1. Hamparan Pasir
Orangtuaku memberikan aku nama Sandy bukanlah tanpa maksud. Kata mereka, saat aku lahir rambut dan mataku berwarna abu-abu seperti hamparan pasir di pantai. Mama pernah bercerita, kalau kakeknya yang berdarah eropa itu juga saat lahir rambut dan matanya berwarna laksana pasir. mungkin setelah beberapa generasi tersembunyi, gen pembawa karakter tersebut akhirnya muncul pada diriku. Cerita kelahiran kakek Mama. Hanya itulah yang aku ketahui tentang asal-usul Mama. Dia hampir tidak pernah bercerita mengenai keluarganya sehingga kadang aku berpikir sepertinya Mama muncul begitu saja di dunia ini, langsung berwujud sesosok gadis cantik dengan rambutnya yang agak merah, matanya yang coklat terang, kulitnya yang putih bersih, dan senyum menawan yang langsung memikat Papa untuk menikahinya. Kecuali warna rambut, aku mewarisi hampir tiga perempat ciri fisik yang dimiliki Mama yang melengkapi warisan genetik ketampanan Papa yang khas tanah pasundan. Mungkin ada benarnya kalau kebanyakan anak lelaki mengadopsi cetak biru genetik dari ibu ketimbang ayahnya. Kembali lagi soal kakek, ketika liburan pun, aku dan keluarga hanya mengunjungi rumah orangtua Papa, sehingga hanya merekalah yang aku kenal dan aku sebut sebagai kakek dan nenek.
Kami sekeluarga tinggal di kota besar. Pekerjaan Papa sebagai seorang konsultan keuangan dan menangani beberapa perusahaan sekaligus membuatnya jarang berada di rumah. Sepertinya papa berangkat dikala matahari belum lagi terbit, dan pulang setelah matahari sudah lama terbenam. Untunglah, Mama yang merupakan ibu rumah tangga penuh waktu benar-benar mencurahkan kasih sayangnya padaku sehingga aku jarang merasa kesepian. Hubunganku dengan Papa tidak bisa dibilang terlalu dekat, namun beliau bisa memberikan kualitas nyaris sempurna saat melimpahkan kasih sayang di waktu-waktu sempitnya yang sangat berharga. Terlebih lagi, karena aku adalah anak yang istimewa.
Ya! istimewa. Predikat ini aku dapatkan saat aku berumur dua setengah tahun. Ketika itu di suatu hari mama meninggalkan aku di rumah agak lama. Aku yang terbangun dari tidur siang keluar dari box bayi dengan susah payah. Kata mama entah mengapa aku berjalan menuju dapur dan mencoba meraih sebuah kaleng susu yang diletakkan di atas meja. Mungkin karena waktu itu aku haus dan naluri keinginatahuanku sedang tinggi-tingginya, maka begitu melihat kaleng susu yang ukurannya sangat besar (mama selalu membeli susu untuk anak dengan ukuran kaleng terbesar) aku yang memiliki pemikiran sebagai anak super berinisiatif untuk membuat susu sendiri. Pengetahuan mengenai ketinggian dan berat sebuah benda belum lagi sampai diotakku untuk dimengerti. Aku saat itu berusaha meraih kaleng susu yang baru dua hari mama beli. kombinasi antara sedikit keteledoran mama, keingintahuanku, dan meja yang kurang tinggi dan simetris, membuat aku yang berusia dua setengah tahun mampu meraih kaleng susu tersebut. Meraih namun tak dapat menggenggam. Akhirnya kaleng susu itu terguling dan menindih kaki kananku.
Mama bercerita, kaleng susu yang masih berat isinya dan menimpa kaki kananku itu membuat tulang-tulang kakiku hancur. Mama menemukan aku yang menangis hebat tanpa suara -entah sudah berapa lama- kemudian buru-buru membawaku ke rumah sakit. Sudah terlambat, kata dokter. Jaringannya sudah rusak dan aku terpaksa kehilangan sebelah telapak kaki hingga batas pergelangan saat itu. Tapi Hey! aku cukup terhibur saat dokter membuatkan aku kaki palsu dengan pen-pen penyangga yang dilekatkan di sisi-sisinya. Tentu saja aku berusaha menyesuaikan diri dengan kondisi baruku. Selama setahun kemudian aku kembali belajar berjalan, kadang aku berjalan cukup kuat tanpa menggunakan alat bantuan seperti tongkat. Tapi kadangkala, jika hendak turun hujan kaki ini terasa nyeri sehingga mama tetap merasa khawatir jika aku tidak membawa tongkatku ke sekolah.
Walaupun aku bisa berjalan walaupun sedikit lebih lambat dari yang lain, aku tidak dapat berlari cepat. Itulah sebabnya, ketika aku mulai masuk sekolah, bila tiba pelajaran olah raga dan memerlukan aktifitas fisik yang menuntut kakiku untuk bekerja keras, guru olahraga akan menyuruhku untuk duduk dan beristirahat saja. Aku bersyukur mama dan papa bersikeras tidak memasukkanku ke Sekolah Khusus atau SLB. Bagi mereka, aku se-normal anak-anak lain. Itulah sebabnya rasa percaya diriku tidak menjadi lebih rendah, aku bisa menemukan keasyikan lain saat guru olahraga menyuruhku beristirahat: membaca. ya! membaca. Aku sangat suka buku cerita, kisah-kisah dongeng dan fiksi, serta epik kepahlawanan. Biasanya aku akan terhanyut dan membayangkan kalau diriku menjadi salah satu tokoh utamanya. Dan bila saat malam tiba, tak ada yang lebih indah saat bertutur kisah sebelum tidur selain mama.
Comments
"Ceritain lagi Ma, kisah pohon apel itu..." Aku meminta setengah memohon pada Mama saat dia sedang membetulkan posisi selimutku agar menutupi aku yang sedang berbaring di atas ranjang hingga sebatas leher.
Mama tersenyum, "kamu enggak bosan?"
Aku menggeleng.
"Ya udah.. Mama cerita lagi ya? tapi setelah ini kamu harus langsung tidur. Ingat! besok hari pertama kamu masuk sekolah, mama enggak mau kamu ngantuk di kelas nanti. Janji?"
Aku mengangguk sambil tersenyum. Mama kemudian ikut berbaring di ranjang, aku bergeser sedikit agar Mama mendapat tempat agak lapang disebelahku, lalu mama mulai bercerita.
Dulu terdapat sebuah pohon apel besar di tengah sebuah lapangan. Pohon apel itu sangat kesepian hingga suatu hari ada seorang anak kecil laki-laki yang rutin bermain di dekat pohon apel tersebut. Anak itu sangat senang bermain di situ, memetik buahnya, memakan apel sepuas hatinya dan jika dia keletihan dia akan tidur di salah satu dahannya yang kokoh. Anak itu sangat sayang kepada pohon apel itu, begitu pula si pohon apel sangat menyayangi anak laki-laki itu. Waktu berlalu. Anak laki-laki itu sudah besar dan menjadi seorang remaja. Dia tidak lagi menghabiskan waktu setiap hari bermain di sekitar pohon apel tersebut.
Namun begitu, suatu hari dia datang kepada pohon apel tersebut dengan wajah yang sedih. "Mari bermain-mainlah di sekitarku," ajak pohon apel itu. "Aku bukan lagi anak kecil, aku tidak lagi gemar bermain denganmu," jawab remaja itu."Aku mau mainan. Aku perlu uang untuk membelinya," remaja itu berkata dengan nada yang sedih. Lalu pohon apel itu berkata, "Kalau begitu, petiklah apel-apel yang ada padaku. Juallah untuk mendapatkan uang. Dengan itu, kau dapat membeli permainan yang kauinginkan." Anak remaja itu dengan senang memetik semua apel dipohon itu dan pergi dari situ. Dia tidak kembali lagi selepas itu. Pohon apel itu merasa sedih.
Masa berlalu... Suatu hari, remaja itu kembali. Dia semakin dewasa. Pohon apel itu merasa gembira."Mari bermain-mainlah di sekitarku," ajak pohon apel itu.”Aku tidak ada waktu untuk bermain. Aku terpaksa bekerja untuk mendapatkan uang. Aku ingin membina rumah sebagai tempat perlindungan untuk keluargaku. Bisakah kau menolongku?" Tanya anak itu. "Maafkan aku. Aku tidak mempunyai rumah. Tetapi kau boleh memotong dahan-dahanku yang besar ini dan kau buatlah rumah dari dahan-dahan itu." Lalu, remaja yang semakin dewasa itu memotong semua dahan pohon apel itu dan pergi dengan gembiranya. Pohon apel itu pun turut gembira tetapi kemudian merasa sedih karena anak remaja itu tidak kembali lagi setelah itu.
Suatu hari yang panas, seorang lelaki datang menemui pohon apel itu. Dia sebenarnya adalah anak lelaki yang pernah bermain-main dengan pohon apel itu. Dia telah matang dan dewasa."Mari bermain-mainlah di sekitarku," ajak pohon apel itu." Maafkan aku, tetapi aku bukan lagi anak laki-laki yang suka bermain-main di sekitarmu. Aku sudah dewasa. Aku mempunyai cita-cita untuk belayar. Malangnya, aku tidak mempunyai perahu. Bisakah kau menolongku?" tanya lelaki itu. "Aku tidak mempunyai perahu untuk diberikan kepada kau. Tetapi kau boleh memotong batang pohon ini untuk dijadikan perahu. Kau akan dapat belayar dengan gembira," kata pohon apel itu. Lelaki itu merasa amat gembira dan menebang batang pohon apel itu. Dia kemudiannya pergi dari situ dengan gembira dan tidak kembali lagi selepas itu.
Namun begitu, pada suatu hari, seorang lelaki yang semakin dimakan usia, datang menuju pohon apel itu. Dia adalah anak lelaki yang pernah bermain di sekitar pohon apel itu. "Maafkan aku. Aku tidak ada apa-apa lagi untuk diberikan kepada kau. Aku sudah memberikan buahku untuk kau jual, dahanku untuk kau buat rumah, batangku untuk kau buat perahu. Aku hanya ada tunggul dengan akar yang hampir mati..." kata pohon apel itu dengan nada pilu. "Aku tidak mau apelmu karena aku sudah tidak memiliki gigi untuk memakannya, aku tidak mau dahanmu karena aku sudah tua untuk memotongnya, aku tidak mau batang pohonmu karena aku tdak berupaya untuk belayar lagi, aku merasa lelah dan ingin istirahat," jawab lelaki tua itu. "Jika begitu, istirahatlah di perduku," kata pohon apel itu. Lalu lelaki tua itu duduk di perdu pohon apel itu dan beristirahat. Mereka berdua menangis bahagia.
******
Kisah Seorang Anak Laki-laki dan Pohon Apel. Kisah itu bukan karangan mama, tetapi sudah melegenda. Cerita lama yang tak bosan-bosannya aku minta pada mama untuk menceritakannya sebelum tidur itu benar-benar sudah kuhafal di luar kepala. Tapi tak ada yang bercerita sebagus mama, bahkan ketika Papa yang menceritakannya, aku tidak bisa merasakan hal yang sama ketika mama yang bercerita, entah karena Mama bersuara lembut dan penuh kasih sayang, ataukah dia begitu menghayati kisah itu karena pohon apel itu benar-benar ada? soalnya terkadang aku melihat mama menerawang saat berkisah, seolah-olah kalau aku bertanya padanya bagaimana rupa pohon itu, maka mama akan sangat bisa menjelaskan setiap detil bagian yang ada.
"Kenapa kita enggak punya pohon apel saja ma?" Aku bertanya suatu hari.
"Rumah kita halamannya sempit, sayang. Lagipula pohon apel tidak cocok dengan udara kota seperti di sini, mereka hanya bisa tumbuh di tempat yang hawanya dingin."
Aku tidak mengerti penjelasan mama saat itu. Otak seorang anak Sekolah Dasar membuatku berpikiran dan bertanya-tanya, "hey! kenapa enggak tanam pohon apel kecil saja di pot? yang penting kan dia berbuah? atau kalau tidak carilah pohon apel yang bisa hidup di tengah udara kota yang panas."
Mama tahu pikiranku, lalu untuk menghiburku kemudian dia membuka sebuah rahasia kecil. "Tahu enggak? kakek kamu punya pohon apel besaaaaar.. di halaman rumahnya."
Aku terperangah, mataku membelalak antusias. dugaanku tepat! mama memang membayangkan dengan jelas sebuah pohon apel di rumah kakek yang tentu saja adalah rumah mama dulu semasa kanak-kanak. Aku tidak percaya mama selama ini tidak pernah memberitahukan hal itu kepadaku, setelah bertahun-tahun dia menceritakan Kisah Seorang Anak Laki-laki dan Pohon Apel itu!
"Benar Ma? kapan kita ke rumah kakek ma?" tanyaku tak sabar dan bersemangat.
Tiba-tiba raut wajah mama berubah murung walau aku lihat dia tetap berusaha tersenyum.
******
Tak ingin kembali melihat mama yang berubah sedih, aku mengubur dalam-dalam keinginan untuk melontarkan pertanyaan yang sama, pertanyaan tentang rumah kakek. Namun hal itu tidak membuat rasa penasaranku hilang. Berbagai upaya telah kulakukan, termasuk membongkar-bongkar arsip-arsip lama dan album-album foto mama. Hasilnya nihil. Tidak ada secuilpun informasi yang bisa kudapatkan mengenai latar belakang keluarga mama, entah karena mama memang tidak menyimpannya, atau mama pandai menyembunyikannya, hanya dua alternatif penjelasan itu yang bisa diterima akalku.
"Mungkin kakekmu rumahnya di Malang..." kata Rhino teman sekelasku. Saat itu aku sedang berada di kelas membaca kisah Boneka Prajurit karya HC Andersen yang karena kekurangan logam saat proses pencetakan membuatnya hanya memiliki sebelah kaki. Bukankah cerita itu sangat cocok denganku? aku kagum dengan keberanian si Prajurit Boneka itu menghadapi segala sesuatu yang menghadangnya. Dan Rhino, murid pindahan sejak kami naik kelas lima yang tubuh besarnya sesuai dengan namanya bila diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia yang berarti badak, rupanya saat pelajaran basket tadi, hidungnya mengeluarkan darah karena kepanasan sehingga pak guru menyuruhnya masuk kelas dan beristirahat. Dari sekian banyak bangku dalam kelas dia malah memilih duduk disebelahku, menelungkupkan wajah sambil memegangi hidung dengan sapu tangan birunya yang berbercak darah. Badannya yang berkeringat dan "bau matahari" membuatku sedikit terganggu, namun ketika kisah prajurit boneka sampai pada bagian dimana dia terbakar di perapian, setidaknya bisa membuatku membayangkan bagaimana baunya.
"Malang?" tanyaku. Aku tahu kalau ada kota beranama Malang di daerah Jawa Timur dari buku pelajaran IPS.
Rhino mengangguk. "Tahu kan Apel Malang? ya berarti asal buah itu dari Malang! mungkin Mama kamu dulu pernah tinggal di sana..."
Aku terkejut. Mengapa hal itu tidak pernah terpikirkan olehku? padahal aku sudah tahu yang namanya apel malang. Dan sangat mungkin -walau daerah lain juga ada yang merupakan sentra penghasil apel- keluarga mama berasal dari kota itu. Tapi entahlah... kalau benar mama berasal dari kota Malang, mengapa dia sama sekali tidak memiliki logat khas jawa timur saat berbicara. Mungkinkah karena mama dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang tidak membiasakan diri memakai bahasa daerah? ataukah karena mama telah lama tinggal di kota dan telah lupa sama sekali bagaimana bertutur dalam bahasa daerah? atau malah mama ternyata memang bukan berasal dari kota tersebut? Kalau memang kemungkinan ketiga yang terjadi, artinya aku kembali kepada kondisi tidak tahu sama sekali akan asal-usul mama.
Selama beberapa minggu berikutnya, setiap ada kesempatan, aku akan memancing-mancing reaksi mama saat aku menyebut-nyebut kota Malang ataupun apel malang. Tapi sepertinya mama tak terpengaruh.
"Apel malang paling terkenal ya ma?" aku bertanya sambil mengunyah potongan apel malang yang kebetulan mama beli hari itu.
Mama yang sedang membereskan piring di atas meja cuma mengangguk.
"Kata Rhino, di Malang itu dingin ya Ma? kapan ya kita bisa main ke sana?"
"Ajak aja papa... siapa tahu kalau liburan kita bisa ke sana..." Mama menjawab tanpa ada sedikitpun keganjilan dalam nada suaranya.
Aku tak punya ide lain.
Di kesempatan lain, aku kembali memancing mama.
"Kalau ada study-tour ke Malang akhir tahun ajaran, mama boleh ijinin Sandy pergi?"
"Lihat aja nanti..." jawab mama datar.
"Kenapa ma? emang di sana enggak enak ya? apa enggak begitu menyenangkan?"
"Mama kurang tahu..." jawab mama diplomatis.
Aku belum putus asa.
"Kalau dari Malang ke kota ini kira-kira perjalanannya berapa lama ma? tahu enggak?"
"Mama enggak tahu, belum pernah nyoba..."
Aku benar-benar hilang akal.
"Apel malang itu paling terkenal kan ma?" tanyaku tak sabar.
"Kamu kan udah pernah tanya itu sebelumnya San..."
Aku menghela nafas panjang tanda menyerah.
Obsesiku terhadap apel, kota malang, dan usaha menyingkap latar belakang keluarga mama, telah merasukiku berhari-hari. Satu titik terang aku dapatkan saat membaca sebuah buku lama di perpustakaan sekolah. Di buku tipis tentang budidaya apel itu tertulis hal ini:
"Apel Malang tepatnya Apel Batu bukanlah hasil tanaman asli Kota Batu dan Malang. Orang Batu mengenal tanaman Apel justru karena orang Belanda yang membawanya ke Kota Batu dijaman penjajahan. Selain Kota Batu yang berhawa dingin disukai orang-orang Belanda untuk mendirikan vila, struktur tanah dan udara Kota Batu juga cocok untuk tumbuhnya tanaman Apel."
"Konon, pohon Apel dari Belanda yang ditanam di Kota Batu memang bisa tumbuh dengan subur, berdaun lebat, dan berbatang kokoh. Seperti di komik dan film-film Eropa, pohon Apel di Eropa tumbuh tinggi besar seperti pohon mangga dan rambutan. Budidaya pohon Apel melalui steik dilakukan sehingga pohon Apel semakin banyak bahkan juga dimiliki oleh penduduk-penduduk lokal."
Belanda! Eropa! bukankah mama masih memiliki darah keturunan eropa? aku semakin bergairah. Tak hanya perpustakaan, majalah-majalah pertanian milik papa yang dulu sama sekali tak membuat minatku tertarik, kini ikut-ikut menjadi korban pemuasan obsesiku. Aku dengan teliti mencari semua artikel yang berhubungan dengan apel dan tanamannya dari majalah-majalah tersebut. Suatu kali papa keheranan melihat aku yang mendadak tertarik membaca koleksi majalah pertanian miliknya. Aku hanya menjelaskan pada papa kalau sedang membuat tugas dari sekolah. Anehnya, papa yang kuduga kuat tahu pasti latar belakang keluarga mama juga ikut-ikutan tak terpancing dengan segala ke-apel-an dan ke-malang-an diriku berminggu-minggu ini.
"Tahu enggak San? dulu apel-apel di kota batu itu enggak bisa berbuah..." papa memulai kisahnya dengan kalimat bernada misterius dan mata berbinar.
"Loh, kok bisa?" tanyaku.
"Iya! Benar!" Mengetahui pancingannya berhasil, papa bercerita makin bersemangat.
"Dulu, walau pohon apel itu bisa tumbuh subur di dataran tinggi dan hawa dingin perkebunan, pohon-pohon itu seperti kebingungan..."
"Kebingungan?" tanyaku.
"Kebingungan karena pohon-pohon itu sudah terbiasa dengan iklim dengan empat musim... seperti leluhur mereka di eropa."
"Lalu?"
"Ada seorang kusir di Desa Pesanggerahan. Dia juga memiliki pohon apel. Penasaran mengapa pohonnya tak juga berbuah, dia kesal dan kemudian dengan cemetinya dia merontokkan semua daun-daun yang ada. Ternyata... beberapa minggu kemudian pohon-pohon itu mulai berbunga... seperti sakura... tapi tak bergerombol... dan akhirnya bunga-bunga itu berubah menjadi bakal buah apel. Itulah legendanya mengapa akhirnya buah apel di kota Batu akhirnya berbuah..." papa menutup kisahnya sambil mengangguk-angguk puas.
Tentu ada penjelasan ilmiah dari legenda yang diceritakan papa. Orang yang menyadari bahwa negara kita hanya memiliki dua musim, harus mencari akal bagaimana "mengecoh" pohon-pohon apel itu dan memaksanya berbuah. Maka manusia menggunakan musim buatan. Pertama, ketika daun sudah lebat, maka daun-daun kemudian akan dirontokan (dirempes, istilah Batu) oleh manusia sebagai pengganti musim gugur, setelah itu supaya persemian lebih sempurna, dahan-dahan pohon Apel ditelentangkan dengan seutas tali yang ditarik ke Pohon Induk. Dengan demikian, bunga-bunga akan muncul lebih banyak. Setelah itu waktunya membuat musim panas dengan cara mengapuri pohon Apel dengan gamping atau kapur. Ternyata, musim buatan itu cukup efektif. Hanya memerlukan sekitar enam bulan proses tersebut, pohon Apel bisa dipanen buahnya.
******
Beberapa bulan kemudian, ketika segala antusiasme mengenai pohon apel dan pencarian asal-usul mama sudah mulai memudar, misteri yang menjadi pertanyaanku selama ini mulai terkuak.
Dimulai dari kedatangan seorang pria paruh baya bersetelan rapi bebebapa kali ke rumah dan berbicara serius dengan mama. Kemudian mendadak mama sering berbicara serius dengan papa. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan karena mereka berbicara serius sambil berbisik-bisik. Kadang dalam salah satu pembicaraan serius itu mama menggeleng-gelengkan kepala dan terlihat seperti mau menangis. Bukan karena mama marah kepada papa atau ada masalah diantara mereka, setidaknya perasaanku kuat mengatakan demikian. Dan ketika mama mau menangis diantara pembicaraan-pembicaraan serius itu, kadang aku melihat wajah putus asa papa. Perubahan lain, mama menjadi sering pergi ke luar. Katanya hendak mengurus ini-itu. Dan papa mendadak sering ada di rumah. Aku yang terbiasa jarang melihat papa ada di rumah sebelum matahari terbenam tentu merasa kebingungan, namun aku tidak berani bertanya. Papa menangkap kekhawatiranku dan memberikan senyum menenangkan seolah berkata, tidak ada yang serius... semua baik-baik saja... dan mama? mama kini jarang sekali mendongeng sebelum aku tidur dan itu bukan disebabkan oleh karena aku sudah duduk di kelas lima SD, melainkan mama selalu serius menyuruhku langsung tidur. Aku yang tidak mau menambah beban mama, menuruti permintaannya.
Akhirnya hari itu tiba. Aku sangat khawatir saat mama dan papa memanggilku ke ruang tamu untuk berbicara. Ya Tuhan! pikiranku sangat kacau. Melihat mereka duduk tegak di sofa walau tersenyum sangat manis membuat pikiran-pikiran buruk melintas di kepalaku. Aku jadi teringat cerita salah seorang temanku di kelas yang bernama Vetty. Suatu hari dia menangis seharian di kelas dan bercerita pada teman-teman ceweknya kalau kedua orangtuanya tiba-tiba memutuskan untuk bercerai. Dengan berurai air mata, Vetty bercerita bahwa seharusnya dia sudah bisa menangkap gejala-gejala awal perceraian orangtuanya dari keanehan sikap mereka, seperti mendadak berbicara serius, marah-marah, dan bahkan tidak saling bertegur sapa sama sekali. Puncaknya, Vetty dipanggil orangtuanya setelah makan malam. Di meja makan... ah! di meja makan... orangtua yang ingin memberitahukan anaknya kalau mereka akan bercerai, pasti melakukannya di meja makan. Papa dan mama tentu tidak akan bercerai karena mereka memanggilku untuk berbicara di ruang tamu. Tapi bagaimana kalau ternyata papa dan mama memilih ruang tamu sebagai tempat pengumuman perceraian mereka? bisa saja kan? toh, menurutku peraturan soal ruangan tidaklah terlalu mengikat. Lagipula mungkin saja selera orangtua Vetty berbeda dengan selera papa dan mama. Papa dan mama lebih menyukai ruang tamu, sedangkan orangtua Vetty... ah! hentikan pikiran kacaumu itu Sandy! semua akan baik-baik saja.. pasti! senyum papamu mengatakan demikian... ujar sebuah suara dalam hati.
Aku bersabar menanti apa yang akan dibicarakan papa dan mama. Aku duduk di hadapan mereka namun aku seperti melayang. Aku tak merasakan pantatku menempel di sofa dan kakiku yang menggunakan kaki palsu kini berdenyut-denyut sakit dan aku yakin ini bukan disebabkan karena akan turun hujan seperti yang biasa aku ramalkan, tetapi ini karena stres! aku tadi turun dari kamarku dan tanpa sadar berjalan lebih dipincang-pincangkan seolah-olah mengingatkan mereka yang sudah lupa kalau masih memiliki seorang anak yang istimewa dan berharap mereka jatuh iba dan kemudian akhirnya membatalkan rencana perceraian mereka, kalau memang mereka benar akan bercerai.
"Sebentar lagi kamu naik kelas enam kan San?" tanya papa lembut. Pikiran buruk membuatku tidak menyukai nada lembut suaranya. Pasti ada sesuatu di balik itu!
"Iya Pa.." jawabku pelan, masih penuh curiga.
"Bagaimana pelajaranmu? kamu masih masuk lima besar kan?" tanya papa lagi. Masih dengan nada selembut mungkin.
Aku memberi jawaban dengan anggukan. Aku tidak sanggup lagi berkata-kata. Pikiran buruk perceraian orangtua vetty benar-benar sudah merasuki otakku. Wajahku memerah dan mataku berair menahan tangis.
Papa dan mama saling berpandangan khawatir. Mungkin mereka memutuskan untuk tidak berpanjang lebar karena melihat air mataku yang nyaris tumpah, akhirnya mereka langsung pada pokok pembicaraan.
"Papa khawatir... kamu sulit dapat teman di tempat baru, San... papa enggak mau ujian akhir nanti kamu terganggu kalau kita pindah..." kata Papa sambil memegang bahuku.
Tidak kuat menahan beban pikiran menerima kabar buruk, tangisku kemudian pecah. Tapi... eh? pindah? mereka membicarakan pindah? bukan perceraian? Kemudian aku berusaha menenangkan diri dan bersusah-payah menghentikan tangisku.
"Papa tahu kamu sudah banyak teman di sini. Kalau kamu tidak mau, kita tidak akan pindah... tapi..." papa tidak melanjutkan dan melihat ke arah mama. Mama yang tadi tersenyum kini berubah murung.
"Pindah? pindah rumah?" tanyaku mencoba memastikan sambil mengusap air mata.
Papa mengangguk. "Bukan cuma pindah rumah, tapi kita juga pindah ke desa... desa kelahiran mama kamu..."
Padahal kabar berita pindah rumah juga bukan sesuatu yang sepele dan main-main. Tapi mengingat tingkat keburukan ceritanya berbanding jauh dari berita perceraian, membuatku menangis lega dan menghambur memeluk mereka. Papa bertanya khawatir, tapi aku menggeleng-geleng tak mau menjawab.
Penjelasan itu ada di atas meja. Ada sebuah map berisi dokumen-dokumen entah apa. Tapi yang menarik perhatianku adalah sebuah foto ukuran kartu pos yang terselip diantaranya. Semula aku ragu mengambilnya karena takut papa dan mama akan marah, tapi mereka membiarkan aku meraih foto itu dan melihatnya. Antusiasme kembali menjalar di tubuhku. Firasatku kuat mengatakan bahwa foto ini adalah salah satu bagian dari terkuaknya misteri keluarga mama. Tanganku bergetar saat melihat foto berwarna yang sudah memudar itu. Seorang pria eropa berusia lima puluh tahunan, berkumis, dan sedikit beruban berdiri di atas lapangan berumput bersama seorang gadis kecil berambut merah, bergaun pesta anak-anak berwarna putih, dengan latar belakang sebuah rumah besar bergaya feodal. Aku hampir pasti yakin kalau gadis kecil itu adalah mama, karena wajahnya mirip denganku. Dan pria eropa itu? walau beruban tapi warna rambutnya sebagian besar masih terlihat jelas... berwarna cokelat abu-abu seperti pasir, sama dengan rambutku!
"I... ini foto mama? sama kakek mama?" tanyaku memastikan.
Mama mengangguk.
Rupanya mama tinggal hanya dengan kakeknya. Orangtua mama meninggal saat mereka berlibur di Eropa. Kapal yang ditumpangi kakek-nenekku itu tenggelam di laut Adriatik. Sifat kakek yang keras membuat mama tak betah dan memilih meninggalkan rumah selepas SMA. Tak sekalipun sejak itu mama mengunjungi kakek buyutku hingga akhirnya seseorang yang merupakan perwakilan kakek mama menemukan mama. Rupanya kakek mama meninggal tiga tahun lalu. Berbagai upaya dikerahkan untuk mencari satu-satunya ahli waris yang tersisa yaitu mama. Dalam surat wasiatnya, kakek akan menyerahkan rumah beserta isinya kepada pemerintah daerah bila mama tak juga ditemukan dalam waktu lima tahun. Rupanya pria yang mewakili kakek, si orang bersetelan rapi itu, mencium gelagat kurang baik kalau aset milik kakek buyutku jatuh ke tangan pimpinan daerah yang sekarang menjabat. Orang itu korup! jelasnya pada mama. Mama yang merasa tak berhak menerima secuilpun warisan peninggalan kakek awalnya menolak menerima warisan tersebut. Tetapi perwakilan kakek buyutku terus meyakinkan kalau warisan itu tidak mama ambil alih, maka dikhawatiran malah akan diambil sebagai milik pribadi oleh pejabat daerah korup tersebut. Memang hanya tanah beserta bangunan kuno saja, barang-barangpun mungkin tak seberapa berharga. Tapi itu juga cagar budaya! rasanya tak rela kalau peninggalan bersejarah itu beresiko akan dihancurkan begitu saja nantinya.
"Tunjukkan kalau Ibu ada! tinggallah di sana beberapa lama... jangan biarkan orang korup itu semena-mena mengambil peninggalan berharga milik leluhur anda..." kata si pria beresetelan rapi itu memohon.
Tetapi ada yang lebih membuatku bersemangat selain latar belakang keluarga mama yang telah terungkap. Hal tersebut juga terdapat di foto yang aku pegang. Bulu kudukku merinding, mataku berbinar, perasaan senang meluap-luap tatkala aku melihat gambar sebuah pohon agak jauh di ujung halaman rumah. Sebuah pohon berdahan besar dan berdaun lebat... tak salah lagi! itu pasti pohon apel yang disebut-sebut mama!
******
gw lebih demen, kalo lo cerita soal jlan sama iqbal dari pada cerita gini...
Ayo Bang..dilanjut....pasti asyik neh....jangan sampe salah cerita soal Malang en Batu ya Bang....awas klo sampe salah...
Hehehehehehehehehehe.......
waduh namanya...
*jadigeerni* :P
hwehwehwe...
cerita bang remy mkin ksini makin berkualitas!
sumpah gw pnasaran bgt ma lanjutannya..
mnurut gw bang, cerita ini bakalan asik..
gw suka bgt wlwpun critanya bru dkit..
awalnya aja udah bagus bgt..
mudah2an kesananya makin bagus!
jgn buru2 yah bang..
gw bakalan setia ma cerita ini..
sampai mati! hahaha..
mana lanjutannya?
kisah cinta yah bang.. kudu..!
atw ntar dipindahin threadnya ke situs kak seto krn cuma crita anak2.. haha..
lanjut...
Prologue nya c rada bosenin tp bawah2nya bkin pnasaran bkal da pa c d rumah brunya? Eh btw ni crita bkan crita pedofil kan?
Sori.. cerita iqbal bener2 lagi mampet..pet..pet... gw saking susanya nulis kagak ada kalimat bener yang keluar... hiks...
@Indra23
Ehehehe... mau jadi supervisi cerita ane? duh... kalo ada salah, ente boleh ngapa2 in ane deh... *ngarep*
@Sandy_kam
Namanya sama ya? heheh.. lam kenal...
@Maximinus
Hohoho.. ini bukan cerita anak-anak.. diposting juga di fb ane... cuma nanti beda versi...
@Billicious
Bukan cerita fedofili.. itu si sandy baru kelas 5 SD, BTW... LDR ente pegimane kelanjutannye? *OOT*
@agungers89
Eh.. ente lagiiiiiiiiii....
Setelah berkonsultasi dengan papa, memikirkan segala akibatnya, baik terhadapku dan terhadap papa, akhirnya mama mengalah dan mengajak kami sekeluarga pindah.
"Dua-tiga tahun saja..." kata papa. Papa bersedia mengalah dan dengan caranya sendiri dia menyesuaikan diri. Katanya, papa akan berada di kota hanya dari senin hingga rabu. Dan sisanya, dia akan pulang ke rumah di desa. Konsekuensinya, papa mengurangi jumlah klien perusahaan yang dia tangani. Barulah aku memikirkan diriku sendiri. Sedih juga rasanya memikirkan akan meninggalkan teman-teman yang sudah akrab denganku. Papa dan mama lebih mengkhawatirkanku apabila nantinya di sekolah baru, aku akan merasa tak nyaman ditanya-tanyai tentang keistimewaan kaki palsuku dan penyebab aku memakainya. Mereka khawatir kalau orang-orang desa masih memiliki pemikiran sempit dan akan mengolok-olok aku sebagai si pincang atau si cacat di kelas. Tapi sesungguhnya aku tidak peduli dengan olok-olok. Aku yakin bisa mendapatkan sahabat baru. Tapi pohon apel itu.. ya! pohon itu. Tak sabar rasanya menjadi anak dalam kisah pohon apel itu.
Dugaanku salah. Mama bukanlah berasal dari kota Batu ataupun Malang. Desa tempat dulu mama dibesarkan letaknya masih di wilayah Jawa Barat. Tapi ada yang tidak benar-benar salah. Sama seperti orang-orang belanda di kota Batu, para pendatang eropa juga menanam pohon apel di desa mama. Konon katanya, jenis apel yang mereka tanam sama persis dengan yang ditanam di Kota Batu. Dan salah satu pohon tertua yang masih tersisa adalah pohon di rumah kakek buyutku. Menurut kabar, desa mama juga sempat menjadi salah satu sentra penghasil apel yang cukup terkenal. Namun lama-lama karena tersaingi oleh apel malang, dan karena ketidak-seriusan masyarakatnya yang memilih bekerja sebagai buruh di pabrik-pabrik, akhirnya budidaya apel mereka tinggalkan. Nyaris tak ada lagi pohon-pohon apel yang berbuah lebat karena tidak ada yang berusaha membuat empat musim buatan seperti layaknya petani di daerah Batu. Padahal, menurut kisah juga, dulu ketika beberapa tahun setelah merdeka, satu-satunya kebun apel terbesar yang ada di desa ini pernah musnah terbakar. Dan pohon di rumah kakek buyutku yang sebagai generasi pertamalah yang akhirnya menyumbangkan bibitnya kembali untuk disemai. Ah! benar-benar pohon apel yang membanggakan... pikirku kagum.
Hari kepindahan itu tiba. Aku membiasakan diri dengan rumah besar peninggalan kakek buyutku. Rumah bercat putih dengan dinding-dinding yang kokoh itu akan menjadi tempat tinggalku sekarang. Kakek buyutku bukanlah pemilik pertama rumah ini. Dahulu, rumah ini digunakan oleh pejabat pemerintah daerah di jaman pemerintahan Hindia-belanda. Cirikhas yang menonjol dari rumah bergaya campuran lokal-kolonial atau disebut tipe indis ini adalah atap yang berbentuk perisai dan teras yang beratap datar. Selain itu, walau semua bahan bangunan berasal dari daerah setempat, batu-bata yang digunakan dibuat di bawah petunjuk orang-orang belanda.Beberapa meubel kuno yang masih tersisa, mewakili masa saat bangunan ini di buat, yaitu kursi-kursi dari kayu eboni dengan ukiran, masih kokoh dan menempati beberapa sisi ruangan. Semua itu membuatku tertarik, tapi tidak sebesar ketertarikanku pada pohon apel itu.
Sejak kita tiba bersama truk pengangkut barang, aku tidak memedulikan para kuli yang membongkar barang-barang, tidak peduli kamar mana yang akan aku tempati, aku malah langsung mencari-cari pohon apel itu. Itu dia! terletak di sudut halaman rumah yang tidak berpagar ini, pohon itu berdiri kokoh, lebih besar dari yang kulihat di foto. Aku ingin berlari lebih cepat menuju pohon itu tapi kegairahan yang melanda membuatku malah sulit melangkah. Ketika akhirnya aku tiba di dekat pohon itu, niatku yang sudah kupendam berminggu-minggu untuk memeluk pohon itu setibanya aku nanti, tiba-tiba kuurungkan. Aku hanya bisa tersenyum memandang kagum pohon itu. Menyentuh kulit batangnya yang sudah mengeras, mengagumi dahannya yang kuat, dan menikmati gemerisik daun-daunnya yang lebat saat terkena hembusan angin. Ya... akulah si anak lelaki dalam cerita itu! akulah pemilik pohon apel ini! ujarku congkak dalam hati.
Setidaknya perhatianku kini sudah agak teralihkan karena adanya hal baru. Tadinya aku masih bersedih mengingat saat aku berpamitan pada teman-teman sekelasku. Aku memilih salah satu kamar yang dulunya ditempati kakek buyutku sedangkan Mama memilih memakai bekas kamarnya yang dulu. Mungkin mama tidak ingin kenangan kakek mengganggunya walau akibatnya dia tidak memakai kamar terbesar di rumah ini. Beruntungnya aku! Kamar kakek buyutku memiliki jendela pada dua sisi kamarnya. Salah satunya langsung menghadap ke arah pohon apel itu. Karena aku sangat berterima kasih padanya, tidak kuijinkan mama menurunkan foto kakek buyut yang tergantung di dinding walau kadang cukup menakutkan juga saat malam hari apabila aku menatap foto itu.
Johann Everard Cristoph Friederich Van de Cruyssen. Itulah nama kakek buyutku. Beliau bukanlah pegawai pemerintah hindia belanda melainkan seorang pengelola rumah sakit di kota tak jauh dari desa ini yang didirikan oleh pemerintah belanda saat itu. Dia bukanlah seorang dokter, namun pengetahuannya di bidang kesehatan sangat luas. Dia dipercaya mengurus rumah sakit karena kemampuannya dalam hal administrasi. Menikah dengan seorang gadis eropa, dia melahirkan kakek, papanya mama. Kakek menikahi seorang gadis dari desa ini dan akhirnya melahirkan mama. Ketika mama berusia delapan tahun, kakek berlibur ke eropa bersama nenek, liburan itu berujung musibah karena seperti yang pernah aku ceritakan, mereka menjadi korban tenggelamnya sebuah kapal di lautan Adriatik. Sejak itu mama menjadi yatim-piatu dan diasuh sendiri oleh kakek, karena nenek mama sudah lama meninggal karena penyakit.
Beruntung aku tak langsung masuk sekolah. Setidaknya penyesuaian diri ini berlangsung saat aku masih liburan. Kelihatannya malah orangtuaku yang agak sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan pedesaan. Walau mereka berusaha keras menyembunyikan fakta bahwa mereka tidak kerasan (mungkin takut aku ikut-ikut tak kerasan dan bakal merajuk meminta pindah kembali ke kota) namun kadang keluhan-keluhan terlontar dari mulut mereka. Mama misalnya, dia sering mengeluh sulitnya mencari bahan makanan untuk dimasak. Mungkin karena dia tak terbiasa belanja di pasar desa yang becek. Tapi belakangan dia sudah mengetahui seninya berbelanja di pasar tradisional. Dia puas melihat sayur-mayur dan buah-buah berkualitas yang lebih segar tak kalah dari yang biasa dia beli di supermarket kota besar. Lain lagi halnya papa. Terbiasa sibuk hampir 6 hari dalam seminggu membuatnya agak kurang betah. Seperti janjinya dia hanya bekerja di kota dari senin hingga rabu. Tapi kamis dan jumatnya papa malah menenggelamkan diri dalam pekerjaan di salah satu ruangan di rumah ini yang dia fungsikan sebagai ruang kerja. Berjam-jam dia bekerja menatap layar komputer dan memeriksa berkas. Tapi seperti mama, di minggu ke tiga dia bisa menyesuaikan diri dan mulai lebih menikmati waktu-waktu luangnya. Bagaimana denganku? aku cepat bisa menyesuaikan diri karena memang bersemangat dengan pohon apel itu. Tapi kadangkala udara dingin dan seringnya turun hujan di desa ini, membuat kakiku lebih sering terasa sakit. Terkadang sambil menggambar aku duduk di teras sambil menatap pohon itu. Kadang kala aku juga suka duduk di bawahnya hingga tertidur. Rupanya hal ini mebuat orangtuaku khawatir karena aku tak bergaul dengan anak-anak di sekitar. Namun aku meyakinkan mereka kalau nanti saatnya aku masuk sekolah, aku akan mendapat teman sebanyak mungkin.
Papa yang sudah mulai bisa bersantai berinisiatif membuat sebuah ayunan di pohon apel itu. Tak tega rasanya saat papa memalu paku-paku di salah satu dahannya yang cukup kokoh dan datar sebagai tambatan rantai ayunan kayu itu. Aku khawatir pohon itu kesakitan tapi tak berani bilang pada papa karena takut ditertawakan. Toh akhirnya aku menikmati juga ayunan yang dibuat oleh papa. Apalagi cuaca sore dengan hembusan angin yang tidak terlalu kencang sangat menyenangkan untuk dinikmati.
Suatu sore. Aku terbangun dari tidur siang seperti biasa hendak bermain di pohon apel itu. Saat aku melihat ke luar dari jendela kamarku, aku melihat seorang anak telah duduk di atas ayunan. Naluri keegoisanku sebagai pemilik pohon apel beserta ayunannya itu membuatku naik darah dan dengan berjalan terburu-buru dan marah, aku berniat mengusir siapapun anak itu dari ayunanku. Ketika aku sudah dekat, aku mendapati seorang anak lelaki berusia sekitar lima atau enam tahun sedang duduk dan berwajah muram. Rambutnya sedikit bergelombang, matanya besar dan kulitnya sangat bersih. Dia duduk dengan wajah seperti cemas memikirkan sesuatu. Cemas? harusnya dia bukannya cemas melainkan kesakitan, karena aku melihat ada luka di sebelah lututnya dengan parutan dalam berdarah yang lumayan parah. Sandalnya terlepas dari kakinya dan tertinggal di bawah ayunan yang bergoyang pelan.
"Kamu siapa?" tanyaku menyelidik.
Dia menoleh namun tidak menjawab malah menatapku sayu.
"Kamu kenapa? jatuh?" aku bertanya lagi sambil menunjuk lututnya yang luka.
Anak itu mengangguk.
"Kenapa enggak pulang dan minta diobatin?"
Dia menggeleng kuat-kuat.
"Loh? kenapa enggak?" tanyaku tak mengerti. Papa atau mama akan langsung mengobati lukaku bila aku terjatuh. Apa mungkin anak ini takut dimarahi?
"Kamu takut dimarahin?"
Anak itu terdiam sesaat lalu mengangguk lemah. Akhirnya dia berbicara juga.
"Bibi Gilang di rumah galak A..."
"Galak?"
"Iya... kalau Gilang jatuh pasti dipukul sambil dimarahi... katanya kalau main suka enggak hati-hati..."
Aku menghela nafas. "Nama kamu Gilang?"
Anak itu mengangguk.
"Ya udah, kita masuk ke dalam yuk? nanti Aa obatin luka kamu... ada plester sama betadine di rumah..."
Tapi anak itu menolak dan menggelengkan kepalanya.
"Luka kamu harus dibersihin... nanti dikerubungin lalat.. kamu mau?"
Anak itu masih diam.
Aku akhirnya mengalah. "Ya udah, Gilang tunggu di sini ya? jangan kemana-mana. Aa kedalam dulu ambil obat. Nanti Aa bersihin luka kamu di sini."
Anak itu tak menjawab tapi aku merasa dia tak akan kemana-mana. Oleh karena itu aku masuk ke dalam mengambil obat luka, setengah perjalanan aku menoleh memastikan dia masih ada di ayunan itu. Anak itu masih diam di ayunan itu masih berwajah cemas, terluka namun tak menangis.
Terburu-buru aku menuju kotak dimana mama biasanya menyimpan obat-obatan ringan dan perlengkapan bila terjadi kecelakaan atau luka kecil. Aku mengambil sebuah plester luka berukuran besar, cairan antiseptik berwarna kuning dan obat luka berwarna merah pekat. Aku tidak mengerti mengapa harus terburu-buru, mungkinkah karena aku tidak ingin anak itu keburu pergi dan menghilang? bisa jadi. Kemudian aku keluar membawa obat-obat luka tersebut dan lega karena mendapati anak itu masih berada di ayunan. Setibanya aku di dekatnya, aku berlutut di dekat ayunan kemudian menarik kakinya yang luka dan membersihkannya dengan cairan antiseptik kuning yang telah aku tuangkan pada segebung kapas. Anak itu meringis tapi membiarkan aku terus mengobati lukanya. Setelah bersih aku menotol-notolkan cairan berwarna merah pekat pada lukanya sebelum akhirnya aku menutupnya dengan plester luka ukuran jumbo. Aku menyukai plester luka ukuran jumbo, sepertinya puas sekali bila menutup luka dengan plester ukuran itu dibandingkan bila menutupnya dengan plester berukuran kecil.
"Sudah.... gimana? masih sakit?" tanyaku.
Gilang menggeleng sambil tersenyum, "udah enggak A! makasih ya?"
Aku mengangguk puas dan senang.
"Kamu pulang gih! hati-hati di jalan ya? jangan sampai jatuh lagi... kalau kamu enggak ditanyain bibi kamu soal luka itu jangan cerita ya?" pesanku.
Gilang mengangguk patuh. Dia kemudian turun dari ayunan dan memakai sandalnya. Dengan riang dia berjalan keluar pekarangan rumahku. Entah mengapa aku bahagia melihatnya pergi sambil tersenyum senang.
Eh.. rumah anak itu dimana ya? aku tersadar. Tapi kenapa aku harus tahu alamat rumahnya? memangnya kamu pengen ketemu dia lagi San? tanya sebuah suara dalam hati. Aku tidak sadar, kalau menuruti sebuah permintaan anak itu tadi hanyalah sebuah permulaan.
*****
Miss u lho bang..
Crita brunya kyanya bkalan jd kisah cinta prtama y.. Novel bnget.. Yg romantis y bang.. Ga ada yg lbih indah dr cinta prtama..
Lanjut bang..
lanjuuuut Rem!