It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
“You’ll learn to hate me…”, ujar suara berat di ujung telepon.
Sejenak jantungku terasa berhenti mendengarnya, pikiranku berpusing tak karuan dan rangkaian emosi yang tak pernah kurasakan membuncah di dadaku.
Hening, tak ada suara sama sekali. Kugenggam handphone mungil ku yang sudah kuno erat-erat, daun telingaku sudah terasa panas sekali, entah karena terlalu lama menempel di telepon atau efek kata-kata yang baru saja kudengar…
“Halo, Rio…?”, ujar suara berat yang sama membuyarkan keheningan, “… kau masih di sana?”
“Sandro…”, jawabku dengan suara serak… inilah salah satu hambatan fisikku yang paling kubenci… saat aku ingin terlihat tegar, justru saat itulah aku membuka semua kerapuhanku… Aku menghentikan kata-kataku begitu menyadari suaraku yang begitu sarat emosi.
“Kau menangis?”, potong Sandro tiba-tiba, dengan nada yang sangat menyebalkan… setelah kata-katanya yang membakar hatiku, masih ada nada peduli yang kudengar?
Masih adakah secercah kepedulian baginya untukku?
Kalau masih, sebesar apa? Apakah sebesar apa yang selama ini kurasakan pada lelaki itu?
Kurasakan butiran hangat air mata menetes melewati pipiku.
“Rio, dengar… aku masih sangat mencintaimu, tapi…”, lanjut Sandro tanpa mempedulikan jawabanku.
Aku menekan tombol akhiri pembicaraan, lalu dengan gerakan sigap menon-aktifkan ponselku. Kulempar ponselku begitu saja ke tumpukan bantal. Dengan gerakan pelan aku membaringkan tubuhku di atas ranjang yang berdecit.
Tega-teganya dia… lelaki yang telah membuatku berkorban begitu banyak…
Lelaki yang untuk siapa aku rela menyerahkan seluruh hidupku…
Lelaki yang segala permintaannya akan aku perjuangkan dengan darahku…
Lelaki yang untuk memperoleh cintanya, aku rela menukar dengan apapun yang telah dan akan aku miliki di dunia ini…
Dan dia memintaku untuk belajar membencinya?
Terkadang permintaan yang paling sederhana adalah permintaan yang paling susah untuk dipenuhi…
Aku menutup mataku, mencoba menghapus sedikit bayangan tubuh Sandro dari pikiranku.
Gagal.
Rambutnya yang lurus dan selalu di spike (yang sangat membuatku iri setengah mati karena rambutku bergelombang tak karuan), badannya yang tinggi besar, dadanya yang bidang, lengannya yang kokoh, jari-jari tangannya yang panjang, matanya yang berwarna coklat dan pandangan tajamnya di bawah alisnya yang tebal, hidungnya yang mancung sempurna. Dan senyumnya yang sangat menawan.
Sejenak seluruh pikiranku justru terisi apa yang sangat ingin kuhapuskan dari memoriku, aroma tubuhnya yang begitu memikat, kehangatan yang kurasakan saat jari-jari tangannya menggenggam tanganku, sensasi ciumannya saat pertama kali kami berciuman.
Dan dalam bayanganku yang menyesakkan itu aku melihat dia memandangiku dengan tajam, menusuk ke hatiku. Pandangan sempurna seorang laki-laki, yang membuatku rela menukar sisa hidupku untuk sekedar memandanginya lebih lama lagi.
Dan kata-katanya barusan, tiba-tiba meremukkan hatiku lebih parah dari yang sebelumnya kurasakan. Tanpa kusadari tubuhku bergerak menuju radio tua di ujung kamarku, kunyalakan keras-keras radio itu, lalu aku terisak-isak dalam kebingungan. Kamarku sudah kukunci, dan suara jeritanku tersamarkan dengan sempurna dengan kerasnya musik.
Aku menangis sejadi-jadinya, menangis untuk Sandro, lelaki yang sangat kucintai, dan menyuruhku untuk membunuh perasaanku sendiri.
Mataku tidak indah, dan kantung mata tebal keunguan yang entah dari mana muncul semakin merusak penampilanku, mungkin bawaan dari keluargaku, karena hampir semua saudaraku juga memiliki masalah yang sama.
Tubuhku kurus, kecil dan kata orang-orang aku terlihat bungkuk, menjengkelkan bagaimana orang sangat senang mendiskripsikan hal-hal yang buruk dari orang lain.
Gigiku tidak rata, dan aku pernah meminta orang tuaku untuk mengijinkanku pakai kawat gigi, yang kudapat hanyalah makian karena aku tak tahu diri.
Ya, aku bukan berasal dari keluarga kaya raya. Lebih tepatnya, aku berasal dari keluarga pas-pas an. Aku anak ke-4 dari 5 bersaudara.
Dan aku seorang gay.
Aku tidak sissy, tapi orang-orang umumnya menyadari keanehan padaku sejak pertama kali mereka bertemu dan berkenalan denganku, entah bagaimana caranya.
Dari luar kelihatannya aku sok tidak peduli dengan apa yang dirasakan orang lain pada diriku, aku sama sekali tidak ingin peduli. Tapi jujur di dalam hatiku yang terdalam aku sangat peduli.
Aku pernah berjam-jam memandang wajahku yang sangat standar di cermin, mencoba menekuk-nekuk nya seperti orang yang melakukan senam wajah, memainkan alis ku yang tipis tak beraturan, mengamati gigiku yang berantakan dan menjijikan, mengamati tiap jerawat yang menghiasi cukup banyak di wajahku (ada beberapa yang terlanjur meninggalkan bekas). Aku kecewa pada wajahku yang jelek ini.
Setengah hatiku mengkutuk Tuhan, kenapa aku tidak dilahirkan sebagai orang lain? Kenapa aku dilahirkan seperti ini?
Paling buruk, kenapa sebagai seorang gay?
Aku pernah membaca artikel, katanya orang bisa berubah haluan dari gay menjadi straight asalakan dia mencoba, demi Tuhan aku sudah mati-matian mencobanya.
Mencoba tertarik pada seorang wanita, jiwaku amat sangat tersiksa. Mungkin tekadku yang terlalu lemah, begitu melihat seorang lelaki tampan, langsung runtuh semua pendirianku untuk berubah.
Terkadang aku membuka forum gay internet di warnet dekat rumahku, melihat foto-foto syur lelaki tampan sedang bermesraan dengan lelaki tampan lainnya. Aku iri. Kenapa bukan aku yang berkesempatan seperti mereka? Kenapa mereka begitu dianugerahi? Tampan, atletis, kaya raya… atau setidaknya dianugerahi satu dari itu, dan yang paling penting memiliki seorang lelaki sempurna untuk berbagi cinta…
Di kelas aku adalah seorang pendiam, cenderung tak berkawan. Teman-temanku yang lain tidak mempedulikanku, mungkin bagi mereka aku hanyalah “tokoh figuran” dalam hidup mereka, pemenuh tempat duduk di kelas.
Aku sok tak peduli, tapi dalam hatiku seringkali aku menangis. Aku tahu aku tidak bisa dekat dengan mereka. Ada satu dua orang yang peduli padaku, tapi hanya sekedar simpatik. Tapi aku tidak bisa seperti mereka, yang bisa dengan santai berjalan-jalan di mall sehabis kelas, ngeceng seharian penuh, shopping benda-benda lucu dan baju bagus. Aku harus membantu orang tuaku menjaga adik bayiku. Konyol sekali, tapi keluarga kami tidak mungkin menggaji seorang baby sitter.
Lalu, mungkin karena aku seorang gay, dan teman-temanku straight… Itu secara tidak langsung menjadi semacam tembok bagiku untuk bersosialisai dengan mereka…
Bukankah ini hidup yang tidak satu orangpun ingin memilikinya?
Diharapkan kedatangan semua anggota forum yang ingin bergabung dengan komunitas
… dst
Sebuah pengumuman tentang gathering tertulis di forum yang aku buka. Aku memandangnya cukup lama.
Kafe W… itu kan kafe yang cukup dekat dari sini? Pikirku dalam hati.
Tiba-tiba ada message di messengerku, dari sahabatku di forum dengan inisial *Lorie*. *Lorie* adalah seorang gay yang satu usia denganku. Sahabatku. Kepada dialah satu-satunya orang aku sering berkeluh kesah, dan begitu pula sebaliknya. Nama aslinya Benny, dan dia juga adalah orang yang termasuk berwajah pas-pasan.
Satu yang paling kusukai dari Benny, dia adalah orang yang sangat percaya diri. Selain itu, entah bagaimana dia sangat bersahabat. Aku merasa nyaman bercerita dengannya. Aku pernah bertemu dengannya beberapa kali, dan sejak saat itu kita menjadi sahabat.
*Lorie*: Rio, lu dtg ga gathering resto W?
Tulis Benny di layar messengerku, Benny adalah gay aktif yang eksis, dia rajin mengikuti gathering, dan karena gathering itulah dia bertemu dengan Andy, yang sudah 1 tahun ini dipacarinya.
Nggak ah, ketikku di layar messenger. Kutekan tombol send.
*Lorie* : huuu, payah lu, makanya lu ga perna dpt cowo…
Dalam hati aku tertawa, membayangkan ekspresi wajah Benny saat mengucapkannya.
Malu Ben, ntar gw cmn jadi patung di sono, jawabku.
*Lorie*: Justru gw yakin lu bakal jadi bintang, lagian di sono banyak brondong baru koq, jd lu gag usah malu… ikut lah rame-ramein… gw kan panitianya juga… plizzz…
Setelah itu bisa ditebak, Benny memaksaku mati-matian untuk menghadiri gathering itu. Konyol sekali, aku termasuk orang yang dalam hati ingin sekali menghadiri gathering, tapi tidak cukup percaya diri untuk melaksanakannya.
Tapi Benny sangat lihat membujukku, lebih tepatnya mendesakku.
Setiap aku membalas kata-katanya di messenger, tiba-tiba sudah ada 3 baris kalimat yang dikirimnya. Dan setelah konfrontasi lebih dari 1 jam, aku menyadari billing di warnet sudah cukup membengkak, sehingga mau tak mau aku menyanggupi ajakan Benny.
*Lorie* : Oc Rio, awas lu klo gag dtg, gw sirem pake air panas ntar
Ketikan terakhir dari Benny muncul sebelum aku log-off dari messengerku. Dalam hati aku tertawa sekaligus bersedih. Tapi tak bisa kupungkiri, sensasinya cukup mendebarkan. Bagaimana ya reaksi mereka kepadaku? Apakah mereka mau menerimaku sebagai sahabat, seperti layaknya Benny kepadaku?