BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Buku harian untuk Ibu (Dari anaknya yang gay)--Novel part.2

edited September 2010 in BoyzLove
Jakarta, 16 Maret 2009



Mama, bagaimana keadaan cuaca di Lampung hari ini? Mudah-mudahan tidak seperti iklim di Jakarta yang semakin hari semakin tak menentu. Seperti hari ini, matahari bersinar begitu terik membakar sepanjang siang dan ketika menjelang sore, bola pijar yang panas itu seperti tertelan oleh awan kelabu. Sekelebat langit menjadi mendung, seperti sedang bersiap hendak menumpahkan air seninya ke permukaan bumi. Mungkin inilah yang disebut-sebut oleh banyak pakar alam sebagai pemanasan global. Aku sendiri belum memahami secara mendalam apa penyebab, sekaligus cara penanggulangan dari perubahan iklim yang konon membahayakan itu. Sebab seperti yang kau tahu, ilmu eksakta dan alamku begitu dangkal. Agak sulit aku memahami alam, sebagaimana seorang teoritikus fisika memetakan atom dan partikel dalam susunan perhitungan logis.
Tetapi, yang kutahu adalah geletar iklim yang isunya dapat mencairkan kedua kutub es dunia itu disebabkan oleh hasrat berkuasa manusia yang tak terbatas. Modernitas memberikan mimpi-mimpi kesejahteraan, serta kenyamanan pada dunia dengan berbagai piranti teknologinya. Mesin pendingin memenuhi setiap ruang dalam gedung pencakar langit di kota metropolis. Orang menjadi tak lagi bisa tidur nyenyak bila mesin itu sedang rusak. Manusia terpisah dari alam dan menjadi congkak atas kemajuan zaman. Alam dijadikan serupa obyek yang ingin ditaklukan lewat teknologi yang semakin hari semakin canggih. Kita semua tak tahu, bila sebenarnya alam itu bernyawa. Alam memiliki kemampuan untuk bereaksi terhadap apa yang kita lakukan padanya. Sementara, manusia menyerahkan seluruh jati dirinya pada mesin-mesin berhala itu.
Hari ini, kebetulan aku kuliah agak siang, tepatnya jam sembilan. Tidak sepagi kemarin, sehingga aku tak bisa berangkat bersama dengan Adhit sekalian. Pukul tujuh, dia sudah bersiap mandi, sarapan, kemudian mengenakan kemeja dan dasinya. Aku hanya melirik dari celah mataku untuk melihat keadaannya. Kantuk masih menggelayuti mataku. Kembali aku berguling ke dekat tembok dan memeluk gulingku lagi. Sayup-sayup terdengar suara gelas berdenting, beriringan dengan suara keriak air yang beradu dengan dinding kacanya. Pasti Adhit sedang melakukan ritual sarapan paginya. Sebelum pergi, dia mendekatiku yang masih terbujur tidur dan mencium keningku dengan hangat.
“Aku pergi dulu ya. Jangan lupa makan sarapan roti yang sudah kubuatkan untukmu di atas meja.” pamitnya.
Aku hanya mengerang perlahan, “Jangan lupa kunci pintunya ya.”
“Beres, bos!” katanya dengan canda. Kemudian, yang tertangkap oleh telingaku adalah suara langkah sepatu yang mencium lantai. Pintu terbuka, kemudian berdebam perlahan.
Bila sedang tak bisa berangkat bersama dengannya, aku mesti memeras tenaga untuk mencapai halte busway terdekat. Ya, kira-kira sekitar sepuluh sampai lima belas menit yang harus kutempuh dari apartemen tempatku tinggal hingga mencapainya. Untungnya, hari ini aku tak perlu berlama-lama dan berdesakan mengantre di haltenya. Maklum, ini sudah pukul setengah sembilan. Tidak seperti kalau pukul tujuh pagi saat orang berlomba-lomba untuk masuk kantor, atau pukul lima saat orang baru saja pulang kerja. Arusnya seperti tak terbendung, mengingatkanku pada hilir pemudik kala Lebaran menjelang.
Seperti hari-hari sebelumnya, aku masuk kuliah dengan perasaan enggan. Aku bergegas masuk ke kelas dan duduk di antara teman-temanku. Sempat kami berbincang bersama mengenai tugas kuliah Sistem Perdagangan Ekspor Impor yang harus kami kumpulkan dua minggu lagi.
“Iya, nih. Tugasnya banyak banget. Gue aja sampe keliyengan nyari bahannya.” tegas Daniel, sahabat sekelasku yang berkepala plontos.
“Gue malah belum kerjain sama sekali. Nti kalau udah ada yang selesai, gue pinjem ya.” Tanpa malu-malu lagi, Fresca langsung menyerobot percakapan. Maklum, dia memang paling terkenal malas mengerjakan tugas-tugas kuliah. Semuanya menunggu contekan dari teman, atau kalau sudah kepepet, dia akan mengupahi orang untuk mengerjakan tugasnya.
“Ah, masih dua minggu lagi ‘kan? Masih lama lagi. Tenang aja.” Julita yang sehari-hari sibuk bekerja sampingan di warnet ikut menyela.
Ma, itulah sebagian teman-temanku yang baik padaku. Tetapi, tentunya kau tahu bahwa aku tak pernah menghendaki untuk kuliah di bidang bisnis ‘bukan? Ingatkah tiga tahun dulu kita pernah bertengkar hebat mengenai jurusan kuliah yang akan kuambil? Kau marah besar saat mengetahui aku ingin mendalami ilmu filsafat dan sastra. Matamu tiba-tiba terbelalak dan hendak mencelat keluar. Kau melempar beberapa lembar brosur perguruan tinggi yang sedang kau baca ke atas meja. Beberapa lembarnya sempat terjungkal dan menghempas ke atas lantai.
“Kamu mau kuliah filsafat?” tanyamu. Ada nada kaget yang bercampur dengan kesal terselip dalam kata-katamu.
Aku mengangguk tegas. Memang aku tertarik pada ilmu tentang pencarian kebijaksanaan dan kebenaran itu. Dan tidak ingin mengambil jurusan lain.
“Tidak!” serumu dengan tegas. Lanjutmu, “Kamu mau jadi apa kuliah di bidang itu? Mama nggak setuju kamu menghabiskan waktu studimu di sana. Buat apa? Kamu mau jadi penyair? Mau jadi pemikir?”
“Ma, aku memang tertarik pada jurusan itu. Lagipula, masih jarang orang yang belajar filsafat.” jawabku sekenanya. Bingung harus bicara apa. Aku agak kesal juga melihat reaksimu yang tidak senang itu.
“Justru itu, orang jarang memilih kuliah di filsafat karena memang jurusan itu nggak akan bisa memberi kamu makan!” cetusmu. Kau menjadikan alasanku tadi sebagai boomerang untuk menghantam balikku.
“Jadi, aku harus kuliah jurusan apa, Ma? Aku nggak tertarik dengan ekonomi atau hukum.” ujarku membela diri.
“Ini semua pasti gara-gara ulah gurumu itu! Terus-terusan meminjamimu buku yang semakin hari membuatmu semakin aneh!” Kau melemparkan kesalahan pada guru mata pelajaran sosiologiku yang kerap memberikan suplai ilmu buatku.
“Memangnya aku salah membaca buku-buku itu?!” teriakku tak mau kalah. Papa sedang bekerja saat itu. Kalau dia ada, bisa-bisa kalian berdua bersekutu bersama dan membuatku tak akan berkutik sedikit pun.
Kau merendahkan sedikit suaramu, “Membaca buku itu tidak salah, tetapi pola pikirmu itu yang sudah mulai berubah menjadi aneh. Tidak seperti orang-orang lain.”
Pasti ini karena aku pernah bilang pada kedua orang tuaku, kalau aku tak ingin memeluk agama apapun. Sebab kubilang, agama hanyalah konstruksi historis budaya dan masyarakat pada suatu saat yang kemudian dibawa oleh pada misonarisnya ke daerah-daerah lain yang dianggap penduduknya masih kafir. Agama tidaklah penting, tetapi kemanusiaan dan cinta kasihlah yang lebih penting. Tetapi, kalian berdua tidak menerima penjelasanku itu. Kalian menyalahkan buku-buku yang pernah kubaca. Kau nistakan guruku dan ilmu yang membuatku belajar berpikir kritis itu. Aku sedih mendengarnya, Ma. Aku menangis di dalam kamar, memeluki beberapa buku pengarang sastra kesukaanku. Virginia Woolf, Paulo Coelho, juga Ayu Utami. Kau tak tahu itu.
Rintih tangisku teredam oleh desau lembut suara Nat King Cole menyanyikan “Autumn Leaves” dari CD player di kamarku. Kupejamkan mataku dan berharap untuk bisa segera terlelap. Perdebatan kita tak pernah ditutup dengan damai. Selalu saja ada yang masih mengganjal. Aku mencoba untuk memahamimu. Mengerti pola pikirmu yang masih tradisional dan mengganggap bahwa melawan arus berarti menyimpang. Menolak agama berarti kafir. Mencintai filsafat berarti memilih untuk hidup kelaparan. Berpikir kritis justru membawa kita pada kekhilafan. Itulah nilai-nilai yang kau pegang. Sementara, aku sebaliknya.
Beberapa hari kemudian, kau mengajakku untuk bertemu dengan Ibu Nazira. Sahabatmu yang kebetulan pernah kuliah di tanah Tiongkok. Meskipun dia bukan keturunan Tionghoa sepertiku, tetapi dia bermimpi untuk menuntut ilmu di sana. Selesai dari pendidikan sarjananya di bidang Bisnis Internasional, dia kembali ke Indonesia, dan menikah dengan suaminya yang memiliki banyak tambak udang di wilayah Lampung. Mereka berdua merintis rumah tangga dengan hidup yang berkecukupan. Sembari mengurus anak, dia turut mengembangkan bisnis kursus bahasa asingnya.
Kau, aku, dan Ibu Nazira duduk mengelilingi meja marmernya di teras belakang rumahnya yang menghadap pada kebun yang terhampar luas. Desir angin terdengar begitu jelas menerpa daun kupingku. Tiga gelas air putih dingin terhampar di hadapan kami.
“Stefan, kudengar mau kuliah di jurusan filsafat ya?” tanya Ibu Nazira berusaha untuk memperoleh jawaban langsung dariku. Sebuah taktik retorika.
Aku menganggukkan kepalaku. Tegas tanpa ada keragu-raguan. Kucurigai ada tatapan sebal yang terpancar dari bola matamu, mesi aku tak melihat langsung.
“Iya, Bu. Semenjak beberapa waktu lalu, dia kebelet bange untuk kuliah di filsafat.” Kau menyela.
“Stefan, mempelajari ilmu filsafat itu tidak ada salahnya. Tetapi, usiamu masih muda. Pemikiranmu masih belum matang. Biasanya, jiwa muda yang masih labil ini mudah goyah. Kau lihat deh, banyak yang jadi ateis atau anti kemapanan begitu lulus kuliahnya. Nah, Ibu harap, bila kamu mau mengambil kuliah filsafat, tunggu dulu sampai kamu sudah lulus S1 dan pola pikirmu sudah matang.” Kata-kata darinya masih kuingat dengan jelas, sampai sekarang.
Kemudian, dia mengajukan proposal untuk hidupku selanjutnya: ambillah kuliah bisnis, lalu bekerja sampai mapan—minimal, sudah ada pegangan keamanan financial, baru belajar filsafat. Dia seperti ingin mencampuri hidupku! Bukankah ini hidupku sendiri? Bukankah aku yang akan merasa tidak enak bila belajar dalam program studi yang tidak kusukai sama sekali?
Saat itu, aku sempat melawan, meski akhirnya aku gagal juga. “Bu, belajar filsafat membuatku bisa lebih berpikir kritis dan tidak asal langsung mengikuti omongan orang begitu saja.”
“Nah, itu dia poinnya, Stefan. Kadang anak muda yang jiwanya masih bergejolak malah jadi melawan masyarakat. Tidak ingin ikut arus mayoritas, itu boleh-boleh saja asal masih dalam koridor kebaikan. Tetapi, anak-anak muda yang sudah terkontaminasi pemikiran-pemikiran idealis itu malah ingin membuat revolusi-lah, mengubah masyarakat-lah, sampai yang paling ekstrem sekalipun, seperti melawan suatu rezim pemerintahan. Itu berbahaya buatmu, Stefan. Apa kau mau melihat keluargamu sedih ketika mendapatimu menjadi seorang demonstran, kemudian ditembak?”
“Kalau tak ada demonstrasi mahasiswa, bagaimana bisa pemerintahan Orde baru yang menindas itu jatuh?!” Aku balas menyerang. Salahkah bila kita menjadi aktif? Masa aku harus jadi manusia apatis?
“Stefan, Mama nggak mau kamu ikut-ikutan begituan! Bahaya dan juga gak guna. Kita ini orang biasa. Nggak usahlah ikut-ikutan berpolitik.” Kau mengambil ancang-ancang untuk mengalahkanku.
Dua lawan satu bukan angka yang seimbang.
“Stefan, Ibu harap kamu menjadi anak yang bisa menyenangkan kedua orang tuamu. Apapun yang terjadi di luar sana, yang terpenting adalah kamu bisa menjadi seorang yang sukses dan dapat hidup mapan. Itu saja.” Ibu Nazira bermaksud untuk meredam perdebatan sengit yang sudah terjadi.
“Apalagi, kamu anak laki-laki satu-satunya. Kamu yang seharusnya menjadi tulang punggung keluarga.”
Aku benci dan muak dengan pernyataan yang terlontar dari mulut Ibu Nazira. Ada apa memangnya dengan lelaki? Apakah cuma dia yang bisa dijadikan kebanggaan? Bagaimana dengan anak perempuan? Apakah karena tak membawa marga keluarga, maka perempuan harus dinomorduakan?
Tidak ada yang membela pilihanku saat itu. Papa pun sama sepertimu dan Ibu Nazira. Sepulang mengurus toko spare-part mobil miliknya dan mendengar niat kuliahku, dia cuma bisa melengos. Dia tak bisa marah, lantaran sudah terlalu lelah seharian mengurus bisnisnya.
“Pikirkan lagi baik-baik. Usia Papamu ini udah nggak akan lama lagi. Siapa nanti yang mau ngurus bisnis kalau Papa nanti udah nggak ada?” jawabnya sambil menenguk segelas air dingin dari kulkas.
Semua orang tak ada yang mendukungku. Pada malam-malam yang senyap, aku seringkali bertanya pada diriku sendiri, apakah yang membuatku menjadi seorang pribadi yang berbeda begini? Bukankah sewaku duduk di bangku SMP, tak pernah terlintas sedikit pun dalam kepalaku untuk mendalami ilmu filsafat?
Jawabannya terletak pada satu orang. Siapakah dia?

***

Pertama kali Ibu Indri mengajar di sekolahku adalah saat aku duduk di kelas 2 SMA. Kebetulan, kami belum mengalami penjurusan sehingga semua pelajaran—mulai dari ilmu alam, sosial, hingga bahasa—masih kami pelajari. Ma, kau belum pernah bertemu langsung dengannya. Bila kau sudah melihat sosoknya, kau pasti tidak akan pernah berpikir kalau dia adalah seorang guru yang cerdas dan juga berwibawa ucapannya. Sungguh, dia sungguh berbeda dari figur guru kebanyakan. Mungkin karena latar belakangnya juga lain daripada yang lain.
Kacamata tebal berangka hitam polos melingkupi pandangan matanya. Kulitnya hitam legam, seperti terlalu lama terpanggang mentari. Rambutnya selalu acak-acakan, seakan tak pernah disisir. Tubuhnya pendek. Pokoknya, dia jauh dari kesan cantik. Apalagi, pakaian yang dikenakannya tak pernah menuruti mode dan cenderung kelihatan jadul—alias kuno. Tetapi, ada wibawa di balik semua itu. Ada aura keteguhan yang tak dapat kutepis darinya.
Bernama lengkap Indri Suciwati, dia mengawali kariernya sebagai seorang aktivis kaum buruh di Yogyakarta selepas menyelesaikan pendidikan S1 di bidang Sosiologi. Dia memilih pekerjaan itu, bukan karena untuk mencari keuntungan atau popularitas. Tetapi, justru karena hati dan kemanusiaannya yang menjadi pemicu terbesar. Ayahnya dulu adalah seorang pegawai negeri dan meninggal ketika Indri masih duduk di kelas tiga SMP. Sejak saat itu, Indri tumbuh menjadi seorang perempuan yang mandiri dan teguh. Apalagi, dia harus membimbing kedua adik lelakinya yang sedang beranjak masuk masa pra-remaja. Ibunya hanya bekerja sebagai guru SMP di sebuah sekolah swasta di daerah Pringsewu—sebuah wilayah terpencil di Lampung. Indri tak pernah terpikir bisa menganyam pendidikan tinggi dengan keadaan seperti ini. Tetapi, rupany, paman dari pihak ayahnya melihat kecerdasan Indri dan bersedia untuk membiayai kuliahnya. Berbekal kecerdasan dan keberaniannya, namanya berhasil keluar lulus UMPTN di sebuah perguruan tinggi negeri ternama di Yogyakarta.
Di sanalah, Indri banyak melahap buku-buku teori dan pemikiran sosial, mulai dari John Locke, Jeremy Bentham, sampai idolanya, Karl Marx, juga feminisme. Sedangkan sastrawan kesukaannya adalah Pramoedya Ananta Toer. Semuanya menjadi energi solar yang menuntun langkahnya. Mengasah kepekaan mata hatinya terhadapm penderitaan di sekitarnya. Menjadi aktivis tak selalu berjalan mulus.
Dia bercerita padaku: pernah dia ditangkap oleh polisi saat sedang berdemo bersama buruh-buruh perempuan demi menuntut kenaikan upah pada suatu pabrik sepatu di Yogyakarta. Dia diciduk dan sempat dituduh komunis dan penganut Marxis.
Si petugas interograsi menanyainya dengan ketus, “Kamu pernah belajar Marxisme ya? Mau jadi komunis, hah?!”
Dengan tenang, Indri menjawabnya, “Apapun itu yang kalian tuduhkan padaku—komunis atau kapitalis, hanya satu yang menggerakkan langkahku, yakni kemanusiaan.”
Aku terkagum-kagum mendengar ceritanya saat itu. Betapa dia berani untuk mengambil jalur yang berbahaya demi ikut serta dalam perwujudan keadilan itu sendiri.
Oh ya, perkenalanku dengannya amat sangat sederhana. Suatu hari, aku pulang sekolah agak sore karena mengerjakan tugas kelompok terlebih dahulu. Ketika aku sedang duduk-duduk di serambi depan sekolah, tiba-tiba Ibu Indri menghampiriku. Rupanya, dia belum pulang dan sedang mengoreksi ulangan harian muridnya.
“Halo, Stefan. Kamu belum pulang?” tanyanya, sembari duduk di sampingku.
Kulirik ada sebuah buku berjudul “Bumi Manusia” karangan Pramoedya Ananta Toer dalam pegangan tangannya.
“Belum, Bu. Tadi habis kerja kelompok. Ibu juga belum pulang?”
“Ibu masih harus mengoreksi ulangan kalian. Dan sekarang ibu lagi istirahat sebentar dan mencari udara segar di luar. Oh ya, Stefan, kamu suka membaca?”
“Hmmm…dulu sih suka baca novel Agatha Christie yang penuh misteri. Sekarang sih udah nggak pernah. Oh ya, Bu, ngomong-ngomong itu buku apa?” tanyaku sambil melirik ke buku tersebut.
“Oh, masa kamu gak kenal sama buku ini sih? Ini buku karya Pramoedya yang sempat dilarang saat Orde Baru.”
Dia bercerita panjang lebar, kalau dulu buku itu beredar di kampusnya dalam bentuk fotokopian. Membacanya pun harus sembunyi-sembunyi, karena kalau ketahuan, bisa berabe nanti. Seorang sahabatnya pernah berurusan dengan rektor kampusnya ketika tertangkap basah sedang membagi-bagikan buku itu pada rapat senat mahasiswa. Mendengar cerita itu, aku sempat penasaran dengan isi buku itu. Apakah yang membuatnya sampai semengerikan itu?
“Tapi, untungnya setelah Orde Baru tumbang, kini buku-buku Pram bisa dicetak. Ibu sudah membacanya lebih dari lima puluh kali.:”
Kelak, kutahu jika buku ini menjadi penghiburannya di kala sedang putus asa.
“Kamu mau pinjam, Stef?” tanyanya.
Aku mengiyakannya.
“Kalau kamu tertarik dengan buku-buku semacam ini, datang saja ke kantor guru. Nanti Ibu pinjamkan lagi yang lain.”
Buku itulah yang menjadi pintu gerbang ketertarikanku terhadap dunia pemikiran. Aku sungguh tergila-gila dengan tokoh Nyai Ontosoroh yang berani menentang kelaknatan. Seorang perempuan yang benar-benar tangguh. Saat itulah, kemudian aku mulai sering mendatangi ruang guru demi membawa pulang buku-buku yang tak kalah menarik.
Ibu Indri selanjutnya meminjamkanku novel “Saman” karya Ayu Utami yang pernah menghebohkan sastra Indonesia pasca kejatuhan Soeharto. Dalam buku itu, aku membaca bagaimana seksualitas perempuan direpresi dan keberanian perempuan memberontak terhadap tatanan sosial yang ada. Kemudian, buku-buku yang membahas pemikiran Karl Marx, lalu buku teori feminisme kerap mengunjugi ranselku. Perlahan-lahan, isi kepalaku yang lama makin diobrak-abrik, ditantang oleh pemikiran-pemikiran yang tidak konvensional.
Tetapi, aku lebih tertarik pada isu gender dan feminisme sampai-sampai aku berani berteriak dengan lantang di kelas pada mata pelajaran sosiologi yang sedang membahas tentang budaya lokal masyarakat Dani di lembah Baliem, pegunungan Jaya Wijaya..
Dalam masyrakat yang belum tersentuh modernitas itu, dipercayai bahwa kekuatan nenek moyang sakti—yang dinamai Atou—tidak akan diturunkan pada perempuan. Hanya lelaki saja yang akan berhak mendapat kekuatan itu.
“Bagaimana bisa keyakinan seperti itu dipertahankan?! Itu namanya diskriminasi terhadap perempuan! Dasar budaya partiarkis! Segala sesuatu sampai mistik sekalipun dimiliki oleh lelaki!” Aku berteriak tanpa bisa membendung suaraku lagi. Seisi kelas menoleh ke arahku. Pipiku memerah. Sempat malu karena kebablasan.
Tetapi, Ibu Indri hanya tersenyum dan mendekati mejaku. Diam-diam diacungkannya jari jempolnya dari balik punggungnya.
Berbisiklah dia padaku: “Stefan yang baru telah lahir.”

***

Ma, mungkin kau pernah mendengar nama Karl Marx dan juga komunisme. Aku yakin, pasti yang ada di kepalamu setiap kali mendengar kata itu adalah peristiwa berdarah tahun 1965 yang dimotori oleh Partai Komunis Indonesia. Tetapi, tahukah kau bila kudeta itu benar-benar rumit dan bukan sesederhana komunis mengamuk? Tahukah kau bila itu terjadi disinyalir karena intrik angkatan darat? Tetapi, kita semua sudah cenderung dibombardir oleh pemalsuan citra yang dilakukan oleh Orde Baru. Lihat saja, Orde Baru—melalui piranti hukum dan strateginya—berhasil membuat komunisme ditakuti dan disamadengankan ateisme. Sampai-sampai orang menyamakan komunisme dengan ateisme. Betapa pandirnya kita! Begitu mudah kita dibodohi. Komunisme tidak sesederhana mengkafirkan Tuhan. Tetapi, tubuh komunisme kompleks. Sama seperti sistem politik dan ekonomi itu sendiri, penuh dengan kepentingan yang saling tarik-menarik.
Tetapi, jujur saja, Karl Marx membuatku menjadi semakin sadar bahwa penindasan terjadi di sekitar kita. Apalagi, yang terjadi pada para buruh, serta kaum marginal lainnya. Aku semakin tergerak untuk mempelajari teori-teori sosial itu lebih mendalam supaya bisa turut serta dalam mewujudkan keadilan.
Ya, aku berubah menjadi seorang idealis saat itu, bahkan sampai sekarang pun. Kalau aku boleh jujur, aku bisa menurutimu untuk kuliah di bidang bisnis pun karena Ibu Indri. Dia mengatakan padaku bahwa belajar bisnis tidak selalu berarti buruk dan tidak peduli.
“Nah, itu tantangan buatmu, Stefan untuk mengembangkan sistem bisnis yang berpihak pada rakyat kecil dan tidak melulu untuk mengeruk keuntungan.”
Aku agak skeptis memikirkan itu.
“Memangnya kamu mau kuliah di mana?” tanyanya.
“Kayaknya sih di Jakarta.” Singkat jawabku.
“Wah, bagus dong. Nanti kalau kamu di Jakarta, Ibu akan bantu kenalkan kamu dengan beberapa teman Ibu di sana. Kamu bisa berdiskusi dengan mereka. Tapi, ingat. Kuliahmu harus tetap jadi prioritas. Jangan ngeluyur kesana kemari.” Ibu Indri memperingatkanku.
Aku tertawa kecil dan meneguk jus jeruk yang ada di hadapanku, “Tapi, aku nggak janji lho, Bu.”
“Lha, dasar anak nakal!” Ibu Indri ikut-ikutan tertawa.
Saat itulah, akhirnya aku menuruti omongan kalian unuk kuliah di sebuah institute ilmu ekonomi di Jakarta. Mendalami jurusan Ilmu Administrasi Bisnis.
Kau senang dan mengira aku telah menyadari kekhilafanku. Meski dalam hatiku, aku memiliki rencana lain.
Kuliah bisa saja tetap berjalan baik, tetapi niatku untuk ikut serta mewujudkan keadilan terus berapi-api di dalam dadaku.
Idealisme masa mudaku semakin mencuat.

***

Ma, mengertikah sekarang dirimu atas perubahan yang pernah terjadi pada diriku? Bukankah perubahan itu membuatku menjadi semakin kritis dan berani berpendapat? Ah, aku tidak tahu, apakah kau sedih dan kecewa melihat perubahan diriku. Yang aku tahu, kau kadang agak dingin setiap kali mendengar aku berpendapat mengenai apapun itu.
Aku kadang merasa berdosa padamu bila nekad bolos kuliah. Aku tahu, kuliah ini bukanlah yang kuinginkan. Tetapi, tetap saja aku mempunyai tanggung jawab padamu yang telah susah payah membiayaiku. Selain biaya kuliah yang mahal di institut swasta ini, kau rela membayari uang sewa kamar kosku yang juga tak kalah mahal. Bayangkan satu juta sebulan untuk sebuah kamar berukuran tiga kali tiga meter, plus kamar mandi kecil.
Setiap kali datang kuliah, yang aku rasakan adalah ruang kelas seperti sedang menyempit perlahan-lahan ingin menghimpit tubuhku. Tembok-tembok yang dibangun oleh jabaran ilmu bisnis itu seperti ingin menelanku. Meremukkan tulang-belulangku hingga yang tersisa tinggal serpih dan bubuknya.
Bukannya aku membenci kuliah di bidang bisnis ini, tetapi aku sangat menyayangkan materi yang diajarkannya. Aku menyebutnya sebagai jurusan egois. Mengapa? Karena semua yang dipelajari di kampus hanya yang menyangkut dengan bagaimana memaksimalisasi keuntungan perusahaan, bagaimana membodohi masyarakat lewat iklan dan strategi pemasaran, bagaimana memutar uang supaya bisa menghasilkan laba berkali lipat.
Bolak-balik selalu begitu. Tidak ada mata kuliah yang mengajarkan bagaimana mewujudkan kesejahteraan masyarakat negeri ini. Tidak ada praktek atau presentasi yang memberitahukan cara mengurangi kemiskinan negeri ini secara makro. Semuanya hanya diukur dari keuntungan. Dan sukses ditimbang dengan jumlah kekayaan yang berhasil diraup. Betapa menjijikan saat manusia harus menyerahkan jiwa-raganya bagi lembaran uang. Sungguh ironis, manusia yang menciptakan uang untuk tujuan mempermudah proses transaksi, dan kini ibarat senjata makan tuan, manusia diperbudak olehnya. Manusia menjadi ‘masokis-materi’.
Ma, kau mengerti ‘kan dengan perasaanku? Aku sungguh tersiksa harus kuliah di bidang yang tak kusukai. Tetapi, setiap kali mengingat pengorbananmu, aku meneguhkan hatiku untuk terus bersabar. Toh, kuliah ini bisa diselesaikan dalam jangka waktu tiga setengah tahun. Itu bukan waktu yang terlalu lama, bukan?
Kuharap melalui catatan ini, kau bisa menyelami keadaan batinku dan tidak lagi menafsirkan secara sepihak tentang pilihan-pilihanku. Mungkin bila kau ada waktu, kau bisa menuliskan juga gejolak dan pengalaman batinmu, supaya kita berdua bisa kembali merekatkan hubungan yang pernah renggang ini.
Oke, Ma?
Tak terasa malam sudah kembali menjelang semakin larut. Tanganku pun kelelahan. Wuihh, hari ini aku menulis cukup panjang juga ya…Mudah-mudahan Mama tidak keliyengan membacanya.
Selamat malam, Ma. Anakmu pamit untuk tidur dulu. Besok kita sambung lagi.
Carpe diem.

Comments

  • o pantesan katanya2 berat banget hahahahaha...
    tapi g suka ama ceritanya,, jadi mikir juga gimana perasaan bonyok g kalo tau g gay :p..
    Diterusin y bro nulisnya,, kalo bisa seh digabung jadi 1 thread,, nti lo tinggal ganti judulnya aja.. jadi gak repot buka2 banyak thread...
    jia you...
  • Wah, emang beneran suka sama filsafat ya? Jd pengen tau pandangan filsafat ttg gayness.. Bakalan dibahas gak neh? Atau rekomend bukunya dong..
Sign In or Register to comment.