menuju sekolah.

    Dua minggu jelang hari raya Idul Fithri, kesehatan bapak sedikit berubah. Bapak sering batuk. Aku beranggapan ini karena musim penghujan saja makanya bapak batuk.
    Tiga hari setelah itu saat kepanasan di bulan Ramadhan, aku menunggu bapak di tepi sungai. Bapak tidak kunjung datang.
    Jelang sore bapak juga tidak datang.
    Akhirnya aku dari tebing sisi sekolah ini mengarah ke bawah sekitar 3 Km yang butuh bilangan jam untuk berjalan menuju jembatan gantung. Haus sekali ya Allah, tidak ada yang mau tau
    Setelah mencapai jembatan tentunya butuh 3 km lagi jalan ke posisi yang berseberangan, da butuh bilangan jam lagi. Jelang magrib aku melihat tumbuhan buah seri, aku ga tau kawan bahasa Indonesianya, itu tumbuhan semak batang kayunya rapuh, aromanya mengundang kumbang kuning, daunnya ringan dan banyak, yang jelas bukan cherry yang ini tumbuhnya di dunia barat. Aku melihat ada yang kuning-kuning dan merah-merah. Aku kumpulkan sekitar 15 butir
    Ketika azan aku makan sekedar berbuka

    masih butuh setengah jam lagi untuk mencapai rumah

    Sampai di rumah badanku panas

    Rasanya ga sanggup berkata apa lagi kecuali :

    "mak, bapak mana ?" tanyaku

    "tadi papa Ridwan ngasih tahu bapak kau ke Muaro Tembesi, nenek kau sakit mendadak" informasi dari mamak
    Nenek atau Bapak yang sakit berupa pertanyaan yang perih daam hatiku, ingin rasanya menangis kalau ga malu dicibir sama mamak
    Lindungilah bapakku ya Allah .... Aku berusaha tidur. Badan ini akan baik kembali saat sahur nanti


    Subuh-subuhnya aku bersiap untuk menempuh perjalanan panjang menuju sekolah. Waktu makan sahur, aku sengaja banyak minum. Aku ihklas ya Allah
    Hingga datang seorang tetangga berkata dari bawah rumah :

    "yuk Rani, perahu tu dikirim pak Ridwan di bawah" .....

    "mokasih dek" balas mamak

    Aku keheranan

    "Siapa itu mak ?" tanyaku

    "pekerja di kebun papa Ridwan" kata mamak


    Sehingga Alhamdulillah aku tidak harus berjalan sejauh itu dan tidak perlu star subuh-subuh begini.


    Hari Jum'at seminggu sebelum hari Raya Idul Fithri, aku dicegat oleh papa si Nanda sebelum ikut perahu balik pulang. Sekarang perahu itu dikendarai oleh orang suruhan bapak dan kepercayaan dari papa si Nanda ini. Uang nya tidak seberapa, tapi lancar masuk dalam dompet mamak untuk kebutuhan sehari-hari. Sedangkan Bapak di Muaro Tembesi siapa yang ngasih makan ? aku ingin menangis ketika melihat papa si Nanda ini.

    "Rus, ikut papa sebentar yo" ajak dia

    "Iya pa" balasku dengan santun

    Dengan menggunakan mobilnya, aku diajak ke pasar Muaro Tebo pada sebuah toko baju. Selama ini aku jarang sekali dibelikan baju baru oleh bapak. Hingga kelas IV SD iya ! setelah itu dan saat SMP sekarang jelang lebaran tidak harus dengan baju baru.
    Tak henti-henti rasanya terima kasih untuk papa Nanda yang tak lain juga papa bang Jasri dan papa dokter cantik itu.

    Kejadian yang memuncak lainnya, hari Sabtu sebelum belajar dengan teman bang Jasri, motor bang Jasri dibelokkannya sesaat menuju rumah disana ada mamanya, nanda sedang bermanja-manja merencanakan kemana mereka mau buka bersama magrib ini. Tiba-tiba

    "yuk tadi papa pesan, mohon datang ke Muaro Tembesi, tolong lah yuk kasihan" pinta bang Jasri

    "sudah ! tadi papa juga minta langsung ! aku males berurusan dengan orang itu, Jauh !!!!" hardik si dokter cantik

    "Tolong lah Nisa, waktu kau sakit kecil dulu dia yang nolong saat papakau lagi sibuk di kebun" mama bang Jasri juga meminta

    Hati nuraniku berkata, pasti mereka sedang membicarakan Bapak
    Apa bapak sedang parah ? mengapa bapak tidak bercerita pada anak kandung satu-satunya ? malah cerita sama orang lain ?
    Jangankan orang sakit, orang sehatpun tidak akan ditolong oleh si dokter cantik ini

    "idak biso lah ! kami nak pergi makan-makan buko puaso ! sakit tuh pagi atau malam" kata si adeknya Nanda yang mulia yang juga cantik, tapi hatinya karatan.

    Aku hanya fokus pada tugas. Bapak menugaskan aku belajar yang benar, ya aku belajar sama bimbingan bang Sudi. Kalau sekarang papa Nanda ada di dekat papa, amiinnn papa akan baik saja. Sabtu dan MInggu kelabu jelang lebaran, sedikit terobati oleh senyum tulus bang Jasri.


    Tiga hari jelang Lebaran, aku dan mamak dikejutkan oleh kedatangan Nanda dan mamanya

    "Tidak takut kau naik perahu Nanda ?" tanyaku

    "Takut lah ! sudah ! idak usah bicara pulo kau samo aku" kata dia

    "Iya Nanda, aku akan diam" kataku

    "iyo itu lebih baik" sentak mama nya yang satu ini susah ditebak, kadang marah, kadang baik ! kalau lagi kesal sama suaminya dia akan seperti ini

    "inih titipan dari bang Ridwan untuk kalian berlebaran" hentaknya

    "idak usahlah kau menghina kami nian ! ingat kau kenapa bisa jadi kaya ?" astagfirullaahhh mamak mengucap ikut emosi padahal masih Ramdhan

    "sebelum puaso ku rusak ! silahkan pergi dari sini" saran mamakku

    Sehari setelahnya aku menuruti pesan mamak untuk mengantarkan makanan untuk Lebaran bagi bapak dan nenek di Muaro Tembesi.
    Hingga di pinggir jalan aku ga melihat ada bang Sudi dan bang Fadil di kios tempat kami mangkal belajar tambahan dan main gitar karena hari ini jelang lebaran mungkin mereka sibuk.
    Aku menyetop mobil yang dari Muaro Bungo dan minta turun di Muaro Tembesi.
    Sampai di kalangan itu aku disambut oleh sepupu bapak yang berjualan cabe disana
    Sambil menitipkan bungkusan dari mamak

    "mana bapak etek ?" tanyaku (etek = tante yang usianya kecil dari Bapak)

    "tuh lagi jalan samo si Ridwan mencari pebukoan" jawab beliau

    Terlihat bapak semakin kurus, iya bapaklah yang sakit ! disamping bapak ada papa Nanda yang menuntun langkah Bapak.
    Mereka memang sahabatan sedekat ini. Aku sayang pada kedua orang tua ini. Dari tatapan mata mereka seperti biasa aku juga mnegerti mereka juga sayang pada ku, tidak ingin aku jadi hinaan bagi anaknya si cantik Nanda.

    Aku berbalik badan

    lagi kelu untuk berkata-kata

    Bingung juga

    Bagaimana dengan pengobatan bapak ? kalau bersama papa Nanda semoga semua lancar, setidaknya si dokter Nisa mau melihat sesekali. Tapi ya sudah, dokter lain selain dia juga ada di Muaro Tembesi ini.

    Tidak ada yang istimewa Lebaran ini, kecuali beberapa teman SD yang tidak sekolah lagi pulang dari kota Jambi atau kota Kerinci. Kangen juga sama mereka. Kami kembali memainkan tradisi kami yaitu main petak rotan ga bisa aku jelaskan dengan bahasa Indonesia, tidak pernah aku lihat permainan itu di daerah lain. Ada lobang kecil dan ada potongan rotan kecil yang terletak miring. Dengan pentungan rotan yang agak panjang, maka rotan kecil itu akan menghambur lalu kita pukul melambung rotan kecil itu seberapa jauh diukur dengan panjang pentungan. Lawan biasanya mengejar lambungan rotan kecil, kala tertagkap kita batal dapat skor, demikianlah seterusnya. Tapi masih kurang seru dibandingkan bernyanyi bersama alunan gitar bang Jasri CS. Mengingat setelah lebaran ini kami ujian akhir semester selama 8 hari. Tidak ada yang dapat kuceritakan kecuali aku lancar menjawab semua pertanyaan pelajaran. Tidak ada perasaan ingin mengalah lagi dari orang lain.

    7 hari setelah itu, merupakan hari yang kami tunggu-tunggu untuk kumpul bersama pada acara pementasan kreasi sekolah. Riuh sekali malah ada yang berjualan segala aneka makanan dengan segala kreasi. Guru dan wali murid juga berbaur menjadi satu. Aku yang paling berbahagia yaitu kembali melihat wajah bapak yang sangat aku kangeni. Meski kelihatan kurus, bapak terlihat masih bisa senyum di samping mamak. Telah banyak acara yang ditampilkan dan Nanda CS memang mendapat pujian tapi tidak semua juga yang mengerti mereka ngapain. Hingga munculah grup alumni SMP kami. Yang hadir bertepuk tangan riuh termasuk papa Nanda yang menepuk-nepuk bahu bapakku ketika melihat Bang Jasri tampil.
    Beda sekali ! tambah terang pesona bang Jasril
    Di belakangnya ada dua lain ... ooooh banga Sudi dan bang Fadil lengkap asesories gitar mereka
    Para anak perempuan menyatukan dua tangan mereka berharap mereka cepat-cepat segera bernyanyi.

    Dengan pengeras suara bang Sudi memanggil namaku untuk naik

    Untuk apa ? aku heran

    Sekali lagi mereka menyuruhku ke samping mereka

    Anak-anak sudah mulai bertanya-tanya ....... ?

    Ketika aku naik panggung naik jugalah tiga orang alumni lain dengan alat ketuk berdentum yang belum pernah aku lihat aku ga tahu namanya. pokoknya berbunyi dung...dung....dung... Tiga buah gitar mereka petik dengan jrengan ala musik jalanan dengan lagu yang biasa kami alunkan, kalau sekarang bang Jasril menangis tidak apa, karena puasa sudah usai.
    Suasana jadi merinding dengan alunan bass dari bang Fadil

    Aku mulai suara jernihku pada bait pertama yang sangat mengaluuuuuun


    Aku mengenal dikau... Tlah cukup lama separuh usiaku...
    Namun begitu banyak... Pelajaran yang aku terima...


    (Baru saja bait pertama mengalun menyayat hati, aku lihat papa Nanda sudah bergetaaarrrrrrrr Bapakku menekur melihat tanah) Masuk lembut pada Reff


    Kau membuatku mengerti hidup ini.
    Kita terlahir bagai selembar kertas putih.
    Tinggal ku lukis dengan tinta pesan damai.
    Dan terwujud harmoni...........



    (Suaraku begitu tinggi mengoyak-ngoyak jiwa yang angkuh. Para guru yang mengerti perjuanganku berteriak histeris ketika hatinya disentuh. Banyak terimakasih untuk guru yang telah ikhlas mendidikku dengan tidak pilih kasih. Terutama bapakku sebagai guru segala ilmu selama aku hidup. Saat itulah aku tersentak dengan makna lagu ini) Tidak kalah sadisnya, aku alun rasa sakit pada kalbu mereka yang mendengar


    Segala kebaikan. Takkan terhapus oleh kepahitan.
    ku lapangkan resah jiwa. Karna ku percaya kan berujung indah.


    (Aku ingin Nanda dan kakaknya yang cantik meraung, menyesali bawaan jiwa yang miskin di dada mereka. Aku tidak apa dikerjain atau sebagainya, karena semua pasti ada yang membalas. Di akhir cerita semua akan indah) Terakhir aku lengkingkan se lengkingnya kata-kata ini .....


    harmoni..., harmoni..., harmoni...

    harmoni, harmoni


    Aku tidak perhatian pada guru-guru serta teman-temanku yang telah menangis, aku kasihan sama Bapakku dan papa Nanda yang sangat mengerti lagu ini.
    Bang Jasril, Bang Sudi, dan bang Fadil mengumpulkan air mata yang membasahi mata meraka dan berhenti total memetik gitar dalam lengkingan ku yang terakhir ......


    Tentunya tanpa ada tenggang rasa, mana pula ada harmoni itu tercipta !!!!!!!!!! Tidak ada maksud apapun, saat itu aku sekedar menyuarakan untuk melihat sekeliling kita bahwa MEREKA ITU ADA, harmoni dan tenggang rasa sangat dibutuhkan oleh suatu kehidupan masyarakat.



    bersambung ....
  • bro ! ini lanjutannya
    bro @3ll0 , bro @Tsunami , bro @balaka , bro @d_cetya , bro @Wita , bro @lulu_75 , bro @Hato , bro @Monster_Swifties , bro @hyujin
Sign In or Register to comment.