It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Disinilah terakhir kali kami bertemu. Terakhir kali aku bisa menatap wajahnya dan menggenggam tangannya serta memberikan ciuman di pipi kirinya sebagai ucapan selamat tinggal.
Edward berjanji akan pulang begitu dia menyeleseikan studi nya. Edward bukanlah anak dari keluarga kaya raya, semua ini terjadi atas prestasi yang dia miliki. Dan karena itu juga Edward tidak bisa pulang saat liburan atau alasan apapun, karena keterbatasan biaya.
Aku mencintai Edward lebih dari apapun. Dialah orang pertama yang menjalin hubungan denganku. Dialah yang bisa memahamiku, dan dialah orang yang selalu membuatku bangga akan diriku.
Saat ini, hanya email email darinya yang bisa kudapat dari Edward. Dan semua itu cukup membuatku tenang, bahwa dia masih ingat padaku.
"Yuki..."
suara teriakan d belakang membuatku terbangun dari lamunanku. Aku menoleh kebelakang, seorang anak lelaki seusia denganku melambaikan tangannya padaku dan berjalan kearahku.
Namanya Rangga, sahabat baikku. Dan hanya dia yang tau tentang keadaanku.
Aku membalas lambaiannya, senyum yang diberikan padaku benar benar membuatku tahu bahwa hanya dialah pendengar setia keluh kesahku.
"kamu ngapain disini? tadi aku kerumahmu, tapi mamamu bilang kamu berjalan kearah taman, liburkan hari ini?"
Rangga bertanya padaku saat dia sampai di tempat dimana aku duduk. Rangga lalu duduk disampingku, sedikit tersenyum sambil menunggu jawaban dariku.
Aku tak menjawab pertanyaan darinya, tak ingin rasanya membicarakan pekerjaanku saat ini, hanya menambah pusing kepala.
Aku masih tak menjawab pertanyaan Rangga, dan tampaknya dia tahu aku sedang tak mau membicarakan masalah pekerjaanku.
"kau tahu, hari ini adalah tepat tiga tahun dimana terakhir kali aku bertemu dengan Edward, dan aku sendiri, masih belum bisa melupakannya..."
aku memecah keheningan diantara kami berdua. Mencoba memberitahu Rangga bahwa aku sedang merindukan Edward. Merindukan kekasih yang mungkin takkan pernah aku lupakan.
Lama kami terdiam, mungkin memang tak ada yang perlu d perpanjang lagi. Atau memang Mungkin karena Rangga tak pernah bisa memahamiku.
"kau tau Yuk, mungkin kau mengira aku tak bisa memahami perasaanmu saat ini. Tapi, aku tahu semua yang kau alami itu sama dengan orang normal rasakan. Mungkin akan sama seperti saat aku kehilangan Nindy, jadi aku pasti tahu seperti apa perasaanmu"
Rangga menjelaskan semua itu padaku. Dan mungkin memang seperti itulah, semua sama seperti yang dia rasakan, hanya saja ada perbedaan besar diantara hubungan yang kami jalani.
Aku sedikit melihat wajahnya. sedikit gurat dikeningnya seperti menandakan bahwa aku patut d kasihani.
"Yuki... aku adalah sahabatmu, dan aku akan selalu ada buat kamu. Apapun yang terjadi dalam hidup kamu, asal itu yang terbaik buat diri kamu, aku pasti akan dukung. Satu hal yang bisa aku ambil dari pengalaman kamu, bahwa cinta itu tak peduli persamaan gender, ataupun siapa yang kita cinta. Karena kita hanya tau bahwa kita begitu mencintai dia, secara normal ataupun tidak"
Aku semakin tajam menatap Rangga. Tapi Rangga tak mau menatapku. Semua kata kata yang keluar dari mulutnya begitu membuatku bahagia, tak ada rasa malu bahwa aku berbeda dengannya. Tak ada penyesalan saat aku memutuskan untuk memilihnya sebagai sahabatku.
"Ga... terimakasih untuk semua dukungan darimu.." ujarku tiba tiba padanya. Seketika itu dia menoleh padaku, tersenyum sambil berkata, "bukankah kita teman? jadi, tak perlu ada ucapan terimakasih, karena itulah gunanya teman. Asal gak cuma kesedihan aja yang kamu bagi padaku"
Aku tertawa mendengar kata kata terakhirnya. Kuberikan tinju kecilku d lengan kirinya, dan Rangga membalasnya sambil mengatakan, "berhubung aku sudah jadi tempat sampah kamu, sekarang kamu harus traktir aku eskrim, itu ada tukang eskrim.." rangga mengakhiri kata katanya sambil menunjuk gerobak eskrim d sekitar taman.
lalu, aku dan Rangga tertawa lepas bersama sambil berjalan menuju gerobak eskrim.
Lama kami terdiam, mungkin memang tak ada yang perlu d perpanjang lagi. Atau memang Mungkin karena Rangga tak pernah bisa memahamiku.
"kau tau Yuk, mungkin kau mengira aku tak bisa memahami perasaanmu saat ini. Tapi, aku tahu semua yang kau alami itu sama dengan orang normal rasakan. Mungkin akan sama seperti saat aku kehilangan Nindy, jadi aku pasti tahu seperti apa perasaanmu"
Rangga menjelaskan semua itu padaku. Dan mungkin memang seperti itulah, semua sama seperti yang dia rasakan, hanya saja ada perbedaan besar diantara hubungan yang kami jalani.
Aku sedikit melihat wajahnya. sedikit gurat dikeningnya seperti menandakan bahwa aku patut d kasihani.
"Yuki... aku adalah sahabatmu, dan aku akan selalu ada buat kamu. Apapun yang terjadi dalam hidup kamu, asal itu yang terbaik buat diri kamu, aku pasti akan dukung. Satu hal yang bisa aku ambil dari pengalaman kamu, bahwa cinta itu tak peduli persamaan gender, ataupun siapa yang kita cinta. Karena kita hanya tau bahwa kita begitu mencintai dia, secara normal ataupun tidak"
Aku semakin tajam menatap Rangga. Tapi Rangga tak mau menatapku. Semua kata kata yang keluar dari mulutnya begitu membuatku bahagia, tak ada rasa malu bahwa aku berbeda dengannya. Tak ada penyesalan saat aku memutuskan untuk memilihnya sebagai sahabatku.
"Ga... terimakasih untuk semua dukungan darimu.." ujarku tiba tiba padanya. Seketika itu dia menoleh padaku, tersenyum sambil berkata, "bukankah kita teman? jadi, tak perlu ada ucapan terimakasih, karena itulah gunanya teman. Asal gak cuma kesedihan aja yang kamu bagi padaku"
Aku tertawa mendengar kata kata terakhirnya. Kuberikan tinju kecilku d lengan kirinya, dan Rangga membalasnya sambil mengatakan, "berhubung aku sudah jadi tempat sampah kamu, sekarang kamu harus traktir aku eskrim, itu ada tukang eskrim.." rangga mengakhiri kata katanya sambil menunjuk gerobak eskrim d sekitar taman.
lalu, aku dan Rangga tertawa lepas bersama sambil berjalan menuju gerobak eskrim.
Mataku menelusur mencari email Edward yang d kirimkannya tiga hari yang lalu.
"Tok tok tok..."
Aku mendengar pintu kamarku d ketuk dari luar.
"masuk" jawabku masih dengan memandang komputerku.
"kak, kakak udah d tunggu sama mama dan papa di ruang makan"
kata suara d belakangku.
Aku mengalihkan perhatianku untuk menoleh kebelakang. Adikku Yuga terlihat sedang bersandar d daun pintu kamarku. Senyumnya terlihat sangat lebar hingga terkesan dipaksakan.
"iya Yug, bentar lagi kakak kesana, kamu duluan aja.."
Sahutku meminta Yuga untuk keruang makan terlebih dahulu, karena aku masih ingin membaca email dari Edward yang d kirimkannya tiga hari yang lalu.
Kutekan tombol klik saat aku menemukannya, kubaca satu kalimat singkat tapi sangat bermakna bagiku,
" l love U, since l found U, Now, and Forever..."
Mataku menelusur mencari email Edward yang d kirimkannya tiga hari yang lalu.
"Tok tok tok..."
Aku mendengar pintu kamarku d ketuk dari luar.
"masuk" jawabku masih dengan memandang komputerku.
"kak, kakak udah d tunggu sama mama dan papa di ruang makan"
kata suara d belakangku.
Aku mengalihkan perhatianku untuk menoleh kebelakang. Adikku Yuga terlihat sedang bersandar d daun pintu kamarku. Senyumnya terlihat sangat lebar hingga terkesan dipaksakan.
"iya Yug, bentar lagi kakak kesana, kamu duluan aja.."
Sahutku meminta Yuga untuk keruang makan terlebih dahulu, karena aku masih ingin membaca email dari Edward yang d kirimkannya tiga hari yang lalu.
Kutekan tombol klik saat aku menemukannya, kubaca satu kalimat singkat tapi sangat bermakna bagiku,
" l love U, since l found U, Now, and Forever..."
Aku melangkah mendekati meja, lalu duduk disamping Yuga dan sedikit menjahilinya dengan melepas earphone dari telinganya.
"malam pa,,,"
Aku menyapa papa yang masih sibuk dengan kertas ditangannya.
"hm..."
jawab papa tanpa memandangku. "rasanya sangat tidak enak saat kau tidak dipedulikan oleh orangtuamu sendiri"
Pandanganku beralih ke mama yang masih sibuk mengambil gelas dan piring, dan aku berinisiatif untuk membantu mama.
"ma, ada yang bisa Yuki bantu?"
Tanyaku pada mama saat mama menata gelas dimeja.
"ga usah, mama sudah selesei kok"
Jawab mama sambil tersenyum padaku. Aku membalas senyuman itu lalu mengalihkan pandanganku pada makanan yang ada didepanku, "tidak terlalu berselera makan" pikirku enteng.
"Yuki, kamu harus makan banyak ya, mama lihat kamu mulai kurusan, kenapa, ada masalah??"
Pertanyaan mama membuatku sedikit kaget, tapi aku tak menunjukkan kekagetanku pada mama. Aku pura pura sibuk dengan membetulkan letak piring dan gelas berisi air putih didepanku.
"gak kok ma, Yuki baik baik aja"
jawabku masih pura pura sibuk.
"iya, tapi kamu harus makan banyak, apa perlu mama suapin?"
Mama membuatku sedikit kaget bercampur malu, dan mau tak mau membuatku harus memandang kearahnya.
"ga lah ma, Yuki bisa makan sendiri kok.."
jawabku singkat. "aneh sekali rasanya mendengar mama berkata seperti itu" Yuga yang sedari tadi telinganya tersumbat oleh Earphone sekarang ikut terkekeh, mungkin dia mendengar apa yang dikatakan oleh mama.
Aku menyodok perutnya menggunakan sikut kiriku, mencoba menghentikannya karena meledekku, tapi ekspresinya malah seperti baru saja aku timpuk pake martil.
Aku tak menghiraukan Yuga yang masih "lebay" dengan hal yang baru saja kulakukan, dan suara papa membuatku kaget saat papa bertanya padaku.
"gimana dengan kerjaan kamu Yuki?? ada masalah??"
Aku bingung kenapa papa tiba tiba menanyakan hal itu, mungkin papa merasa ada yang tak beres dengan diriku.
"baik kok pa, Yuki senang dengan kerjaan Yuki.."
Aku memandang papa saat menjawab pertanyaan papa, tapi papa masih sibuk dengan kertas ditangannya.
"bagus lah,"
jawab papa singkat. Tak ada ekspresi diwajahnya.
Aku merasa tenang saat papa memutuskan untuk tidak bertanya padaku lebih jauh lagi, terkadang pertanyaan papa membuatku sedikit bingung untuk menjawab.
"Yuga, kamu ini kenapa?? cengar cengir kaya monyet??"
mama tiba tiba berteriak pada adikku, walaupun saat itu aku sedang memandang mama, tapi aku tahu Yuga sedang memandang kearahku dengan bibir manyunnya, tapi aku tak menghiraukannya, kuambil gelas berisi air putih didepanku, dan kuteguk sedikit isi nya, membiarkan Yuga menahan marah padaku.
Ada sedikit kekhawatiran diwajah mama saat aku memandangnya, entah apa yang sedang dipikirkannya saat itu, tapi aku sendiri tak berani bertanya.
"Yuk, mama ini adalah orangtua kamu, jadi mama harap saat kamu mendapat masalah, kamu mau cerita pada mama, kamu tahu itu kan??"
Kata kata mama membuatku sedikit bingung. Aku memandang dalam mata mama, saat ini mata kami saling bertemu, dan aku bisa melihat jelas rasa khawatir yang terpancar dari dalamnya.
"mama minta maaf karena selama ini mama kurang memperhatikan kamu, tapi itu semua mama lakukan karena mama yakin, kamu adalah anak yang kuat dan mandiri, beda dengan adik kamu Yuga.."
mama melanjutkan kata katanya dengan masih menatapku.
Tak sanggup rasanya terus menatap mata mama, kupalingkan wajahku pada piring piring bersih didepanku, tapi mama masih terus saja menatapku dari samping, entah apa yang dipikirkannya.
"Yuki baik baik saja kok ma, mama tenang saja, semua berjalan baik baik saja kok, dan Yuki tau kalau alasan mama lebih perhatian ke Yuga adalah karena mama percaya bahwa Yuki bisa menjaga diri sendiri"
Aku kembali menatap mama. Matanya terlihat berkaca kaca menahan airmata yang hampir jatuh. Aku sedikit mengembangkan senyumku mencoba memberi tanda bahwa tak ada yang perlu dikhawatirkan, tapi tampaknya tak berhasil, karena air mata itu baru saja jatuh di pipinya.
"andai saja aku bisa mengatakan yang terjadi pada mama, pasti akan sangat senang, tapi semua itu tak mungkin terjadi, tak mungkin mama bisa mengerti apa yang terjadi" fikirku dalam hati.
"mama tetap yang terbaik buat Yuki, mama tau itu kan?"
Sekali lagi aku mencoba meyakinkan mama, dan tampaknya berhasil, karena senyum mulai mengembang menghiasi wajahnya.
Aku memegang kedua tangan mama, mataku juga menahan lelehan airmata, tak ingin mama tau semua kesedihanku.
"Yuki kembali kekamar dulu ya ma"
Ucapku sambil menghapus airmata mama, yang disambutnya dengan anggukan kecil sebagai tanda setuju.
"Trimakasih ma, Yuki sayang mama"
dengan sedikit kecupan dipipi kiri mama, aku pergi meninggalkannya sendiri di dapur, dan tak terasa air matakupun jatuh saat itu.