Sore ini sangat dingin, tidak seperti biasanya. Mungkin kemarau mulai datang karena angin dingin mulai menembus jaketku. Meski begitu, hatiku bergemuruh. Hari ini pertama bagiku kembali latihan setelah cedera parah pada beberapa bulan lalu saat bertanding. Ya, aku seorang pesilat, sebutan untuk seorang atlet pencak silat. Ah, bus yang kutunggu akhirnya datang juga. Aku segera masuk dengan tergesa hingga menabrak seseorang berjaket hitam. "Maaf-maaf, saya tidak sengaja", kataku padanya sambil menunduk. "kau akan mati", jawabnya. Kuberanikan diri menatap matanya, sangat dingin. Seperti ada luka yang telah lama membeku di sana. Ia pun berbalik, di belakang jaketnya tertulis "KARATE SALATIGA"...
(to be continued)
Comments
Lanjut
Aku melangkahkan kaki ke padepokan tempatku menuntut ilmu. Sudah lama sekali, aku tidak latihan. Rasanya tangan dan kakiku sudah gatal untuk menghajar samsak.
"Met sore semuanya!", sapaku ke semua teman di sana. Mereka begitu kaget dengan kedatanganku.
"Hahaha, akhirnya pendekar kita pulang kampung juga", laki-laki yang sangat kukenal menyambutku, Mas Budi, guru yang selama ini melatihku tersenyum lebar sambil meninju perutku. Ah, sakit juga, udah lama tidak menerima pukulan.
"Untuk sebagian yang belum kenal, ini Junot. Salah satu pesilat terbaik padepokan ini. 1 tahun yang lalu, anak kucel ini pernah jadi juara nasional. Tapi sayang, dia cedera lutut dan harus vakum dari perguruan ini. Nah, sekarang Junot sudah kembali, kalian harus belajar darinya!", Mas Budi memberi wejangan. Aku kikuk, tidak siap dengan sambutan berlebihan seperti ini, mereka semua bertepuk tangan. Apalagi para junior, mereka mangut-mangut takzim. Sepertinya kepalaku semakin membesar dan dadaku membusung. Ayolah Junot! Jangan sombong. Kataku dalam hati. Tiba-tiba
"Permisi, sore". Aku segera menoleh. Di sana ada pemuda tegap sepertinya seumuranku memakai jaket hitam. Dia menatapku tajam dan dingin. Segera saja ada rasa sentimentil di hati. "Orang itu...", gumamku.
"Oh, Kenzi. Kemari... Hari ini memang hari yang spesial. Selain Junot sudah kembali, kita juga kedatangan anggota baru. Kenzi, 2 kali juara kumite karate nasional, ingin belajar pencak silat di padepokan kita ini. Jadi, Kenzi silakan bergabung, dan kenalkan ini Junot, juara nasional juga.", Mas budi memperkenalkan.
"Terima kasih, Mas Budi karena telah menerima saya." jawab pemuda itu.
Aku segera menjabat tanganya. Entah mengapa, aku merasakan ambisi yang aneh di matanya, dingin dan menusuk.
"Mas Budi, maaf sebelumnya. Bolehkah saya mencoba sparing dengan salah satu dari murid disini sebelum saya bergabung?", Kenzi tiba-tiba bertanya.
"Oh, boleh, denganku aja ya." jawab Mas Budi.
"Maaf Mas, sepertinya tidak akan seimbang. Bagaimana kalau saya sparing dengan junot?", kenzi menimpali. Apa? Aku sungguh tidak mau. Hei, yang benar saja. Sudah setahun aku gak latihan. Ini tidak adil.
"Ah, ya boleh, kita lihat apakah junot masih sakti, hahahaha.", celetuk Mas Budi.
Sial, sial, sial. Ah, mata itu. Apa aku takut? Tidak Junot, tidak ada kata gentar dalam kamusmu.
(bersambung)
dimohon kritik dan saranya :-)
Lanjut
tapi masih awal.
lanjut...
Apa yang ada dibenakmu jika dalam satu hari dalam hidupmu yang indah tiba-tiba berubah aneh dan konyol? Jengkel? Ya, itulah yang aku rasakan. Bagaimana tidak, jika kamu menabrak orang aneh, kemudian orang itu mengancam untuk membunuhmu dan kemudian orang itu benar-benar menantangmu berkelahi di harimu yang indah tanpa kamu tahu apa sebab musababnya sama sekali? Menjengkelkan bukan? Aku terjebak dalam situasi ini. Ingin rasanya aku menolak pertarungan konyol ini. Tapi tatapan mata Mas Budi benar-benar mengintimidasiku, seperti memaksaku untuk bertarung dan menang.
"Ok, sparing ini hanya 2 ronde, setiap ronde cuma 3 menit. Karena kenzi belum tahu tentang cara pesilat bertanding, maka boleh memakai teknik-teknik yang sudah dipelajari di karate. Aturanya simpel, kalian boleh menyerang 4 kali serangan telak, dan tidak boleh menyerang bagian vital. Karena ini cuma sparing biasa maka tidak akan ada perhitungan poin. Segera pemanasan dan pakai body protector! Mengerti?" Mas Budi menjelaskan aturan sparing.
"Maaf Mas, sepertinya akan lebih menarik jika kami nggak pake body protector", Kenzi meminta saran. "hahaha boleh saja, itu bukan masalah buatmu kan Jun?"
Ah, apalagi ini? Sepertinya Si Kenzi ini memang ingin membunuhku. Bagiku dengan atau tanpa protector itu sama saja. Sama-sama sakit. Dulu sekali saat aku belum tahu tentang silat, aku berfikir kalo pake protector dipukul atau ditendang tidak akan sakit. Dan sekarang setelah jadi atlet aku baru tahu, itu salah besar.
Ah, sudah terlanjur kecemplung ke kali, nggak afdhol kalo nggak mandi sekalian. Oke, kenzi, karena kamu sudah membuatku kecemplung, aku akan sungguh-sungguh menghadapimu.
....
Aku kini sudah berhadapan dengan cowok konyol bernama kenzi ini. Dia mulai menundukkan badan, memberi hormat mengawali sparing. Gayanya sangat karateka.
Aku pun menempelkan kedua telapak tanganku di depan dada sambil menundukkan kepala, membalas tanda hormatnya dengan cara seorang pesilat tentunya. Dan tatapanya tetap dingin dan tajam.
"Pesilat, Pasang, Mulai!", Mas Budi memberi aba-aba. Kenzi mulai memasang kuda-kudanya dengan kedua tangan mengepal erat dan agak melompat-lompat kecil. Aku pun tak mau kalah, ku segera mengambil sikap pasang yaitu sikap awal seorang pesilat sebelum menyerang dan gerakan kembangan, yaitu gerakan seperti menari sambil melihat gerak gerik lawan.
"Gayamu itu lebih cocok jadi penari!", kenzi provokatif.
"hemmm, simpan kata-katamu sampai penari ini membuatmu tak sadarkan diri bung, kamu juga lebih cocok jadi atlet lompat tali daripada karate."
Sontak seluruh orang yang ada di padepokan pun tertawa. Kenzi hanya menatapku penuh selidik. Ia begitu fokus. Aku harus hati-hati karena sejauh yang kutahu, pukulan karate itu lumayan menyakitkan.
Kami mulai saling mendekat. Aku mulai mencoba menyerang dengan double jap ku, sukses mengenai dadanya. Tapi dengan cepat ia melakukan tendangan berputar hingga telak mengenai kepalaku. Aku terhuyung, jatuh. Semua orang terpana. Ia hanya tersenyum sinis.
"hei, kau tak apa kan?", Mas Budi bertanya.
Aku pun segera bangkit. Kami kembali saling menyerang. hampir seluruh teknik yang kuingat telah kukerahkan tapi dia tak kunjung tersungkur. Babak pertama pun usai. Aku merasa seperti babi dikuliti. Dipermalukan.
"Oke, Junot, kamu mampu. Kamu bisa!", ujarku dalam hati.
Babak kedua pun dimulai. Kami mulai mendekat lagi, mencari celah. Aku mulai menganalisa. Saat ini berat badan kenzi bertumpu pada kaki kananya, itu artinya dia akan menendang dengan kaki kiri. Aku memberi pancingan dengan pukulan ringan dan benar saja dia menendang dengan kaki kiri, detik itu juga aku mengambil langkah samping dan mengeluarkan tendangan kiri andalanku. Dia mampu menghindar dan memblock tendangan itu. Langkahnya terkunci tapi ia tetap menggunakan tendangan berputarnya, tanpa menunggu, aku melakukan jurus guntingan kaki yang dengan sukses menghempaskanya ke lantai padepokan, kepala belakangnya membentur dengan keras. Ia menatapku tajam seakan berkata, tidak ingatkah kau denganku? Sebelum akhirnya tak sadarkan diri. Hei, siapa kamu sebenarnya kenzi? Mata itu mengapa aku seperti tidak asing? Luka apa yang ada di dalam matamu itu?
(to be continued)
thanks for reading. Kutunggu terus kritik dan sarannya.
Apa yang ada dibenakmu jika dalam satu hari dalam hidupmu yang indah tiba-tiba berubah aneh dan konyol? Jengkel? Ya, itulah yang aku rasakan. Bagaimana tidak, jika kamu menabrak orang aneh, kemudian orang itu mengancam untuk membunuhmu dan kemudian orang itu benar-benar menantangmu berkelahi di harimu yang indah tanpa kamu tahu apa sebab musababnya sama sekali? Menjengkelkan bukan? Aku terjebak dalam situasi ini. Ingin rasanya aku menolak pertarungan konyol ini. Tapi tatapan mata Mas Budi benar-benar mengintimidasiku, seperti memaksaku untuk bertarung dan menang.
"Ok, sparing ini hanya 2 ronde, setiap ronde cuma 3 menit. Karena kenzi belum tahu tentang cara pesilat bertanding, maka boleh memakai teknik-teknik yang sudah dipelajari di karate. Aturanya simpel, kalian boleh menyerang 4 kali serangan telak, dan tidak boleh menyerang bagian vital. Karena ini cuma sparing biasa maka tidak akan ada perhitungan poin. Segera pemanasan dan pakai body protector! Mengerti?" Mas Budi menjelaskan aturan sparing.
"Maaf Mas, sepertinya akan lebih menarik jika kami nggak pake body protector", Kenzi meminta saran. "hahaha boleh saja, itu bukan masalah buatmu kan Jun?"
Ah, apalagi ini? Sepertinya Si Kenzi ini memang ingin membunuhku. Bagiku dengan atau tanpa protector itu sama saja. Sama-sama sakit. Dulu sekali saat aku belum tahu tentang silat, aku berfikir kalo pake protector dipukul atau ditendang tidak akan sakit. Dan sekarang setelah jadi atlet aku baru tahu, itu salah besar.
Ah, sudah terlanjur kecemplung ke kali, nggak afdhol kalo nggak mandi sekalian. Oke, kenzi, karena kamu sudah membuatku kecemplung, aku akan sungguh-sungguh menghadapimu.
....
Aku kini sudah berhadapan dengan cowok konyol bernama kenzi ini. Dia mulai menundukkan badan, memberi hormat mengawali sparing. Gayanya sangat karateka.
Aku pun menempelkan kedua telapak tanganku di depan dada sambil menundukkan kepala, membalas tanda hormatnya dengan cara seorang pesilat tentunya. Dan tatapanya tetap dingin dan tajam.
"Pesilat, Pasang, Mulai!", Mas Budi memberi aba-aba. Kenzi mulai memasang kuda-kudanya dengan kedua tangan mengepal erat dan agak melompat-lompat kecil. Aku pun tak mau kalah, ku segera mengambil sikap pasang yaitu sikap awal seorang pesilat sebelum menyerang dan gerakan kembangan, yaitu gerakan seperti menari sambil melihat gerak gerik lawan.
"Gayamu itu lebih cocok jadi penari!", kenzi provokatif.
"hemmm, simpan kata-katamu sampai penari ini membuatmu tak sadarkan diri bung, kamu juga lebih cocok jadi atlet lompat tali daripada karate."
Sontak seluruh orang yang ada di padepokan pun tertawa. Kenzi hanya menatapku penuh selidik. Ia begitu fokus. Aku harus hati-hati karena sejauh yang kutahu, pukulan karate itu lumayan menyakitkan.
Kami mulai saling mendekat. Aku mulai mencoba menyerang dengan double jap ku, sukses mengenai dadanya. Tapi dengan cepat ia melakukan tendangan berputar hingga telak mengenai kepalaku. Aku terhuyung, jatuh. Semua orang terpana. Ia hanya tersenyum sinis.
"hei, kau tak apa kan?", Mas Budi bertanya.
Aku pun segera bangkit. Kami kembali saling menyerang. hampir seluruh teknik yang kuingat telah kukerahkan tapi dia tak kunjung tersungkur. Babak pertama pun usai. Aku merasa seperti babi dikuliti. Dipermalukan.
"Oke, Junot, kamu mampu. Kamu bisa!", ujarku dalam hati.
Babak kedua pun dimulai. Kami mulai mendekat lagi, mencari celah. Aku mulai menganalisa. Saat ini berat badan kenzi bertumpu pada kaki kananya, itu artinya dia akan menendang dengan kaki kiri. Aku memberi pancingan dengan pukulan ringan dan benar saja dia menendang dengan kaki kiri, detik itu juga aku mengambil langkah samping dan mengeluarkan tendangan kiri andalanku. Dia mampu menghindar dan memblock tendangan itu. Langkahnya terkunci tapi ia tetap menggunakan tendangan berputarnya, tanpa menunggu, aku melakukan jurus guntingan kaki yang dengan sukses menghempaskanya ke lantai padepokan, kepala belakangnya membentur dengan keras. Ia menatapku tajam seakan berkata, tidak ingatkah kau denganku? Sebelum akhirnya tak sadarkan diri. Hei, siapa kamu sebenarnya kenzi? Mata itu mengapa aku seperti tidak asing? Luka apa yang ada di dalam matamu itu?
(to be continued)
thanks for reading. Kutunggu terus kritik dan sarannya.
Lanjut...@Fandi_96
@bi_ngung thanks. Memang agak mirip komik plotnya, cuma ceritanya tidak akan serumit komik.
Hari ini akan berlanjut, ditunggu ya,