It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Bar 5a , Sick and Hurt.
Dalam sebuah warnet, seorang laki-laki keluar dari bilik nomor 19 lalu berjalan menuju operator.
“sudah mas, berapa?”tanya laki-laki itu sambil merogoh saku celananya. Pandangannya terarah pada dompetnya dan memilah-milah lembaran uang di dalamnya.
“hmm.. nomor 19 ya? 7.500 mas..” jawab operator.
Laki-laki itu pun menarik selembar uang sepuluh ribuan dan menyerahkannya pada operator. Matanya langsung terbelalak ketika melihat wajah operator itu.
“lo. Nue?” tanya laki-laki itu.
Operator itu langsung saja menoleh. Ya, ternyata dia nue.
“radit? Haha.. sory, aku ga liat wajahmu tadi..” ujar nue sambil menepuk lengan radit.
Masih ingat radit? Dia temen Nue dari PSM juga.
“iya, aku juga ga liat kamu tadi. Eh, kamu ngapain kerja disini?” tanya rendi yang kini meletakkan uangnya.
Nue menyambut uang itu dan mencari uang kembalian. “iya nih, lagi butuh tambahan aja..”
“tambahan? Emang uang ortu-mu ga cukup, Nu? Kamu juga kan dapet beasiswa? Masak ga cukup?”tanya radit bertubi-tubi. Orang satu itu emang suka sekali mengetahui urusan orang lain.
Nue terkekeh pelan sambil menghitung uang kembalian lalu menyerahkannya pda radit. “mau tau aja sih?! Niih, kembaliannya.. jangan lupa besok tugas Discourse dikumpulin.”
Dengan merengut karena tidak mendapatakan jawaban yang ia inginkan, radit mengambil uang kembalian itu. “yee.. ga dijawab. Discourse? Iya ini barusan juga aku browsing. Oke, duluan ya.. bye..!”
Radit pun menghilang di balik pintu warnet. “bye..” jawab nue pelan.
Pertanyaan radit tadi masih terngiang di kepalanya. Benar kata radit, nue sebenarnya juga berasal dari keluarga yang berkecukupan. Ditambah lagi nue memperoleh dana beasiswa prestasi. Sebenarnya itu semua sudah cukup untuk sekedar memenuhi hidupnya di jember. Namun ada sesuatu yang tidak bisa ia penuhi hanya dengan mengandalkan uang dari orang tua dan beasiswa, yaitu Grace.
*flash back*
Di salah satu sudut sebuah caffe, tampak nue dan Grace saling bercengkrama sambil menikmati secangkir capuchino hangat. Tempat itu memang menjadi tempat favorit mereka, karena keduanya memang penggemar kopi terutama capuchino.
Percakapan hangat mereka terhenti saat tas Grace bergetar dan terdengar nada dering dari dalam tas itu. Grace pun merogoh isi tasnya untuk mengambil ponsel. Namun saat ia mengeluarkan ponselnya, tanpa senganaja ponsel itu terlepas dari genggaman tangannya sehingga ponsel itu melesat jatuh ke lantai.
“prakk..!"
Beberapa mata pengunjung yang lain mengarah pada Grace yang langsung memunguti bagian-bagian ponselnya yang terpisah, nue juga ikut membantunya. Nue pun merangkaikan lagi ponsel itu dan memeriksanya untuk memastikan tidak ada yang tergores dan yang pasti, apa ponsel itu masih bisa berfungsi.
Nue termenung saat melihat ponsel Grace yang sudah out of date itu. Keypadnya saja sudah tidak bisa dibaca lagi.
“nih honey.. masih berfungsi kok.. lain kali hati-hati dong honey..” ujar nue sambil menyerahkan ponsel itu pada Grace.
Grace menerimanya sambil terkekeh lalu mengutak-atik ponselnya. “iyaa... hehe.. tadi tangan Grace licin soalnya.”
Nue tersenyum mendengarnya, lalu ia mengambil cangkir capuchinonya dan menghirupnya.
“hmm... coba aja aku punya BB.. huumm... “ bisik Grace, namun nue masih bisa mendengarnya.
Nue pun meletakkan capuchinonya. “apa honey?”
Grace langsung menoleh pada nue, kaget dengan kata-kata yang telah ia ucapkan sendiri. “oh.. nggak kok honey.. hehe.. hmm.. capuchinonya enak, harus cepet diminum, ga enak kalo sudah dingin.”kilah Grace yang langsung menyeruput capuchinonya.
Sementara itu nue tersenyum tipis memandang Grace. Grace memang berasal dari keluarga yang kurang mampu. Untung saja dia cerdas, sehingga bisa mendapatkan beasiswa dan bekerja dengan memberikan les. Tapi tentu saja hal itu tidak akan mendukungnya untuk membeli ponsel baru, apalagi black berry.
Nue pun menghirup capuchinonya dan segera berpikir. Memikirkan apa yang bisa ia lakukan untuk Grace.
***
Jadilah saat ini nue bekerja di sebuah warnet. Bayarannya memang tidak seberapa, tapi cukup untuk menambal kekuarangan untuk biaya membeli black berry yang harganya masih 3jutaan itu.
Awalnya nue mengeluh juga, karena jadwal kuliahnya sendiri cukup padat, ditambah dengan jadwal latihan PSM, membuat nue harus merelakan 2 hari senggangnya, yaitu sabtu dan minggu untuk bekerja. Itupun minggu malamnya dia harus melatih Gigi secara privat. Namun nue berusaha untuk berpikir positif dan teringat pada Grace menjadi motivasi tersendiri baginya.
‘Mungkin ini butuh waktu lama, tapi kuharap kamu mau bersabar, honey..’ harap nue sambil tersenyum memandang foto profil Grace di facebook.
Foto profil itu memperlihatkan nue dan Grace yang berpose dengan mesranya. Disana nue tampak duduk dan di belakangnya Grace mengalungkan tangannya pada bahu nue sambil menjulurkan lidahnya, membuatnya tampak menggemaskan di mata nue.
Cukup lama nue tersenyum memandangi foto itu, hingga lambat laun senyum itu memudar. Di sentuhnya wajah Grace pada foto itu.
‘apakah.. kau masih mencintaiku, jika suatu hari kamu tahu.. kalau aku ‘sakit’? masihkah kau mencintaiku? ‘
***
Apa si nue GAY,,
wah sakit..hahaha...
baru selese baca ini..hehe
@monic: oke monic.. makasih udah baca
@yuzz: radit, sbelumnya emang rendi trus aku ganti. eh taunya masih ada yg blm ke-edit. tq koreksinya..
bar 5b
Nue mengamati jam dengan sedikit risau. Sudah pukul 17.27 tapi temannya yang akan menggantikan shift kerjanya belum datang-datang. Nue berdecak lalu merogoh ponselnya, ia pun menghubungi temannya itu, berharap kali ini akan di angkat, karena daritadi ia hubungi namun tidak dijawab.
‘halo’ ucap seseorang dalam ponsel Nue.
“oi, Meng! Cepet kesini! Udah waktunya balik aku!” kata Nue dengan sedikit kesal.
“iya.. sorry bro, aku baru bangun.. tunggu ya, aku mandi dulu. 15 menit doang kok, see ya..”sambunganpun terputus.
“ha? Mandi? Hoi.. tung... yah ditutup, sialan!” Nue mengangkat alisnya dengan emosi. Di letakkannya kembali ponsel itu kedalam saku celananya.
Bagiamana Nue tidak emosi? Pergantian shift seharusnya pada pukul 16.00 tadi. Artinya, sudah hampir satu setengah jam Nue menunggu temannya yang dipanggil Omenk itu. Belum lagi, pukul 18.30 nanti ia harus melatih Gigi. itulah kenapa dia harus cepat-cepat pulang. Nue pun mengacak-acak rambutnya dengan kesal.
“mas... mau bayar..”
Nue spontan menoleh, ternyata ada cewek yang melihatnya dengan tatapan aneh. Nue pun seketika merapikan rambutnya dan berdehem pelan untuk menyumbunyikan rasa malunya.
“ehem.. ya, nomor 7 ya? 4000..”
‘sialan kamu Menk.. mana masih mandi lagi..?! sampe jam berapa entar??’
Pukul 18.10 barulah Omenk datang dengan vespanya.
“sorr..” baru saja omenk menyapa, Nue langsung menyerobot keluar dan melajukan sepeda motornya, meninggalkan omenk yang heran sambil menggaruk-garuk rambut keritingnya.
Nue melajukan sepeda motornya dengan kencang. ‘sialan omenk, jam segini baru dateng!’ gerutunya.
Akhirnya ia sampai di kos-kosannya. Segera ia memarkir sepeda motor, lalu bergegas menuju kamarnya. Mengambil peralatan mandi lalu menuju kamar mandi.
Sementara itu, Gigi tengah menunggu di gazebo ditemani dengan laptopnya. Ia menengok jam, sudah pukul 18.34.
‘nggak biasanya kak Nue dateng telat..’ pikir Gigi.
Baru saja Gigi membatin, tampak Nue dengan sepeda motornya melaju menuju ke arahnya.
“sory Gi, agak telat.”ujar Nue.
“oke, no problem..”jawab Gigi sambil tersenyum.
“hehe.. oke dah ayok langsung latihan!”
Mereka berdua pun mulai mereview bagian yang mereka pelajari kemarin. Tampak Gigi yang sudah mulai fasih melantunkan lagu itu hingga pada bagian tersulitnya. Nue tersenyum puas melihat perkembangan Gigi. ia pun mulai mengajari Gigi bar-bar selanjutnya. Bar-bar selanjutnya tidak begitu sulit sehingga Gigi dengan cepat mencerna dan mempraktekkannya.
“nah sip...! tinggal dikit Gi... tinggal 5 bar lagi, habis itu tuntas deh..” ucap Nue yang duduk di kursi gazebo sambil meminum air yang ia bawa.
“fyuh... iya juga.. ga kerasa cepet juga.. ehmm btw tenor yang lain sekarang sudah sampek mana?” tanya Gigi yang kini juga duduk di gazebo.
Nue menutup botol airnya dan menyerahkannya pada Gigi.
“sudah sampe Mars UJ.”
“haaa!” Gigi melongo sambil mengambil botol air minum Nue.
‘hah? Aku kira aku sudah lebih cepat belajar daripada yang lain. Ternyata mereka sudah belajar lagu mars?!! What the....!!!’
Nue terkekeh saat melihat reaksi Gigi. “hhaha.. kenapa kaget? Biasa aja kali. Mereka mungkin cepet bisanya, tapi belum tentu notasi mereka semateng kamu kan?”
Gigi mengangguk pelan sambil meneguk air, berharap yang Nue ucapkan itu benar. Dia memang sudah dilatih Nue dengan cukup ketat. Jika Nue mengatakan notasi Gigi sudah benar, berarti memang benar-benar tidak ada yang cacat. Gigipun tersenyum bangga pada dirinya sendiri. Tidak percuma ia meluangkan waktunya untuk latihan privat bersama Nue.
“oh iya kak.. makasih ya..”ucap Gigi.
Nue mengangkat alisnya dengan heran. “makasih buat apa?”
Gigi tersenyum malu. Sebenarnya ia ingin bilang ‘makasih buat semuanya..’ tapi ia urungkan itu karena menurutnya itu terlalu... ehemm...
“makasih buat koreksi tugasnya waktu itu, aku dapet A lo.. hehehe..”
“ooh... biasa aja kali.. “
“beneran? Berarti lain kali aku bisa minta tolong lagi donk?”
“hoee.. enak aja. Lain kali bayar... udah yok, latihan lagi..” Nue pun bangkit dari kursinya dan memberi Gigi isyarat untuk berdiri juga.
“yah, cepet banget istirahatnya..” keluh Gigi. Gigi melangkah gontai menuju ke arah Nue.
“iyah.. biar cepet selesai, cepet pulang.. aku belum makan ini..” ujar Nue sambil membaca partiturnya.
Gigi meniup poninya. Ia pun membuka partiturnya dan Nue mulai memberikan ketukan.
“siap ya.. 1..2..3.. solfamisol...”
Gigi menoleh ke arah Nue yang tiba-tiba menghentikan ketukannya. Nue sendiri tampak terdiam dan memegangi pelipisnya.
“kenapa kak?” tanya Gigi heran juga khawatir.
“ehmm.. kamu latihan dulu, aku ke kamar mandi sebentar.”ujar Nue.
Belum sempat Gigi banyak bertanya, Nue sudah berlari menuju kamar mandi. Gigi hanya bengong menatapnya.
‘se-kebelet itukah?’ batin Gigi.
Gigi pun kembali duduk di kursi gazebo. Dibacanya partitur di tangannya. Mencoba sebisanya membunyikan bar selanjutnya.
Agak lama Gigi mencoba dan akhirnya ia menyerah. ‘fuahh.. tauk ah, susah amat!’ keluhnya.
‘gguuhh...’
Mata Gigi terbelalak. Diletakkannya dengan perlahan partitur itu di meja. suara tadi langsung membuat hatinya kecut. Ia baru sadar kalau saat ini dia sedang sendirian di kampus yang gelap dan lengang itu.
‘suara apaan tuh??’ gumam Gigi dengan sedikit gemetar, matanya bergerak ke kanan dan ke kiri dengan gelisah, mecoba mecari sesuatu yang sebenarnya tidak ingin ia lihat.
‘gguuaaahhh....’
Suara itu terdengar lagi. Kini kian keras menggema. Suara itu terdengar seperti eraman yang parau. Dengan lutut gemetar Gigi berdiri. Ia sudah semakin takut. Ia pun mencoba berlari menuju kamar mandi. Ia ingin menjemput Nue. Ia tidak ingin sendirian di tempat itu.
‘Huaa..!!! kak Nuee..!!’ teriak Gigi dalam hati.
Anehnya semakin ia mendekat ke arah kamar mandi suara itu semakin keras, membuat Gigi makin kencang berlari. Hingga akhirnya ia berhenti. Saat suara itu sudah benar-benar ada di depannya. Lutut Gigi sudah lemas. Kiini ia berada di koridor kamar mandi.
Ia melihat kaki seseorang di balik pintu kamar mandi itu. Suara itu kian keras menggelegar. Terdengar begitu pilu dan parau. Sedangkan kaki itu tampak meronta-ronta.
Mata Gigi bergerak-gerak. Di dekatinya ruang itu. Rasa takut itu entah kenapa sudah berganti, dengan rasa khawatir, karena Gigi tahu, sepatu yang dikenakan kaki itu adalah sepatu Nue.
“kak..” panggil Gigi lirih.
Dan begitu Gigi sudah sampai di depan pintu kamar mandi itu, mata Gigi terbelalak. Air wastafel mengucur dengan keras dan tersumbat sehingga airnya tumpah dengan deras di lantai. Dan di lantai itu, sosok yang ia kenal tengah menggelepar-gelepar di lantai.
“kak Nue..!!”
Nue tampak tidak merespon suara Gigi. tubuhnya meronta-ronta dan kejang tidak terkendali. Pupilnya menyempit dan mulutnya menganga.
Gigi benar-benar panik. Tubuh Nue kejang dengan hebatnya, tapi Gigi tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia pernah melihat hal itu sebelumnya. Ini pasti gejala epilepsi!
Lutut Gigi sudah benar-benar lemas sekarang. Perlahan ia mematikan kran wastafel sehingga airnya berhenti mengguyur tubuh Nue. Lalu ia berjongkok di dekat Nue dan diam.
Mengapa Gigi diam saja? Ia hanya menyaksikan Nue mnggelepar dan meronta-ronta.
Tidak. Gigi hanya bisa duduk dan melihat, karena tidak ada yang bisa ia lakukan. Penderita epilepsi yang sedang mengalami bangkitan/kejang tidak boleh ditahan atau berusaha menghentikan kejangnya, karena hal itu tidak akan berpengaruh apa-apa. Yang ada justru akan melukai diri sendiri maupun penderita. Karena itu Gigi hanya termenung disana, memastikan Nue tidak terbentur benda-benda keras dan... menangis.
“gwaaahhh... haaaaa!!! “ Nue mengerang makin keras, begitu juga tubuhnya yang terus kejang seperti tersengat listrik.
Gigi hanya bisa menangis. Saat ia melihat Nue tampak begitu menderita. Rasanya pasti sakit. Rasa sakit yang juga Gigi rasakan saat ini, karena tidak bisa melakukan apapun selain ‘menonton’. Berteriak minta tolong pun tak ada gunanya mengingat hanya ada mereka berdua di kampus itu.
‘maafin aku kak Nue.. aku ga bisa lakuin apa-apa.. aku cuma bisa ikut menangis..’ batin Gigi.
***
Setelah 6 menit, akhirnya kejang pada tubuh Nue sudah mulai mereda. Hingga akhirnya tubuh Nue tidak bergerak sama sekali. Gigi pun segera menghapus air matanya dan menghampiri Nue.
“kak..”panggilnya pelan.
Sedikit demi sedikit kesadaran Nue mulai muncul. Dengan tatapan sayu, dilihatnya wajah Gigi, lalu ia melihat kesekililingnya dan dirinya sendiri. Tampak ia bingung dengan apa yang terjadi.
“Gi.. ada apa ini Gi..?” tanyanya masih dengan nada bingung saat mendapati tubuhnya basah kuyup. Gigi pun membantunya untuk bangun dan menyandarkannya pada bingkai pintu.
Setelah itu Gigi terdiam, ia masih ragu untuk mengatakan yang sebenarnya pada Nue.
“kakak.. aku anter pulang yuk..” ujarnya pelan.
Mendengar itu Nue termenung. Tidak ada komentar apapun yang ia ucapkan selain mulutnya yang sedikit menganga.
“aku tadi.. kejang kan?”
Gigi meundukkan wajahnya sebelum akhirnya ia mengangguk pelan.
Setelah itu keduanya pun terdiam. Gigi menunduk, begitu juga Nue. Hingga akhirnya Gigi mendekati tubuh Nue dan merangkulnya.
“gi..?”
“aku anter kakak pulang ya..”ujar Gigi, dengan susah payah ia mengangkat tubuh Nue yang masih lemah.
“tapi gi..”
“aku bisa kok, nanti kakak tunjukin aja jalannya..”
“nggak Gi, biar aku yang nyetir..”
“nggak!”
Kata Gigi yang lantang membuat Nue terdiam.
Gigi menoleh ke arah Nue dengan tatapan sendu. “maaf kak, plis jangan salah paham.. aku cuma khawatir kakak masih belum bisa nyetir untuk sekarang. Biar aku yang bonceng kakak.”
Nue pun mengangguk, setelah itu Gigi merangkul Nue berjalan menuju tempat Nue memarkir sepedanya.
Nue tampak menunduk lemas dalam boncengan Gigi. Gigi menoleh wajah Nue sesaat dari spion, lalu dengan satu tangan ia meraih tangan Nue dan menggenggamkannya pada pinggangnya.
“pegangan kak, biar ga jatuh.”
Nue memandang Gigi sesaat lalu diam, tidak mengatakan apapun selain menuruti kata-kata Gigi.
Tak lama kemudian , mereka telah sampai di kos-kosan Nue. Gigi merangkul Nue menuju kamar yang ia tunjuk. Setibanya di kamar, dengan hati-hati Gigi merebahkan tubuh Nue di kursi.
“boleh aku buka lemari pakaiannya?” tanya Gigi.
Nue mengangguk. Gigi pun membuka lemari pakaian Nue dan mengambil baju ganti untuk Nue.
“biar aku pake sendiri Gi..”kata Nue saat Gigi menyodorkannya pakaian ganti.
“oke.. aku beli makan dulu ya kak, kakak belum makan kan?” pamit Gigi.
“eh? Nggak perlu Gi..” cegah Nue, tapi percuma, Gigi sudah menutup pintu kamarnya dan terdengar suara sepeda motor dinyalakan.
Nue termenung. Dengan perlahan ia membuka pakaiannya dan menggantinya dengan pakaian ganti yang tadi Gigi ambilkan.
Setelah selesai, dia mencoba mengingat-ingat kembali apa yang terjadi sebelum ia kejang. Yang ia ingat hanya saat ia mendapat aura (semacam sensasi penglihatan, pendengaran atau penciuman yang dirasakan penderita epilepsi sebelum terjadinya bangkitan.) ia bergegas menuju kamar mandi. Ia tidak ingin seorangpun melihat saat ia kejang.
Setibanya disana, untuk beberapa saat aura itu hilang. Nue pun entah kenapa masih belum kehilangan kesadaran. Nue menghembuskan nafas lega. Ia kira bangkitan tidak terjadi. Sayangnya baru saja ia mencoba untuk membuka kran wastafel untuk mencuci muka, aura itu kembali muncul, lututnya mendadak lemas dan... semuanya menjadi gelap.
Kini Nue memejamkan matanya rapat-rapat. Tubuhnya masih terasa sangat lemas, hal yang biasa ia alami setelah kejang.
Dengan tubuhnya yang selemas ini, Nue bisa mengira-ngira, dia pasti kejang cukup lama. Berapa lama Gigi di sana dan menunggunya? Dan wajah Gigi tadi.. apakah dia menangis?
Beberapa lama kemudian pintu kamar Nue diketuk. “masuk..” sahut Nue.
Gigi membuka pintu dan memasuki kamar Nue. Di tangannya tampak sebuah kantong plastik yang ternyata berisi roti.
“ini kak, makan dulu.. maaf aku Cuma bisa beliin roti. Warung-warung pada tutup soalnya..”sesal Gigi.
Nue pun tersenyum sambil meraih roti itu, “gapapa.. makasih Gi..” ujar Nue yang dibalas dengan senyuman Gigi.
Gigi duduk di sana, menunggu Nue menghabiskan rotinya.
Tampaknya kekuatan otot Nue mulai pulih, Nue memakan roti itu dengan lahap.
“ohm.. Gi.. mau?” tawar Nue.
Gigi tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “nggak kak.. kakak makan aja..”
Nue mengangguk-anggukkan kepalanya dan menggigit roti itu. “hm.. ya kapan-kapan aku traktir deh..” ucapnya dengan mulut penuh.
Gigi tertawa kecil. Keduanya kembali tidak terlibat percakapan, sementara Nue sibuk dengan rotinya, Gigi memandangi Nue dengan prihatin.
“kak..”
“hmm..?”
“boleh aku tanya sesuatu?”
Nue memperlambat kunyahannya dan melirik Gigi. “hmm.. silakan..”
Gigi menghirup napas dalam. “sejak kapan kakak sakit begini?”
Nue mencoba menelan sisa roti di mulutnya lalu menghirup napas dalam. Ia tahu Gigi akan menanyakan hal ini.
“sejak aku kecil Gi.. “ jawabnya. Iapun melahap secuil roti terakhirnya, dan dengan mulut setengah penuh ia melanjutkan kata-katanya. “sudah lama aku menjalani terapi, hingga saat ini. Sudah lama penyakit ini nggak kambuh. Tapi hari ini memang aku lupa minum obat karena terburu-buru dari pulang kerja tadi. Aku ga nyangka kalau penyakit ini bisa kambuh secepat itu.”
Gigi mengeryitkan alisnya. “kerja? Sejak kapan kakak kerja? Kakak kan penyandang beasiswa juga..”
Nue tersenyum dan melempar plastik roti itu kedalam keranjang sampah tak jauh darisana. Agak lama, akhirnya dia bicara.
“aku.. pingin ngasi Grace hadiah Gi.. ponselnya sudah usang, jadi aku pingin belikan dia black berry seperti yang dia pinginin.”
Gigi termenung. Hatinya pilu saat tahu alasan Nue bekerja. Nue rela mengorbankan waktu dan tenaga bahkan kesehatannya hanya demi membelikan Grace sebuah Black Berry? sebenarnya sejauh apa cinta Nue pada Grace?
“apa.. kak Grace tahu kalau kakak..”
Nue menggeleng. Matanya menerawang kosong. “karena itu Gi, please... jangan bilang siapa-siapa tentang penyakitku ini.. apalagi Grace..”
Gigi segera memandang Nue denga tatapan protes, “tapi kak,, kak Grace itu pacar kakak.. sudah seharusnya dia tahu tentang penyakit kakak.. kalau dia memang mencintai kakak, dia pasti mengerti dan pastinya akan merawat kakak saat penyakit kakak kambuh seperti ini..”
Nue tersenyum mendengar kata-kata Gigi. “berarti saat ini kamu sudah seperti pacarku ya?”
“apa? Ha? Nggak.. bukan gitu..!!” Gigi tampak kaget dan gelagapan menjawab pertanyaan Nue yang ‘jleb’ di hati itu.
Nue terkekeh pelan lalu ia menerawang kosong pada langit-langit. “aku tahu itu Gi.. aku tahu harusnya dia akan mengerti jika dia benar-benar mencintaiku. Tapi... aku masih takut Gi. Aku takut kalau dia akan ninggalin aku. aku ga mau jadi beban bagi dia..”
Gigi menelan ludah dengan getir. Di satu sisi ia sangat prihatin pada Nue, di satu sisi ia juga marah dan iri, kenapa Nue bisa begitu cinta pada Grace? Padahal Gigi bisa ngelihat dari mata Nue, kalau dia juga belum yakin Grace juga mencintainya dengan tulus.
“Jadi aku mohon Gi.. rahasiakan ini..” ujarnya.
Gigi tidak langsung menjawab. "selain aku, siapa lagi yang tahu?"
"cuma kamu dan bapak-ibu kos.."jawab nue lirih.
setelah mendengar hal itu, Gigi menundukkan wajahnya dan mengusap dahinya.
kali ini Nue memandangnya dengan tatapan memohon, "plis Gi.."
Gigi pun mendongakkan wajahnya dan di tatapnya Nue dengan senyuman tipis. “oke, kak..”
Nue tersenyum. Ia pun bangkit dari ranjangnya, mengacak-acak rambut Gigi sambil terkekeh dan mengambil obat anti-epilepsinya. “makasih ya Gi..”
Gigi hanya tersenyum sambil merapikan kembali rambutnya.
ia pandangi Nue yang tengah menenggak obatnya hingga ia merenung.
‘bisa-bisanya kakak seperti itu. Apa sih yang bikin kak Nue cinta mati sama kak Grace? Padahal aku tadi sudah khawatir setengah mati saat kakak kejang, tapi justru kakak mengkhawatirkan orang lain! Uuughh... kenapa dunia ga adil banget! Tapi.. yah.. aku janji ga akan memberitahukan hal ini pada kak Grace karena memang kakak meminta begitu. Sakit sih.. tapi, ini semua aku lakuin buat kakak. Asalkan kakak bahagia.....’
***
@awansiwon: iya.. utk bar selanjutnya sudah mulai berkurang kok, bagian latian yg terlalu detil.
kedepannya sudah mulai rising action, n aku upload bsk, jd stay tune ya guys..
thank you for comment
Bar 6, the Fact is 'F*ck'!
“ya udah kak, aku mau pulang dulu ya..” ujar Gigi yang kini sudah bangkit dari kursinya.
Nue yang baru menelan obatnya langsung mengeryit heran.
“lho, pulang? Udah malem ini. Ga nginep aja?
”
‘hah nginep? Bareng kak Nue? Dalam satu kamar??’ Gigi menjerit dalam hati meski ekspresinya hanya tersenyum canggung.
“ehmm.. nggak kak.. sungkan sama kakak dan pak kos. Lagian kosnya Gigi juga ga begitu jauh.” Tolak Gigi hati-hati. Ia sudah bisa membayangkan dirinya tidak bisa tidur jika berdua dengan Nue dalam kamar itu.
“oh.. oke kalau gitu aku antar ya.” Nue kini mengambil kunci motornya yang Gigi letakkan di meja.
Gigi segera saja menggelengkan kepala dan melambaikan tangannya, “nggak usah kak..! aku bisa jalan kok, kakak istirahat aja!”
Nue menoleh pada Gigi, melihat ekspresinya apakah ia yakin dengan yang ia katakan. “yakin, nih?”
Gigi mengangguk, ia lalu membuka pintu dan menatap keluar.
‘jedyarrr....’
Gigi melongo tak bergeming, sementara Nue yang di belakangnya hanya garuk-garuk kepala sambil tertawa.
“wahaha.. sudah digembok pagarnya.. sorry Gi, di sini ada jam malam, aku lupa bilang..”
Gigi masih termenung dan sebelah matanya bergerak-gerak.
‘apa-apaan nih??!! Sejak kapan tu gerbang digembok?’
“udah Gi, mending nginep aja.. besok subuh aja pulangnya.“ tawar Nue.
Gigi perlahan berbalik dan menatap Nue, Nue hanya mengangkat bahunya seakan berkata,’sorry, but there’s nothing i can do’
“beneran gapapa nih, kak?” tanya Gigi ragu.
Nue mengangguk, “iya gapapa.. besok aku bilang ke pak kos. Udah, santai aja..’
Dengan santainya Nue berkata seperti itu, sedangkan Gigi deg-degan tak karuan. Bagaimana Gigi tak grogi, saat ia melihat ranjangnya,tidak begitu besar, juga tidak terlalu kecil. Dengan kata lain, ranjang itu sangat pas untuk dua orang. Itu artinya, Gigi dan Nue...
“sreett...”
“eh?” wajah Gigi berubah menjadi pokerface saat Nue menggelar karpet ukuran sedang di samping ranjangnya. Ia juga mengambil salah satu bantal di ranjang dan meletakkannya di atas karpet itu.
“nah, kamu tidur di kasur aja.” Ujarnya sambil membersihkan karpetnya dengan penebah.
“lo..lho... kok gitu? Mending aku aja yang di bawah.. kakak di atas.. ee.. maksudku aku tidur di bawah sini terus kakak di atasnya.. lho? Duh.. “ Gigi mengacak-acak rambutnya. Gara-gara grogi, ia jadi tidak bisa mengerti apa yang akan ia ucapkan.
Nue tertawa kecil melihat tingkah Gigi itu. “haha... ngomong apa sih? Udah kamu di kasur aja, gapapa.. anggap aja kasur sendiri.” Ujarnya yang sudah merebahkan dirinya di karpet itu.
Gigi masih memasang wajah sungkannya, “hmm.. tapi..”
“zzz..” desis Nue. Gigi tahu Nue hanya pura-pura mengorok untuk mengakhiri perdebatan.
Gigi pun menghela napas panjang lalu meletakkan tasnya di atas meja. setelah itu ia merebahkan tubuhnya yang kecil itu di kasur Nue.
‘empuk..’ batin Gigi.
Beberapa menit berlalu. Gigi masih berkedip-kedip menatap langit-langit. Suasana di sana hening sekali. Cuma ada suara detak jam dinding dan serangga di luar.
Benar dugaan Gigi sebelumnya, ia tidak mungkin bisa tidur jika sekamar dengan Nue, memang tidak seranjang sih, tapi gregetnya masih ada.
Gigi menoleh ke arah jam dinding, sudah pukul 01.17. Gigi pun mengalihkan lagi pandangannya ke arah langit-langit.
‘kak Nue sudah tidur belum ya..?’
Penasaran, akhirnya perlahan ia berbalik dan mengintip Nue yang ada di samping bawah kasurnya. Tampak Nue sudah memejamkan matanya, lelap sekali. Gigi bisa memakluminya. Setelah mengalami kejang, badannya pasti kelelahan. Wajar jika ia tidur begitu lelap.
Gigi tersenyum saat melihat ekspresi Nue saat tidur. Bahkan ia terlihat sangat manis ketika tidur. Dan dia ternyata tidak mengorok, jadi terbukti dengkuran Nue yang tadi hanya gurauan saja. Kalau melihat Nue seperti ini, Gigi sama sekali tidak menyangka kalau dia penyandang penyakit epilepsi. Meskipun sebenarnya kenyataan itu sama sekali tidak meggoyahkan perasaan Gigi pada Nue. Bahkan etah kenapa Gigi justru merasa makin sayang padanya.
lama Gigi memandangi wajah Nue, hingga akhirnya ia melepas senyum di wajahnya. Dan dalam hati ia bergumam.
‘andai saja.. kakak ga punya pacar. Andai saja aku cewek.. pasti aku ga akan ragu buat nyatain perasaanku ke kakak. Tapi..” perlahan Gigi menutup matanya.
‘andai saja..’
***
“kriiiingg...!!”
Tangan Nue seperti ular yang buta segera meraba-raba ponselnya. Begitu dapat, langsung saja ia matikan alarm yang berisik itu. Dengan agak malas Nue bangun dan mengucek matanya. Matanya segera terbuka ketika menoleh ke arah samping, Gigi masih terlelap dengan wajah menghadap ke arahnya.
Nue terdiam beberapa lama dan memandang wajah Gigi. Wajahnya tampak begitu polos dan manis. Senyum tipis melengkung di bibir Nue. Perlahan tangannya bergerak mendekati wajah Gigi. Semakin dekat tangan itu ke pipi Gigi, hingga...
“gi, bangun..” ujar Nue sambil menepuk-nepuk pelan pipi Gigi.
Gigi pun membuka matanya yang rasanya masih rapat. dengan satu helaan nafas panjang ia bangun dan mencari ponselnya.
“ehm.. jam berapa ini kak?”
“jam 4.20, sekarang kamu sholat dulu sana. Aku mau ke pak kos, minta dibukakan pintu gerbangnya.” Nue berdiri dan menggulung lagi karpet yang tadi ia pakai.
Sementara Gigi mengangguk, masih dengan mata ¾ terpejam. Rasanya masih belum puas ia tidur, mengingat semalam ia tidak bisa tidur. Gigi pun memaksakan untuk bangun. Dengan langkah gontai ia menuju kran air yang terletak di persis di depan kamar Nue.
“syuurr... kricik kricik..syurrr.... “
‘brrr...dinginn..’ batin Gigi saat tangannya pertama kali tersentuh air.
Gigi sudah selesai wudlu, ia kembali ke kamar Nue dan memakai sarung yang Nue sudah sediakan, sementara Nue kini keluar untuk mengambil wudlu.
Lima menit kemudian Gigi sudah menyelesaikan sholatnya. Saat ia sedang merapikan sarung dan sajadah, dilihatnya Nue baru kembali.
“sebentar ya Gi, orangnya baru bangun tidur. Sebentar lagi dibuka kok gemboknya.” Terangnya.
“oh.. oke.” Jawab Gigi singkat.
Nue kini mengambil sarung dan memakainya, lalu tiba-tiba ia berbalik pada Gigi. “oh ya, jangan pulang dulu sebelum aku selesai sholat, oke??”
“iyaaa...”
Sepertinya Nue tidak perlu bilang begitu, karena kini Gigi justru berbaring lagi di kasur.
“woi keboo..! kok tidur lagi??” sentak Nue sambil menepuk kaki Gigi.
Gigi tidak menghiraukan dan membalikkan tubuhnya sambil memeluk guling. “ehmm... ngantuk nih, tidurku nanggung!”
Melihat tingkah Gigi itu, Nue hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum, lalu ia pun memulai sholatnya.
Beberapa lama kemudian, Gigi mengubah posisi tidurnya. Meski tidur yang kedua, tidurnya nyenyak sekali. Agak lama, akhirnya ia mulai terbangun, dan matanya langsung terbelalak ketika melihat pemandangan di depannya.
Tampak Nue yang masih bertelanjang dada sedang memakai celana panjangnya.
‘gleg’ Gigi menelan ludah.
Meskipun Nue menghadap arah yang berlawanan, tapi Gigi masih bisa melihat lekuk tubuh Nue, tidak begitu besar berotot tapi juga tidak terlalu kerempeng. Entah kenapa Gigi menyesal tidak terbangun dari awal, sehingga ia bisa melihat Nue yang belum memakai boxer, hehe... plak!! #kaplok.
Begitu Nue memakai kemejanya dan mulai berbalik, Gigi buru-buru menutup lagi matanya. Bertingkah seperti masih tidur.
Selama itu, Gigi tidak mendengar banyak suara lagi.
Dalam kegelapan itu, diam-diam Gigi penasaran dengan kondisi disekitarnya, terutama kondisi Nue saat ini.
‘kok sepi sih? Kak Nue lagi ngapain? Apa ganti baju lagi? Hehe..’
Karena semakin penasaran dan juga karena matanya sudah tidak bisa terpejam lagi, perlahan ia pun membuka matanya.
Lagi-lagi mata Gigi terbelalak, ketika di hadapannya Nue sedang memangku dagunya di tepi kasur, memandangi Gigi. Jarak hidungnya dengan hidung Gigi hanya terpaut beberapa inchi saja, otomatis wajah Gigi memerah.
Gigi langsung saja bangun dari bantalnya, “bwahhh..!! kak Nue ngapain?”
Nue terkekeh pelan, “hehe.. nunggu kamu bangun lah.. sudah jam berapa ini?”
“hah? Emang aku tidur berapa lama?” Gigi segera saja menengok jam dinding. “hah?? Jam setengah tujuh lebih! Kakak kok ga bangunin aku sih?”
“habisnya nyenyak banget, ga tega jadinya. He he he..” ujar Nue dengan nyengir kuda.
Gigi melongo sambil menggerak-gerakkan kelopak bawah mata kirinya, lalu dengan sebuah hentakan ia bangun dari kasur itu dan buru-buru keluar dari kamar Nue.
“lho, Gi.. mau kemana?” tanya Nue heran.
“mau ke Ancol! Ya pulang lah.. aku ada kuliah jam 7 ini..!” seru Gigi yang sedang memakai sandalnya. Karena terburu-buru jadi salah masuk terus kakinya.
“oh.. hehehe.. ya dah aku anterin, biar cepet.” Ujar Nue, ia langsung mengambil kunci motornya.
“eh? Gapapa nih?” tanya Gigi ragu, tapi juga pengen.
Nue berjalan melewatinya dan menghidupkan mesin motornya, memanaskannya. “iyalah gapapa.. kamu dah banyak bantu aku semalem juga..”
Gigi pun mengangguk, meskipun sebenarnya ia tidak mengharapkan balasan dari Nue untuk apa yang ia lakukan semalam. “ooh.. oke.”
Jadilah Gigi di bonceng Nue menuju kos-kosannya. Angin pagi yang dingin membuat mata Gigi kering. Di tengah hembusan angin yang mendera itu, lagi-lagi tangan Gigi gatal. Gatal untuk memeluk tubuh Nue. Tapi saat tangan Gigi sudah nyaris tidak terkontrol lagi, suara Nue memanggil namanya, membuat tangannya kembali diam.
“Gi..! katanya kamu orang Jember, kok ngekos?” tanyanya agak lantang.
“iya, rumahku jauh dari kampus.. ga ada kendaraan juga, ya udah ngekos aja, praktis.” Jawab Gigi.
Nue meng “ooh” singkat, lalu tidak ada lagi perbincangan diantara mereka hingga motor Nue berhenti di depan gerbang kos-kosan Gigi.
“oke, makasih kak..” ujar Gigi yang tengah menyentuh gagang gerbang.
“oke, sama-sama.” Nue sudah hendak mengegas motornya,tapi suara Gigi mencegahnya.
“kak..!” panggil Gigi, wajahnya tampak serius memandang Nue.
Nue megeryitkan alisnya melihat ekspresi Gigi. “hm? Ada apa?”
“ja.. jangan lupa minum obat..”
Nue termenung setelah Gigi mengatakan hal itu, setelah itu ia tersenyum dan mengegas motornya. “iya.. makasih “ ujarnya, lalu ia pun melajukan motornya.
Sementara Gigi masih berdiri di sana, memandang sosok Nue yang kian menjauh dan akhirnya menghilang.
***
“bruk bruk brukk..!!”
Deru langkah kaki Gigi yang menuruni tangga menggema di kos-kosannya. Tampak ia tergesa-gesa.
‘yah, apes..! udah jam tujuh lewat baru berangkat..!’ gerutu Gigi.
Tempat kos Gigi memang tidak begitu jauh dengan kampus, tapi juga butuh waktu cukup lama untuk bisa sampai ke kampus, apalagi hanya dengan berjalan kaki.
Akhirnya Gigi harus berjalan cepat dan melalui jalan-jalan tikus supaya bisa cepat sampai. Megingat wajah angker dosennya saja sudah membuatnya merasa berada di uji nyali.
Setelah terseok-seok melewati jalan sempit dan bersemak, akhirnya ia bisa sampai di jalan yang agak luas. Tinggal beberapa meter menuju jalan raya, dan beberapa ratus meter lagi menuju kampusnya. Hyuuh... -_-
Baru saja ia menyusuri jalan itu beberapa langkah, ia berhenti dan cepat-cepat ia bersembunyi di balik pohon di dekatnya. Sementara sebelah matanya mengintip dari balik batang pohon.
Beberapa meter di depannya tampak sepeda motor besar berhenti di depan sebuah rumah. Motor itu dikemudikan seorang cowok yang tidak begitu jelas terlihat wajahnya. Cowok itu membonceng seorang cewek yang familiar di mata Gigi.
‘Kak Grace?? Ngapain Kak Grace pagi-pagi... dibonceng sama cowok lain lagi??’
Cewek itu memang Grace, tidak salah lagi. Gigi terus mengawasinya dengan dada berdebar-debar.
Tampak Grace turun dari motor itu, lalu dengan mesranya ia mencium...
‘hah? Ciumm??’
Mata Gigi benar-benar terbelalak saat Grace dengan santainya mencium bibir cowok itu, di tempat umum!
Gigi buru-buru berbalik dan bersandar pada batang pohon. Pupilnya masih menyempit da dadanya berdebar-debar. Berdebar kencang karena terkejut, juga marah.
‘kak Grace?? Bisa-bisanya..’
Gigi pun berbalik dan mengintip lagi. Kini Grace tersenyum dan melambaikan tangannya pada cowok itu yang segera berlalu, lalu ia pun memasuki rumahyang tampaknya kos-kosannya.
Begitu Grace menghilang, Gigi berjalan mendekati kos-kosan itu. Matanya dengan tajam menatap kos-kosan itu, seolah yang ia pandangi saat ini adalah Grace. Dadanya sudah dipenuhi oleh api kemarahan yang siap meledak keluar.
‘kak Grace, bisa-bisanya kamu... Kamu ternyata sama sekali ga pantes buat kak Nue! Nggak, aku ga rela!’
Gigi pun meninggalkan tempat itu. Tekadnya sudah bulat. Dia tidak bisa membiarkan hal itu. Ia tidak rela melihat Nue yang begitu mencintai Grace, tapi nyatanya Grace bermain di belakangnya. Gigi sama sekali tidak ingin mengalah pada orang seperti itu. Tidak!
***
Gigi menjatuhkan tubuhnya dengan penuh kelegaan di kasurnya. Seharian ia kuliah di kampus. Jadwal kuliahnya memang marathon dari jam 7 pagi hingga menjelang maghrib.
Untuk sejenak ia menikmati relaksasi pada punggungnya sambil berkedip-kedip menatap langit. Pemandangan tadi pagi masih terpatri jelas di benaknya, seolah baru saja terjadi.
‘ Grace keterlaluan! Kak Nue harus tahu hal ini. Dia harus tahu kalau orang yang dia cintai itu sama sekali ga pantes buat dia!’
Dengan tekad yang mantap itu, dan dengan sebuah hembusan napas dalam ia bangkit lalu segera ke kamar mandi.
‘ya, aku harus cepet ngasi tahu kak Nue..’gumamnya dalam hati
Usai mandi dan sholat, ia pun segera berangkat menuju kos-kosan Nue. Letak kos-kosan Nue agak jauh, sehingga akan butuh waktu lama bagi Gigi untuk bisa sampai ke sana. Namun itu bukan masalah bagi Gigi yang sudah terlanjur terbakar emosi.
Gigi akhirnya sampai di depan gerbang kos-kosan Nue. Ia membungkuk berpangku pada lututnya sambil menghela nafas. Karena berjalan dengan tergesa dan emosi membuatnya cepat lelah. Setelah ia meghapus sedikit peluh di dahinya, ia pu melangkah masuk ke dalam kos-kosan itu.
Begitu sampai di depan kamar Nue, ia mengetuk pelan pintunya.\
“dok dok dok... assalamualaikum...”
Hening, tidak ada jawaban.
“dok dok dok... kak Nuee....”
Masih tidak terdengar jawaban.
Akhirnya Gigi pun mencoba mengitip di celah tirai yang sedikit terbuka. Kamarnya gelap.
‘apa kak Nue tidur?’ tanya Gigi dalam hati.
Ia pun menghela napas panjang sambil berbalik. Ia termenung sesaat. Ia tidak melihat sepeda motor Nue. Ya, dia baru sadar kalau sepeda motor dan sepatu Nue tidak ada!
Lutut Gigi serasa lemas. Jauh-jauh ia berjalan kaki untuk bisa sampai ke sini, dan ternyata orang yang ia cari tidak ada di sana.
‘kak Nue ke mana sih??’ bisik Gigi.
“cari siapa dek?”
Gigi menoleh pada suara yag megagetkannya itu, ternyata seorang cowok yang sedang memanaskan mesin motornya.
“emm.. cari kak Nue..”
Cowok itu mgeryitkan alisnya,”Nue? Wah, dia lagi keluar dek. Kerja katanya..”
‘kerja? Kemarin baru kambuh sekarang kerja lagi??’
“hmm.. ya udah deh. Makasih ya kak.” Ujar Gigi sambil melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu.
“oke..” jawab cowok itu singkat.
Sementara Gigi melangkah dengan kecewa.
‘padahal ini urgent, tapi kak Nue malah ga ada. Ya sudahlah.. besok. Besok harus..!’
Sementara itu, di tempat lain, Nue tengah sibuk dengan komputer di bilik operator. Matanya tampak serius memandangi layar komputer. Apa sih yang Nue lihat? Bokep kah? Hehe..
Pastinya bukan bokep. Saat ini dia sedang menuggu seseorang di Fb. Matanya berubah cerah ketika sebuah pesan chat mucul di fb-nya. Segera saja dia buka chat itu.
‘barangnya sudah ada nih. Fotonya ntar aku tag ke kamu.’
Nue pun menunggu sebentar hingga muncul sebuah notifikasi.
Begitu ia buka, ternyata benar, itu foto yang daritadi ia tunggu-tunggu.
Seketika senyum Nue mengembang. Ia pun membalas chat orang tadi. “sip.. besok deh aku transfer ya. kita deal, kan, harga segitu?”
Agak lama, barulah orang itu membalas chatnya. ‘yo’i. Santai mah, kalo sm aku.. btw buat siapa sih? Tumben kamu suka barang beginian.’
Nue tersenyum melihat kalimat itu, dengan lincah jarinya membalas pertanyaan itu. ‘ada sudah.. hehehe. Oke thx ya mas.’
‘oke’ balas orang itu tak lama kemudian.
Setelah itu Nue menyandarkan punggungnya di kursi operator yang empuk. Kepalanya ia sandarkan pada kedua tangannya yang menyilang, sementara wajahnya menerawang ke jendela. Tersenyum, membayangkan bagaimana ekspresi Grace saat ia menerima kejutannya itu.
Malam itu, Nue datang di warnet tempat ia bekerja sebenarnya bukan karena sift kerja, tapi karena ia menerima gaji pertamanya. Kebetulan omenk juga izin tidak kerja karena ada urusan (meskipun Nue ragu apa benar itu urusan yang mendesak.) akhirnya Nue pun menjaga warnet malam ini. Itu bukan masalah bagi Nue, toh dia sudah mendapatkan apa yang ia inginkan.
Setelah beberapa bulan bekerja, gaji yang ia kumpulkan ditambah dengan uang beasiswanya yang baru saja cair, sudah cukup untuk membeli apa yang Grace inginkan.
Nue sengaja memesan pada kenalannya di batam yang bekerja di bea cukai, supaya bisa mendapatkan barang dengan harga yang lebih miring. Hehe.. BM sih.. tapi setidaknya itu seri terbaru , dan setidaknya Grace tidak akan tahu. :P
‘sabar ya Honey... sebentar lagi, akhirnya aku bisa bikin kamu senang.. ‘ bisiknya dalam hati. Membiarkan angannya membumbung tinggi. Seolah tidak pernah takut, untuk jatuh ke bawah, ke dalam sebuah kenyataan yang saat ini Gigi pendam.
***