It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
COWOK BUAH BIBIR
Siang itu, di salah satu sudut sekolah. Di taman belakang laboratorium yang rimbun dan jauh dari ramainya suasana sekolah, gadis-gadis berseragam putih abu-abu itu berkumpul...
“Huhhh! Capek banget MOS hari ini!” desah Nera, gadis berambut kriwil sebahu itu, sambil duduk lesu di bibir taman.
“Rempong semua tuh senior!” dengus Siska si tomboy yang cantik, memilih berdiri menyandarkan tubuh semampainya ke dinding.
“Tenang girls, cuma lima hari!” sahut Vita, gadis yang berkaca mata dan berkuncir kuda, duduk di sebelah Nera.
“Dan kita baru dapat tiga hari!” susul Nike, yang paling mungil dengan beberapa butir jerawat merah di pipinya.
“Bukan ‘baru dapat tiga hari’, Nike... Tapi ‘sudah dapat tiga hari’!” sahut Vita membenahi kalimat temannya.
Empat gadis kelas satu yang sepertinya memiliki kekompakan dalam banyak hal. Paling tidak, mereka kompak menentukan tempat untuk berkumpul siang itu!
“Tapi untung ada kalian!” ucap Nera dengan senyum simpul. Akhirnya.
“Yap, kita!” sahut Nike, mulai kembali bersemangat setelah beberapa saat sebelumnya tampak gelisah dan payah.
“Cuma aku sama Vita yang sebelumnya satu SMP. Kenal sama kalian karena ikut bimbel di tempat yang sama. Sekarang kita satu sekolah, this is cool!” Siska akhirnya juga ikut bersemangat, menepis raut cemberutnya yang tadi tampak menyebalkan untuk siapapun yang melihatnya!
“Sayangnya kita nggak sekelas. Cuma aku sama Vita yang sekelas!” desah Nera.
“Yang penting kita punya selera yang sama!” seloroh Vita cerah.
“Yap, itu yang terpenting! Dan itu tujuan kita berkumpul di sini kan?!” cetus Siska.
Nera tersenyum makin mengembang. “We are...”
“FUJOSHIIIII...!!!” mereka berempat kompak tosh seraya tertawa keras-keras!
“Hahahaha...! Jadi gimana nih, gimana tangkapan mata kalian setelah tiga hari ini?!” Nera langsung menggebu membuka bahan obrolan.
“Kalau seniornya sih jelek semua!” gerutu Siska.
“Aku juga belum ketemu yang keren!!! Makanya, aku penasaran sama cerita kalian! Siska bilang kalian udah punya pandangan yang cling! Cerita plisss...!” Nike langsung merengek.
“Huuuhhh...! Dia itu temanku SD, sumpah aku masih ingat! Seingatku dulu dia tuh cupu! Tapi aku nggak nyangka sekarang dia secakep itu! Oo my Goddd!!! Surprise aku ngelihatnya!” kali ini Siska langsung meledak-ledak seperti tukang obat!
“Kasihan! Kamu jadi teman dia waktu masih ingusan! Masih untung aku ya, jadi teman dia waktu SMP, paling nggak dia udah nongol cakepnya!” cibir Nera ke Siska.
Siska meliukkan bibir seksinya ke Nera. Lalu akhirnya melipat pinggul bohay-nya, berjongkok di hadapan ketiga temannya sambil memasang muka jutek.
“Astaga Siska, yang bener dong duduknya! Kelihatan tuh celdam merah!” tegur Vita main tunjuk.
Dengan cuek Siska merapatkan pahanya yang agak terbuka.
“Secakep apa sih anaknya???” Nike makin menggebu penasaran.
“Tadi Nera udah nunjukin ke aku. Yup, memang cakep sih!” gumam Vita sambil memainkan kuncir kudanya, mengulas senyum genit seolah ada imajinasi yang sedang bermain-main di benaknya. “Kalau diamat-amati, dia itu mirip yang main di film Dive...!” gumamnya lagi.
“DIVE...???” Nike terbelalak. “Kento Hayashi...???”
“Neraaaa!!! Kenalin dong sama dia! Kamu kan temannya waktu SMP!!!” tiba-tiba Vita langsung alay, menggoyang-goyang tubuh Nera.
“Tapi aku nggak pernah sekelas sama dia!!!”
“AAAHHHH!!! Dasar Nera!!! Cuma satu sekolah aja, berarti kamu tuh nggak kenal sama dia kan???” kali ini Siska membalas Nera.
Nera cuma tersenyum nyengir, mengeluarkan permen dari kantong bajunya yang menonjol lalu mengulumnya dengan raut genit.
“Tapi setidaknya kan aku tahu muka cakepnya itu udah lebih lama dari kalian!” cetus Nera cuek.
“Mungkin sebenarnya waktu SD dia juga udah cakep! Cuma aku masih terlalu kecil aja buat faham cakep nggaknya seseorang!” tukas Siska ngeles. “Setelah sekian lama, aku baru lihat dia lagi kemarin! Dan pikiranku langsung kemana-kemana! Sumpah, candu banget tuh mukanya!”
“Berarti sekarang udah faham kan cakep nggaknya seseorang?!” cibir Nera.
“Banget!” cetus Siska pede.
“Eummmmm... Kento Hayashiiii...!” Nike meracau, ala puteri alay yang manja!
“Menurut kalian yang udah lihat, apanya sih yang menarik dari dia?” lontar Nera ke teman-temannya.
“Belum terlalu ingat sih sama mukanya, lihat juga baru tadi!” sergah Vita jutek. “Tapi kalau pemain Dive itu aku paling suka sama bibir, mata, sama alis...!”
“Kentoooo!!!” racau Nike lagi.
“Nggak jelas ah kamu, Vit! Yang kita bicarain tuh bukan pemain ‘so what movie’ itu!” tukas Siska bawel.
“Tapi mirip dia!” Vita ngeyel.
Nike meracau lagi. “Mirip Ken...”
“Udah! Nggak jelas juga kamu, Nik!” Siska ganti sewot ke Nike.
“Kamu suka apanya, Sis?” Nera melontarkan pertanyaan ke Siska yang sewot itu tanpa peduli dengan perdebatan teman-temannya.
Siska terdiam sekarang, matanya membayangkan sesuatu.
“Kelamaan!” dengus Vita mengejek Siska. “Pokoknya aku suka apa-apanya deh! Intinya dia cakep!”
“Iya. Intinya sih dia cakep!” akhirnya Siska setuju dengan Vita. “Sial banget sih kita, nggak ada yang sekelas sama dia?!!”
Keempat cewek itu manggut-manggut lesu, menyadari posisi dimana mereka cuma bisa menduga-duga cowok yang sedang mereka bayangkan! Tak ada yang sekelas dengan cowok yang mereka bicarakan itu.
“Udah deh, nggak usah jadi galau gini soal kelas! Sekarang, ayo kita bayangkan lebih jauh!” kali ini Nera tampak mengerling dengan sorot mata nakal. “Menurut kalian... dia itu tipe Seme atau Uke???”
Vita dan Siska terdiam mendengar pertanyaan Nera. Mereka saling menatap bergantian. Hingga kemudian tawa kecil Vita yang genit menyelinap dari bibir tipisnya.
“Menurutku sih... Dia cocoknya jadi Uke! Wajah imutnya tuh kayaknya innocent!” gumam Vita malu-malu.
“Innocent??? Nggak, menurutku dia nggak innocent! Menurutku sorot matanya tuh nakal!” sergah Siska, membayangkan yang beda dari Vita.
“Eemmhhhh... Aku rasa kalian berdua benar sih! Muka dia tuh memang cenderung unyu, tapi sorot matanya kadang terlihat laki banget!” sela Nera menengahi.
“Mukanya Kento juga gitu deh...!” Nike ikut menyela.
“Jadi kalau diistilahkan... it’s like... inner badass!!!” terawang Nera, senyum-senyum sambil mengulik rambut kriwilnya.
“Tapi juga bukan berarti dia nggak cocok jadi Uke sih...” gumam Siska. “Coba bayangkan, seorang Uke yang cute tapi juga punya sisi liar! That’s freaky sexy!”
“Iya juga ya?” sahut Vita ikut larut terbayang-bayang.
“Kalau dia Uke... berarti Seme-nya yang cocok siapa???” umpan Nera.
“Siapa ya? Denny???”
“Denny yang dulu satu bimbel sama kita??? Kamu gila, Vit? Denny ember gitu anaknya! Memang lumayan cakep sih, tapi aku telanjur illfeel sama dia!” tukas Siska sewot. “Mending si Didot lah daripada si Denny!”
“Didot? Teman kita waktu SMP itu??? Masa Seme-nya anak alay gitu sih?!” Vita ganti menyanggah.
“Tapi waktu ikut cosplay keren tuh anak!” balas Siska.
“Tapi begitu lepas kostum nggak bisa diumpetin noraknya! Aku nggak rela kalau si Didot jadi Seme-nya!” cerocos Vita.
“Gimana kalau si Edwin? Teman kita waktu bimbel juga, dulu kan kita juga rajin ngomongin dia! Kan keren juga tuh cowok!” cetus Nera.
“Edwin yang mirip Jerry Yan itu? Emmhhh... Boleh juga tuh!” sahut Vita sambil nyengir.
“Jerry Yan yang nggak punya bulu ketek itu??? Masa dia yang jadi Seme-nya sih??? Nggak ah!” sergah Siska sewot lagi.
“HAAAHHH???!!!” Nera tersentak.
Vita ternganga. “Kok sampai bulu ketek segala sih?!!” sempritnya agak tinggi.
“Ya iyalah! Masa cowok keteknya mulus sih?! Aneh tahu!” tukas Siska cuek.
“Tapi yang kita maksud kan si Edwin, bukan Jerry Yan?” balas Nera.
“Naruto nggak ada tuh bulu keteknya! Tapi kamu tetap suka juga kan, Sis? Aneh deh kamu!” cibir Vita sambil bergidik antara aneh dan geli.
“Susah aja kali, Vit, bikin kartun pakai bulket! Kalau Naruto itu nyata, aku yakin dia pasti ada itunya lah! Tambah sexy pastinya!” gumam Siska mengerling dengan senyum nakal.
Nera dan Vita cuma bisa tersenyum canggung dan bingung, merasa aneh dengan pendapat Siska. Sedangkan Nike yang cuma bisa diam, ya, tak ada yang bisa dikomentarinya. Melongo di tengah-tengah perdebatan teman-temannya.
“Terus, kalau teman SD-mu yang cakep itu ternyata mulus juga, kamu bakal nggak suka lagi sama dia?” balik Nera ke Siska.
Siska berpikir-pikir sedikit kikuk. “Harusnya sih udah numbuh lah! Paling nggak dia kan udah 16 tahun! Masa belum numbuh sih?!” cetusnya kemudian dengan pede.
“Kalau ternyata dia lebih suka cukuran?” Vita mengulik tambah jauh.
“Ada buktinya?” tantang Siska.
“Ya nggak sih...”
“Nah! Buktiin dulu dong, baru aku jawab!” timpal Siska sambil tersenyum enteng. “Dia itu, kalau aku harus ngasih pendapat... mungkin aku rela operasi ganti kelamin jadi cowok, demi menjadi pasangan yaoi-nya!”
“Astagaaa...!” sentak Vita.
“Sis, nyebut! Kita sama-sama Fujoshi, tapi kayaknya kamu udah sampai ke tahap ‘sakit’ deh!” cetus Nera dengan mimik bergidik.
“Kamu jadi cowok buat jadi Seme, dan dia jadi Uke-nya??? Sampai kiamat aku nggak rela! Kamu mau ganti kelamin sih terserah, tapi aku nggak rela dia jadian sama pemuja bulu ketek kayak kamu!” tandas Vita menggebu.
“Atau... kalau kamu bisa jepret foto atau rekam video dia yang kelihatan bulu keteknya, aku rela lesbian sama kamu buat seminggu deh, Vit!” seloroh Siska tanpa malu-malu.
“O my GODDD!!!” seru Nera mengacak-acak rambut kriwilnya.
“Lesbian sama cewek yang doyan bulu ketek cowok??? Goblok banget aku lesbian sama abal-abal! Cowok cakep masih banyak, dan aku juga nggak jelek-jelek amat!” kilah Vita dengan percaya diri.
“Apa kamu bisa mengharapkan kesetiaan dari pacarmu yang cowok, kalau kamu sendiri suka menjodohkan cowok sama cowok?! Ingat, we are Fujoshi!” balik Siska.
“Aku rela kok kalau pacarku punya boyfriend! Yang penting boyfriend-nya bisa terima keberadaanku di tengah-tengah mereka. Dan yang penting nanti nikahnya tetap sama aku! Adil kan?” Vita menjawab dengan enteng.
“Girls, udah deh! Kayaknya pembicaraan kita udah makin aneh!” seru Nera tak kuat menahan pendengarannya lagi.
“Yang kita omongin kan masih dalam konteks Fujoshi, Ra?!”
“Iya, Sis, tapi bagiku Fujoshi adalah hiburan! Kalau jadi kusut berarti udah nggak menghibur lagi! Bagiku omongan kita sekarang udah kusut! Okey?” ujar Nera, kusut!
Vita dan Siska tersenyum mengangkat bahu.
“Hahaha... Aku cuma becanda kok! Masa aku mau lesbian sama Vita sih?!” dengus Siska sambil tertawa sengau.
“Tetap aja soal bulu ketek tadi aneh!” sentak Nera.
“Aku kan pemuja laki-laki, tahap akut! Aneh lah, cowok keteknya mulus?!” Siska masih bisa saja berkelit.
“Pantesan kamu tomboy! Jangan-jangan kamu menyesal jadi cewek?!” cibir Vita.
“Jangan-jangan ketekmu juga jambrong?!!” Nera ikut mencibir dengan raut illfeel.
“Nggak lah, biarpun tomboy aku masih menyadari ke-cewek-anku!” gumam Siska santai.
“Udah, udah! Selain aneh dan kusut, omongan ini juga diskriminatif! Kalian nyadar nggak sih? Dari tadi aku cuma bisa diam melihat kalian ribut!” seru Nike tiba-tiba, setelah sekian lama diam tanpa suara di antara teman-temannya.
Nera, Vita dan Siska serentak memandanginya. Memandangi Nike yang paling imut di antara mereka itu.
“Kalian nggak tahu ya? Aku tuh kesal! Soalnya cuma aku yang belum lihat dia! Nggak punya perasaan!” gerutu Nike setengah mengambeg. Dan seperti mau mewek.
“Okey, okey... Sorry deh, Nik... Kita nggak tahu...” gumam Vita tampak merasa menyesal.
“Nanti kita tunjukin deh, Nik! Pasti lah!” ucap Nera menjanjikan, sambil menjewer pipi Nike dengan gemas.
“Jadi kayaknya, mending kita nggak ngendon di sini deh! Kapan bisa lihat dia kalau kita ngumpet di sini?!” tukas Siska jutek.
“Ya udah deh, kayaknya jam istirahat juga mau habis nih. Saatnya balik ke kelas, stand by biar nggak telat ikut sesi berikutnya!” cetus Nera.
“Iya! Jangan ngasih kesempatan ke senior-senior sok penting itu buat menghukum kita!” dengus Vita.
Keempat gadis itu akhirnya bangkit berdiri. Mengakhiri perdebatan. Kompak melangkah meninggalkan taman belakang laboratorium yang sepi itu. Kembali menuju pada keramaian...
Dan mendapati kejadian yang tiba-tiba menghebohkan sekolah mereka!
“Ada yang berantem!!! Ada yang berantem!!!” seru beberapa murid sambil berlari berhamburan!
“Haaahhh???” Keempat gadis itu tersentak kaget.
“Siapa yang berkelahi?!!” Nera bertanya-tanya.
“Mana aku tahu?!” sentak Vita bingung.
“CEPAATTTT!!! Gabung ke TKP...!!!” Siska yang tomboy sudah meluncur lebih dulu meninggalkan ketiga temannya, menuju ke pusat kejadian heboh itu.
Perkelahian???
Ayo kita lihat!
:x :x :x :x :x :x :x :x :x :x
“Istirahat di tempat... GRAKKK!!!” seru salah satu senior di hadapan barisan yuniornya, murid-murid kelas satu yang sedang mengikuti MOS.
Murid-murid kelas satu itu berbaris dalam satu sap, di mana kelompok cowok dipisahkan dari kelompok cewek. Di tengah lapangan yang panas, mereka berbaris dengan raut tegang yang membisu kaku. Bersiap-siap menghadapi inspeksi dari senior mereka.
Salah satu senior yang mengatur barisan itu bernama Faris. Dia sesaat mundur mendekati rekannya sesama senior yang ikut menangani barisan itu.
“Biar aku yang urus!” bisik Faris ke temannya.
Temannya itu tersenyum. “Pakai modus apa?” bisiknya.
“Yang penting bisa kerjain mereka!” sahut Faris dengan senyum runcing, seraya kembali melangkah mendekati barisan adik kelasnya.
Faris yang berbadan tegap dengan potongan rambut ala tentara itu, meneliti satu persatu penampilan yuniornya. Melewati satu persatu, hingga akhirnya dia berhenti tepat di hadapan salah satu anak. Senior yang bertindak bak komandan itu menyunggingkan senyum dinginnya.
“Topi yang kamu pakai miring!” gertak Faris, pelan tapi tegas.
Anak yang ditegur itu menatap agak bimbang sejenak. “Tidak, Kak, saya selalu memakai topi dengan benar,” anak itu kemudian menjawab dengan tenang.
Faris seketika tersentak mendengar jawaban yuniornya.
“Jadi saya yang salah?” Faris balik bertanya, masih dengan suara rendahnya. “Saya senior yang mengurusi kelas kalian. Dan saya salah???”
“Saya hanya tidak merasa ada yang salah pada saya,” jawab anak yang ditegur itu tetap tenang.
“Apalagi senior! Kalian sudah diberitahu, salah satu aturan dalam MOS adalah: senior tidak pernah salah! Jadi kalau aku bilang kamu salah, menurutmu akulah yang salah?!” hardik Faris mulai sengit, merasa ditentang.
“Saya tidak merasa saya salah, jadi yang pasti bukan saya yang salah!” balik yunior itu.
Tiba-tiba Faris menggerakkan tangannya, memutar topi yuniornya itu miring ke samping.
“Aku bilang topi teman kalian ini miring! Sekarang kalian lihat, yang aku bilang benar atau salah?!” bentak Faris ke barisan itu.
Semua diam. Takut. Lalu Faris kembali menatap yunior yang berdebat dengannya itu, dengan mata tajam dan merasa menang.
“Kamu ke ruang itu sekarang!” hardik Faris, menunjukkan jarinya ke ruang di seberang lapangan. Ruangan Gudang Tata Usaha.
Yunior yang terlibat masalah dengan seniornya itu, tak tampak takut sedikitpun. Hanya sedikit lesu. Dia keluar barisan, melangkah menuju ruang yang ditunjuk oleh seniornya.
Faris kembali menghampiri rekannya.
“Sukses! Kamu lanjutin aja urus barisan cowok kelas X-A ini! Aku mau kerjain dulu bocah sok tadi!” bisik Faris ke temannya.
“Hahaha... Jahil kamu, Ris!” dengus temannya tanpa mencegah sedikitpun.
Lalu Faris dengan raut menangnya, melangkah sambil bersiul-siul menuju ke Gudang Tata Usaha di seberang lapangan. Dia memasuki ruangan yang tak begitu besar dan tanpa jendela itu, mendapati yuniornya yang telah lebih dulu berada di ruangan itu. Dia langsung menutup pintu ruangan.
“Duduk!” suruh Faris.
Murid kelas satu itu duduk di sebuah kursi kayu, menghadapi seniornya yang duduk dengan pongah di atas meja menggantungkan kaki. Berhadap-hadapan.
“Siapa namamu?!” tanya Faris dengan dingin.
“Ricky,” jawab anak itu tenang.
“Kamu tahu, setiap kesalahan harus dihukum!” dengus Faris, melipat tangan sambil tersenyum angkuh. “Menurutmu, hukuman apa yang cocok buat yunior yang sok kayak kamu?”
“Saya dihukum karena saya sok?”
“Kamu sok padahal kamu salah!” bentak Faris keras.
“Yang sok sekaligus salah besar, adalah orang yang membuat aturan bahwa senior nggak bisa salah!” balas anak bernama Ricky itu tanpa raut takut sedikit pun.
Faris menahan nafas, tak menyangka akan mendapat jawaban yang tak kenal takut itu dari yuniornya. Dia menatap yuniornya itu dengan sorot wajah menahan geram. Melihat wajah adik kelasnya yang tampak polos tapi tak kenal takut itu!
“Kamu mau melawan?” tantang Faris dengan nada pelan. “Okey, kamu bisa saja tetap merasa benar, tapi apa kamu bisa melawan senior? Coba pikir! Kamu cuma anak baru. Baru tiga hari di sekolah ini! Kamu kira sekolah ini akan menganggapmu penting buat dibela? Aku akui kamu pemberani. Tapi bodoh! Di mana otakmu? Di mana pikiranmu???”
Ricky terdiam. Tapi tak berpaling dari tatapannya ke Faris yang mencoba mengintimidasinya.
“Atau kepalamu udah nggak ada otaknya?” desis Faris.
Faris menatap makin tajam ke adik kelasnya itu. Melihati wajah yang tidak jelek, bahkan bisa dikatakan tampan, terlihat lugu tapi juga memiliki sorot yang begitu menantangnya...! Faris lalu tersenyum culas. Dia menendangkan ujung kakinya yang menggantung, ke dengkul Ricky yang duduk di depannya. Pelan tapi berulang kali seperti sengaja sedang mengetuknya.
“Seperti kepalamu, dengkulmu juga nggak ada isinya!” ejek Faris yang tegap itu. “Bisa kasih tahu, buat jadi bodoh dan serba kosong kayak kamu, apa rahasianya?”
Ricky tetap diam tak bergeming. Menatap dengan wajahnya yang tampak tak nyaman dan begitu terganggu oleh tingkah seniornya itu.
“Tukang coli ya kamu?”
Ricky tetap diam. Tatapannya makin muak.
“Tiga hari sekali, atau tiga kali sehari?” lontar Faris dengan senyum kotor. “Aku tahu, pasti lebih dari tiga kali sehari! Itu yang bikin otakmu nggak sehat, loyo, bodoh! Sama aja kayak dengkulmu!”
Faris menyepakkan kakinya lagi sambil tertawa leceh.
“Masih berani sok hahhh??? Kamu pikir kamu siapa?!!” bentak Faris tak berhenti berusaha menjatuhkan mental Ricky.
Lalu dia mengeluarkan secarik kertas dari saku celananya. Menulis sesuatu dengan ballpoint merah yang dibawanya. Lalu dia menyodorkan kertas itu ke Ricky.
“Sekarang jalani hukumanmu!” hardik Faris dengan senyum culas. “Scotch jump kelilingi meja ini, duapuluh kali! Sambil ucapkan kalimat itu!”
Ricky tercekat menatap kalimat di kertas itu.
“Sekarang!” hardik Faris.
Ricky berdiri dari duduknya. Faris tersenyum lebar melihat adik kelasnya itu akhirnya tampak bersedia menurutinya...
Tapi ternyata...
Ricky meremas kertas itu dalam genggamannya!
“Kamu bisa berkelahi?” tanya Ricky dengan nada tenang.
Faris ternganga kaget.
“Kalau bisa, aku tunggu di luar!” ucap Ricky sambil melangkah menuju pintu.
Wajah Faris seketika berubah merah padam! Naik darah! Dia turun dari mejanya dan dengan sigap menghampiri Ricky...
“Kamu nantang?!!!” hardik Faris, membalikkan pundak Ricky dan...
Bukkk!!!
Satu pukulan melayang di wajah Ricky. Murid kelas satu itu gontai. Tapi dia tidak sampai terjatuh. Sesaat langsung berhasil menguasai diri, dan...
Bukkk! Bukkk! Bukkk!!!
Tiga pukulan telak mendarat di perut Faris. Murid senior itu mengerang tertahan, lalu limbung jatuh bertekuk lutut. Terbungkuk memegang perutnya. Roboh di bawah kaki Ricky!
Sesaat kemudian, pintu terbuka dari luar dan...
“Hahhh??? Ada apa ini???” seorang pria berseragam guru terbelalak melihat pemandangan di ruangan itu!
Sebaliknya, Ricky masih dengan wajah tenangnya tak menjawab. Meski tenang, tapi di tengah deru nafas panasnya terpancar sorot kemarahan sekaligus kemenangannya.
Baru kemudian...
“Kami berkelahi!” jawab Ricky.
~O)
“Heiii!!! Sudah sana-sana, balik ke kelas!!!” seru Pak Minto sambil mengibas-ibaskan tangannya mengusir murid-murid yang tampak berjejalan mengintip lewat jendela.
Tapi suara cempreng guru BP yang terdengar kurang berwibawa itu belum berhasil membubarkan para pengintip. Baru setelah Pak Gono yang gemuk dan berkumis lebat anjak dari kursinya sambil melotot seperti matanya mau keluar, murid-murid yang mengintip itu bubar tanpa sisa.
Dua guru BP itu lalu kembali menghadapi dua murid yang sedang disidangnya. Melanjutkan interogasi di ruang pembinaan itu. Pak Gono memandangi dengan bola matanya yang secara alami memang sudah seperti mau keluar dari kelopaknya, mengamati Ricky yang wajahnya agak lebam akibat kena pukulan. Lalu beralih melihat Faris yang memegangi perut dengan kening berkerut, seperti sedang terkena serangan sembelit akut!
Ya, perkelahian antara dua murid beda angkatan itu telah dipergoki oleh guru Tata Usaha yang kebetulan sedang mampir ke gudang tempat perkelahian terjadi. Keduanya lantas digelandang dan diserahkan ke BP, dan mau tak mau menjadi pusat perhatian murid-murid lainnya.
“Kamu bilang, ini salah dia?” Pak Gono bertanya ke Faris yang terduduk lesu, jari telunjuknya menunjuk Ricky.
“Tapi dia bilang, kamu yang memukul duluan?” Pak Minto turut menanyai Faris.
“Awalnya saya cuma mau kasih hukuman karena dia melanggar tata tertib, Pak. Tapi dia tidak mau respek...!” jawab Faris tanpa berani memandang wajah siapapun yang ada di ruangan itu. “Secara emosi saya memang tersinggung. Tapi dia memukul saya berulang kali, tidak sebanding dengan saya yang cuma memukul sekali, itupun karena dia tidak menghargai saya sebagai seniornya! Buat apa senior ditunjuk sebagai pembimbing MOS kalau cuma buat disepelekan?!!”
Dua guru BP itu setengah melongo, memandangi Faris yang tampak seperti korban yang sedang menggugat keadilan. Faris yang berbadan tegap, dan Ricky yang tidak setegap dia.
“Lha tapi kamu juga ndak bisa dibenarkan kalau main pukul! Memangnya MOS itu ujian karate???” cetus Pak Gono yang berbibir tebal dengan logat medok.
“Tapi memang dia menantang saya berkelahi, Pak! Jadi masalahnya bukan siapa yang mukul, tapi siapa yang punya niat berkelahi! Dia yang nantang!” Faris masih ngeles sambil melirik sengit ke Ricky yang duduk tenang di sampingnya.
“Lha berarti ya yang mukul duluan itu yang niatnya berkelahi! Kalau kamu ndak punya niat berkelahi, mau ditantang kayak gimana ya ndak bakal kamu mukul duluan tho?!” balik Pak Gono lagi.
“Jadi saya yang salah, Pak?!!” sergah Faris meninggi.
“Kalian berdua sama-sama salah!” seru Pak Minto juga meninggikan suaranya. Tapi kemudian langsung batuk-batuk seperti salah ambil nafas.
“Ndak usah kencang-kencang, Pak Minto, asma sampeyan kambuh nanti!” Pak Gono mengingatkan rekannya itu. Lalu guru berkumis lebat itu segera melotot lagi kepada dua murid yang sedang disidangnya. “Memangnya dia salah apa, sampai kamu mau ngasih hukuman?” tanyanya ke si murid senior.
“Dia...” Faris hendak menjawab, tapi lidahnya langsung tercekat tak bisa meneruskan kalimatnya.
Sebaliknya, Ricky tetap duduk dengan tenang dan tampak sedikit tersenyum jengah menghadapi tingkah seniornya di hadapan guru BP.
“Salah apa dia?” tanya Pak Gono lagi.
“Jelas saja dia nggak bisa jawab, Pak. Kesalahan saya sengaja dicari-cari!” dengus Ricky pelan. “Semua teman saya satu barisan bisa jadi saksi, kalau saya tak melakukan kesalahan!”
Dua guru itu tak terlihat terkejut ataupun merasa aneh. Seolah mereka juga sudah maklum, bahwa sudah biasa yang namanya senior selalu mencari-cari kesalahan yunior selama MOS. Meski sesungguhnya itu juga tidak bisa dibenarkan.
“Tapi apa itu cukup jadi alasan, buat kamu nantang senior kamu? Biar bagaimana juga, MOS itu program resmi sekolah dan senior-senior kalian sudah diijinkan untuk menjalankan tugasnya!” jelas Pak Minto.
“Tapi melecehkan yunior itu tidak termasuk dalam tugas kan, Pak?” balik Ricky.
“Melecehkan???” ulang Pak Gono dengan mimik mendelik, meski tetap saja matanya tidak berhasil menyipit.
Faris langsung tertunduk. Wajahnya sekarang mulai memucat.
“Melecehkan bagaimana?” kulik Pak Minto dengan kening berkerut.
Ricky melirik seniornya yang tak mampu mengangkat wajah. Dia sekali lagi tersenyum melihat seniornya itu tampak terpojok. Senyum semu yang menyiratkan kemenangan, tapi juga bercampur kemarahan yang tertahan...
Senyum yang juga menyiratkan secercah belas kasihan...
“Hanya karena dia senior lalu mau menghukum saya dengan kesalahan yang dicari-cari, saya anggap itu melecehkan harga diri saya!” ucap Ricky pelan dan dingin.
Pak Minto dan Pak Gono, dua guru BP itu diam sesaat memandangi Ricky yang tampak tenang. Lalu keduanya menghela nafas. Pak Minto mengangguk-angguk, sedangkan Pak Gono geleng-geleng.
“Sudah, saya tak mau berbelit-belit lah! Saya faham kasus seperti ini, ini bukan yang pertama kalinya terjadi! Berkelahi, nilai pelanggaran kalian 40! Sekali lagi diulangi, skorsing satu minggu! Yang ketiga kali, kalian out dari sekolah ini! Mengerti?!” ujar Pak Minto seperti sudah capek.
“Saya terima, Pak, selama hukuman buat dia juga sama! Saya cuma nggak mau direndahkan, tapi saya tetap mengakui kalau berkelahi itu memang pelanggaran!” sahut Ricky datar.
“Cah bagus! Jantan kowe le...!” tiba-tiba Pak Gono tertawa kepada Ricky. Hanya sesaat, kemudian dia langsung cemberut lagi. “Tapi terlalu jantan juga ndak bagus! Sedikit-sedikit berkelahi! Kalau niatnya jadi gali ya ndak usah sekolah, iya tho?!”
“Saya nanti akan bicara sama Bu Susi yang bagian Kesiswaan, sama Wali Kelasmu juga, biar kamu tak usah jadi pembimbing MOS lagi. Nggak cocok! Disuruh membimbing kok malah main pukul!” tukas Pak Minto ke Faris.
“Wali Kelasmu juga, nanti kami beritahu biar kamu diawasi! Kalau diibaratkan mercon, kayaknya kamu ini tipe sumbu pendek!” Pak Gono gantian menukas Ricky. “Baru tiga hari sudah berantem!”
“Terima kasih, Pak!” dengus Ricky setengah membuang nafas, seperti menyiratkan ketidaksetujuan jika dirinya disebut sumbu pendek.
Sedangkan Faris tak mampu berucap, menggigit-gigit bibirnya menahan kekesalan. Tapi dia sudah kalah. Dipermalukan karena sejak awal dia sudah menanam niat culas!
“Wis, wis, saiki bubar! Balik maning ke kelas, ini udah mau jam pulang!” Pak Gono menutup sidang dengan menyuruh murid-murid itu kembali ke kelas.
Ricky dan Faris berdiri dengan lesu, beranjak meninggalkan ruang BP itu. Langkah payah mereka tiba di luar. Dan Ricky segera menunjukkan taringnya sekali lagi di hadapan Faris!
“Masih ada tulisan ini di tanganku!” Ricky menunjukkan selembar kertas kucal yang habis diremas. “Aku punya bukti seperti apa perilakumu terhadap murid-murid kelas satu. Aku bisa beberkan, tapi aku memilih tak menelanjangi kebusukanmu! Mungkin saat ini belum perlu. Aku anggap kamu tahu maksudku!”
Faris menahan deru nafas geramnya yang sudah kalah telak. Tak pernah menyangka, bahwa yuniornya yang bernama Ricky itu ternyata bukanlah cacing yang bisa diinjak, tapi ular yang tangkas berkelit dan di saat yang sama telah mematuknya!
“Kamu harusnya sudah cukup malu!” lontar Ricky. Meski sepertinya tak pantas, tapi senyum sinis meraut tipis di wajahnya. Semu.
Lalu dia pergi, meninggalkan Faris, pecundang itu!
Ricky berjalan lesu menyusur koridor panjang yang masih menyisakan beberapa siswa di luar kelas. Mereka saling melihat wajah murid kelas satu yang baru saja berurusan dengan BP itu, selempar pandang, mencuri mata bergantian. Ada kekaguman, ada rasa salut, tapi ada juga kejengahan. Berkelumit dalam bisik-bisik antara yang satu dengan yang lain.
Tapi Ricky tak peduli. Baginya, semua sudah cukup melelahkan siang itu. Untungnya, bel tanda pulang sekolah sepertinya faham dengan perasaannya. Berdering menutup jam terakhir hari itu!
Di ruang kelasnya, Ricky disambut hangat meski tidak semua teman lantas mengerubunginya. Beberapa mengelu-elukannya. Yang lain lebih memilih segera angkat kaki untuk pulang, tak terlalu peduli. Tapi yang pasti satu teman masih bertahan duduk di samping Ricky meski yang lain sudah pulang. Dia teman sebangku Ricky, tampak berbinar-binar memuji-muji.
“Kamu pahlawan, Rick!!!” Robi menggablok bahu teman sebangkunya yang habis menghajar murid senior itu. Tampak puas dan girang!
“Biasa aja!” sahut Ricky datar.
“Nggak! Nggak biasa! Kamu udah ngasih pelajaran ke senior belagu itu!” tandas Robi mengebu-gebu seolah ada kekesalan yang telah terlepaskan. “Berapa tuh harga lebam di mukamu itu? Kamu balas gimana ke dia???”
“Dia mukul duluan, satu kali ke mukaku. Aku balas tiga kali ke perutnya!”
“Perut??? Ahhh...! Sayang, nggak bakal kelihatan bonyoknya!”
“Kalau mukul ke muka, cenderung gampang ditebak dan ditangkis. Kalaupun kena biasanya masih bisa berdiri dan ganti membalas. Kalau ke perut, paling tidak dia nggak akan sanggup berdiri dalam waktu cepat!” urai Ricky santai sambil mengemasi ranselnya.
“Iya, pasti sesak banget ya! Apalagi kalau pas ulu hati! Kamu ikut beladiri ya?” Robi kian antusias mengulik.
“Nggak. Cuma tahu teorinya sedikit,” jawab Ricky simpul. “Kamu lega sekarang?”
Robi menatap Ricky sesaat tanpa berkata-kata. Cuma mengangguk pelan.
“Yang kamu bilang ternyata memang benar. Si Faris itu abusing banget orangnya!” ucap Ricky, seraya membenahkan ransel ke punggungnya. Lalu dia masih di kursinya, merenung sambil melipat jemari di atas meja.
“Ya, aku nggak bohong kan? Apa yang dia lakukan ke kamu tadi?” tanya Robi pelan.
“Nggak usah aku ceritain. Intinya, tujuan dia sama seperti waktu melakukannya ke kamu kemarin. Melecehkan orang yang dia kira lemah dan takut!” gumam Ricky lirih.
“Kamu ceritakan semua ke BP?”
Ricky mendesah lesu. “Kalau aku ceritakan semua, nanti bisa mempermalukan kamu dan yang lain. Yang penting si Faris itu sudah kena batunya! Dia nggak akan mengulangi perbuatannya lagi!” ucapnya.
“Iya, benar. Anak kelas sebelah juga ada yang di-bully sama dia!” geram Robi menahan emosi. “Biar kapok dia sekarang! Aku yakin, dia itu maho! Dasar sampah mesum! Mending dimusnahin aja sekalian orang kayak dia itu!”
Ricky sigap berdiri dari kurisnya. Lalu dia sekilas menatap teman sebangkunya yang bertubuh kecil itu.
“Aku simpati sama kamu karena udah di-bully. Tapi aku nggak suka dengan kata-katamu barusan!” ucap Ricky datar.
“Hahhh??? Kalimatku yang mana???” Robi tertegun di tempat duduknya.
Ricky merapatkan ranselnya.
“Kamu pikir saja sendiri!” ucapnya.
Lalu Ricky melangkah pergi, meninggalkan tempat duduknya, meninggalkan teman sebangkunya yang masih terduduk bingung di tempatnya.
Meninggalkan ruang kelas itu.
Meninggalkan sekolahan yang telah lengang.
Pulang.
Tapi dia tak tahu, di balik kelengangan sekolah itu ada empat gadis sedang mengamatinya dari balik jendela salah satu ruang kelas!
“Itu dia, si Ricky...!” bisik Nera.
“Dan tadi habis berkelahi sama senior...!” desis Vita dengan wajah melting.
“Kalian masih berpikir kalau dia itu Uke???” lontar Nera.
“Dia Uke yang tangguh dan sangat seksi!!!” cetus Siska menahan geregetan.
“Kyaaa...!!! Ternyata beneran mirip Kent...”
“UDAH DIAM KAMU, NIK...!!! Dari tadi itu terus yang disebut! Namanya Ricky!!! Ngertiii???” Siska memotong dengan spontan dan sewot!
Vita pun membalas Siska, “Harusnya kamu bersyukur, Sis, dia dibandingin sama Kento bukan sama Jerry Yan!!!”
“Arrgggghhh!!! Lagi??? Mau ngebahas bulu ketek???!!! Dasar aneh!!!” Nera langsung bersungut-sungut, bangkit dan meninggalkan ketiga temannya yang masih mengintip di balik jendela!
By the way...
Jika Ricky tahu apakah dia akan peduli???
Kita akan tahu nanti!
Lihat-lihat perkembangan.
">
emang robi sudah diapain aja sama faris?
Ricky tiba di depan sebuah gerbang. Gerbang geser yang terbuka lebar, dan di sampingnya terpancang papan bertulis: ‘Wisma Welly’. Dia masuk bersama motornya, lalu menempatkan kendaraannya itu di sebuah garasi kecil yang ada di ujung deretan bangunan kamar.
Wisma Welly, meski namanya terkesan ‘cewek’, tapi itu adalah komplek kost khusus laki-laki. Kost-kostan itu tepat berada di sudut tikungan jalan. Berdiri satu komplek dengan rumah pemiliknya. Jika masuk dari gerbang rumah pemiliknya, maka kamar kost terletak di belakang rumah. Sejumlah tujuh kamar berderet dengan pola huruf L mengekor di belakang rumah besar itu. Tapi, ada gerbang samping yang memang disediakan khusus untuk penghuni kost-kostan agar lebih mudah untuk keluar masuk. Gerbang dimana Ricky tadi masuk.
Ricky langsung menuju ke kamarnya. Melemparkan ranselnya ke tempat tidur, melepas sepatu dan kaus kakinya. Lalu duduk termenung menghadapi meja satu-satunya di ruangan berukuran 2,5 x 3 meter itu. Wajahnya tampak kusut. Tangannya mengusap lebam di mukanya, bekas pukulan dari seniornya.
Dikeluarkannya kertas kucal dari sakunya. Dibacanya lagi isi kertas itu. Lalu dengan muak diremasnya, dilemparkannya ke keranjang sampah!
Dia berdiri dengan jengah, mengkibas-kibaskan kerah seragam putihnya. Gerah! Dia tanggalkan kemejanya itu, menyisakan celana abu-abu dan kaos tank-top putihnya. Lalu dia meraih biola miliknya yang tergeletak di kasur. Sesaat kemudian, melodi-melodi hasil gesekan mulai menyayat keheningan kamar.
Sendu.
Sepi.
Sesaat.
Ricky melemparkan lagi biolanya ke atas kasur. Berdiri tertunduk, termenung sendirian di kamarnya. Suasana yang sulit untuk diterjemahkan. Rasa galau yang entah kenapa?
Akhirnya dia beranjak keluar dari kamarnya, duduk di beranda depan kamar mencari hawa segar untuk rasa penatnya.
Dia menyisir pandangannya ke kamar-kamar yang tampak lengang. Kamarnya berada di ujung yang menempel dengan ruang dapur. Setelah kamarnya, ada kamar yang ditempati Dana, anak SMA sepantaran dirinya yang pendiam dan jarang bergaul dengan penghuni kost lainnya. Setelah kamar Dana, ada kamar Om Heru, pria paruh baya yang bekerja sebagai penjual batik keliling. Setelah kamar Om Heru, berbelok ke kanan adalah kamar Mas Okky, mahasiswa jurusan Sastra Indonesia yang lebih sering berada di sanggar daripada di tempat kost-nya. Setelah itu, ada kamar Rindra, penyiar radio yang sibuk dan juga aktif sebagai MC di berbagai acara. Lalu ada kamar Edo, anak SMA yang bergaya gaul dan sering tampil modis. Dan yang terakhir, kamar paling ujung dekat garasi, adalah kamar yang masih kosong.
Tiba-tiba suara handphone berbunyi. Ricky meraih benda itu dari saku celananya.
“Ya,” sapa Ricky singkat.
“Gimana di kost? Kamu senang di situ?” seseorang berbicara di handphone Ricky.
“Lebih baik di sini daripada di rumah,” jawab Ricky datar.
Terdengar suara menghela nafas. “Baiklah, yang penting kamu senang. Ayah kirim uang ke rekeningmu, kalau masih butuh lagi kamu bilang aja...” ucap penelpon itu pelan.
Ayah Ricky.
“Ya,” sahut Ricky tetap datar.
Sambungan belum terputus, tapi keduanya terdiam beberapa saat lamanya.
“Ya udah, Ayah cuma ingin tahu keadaanmu saja. Jangan lupa, tetap jenguk rumah sewaktu-waktu kalau kamu longgar. Tiap akhir pekan Ayah akan usahakan untuk bisa pulang...” ujar Ayah Ricky.
Ricky tak menyahut. Beberapa saat lamanya kembali tanpa percakapan. Hingga akhirnya… Tuttt...! Ayah Ricky menutup handphone. Ricky memasukkan kembali handphone-nya ke saku. Dia kembali termenung lesu di tempat duduknya.
“Baru pulang?” sapa seorang cowok sepantaran Ricky, yang juga masih mengenakan seragam SMA-nya, muncul dari dapur.
Ricky cuma mengangguk. Tersenyum ramah sedikit canggung. Memang sudah menjadi sifatnya, agak kaku dan pendiam.
“Oh, iya. Udah hampir seminggu di sini, belum kenalan!” ujar anak di muka pintu dapur itu. Lalu dia melangkah mendekati Ricky, dan mengulurkan tangannya. Dia meyebut namanya, “Edo!”
“Ricky,” balas Ricky menjabat tangan Edo sebentar. Sebenarnya dia sudah tahu nama Edo, hanya saja dia memang belum pernah ngobrol dengannya.
Edo, anak cowok berambut shaggy ala artis Korea itu tersenyum-senyum memandangi Ricky yang cuek. Seperti ada sesuatu yang membuatnya tertarik.
“Kenapa tuh mukanya?” tanya Edo, mengamati lebam di wajah Ricky.
“Nggak papa,” jawab Ricky singkat.
“Habis berantem?”
“Iya.”
Edo ternganga. Antara rasa tertarik ingin tahu dan rasa segan. Dia memutuskan tak bertanya lebih jauh setelah menyadari bahwa rupanya Ricky anak yang tak terlalu suka basa-basi, dan sepertinya juga tidak ragu untuk berkelahi!
“Maaf, Mas, ini benar rumahnya Bu Minah?” tiba-tiba ada yang mengalihkan perhatian. Seorang ibu bertubuh gemuk berdiri di tengah gerbang.
“Hah?” Edo cuma ternganga. Lalu berpaling ke Ricky sambil mengangkat bahu. “Salah alamat kayaknya tuh?”
Ricky berdiri dari duduknya dan menghampiri ibu itu. “Cari siapa?” ulang Ricky.
“Ini benar rumahnya Bu Minah?” tanya ibu itu lagi.
“Yang punya kost ini namanya Bu Wilhelmina,” rujuk Ricky agak ragu.
“Nah, iya! Bu Wii... siapa tadi?” ibu itu cekikikan sendiri. “Namanya susah, Mas! Saya tahunya Bu Minah!”
“Eh, Bu Menuk! Sini, sini! Sudah saya tungguin dari tadi!” tiba-tiba ada yang nyaring menyahut. Seorang perempuan paruh baya yang masih tampak cantik dan modis, berdiri di pintu belakang rumah besarnya.
“Nah, itu Bu Minah!” ibu tadi sumringah sambil menghampiri orang yang dicarinya itu.
“Nggak usah pakai ‘H’ dong, Bu! Kalau susah, panggil saja ‘Bu Welly’!” cetus perempuan cantik itu tampak sedikit gengsi. Lalu sesaat dia mengalihkan pandangannya ke Ricky. “Eh, Ricky! Habis ini ke sini ya! Tante mau ngomong sama kamu!”
Ricky terbengong sesaat agak ragu. Lalu dia mengangguk, dan meninggalkan dua ibu-ibu itu. Kembali ke kamar kost-nya. Mengambil kaos kasual dan memakainya.
“Kayaknya kamu jadi anak kesayangan Tante Welly?” cetus Edo di muka pintu kamar Ricky.
“Hah?” sentak Ricky agak acuh.
“Hahaha...” Edo tertawa agak segan. “Kemarin sore Tante Welly mau ngasih kamu brownies, tapi karena kamu nggak ada di kamar akhirnya dititipin ke aku. Dia bilang aku boleh ambil separuh, tapi... karena lapar banget jadinya aku habisin...! Sorry, ya!”
Ricky terhenyak sesaat. “Ya udah,” sahutnya kemudian. Cuek.
“Kamu pemain biola ya?” tanya Edo sambil melirik biola milik Ricky.
“Cuma hobby aja,” jawab Ricky simpul.
“Bisa ajari aku nggak?” tanya Edo.
Ricky agak terbengong, memandangi Edo yang tersenyum lebar sedikit lebay. Dalam hatinya Ricky heran-heran sungkan, menghadapi Edo yang sepertinya terlalu cepat cair padanya itu.
“Kamu beli biola dulu, ntar gampang...!” cetus Ricky tidak begitu serius.
“Hahaha... Mahal kaleee!” seloroh Edo.
“Gimana ngajarinnya kalau kamu nggak punya biola?” tukas Ricky.
“Kan bisa pinjam punya kamu?”
“Terus aku ngajarinnya pakai apa?”
“Kamu kasih teorinya aja lah!”
“Terus ngapain kamu belajar biola kalau nggak punya biola sendiri?” balik Ricky.
Edo cuma tertawa cengengesan.
Lalu dengan cuek Ricky meninggalkan Edo yang masih berdiri di muka pintu kamarnya. Ia berjalan menuju ke serambi belakang di rumah Tante Welly yang besar, menemui ibu kost yang tadi memanggilnya. Tante cantik berdarah Tionghoa itu sedang duduk-duduk di sofa yang ada di serambi. Ibu gemuk yang tadi bertamu sudah tidak ada bersamanya.
“Ada apa, Tante?” tanya Ricky.
“Sini duduk!” ujar Tante Welly.
Ricky duduk agak canggung menghadapi ibu kost-nya yang tampak agak genit itu.
“Eh, itu kok pipimu agak lebam?” dengan agak kaget Tante Welly langsung menyelidik. “Kamu habis berkelahi?”
Ricky tersenyum rikuh. “Iya, Tante. Biasa, ada orang reseh mancing emosi!” jawabnya agak kikuk.
“Ya ampun! Berkelahi kok dibilang ‘biasa’ sih?!”
“Bukan gitu maksudnya...”
“Terus?”
“Yaa... namanya orang sok jago itu kan ada aja, Tante. Tapi karena udah keterlaluan, ya udah, berantem aja sekalian!”
Tante Welly terbelalak geleng-geleng menatap Ricky.
“Kok bisa gitu sih?! Anak cakep kalem kayak kamu berkelahi?!” desah tante cantik itu.
Ricky cuma tersenyum agak tersipu. Tante Welly masih cemberut sesaat melihat wajah Ricky yang agak lebam.
“Kemarin Tante nitip brownies, udah dikasih sama si Edo?” akhirnya Tante Welly mengesampingkan juga lebam di wajah Ricky.
“Ehmm... Udah, Tante...”
“Enak?” kulik Tante Welly dengan senyum lebar.
“Yaa... Lumayan.”
“Kok lumayan sih?!” Tante Welly cemberut lagi. “Itu Tante sendiri yang bikin lho!”
“Ohh... Iya, enak kok... Cuma, aku nggak terlalu suka roti yang terlalu manis gitu, Tante...” jawab Ricky salah tingkah.
“Masa anak manis nggak suka manis sih?” juragan kost itu sekarang cemberut sedikit centil.
Ricky tambah kikuk.
“Tadi siapa, Tante?” akhirnya Ricky mencari topik lain untuk mengalihkan gelagat ibu kost-nya yang ganjen itu.
“Itu Bu Menuk. Kemarin kenal waktu arisan ibu-ibu. Dia baru pindah dari Jogja. Dia bilang pintar bikin jamu tradisional, makanya Tante pesan tuh satu botol!” ujar Tante Welly sambil mengayunkan dagunya ke botol besar di atas meja. Botol jamu.
“Jamu apa, Tante?”
“Jamu buat ngenakin badan aja. Biar seger! Kamu mau coba?” tawar Tante Welly.
Belum sempat Ricky menolak...
“Tante ambilin gelas ya!” Tante Welly sudah meluncur ke dapur.
Ricky menelan ludah. Minum jamu??? Bakal jadi pengalaman pertama dalam hidupnya! Tante Welly kembali dari dapur sambil membawa satu buah gelas. Cuma satu gelas, artinya itu cuma buat Ricky!
“Kamu udah seminggu ya di sini? Betah nggak?” tanya Tante Welly sambil menuang jamu.
“Lumayan, Tante...” jawab Ricky.
“Lumayan lagi!” dengus Tante Welly jutek. “Nih! Diminum jamunya!”
Dengan ragu Ricky menerima gelas yang disodorkan Tante Welly. Ingin hati tak mau meminumnya, tapi tante genit di hadapannya itu terus melihati penuh dorongan! Mau tak mau...
Ricky terpaksa meminumnya!
“Ekkhhh...!” decak Ricky dengan mata berkerut sehabis minum jamu itu.
“Gimana rasanya? Lumayan lagi?” lontar Tante Welly dengan senyum jahil.
“Pahit!!!”
“Hihihi... Cuma anak kecil yang jamunya manis! Lagian tadi katanya nggak suka yang manis?!” canda Tante Welly sambil tertawa puas.
Dalam hati Ricky gondok dan mengumpat karena sudah dikerjai Tante Welly yang ganjen itu! Tapi mau bagaimana lagi, apa dia juga harus berantem dengan ibu kost?
“Ngomong-ngomong, kenapa sih kamu pilih kost di sini? Maksud Tante, Ricky kan bisa tinggal di rumah sama ayah Ricky? Kan juga masih di kota ini kan? Kenapa malah kost?” akhirnya Tante Welly mengajak ngobrol secara serius.
Ricky terdiam beberapa saat mendengar pertanyaan ibu kost-nya itu.
“Ayah terlalu sibuk, Tante. Kakak dua orang juga udah nggak tinggal di sini, di luar kota semua. Kalau tiap hari rumah selalu sepi, malah bikin perasaan jadi miris. Nggak enak tiap hari melihat suasana rumah seperti itu... Lebih baik nge-kost sekalian, hitung-hitung belajar mandiri sekaligus bisa dapat teman juga...” jelas Ricky dengan wajah sayu.
Tante Welly menatap Ricky dengan prihatin. “Kenapa nggak ikut ibu Ricky aja?” tanyanya.
Ricky terhenyak lagi. Tapi kali ini serasa ada yang lebih menusuk di batinnya!
“Aku belum bisa terima... ayah lain, Tante...” jawab Ricky pelan.
Tante Welly tampak tertampar. “Oh, maaf! Tante nggak bermaksud menyinggung...”
“Nggak papa kok, Tante,” Ricky langsung memotong dengan senyuman masam di wajahnya. “Orang bercerai dan menikah lagi kan udah biasa terjadi di mana-mana...”
Tante Welly tersenyum kecut dan rikuh. Lalu dia menghela nafas panjang...
“Tante jadi ingat sama Vino, anak Tante yang kecil itu...” gumam Tante Welly sedih. “Suami Tante meninggal sembilan tahun yang lalu, waktu Vino masih umur dua tahun. Sosok seorang ayah belum terlalu diingat oleh Vino. Sedangkan Melinda, anak Tante yang pertama, umurnya tujuh tahun waktu papanya meninggal. Melinda sudah sangat mampu mengingat sosok papanya...”
Perempuan paruh baya itu lalu tertawa pahit di sela-sela ceritanya. Ricky menyimaknya tanpa berani menyela.
“Vino butuh figur ayah. Tapi Melinda nggak mau sosok papanya diganti, biarpun sudah meninggal. Tante sendiri, yaahhh... pingin move on, tapi gimana lagi?” tutur Tante Welly tersenyum getir, dengan mata menerawang ke masa lalu ketika suaminya masih hidup.
Ricky merasa terlalu muda untuk keluh kesah yang didengarnya itu, dia juga merasa sebenarnya itu adalah masalah keluarga Tante Welly yang cukup pribadi. Karenanya dia hanya terdiam, tak berani menanggapi cerita ibu kost-nya. Meskipun, mungkin dilema yang mereka rasakan tak jauh beda. Yang berbeda mungkin hanyalah sisi tempat masing-masing memandang situasi. Yang tersisa adalah sama...
Rasa sayang untuk keluarga.
Rasa sepi untuk diri masing-masing.
“Si Vino sangat butuh perhatian. Tapi dia susah akur sama kakaknya. Tante sendiri sering sibuk mengurus salon. Kalau Tante nggak kerja nanti anak-anak juga nggak makan...! Jadi tolong, kalau kamu kebetulan ada waktu, bantuin jaga Vino ya...?” curah Tante Welly penuh harap ke Ricky.
Sebenarnya Ricky ragu untuk menjanjikan. Tapi dengan rasa simpati, dia mengangguk pelan. Tante Welly pun tersenyum lega.
“Vino kayaknya suka tuh sama kamu! Waktu pertama tahu kamu, dia bisik-bisik ke Tante... Dia bilang, ‘Kak Ricky cakep ya, Ma!’, hahaha...” Tante Welly mulai mencair lagi candanya.
Ricky cuma terbengong mendengar cerita Tante Welly. Dapat pujian ‘cakep’ dari sesama laki-laki tentu adalah sesuatu yang agak ‘beda’ dibandingkan jika yang memuji adalah lawan jenis. Tapi karena Vino masih sebelas tahun, mungkin itu tidak menyimpan maksud lebih jauh. Ricky akhirnya cuma tersenyum-senyum sendiri.
“Vino lagi di kamar tuh! Ada TV, PS, DVD, kamu main aja nggak apa-apa buat temani dia. Kalau mau sih...?” ujar Tante Welly.
“Tapi... masa aku sampai masuk ke kamar Vino, Tante?”
“Nggak apa-apa! Kalau sama kamu Tante percaya deh!” tandas Tante Welly. Lalu dia berdiri. “Sini, Tante tunjukin kamarnya!”
Ricky ragu dan tak enak hati. Tapi karena Tante Welly sepertinya telanjur berharap banyak padanya, akhirnya ia berdiri juga dari duduknya. Dengan enggan mengikuti ibu kost-nya menyusur ruang di dalam rumah besar itu.
Tante Welly menunjukkan sebuah kamar. Suara musik dari dalam kamar itu menggema sampai luar. Musik dengan lagu yang kedengarannya bukan berbahasa Indonesia. Bahasa Inggris juga bukan. Dan bercampur dengan suara anak kecil yang sumbang!
“Vino! Ada Kak Ricky nih!” Tante Welly mengetuk kamar anaknya agak keras. Lalu dia membukanya.
Suara musik itu berasal dari DVD player. Di kamar itu seorang anak laki-laki umur sebelas tahun sedang berdiri memegang mic, ikut bernyanyi menghadap layar LCD besar di depannya. Tak peduli keberadaan ibunya dan Ricky yang berdiri di muka pintu.
“Nih, ya kayak gini nih kerjaannya tiap hari! Tapi masih positif lah, menyanyi kan bakat!” celetuk Tante Welly sedikit malu ke Ricky. “Tante tinggal ke dapur dulu ya!”
Ricky cuma terbengong-bengong ditinggalkan di muka pintu kamar Vino. Dan dia tersentak saat tiba-tiba musik berubah irama menjadi up-beat, dentum menghentak seperti di disco lounge!
“Yeaaahhhh!” teriak Vino.
Lalu bocah sebelas tahun itu langsung berjoget di depan layar LCD-nya!
“Kak Ricky suka SuJu nggak?!” seru Vino tanpa berpaling dari layar LCD.
“Suju???” Ricky melongo. Sama sekali tak tahu.
“Horeeeee, Siwoooonnnn!!!” tiba-tiba Vino berteriak sambil mengikuti gerakan idolanya itu: melepas baju dan melemparkannya...!
Pluk! Jatuh tepat di dekat kaki Ricky!
Ricky tambah terbengong-bengong. Belum pernah dia melihat langsung tingkah seorang ‘fans sejati’ sampai segitunya. Di depan matanya! Dan anak ini masih sebelas tahun!
“Kak Ricky, biar perutnya kotak-kotak diapain sih??? Perut Kak Ricky gitu juga nggak???” tanya Vino tanpa menoleh ke Ricky, masih sambil berjoget.
Tentu saja Vino tak mendapat jawaban apa-apa. Karena Ricky sudah lebih dulu memilih diam-diam kabur dari kamar itu! Mengendap-endap menuju pintu belakang. Tapi...
“Ricky!” Tante Welly memergokinya.
Ricky menghentikan langkah bersamaan dengan hatinya yang mengumpat. Sial!
“Lupa belum beresin kamar, Tante... Permisi dulu!” pamit Ricky mencari alasan.
“Ini Tante kasih lagi brownies-nya!” rupanya Tante Welly cuma bermaksud itu. “Nih, buat camilan!”
“Makasih banyak, Tante!” ucap Ricky menerima satu kardus kecil brownies di tangannya. Lalu cepat-cepat dia membalikkan badan dan pergi dari rumah ibu kost-nya itu!
Ricky kembali ke kamarnya. Duduk di tepi tempat tidurnya dengan lesu. Menghela nafas sambil menopang kepala. Dan, kepalanya ternyata terasa memberat! Terasa agak pening!
“Dapat brownies lagi?” Edo muncul lagi di muka pintu. “Mau lagi dong!”
Ricky menyerahkan kardus brownies-nya tanpa basa-basi.
“Ehh? Semua nih?” Edo tertegun.
“Ambil aja!” cetus Ricky sambil memegangi kepalanya.
“Ohh! Thank you!” seru Edo girang, lalu segera menghilang dari muka pintu.
Ricky mengkibas-kibaskan kepalanya, dan mengucek matanya. Kepalanya benar-benar terasa berat!
Dia mulai curiga!
Dia segera bergegas kembali ke rumah Tante Welly.
“Sore, Ricky!” seorang pria paruh baya berkepala agak botak menyapa Ricky di dekat gerbang.
“Sore,” sahut Ricky cuek, membalas sapa teman kost-nya yang baru pulang kerja itu.
Ricky menuju ke serambi belakang rumah Tante Welly, dan mendapati ibu kost-nya itu tengah duduk-duduk santai.
“Itu tadi Om Heru udah pulang ya?” lontar Tante Welly.
“Sebenarnya tadi jamu apa sih, Tante?” tanya Ricky tandas tanpa menggubris basa-basi Tante Welly.
“Kenapa memangnya?”
“Kepalaku tiba-tiba pusing gini?!!”
Tante Welly pelan-pelan tersenyum, makin lama makin lebar. Jahil memandangi Ricky yang berparas cuek tapi menggemaskan di matanya itu!
“Hehehe...” ibu kost usil itu tersenyum geli. “Itu tadi jamu terang bulan!”
“Jamu terang bulan???”
“Biar kalau bulannya datang, hati nggak suram! Hihihi...” kelakar Tante Welly genit. “Tapi diminum cowok juga nggak papa. Besok bangun tidur pasti badan jadi lebih seger!”
Ricky terbelalak!
“Astaga!” sentak Ricky, bersamaan di dalam hati dia mengumpat sejadi-jadinya!
Jamu datang bulan???!!!
:-& :-& :-&