Jakarta, 15 Mei 2009
Helene Cixous, seorang penulis Perancis pernah berucap,
“Menulislah! Tubuhmu harus didengar.”;
tetapi kubilang, “Aku menulis untuk mencari makna dari keberadaanku sendiri.”
Mama tersayang, apa kabar?
Mungkin kau akan terkaget-kaget ketika seorang kurir datang pada hari ulang tahunmu dan menyerahkan sebuah bungkusan kado padamu. Pandangan mata sipitmu akan menjelajahi sebuah stiker putih yang tertempel di sudut depannya. Di atasnya, tertulis nama, beserta alamatku. Keningmu berkerut, seraya bertanya-tanya apakah gerangan isi kiriman ini. Sebab aku tak pernah memberitahumu sebelumnya bila akan mengirimkan sesuatu yang penting ke rumah. Padahal, sebelum-sebelumnya, aku selalu terlebih dahulu menghubungimu untuk memberitahu bahwa akan kukirimkan sesuatu untukmu. Tetapi, tidak untuk kali ini.
Kau akan menandatangani selembar kertas bukti penerimaan barang yang disodorkan oleh kurir itu, sebelum membawanya masuk ke dalam rumah. Kau adalah ibuku yang paling telaten, cermat, serta hemat. Kau tak pernah merusak kertas kado dengan merobeknya paksa, sebab kau pernah berkata padaku, jika kertas kado bisa digunakan lagi untuk membungkus sesuatu bila keadaannya masih bagus. Karena itu, aku sudah bisa menebak, bila dengan jemarimu yang mungil, perlahan-lahan akan kau lepaskan lekatan selotip putih yang merekat setiap lipatan kertas kadonya. Setelah itu, kertas kado bekas pembungkus itu segera kau lipat kembali dengan rapi. Diletakkan di atas meja, lalu kau memandangi apa yang kini terbujur di atas pangkuanmu: sebuah buku agenda bersampul hitam dengan ketebalan kira-kira seratus lima puluh halaman.
Keningmu semakin berkerut, membentuk alur pada kulit dahimu yang putih bersih. Alis matamu akan sedikit mencuat lebih tinggi dari biasanya. Butiran tanya pasti berkitaran dalam kepalamu, apa maksud anak lelaki semata wayangku mengirimkan sebuah buku? Bukankah dia tahu bila aku paling enggan membaca buku, sebab mataku belakangan ini cepat lelah dan mudah berair? Tetapi, rasa penasaran itu akan semakin membeliak dalam serambi jantungmu. Mendesak sendi pada pergelangan tangan dan kelima jemari kananmu untuk membukanya perlahan-lahan.
Dan di dalam buku inilah, semua cerita akan dimulai; serpihan kisah yang belum pernah kau dengar. Episode cerita tentang buah hatimu yang belum pernah kau saksikan, layaknya tayangan televisi membombardir malam-malam senyapmu. Mungkin kau akan menangis dan kecewa membaca apa yang telah kutuliskan dalam buku ini. Kau juga boleh marah, menggenggam tanganmu sekuat tenaga supaya emosimu bisa tertahan sejenak. Kau juga boleh ikut menangis ketika menemui bagian-bagian yang bagimu mungkin terlampau menyayat perasaan..
Apa saja itu, lakukanlah.
***
Dua belas hari lagi, kau akan berulang tahun yang keempat puluh lima. Sebuah angka yang cukup panjang dan melelahkan untuk dijalani. Empat dasawarsa lebih telah kau habiskan untuk menjelajahi semua misteri kehidupan ini.
Selama penantian dua belas hari itu, setiap malam aku akan rutin menulisi buku harian ini tentang diriku sendiri. Buku yang akan berisi kisah-kisah hidupku yang sebagian besar belum pernah kau ketahui ini akan menjadi sebuah hadiah untukmu—meski aku tak yakin apakah kau akan bahagia atau malah tambah terluka ketika usai menyelesaikan seisi buku ini.
Hanya saja ada satu hal yang aku ingin sampaikan melalui buku ini, yakni supaya kau lebih memahami diriku. Mengerti keberadaan anak putra semata wayangmu yang mungkin tidak bertumbuh seperti yang kau harapkan. Aku dan dirimu; meskipun ada kesamaan darah yang mengaliri diri kita masing-masing, tetaplah kita berdua adalah dua materi yang terpisah dan hidup dengan pikiran, cara, serta perasaannya sendiri yang berbeda dengan satu sama lain. Untuk memahami orang lain di luar tubuh kita bukanlah sesuatu yang mudah. Ada prasangka, serta panca indera yang menghalangi kita, bagai selapis tembok tebal yang sulit ditembus, bagai cangkang telur yang membungkus embrio cairnya. Karena itu, kita tak akan pernah memahami seseorang sepenuhnya bila kita tak pernah menggunakan sepatunya dan berjalan dengannya selama bertahun-tahun—itulah kutipan peribahasa dari suku Indian.
Dan juga, bagiku, menuliskan kisahku kembali seperti seorang musafir yang sudah berkelana jauh dan seketika, dia menghentikan langkahnya untuk menengok ke belakang. Pada saat itulah, dia tersadar bahwa ada kerinduan terhadap masa lampaunya. Keinginan untuk menyusun kembali episode masa lalu untuk semakin menemukan dan meyakini bahwa jalan yang telah ditempuhnya adalah benar. Itulah, manusia memang hidup dalam tiga dimensi: masa lampau, masa kini, dan masa depan. Masa depan menjadi misteri. Sementara, pada masa kini manusia harus menghela langkahnya dan melihat ke belakang demi meneguhkan kembali makna keberadaannya.
Ma, aku cuma ingin kita berdua saling mengerti satu sama lain semenjak banyak hal-hal menakjubkan yang pernah terjadi dalam hubungan kita berdua. Ya, tepatnya dimulai sejak orientasi seksualku sebagai seorang pecinta sesama jenis, telah kau ketahui secara tak sengaja. Kau terkejut saat Rachel—adik perempuanku memperlihatkan sebuah pesan pendek dari pacarku, juga berbagai foto, serta rekaman video dalam ponselku. Dengan suaramu yang serak, kau memanggilku yang saat itu sedang berada di beranda. Kau serahkan ponsel itu padaku dan bertanya, siapakah lelaki yang sedang memelukku dengan hangat itu. Aku tak bisa berkutik saat itu dan terasa ada keringat dingin yang membanjiri tubuhku. Aku bagaikan seorang ibu miskin yang ketangkap basah ketika sedang mengutil berkaleng-kaleng susu bayi di supermarket.
Beranjak dari situlah, hubungan kita serasa semakin merenggang bagaikan selempeng tanah yang karena energi tektonik menyebabkan air meluap dan memisahkannya menjadi dua bagian.
Tetapi, tentunya hal itu akan kuceritakan lebih mendalam pada salah satu babak dalam buku ini, agar kau bisa lebih memahami perasaanku lebih dalam. Sebab meskipun aku seorang gay, aku tetaplah anakmu yang dulu. Aku ingin kau mengerti tentang itu. Aku ingin kau bisa menerimaku selayaknya ibu yang berusaha menggengam tangan anaknya yang didakwa sebagai bandar narkotika dari balik terali besi penjara.
Semalam aku bermimpi buruk tentang dirimu. Aku seperti sedang berada dalam sebuah ruangan yang terasa asing. Ruangan itu bertembok putih dan dipadati oleh orang-orang yang semuanya terbungkus dalam kostum hitam. Dari balik kaca mata yang juga hitam, kulihat ada tetes air mata yang bergulir jatuh. Kulangkahkan kakiku untuk menjawab seluruh rasa penasaran yang bergejolak dalam dadaku. Ini pasti sebuah upacara kematian, tetapi siapakah yang meninggal dunia?
Dari depan pintu, tempatku berdiri, lamat-lamat tatapanku menangkap sebuah peti berukuran bujur sangkar yang dibentuk dari kayu jati, kemudian dipernis dan dicat supaya kelihatan lebih layak dihuni oleh tubuh tak bernyawa sekalipun. Beberapa orang yang masuk sempat melewatiku dan menyenggol pundakku. Aku tetap saja berjalan. Dan alangkah terkejutnya, ketika aku mendapati siapa yang sedang tertidur dalam peti itu: dirimu. Ya, tubuhmu pucat kebiruan, seperti seorang kekurangan darah. Matamu terpejam, tetapi kurasakan ada misteri yang tampak ingin kau kubur dalam gelap pandanganmu. Pakaian putih panjang membungkus tubuhmu yang langsing, sementara rambut panjang legammu tergerai indah di balik tumpuan kepalamu. Kedua lubang hidungmu disumpal dengan gumpalan kapas. Ketika aku bersitatap dengan bibirmu, kudapati warna keunguan tersepuh di atasnya. Inikah dirimu yang benar-benar sudah meninggal? Aku mundur beberapa langkah, karena sakin terkejutnya. Kepalaku menggeleng-geleng perlahan. Tidak, ini pasti bukan mama. Ini pasti orang lain!
Tiba-tiba kudengar sebuah hentakan suara dari belakang tubuhku. Entah dari mana datanganya mereka, ketika kubalikkan tubuhku ke asal suara, kakak dan adik perempuanku berdiri dengan tegak. Maya—kakak perempuanku—melepaskan kacamata hitamnya, serta merta menghardikku ketus, “Ngapain kamu masih berani kemari?!”
Aku keheranan menyaksikan reaksinya yang tanpa tedeng aling-aling itu. Tak mengerti mengapa dia marah padaku. Sebuah tangan terjulur dan mendorong tubuhku hingga mundur ke belakang beberapa langkah. Tangan adikku.
“Masih berani kamu kemari? Mama meninggal karena dirimu, tahu?! Karena memikirkan perilakumu yang menyimpang dan bikin malu itu?!” cetus Rachel, adikku buka suara.
“Apa maksudmu?” Bibirku bergetar.
“Nggak usah sok-sok alim gitu deh! Perilakumu sebagai pecinta sesama jenis sudah membuat Mama banyak pikiran, hingga akhirnya dia sakit dan mati!” teriak Maya sembari menampar wajahku. Tetapi, orang-orang lain di sana tak menggubris pertengkaran kami. Mereka tetap sibuk dengan kegiatan masing-masing. Mereka semua autis.
Aku tak bisa menahan gejolak dalam dadaku lagi.. Perih. Kecewa. Apakah memang benar gara-gara orientasi seksualku, umur ibu menjadi singkat? Apakah memang seorang anak gay patut dilaknati oleh keluarganya?
Tak tahan lagi aku membendung air mataku. Aku menangis, serta menjerit sekuat tenaga. Sebuah pukulan kecil terasa menyentuh permukaan pipiku. Tersadarlah aku dari alam mimpi buruk itu. Sebayang wajah yang sudah begitu kukenal menyapa pelupuk mataku yang terkuak. Dia adalah kekasihku, Adhit. Matanya yang masih dikabuti oleh kantuk menatapku. Geliat khawatir menggeliat di dalamnya. Dia beringsut dan menumpukan tangan kanannya pada bantal. Menyangga kepalanya.
“Kamu bermimpi buruk lagi ya?” tanyanya. Suaranya lembut menggema di samping telingaku bagaikan dentingan sonata piano. Aku menghela nafas sembari menggeleng lemah.
“Aku sendiri tak mengerti, mimpi apa yang barusan menganggu tidurku.” Kepalaku berdekut-kedut, seperti ada yang habis memukulinya hingga lebam. Nafas yang kuhirup semakin cepat, seiring dengan deru jantungku.
Dikecupnya keningku dengan hangat, kemudian tangannya yang kokoh menepuk-nepuk pipiku. Ada kehangatan yang menjalar dan mengaliri permukaan kulitku.
“Ayo, tidur lagi. Masih jam tiga dini hari. Apalagi, besok kamu kuliah pagi ‘kan?” Senyumnya mengembang bersama kedua lesung pipit yang ikut terbit pada wajahnya.
Aku menganggukkan kepalaku lemah. Menarik selimut hingga kembali menutupi setengah tubuhku. Kurasakan tangan Adhit bermuara di atas dadaku, seperti sedang hendak melindungiku. Kembali melelapkan diri ke alam bawah sadar.
Mimpi itu membuatku berpikir sendiri seharian, apakah mungkin kau selama ini memendam kekecewaanmu terhadapku sehingga lama kelamaan perasaan itu mengkristal dan memakan sedikit demi sedikit sel hidupmu? Apakah memang kau merasa malu memiliki anak sepertiku ini? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang kujadikan bahan bakar untuk menuliskan buku harian ini untukmu.
Mimpi kematian itu memang meninggalkan seserpih perasaan pilu dalam hatiku. Juga, perasaan takut akan kehilangan orang-orang terdekat. Aku jadi teringat pada sebuah kisah Buddha yang memberikan nasihat dan pengertian tentang kematian itu sendiri.
Kau pasti belum pernah mendengarnya, bukan? Begini ceritanya:
Tersebutlah seorang perempuan bernama Kisagotami. Putra tunggalnya mati akibat digigit ular beracun ganas dan itu membuatnya bersedih tak terkira. Lara memeras air matanya hingga bercucuran mencium tanah kering. Dalam hatinya, pasti dia mengeluh dan menghujat takdir yang tak adil padanya. Betapa getirnya perasaan seorang ibu yang mendapati buah rahimnya mesti terkapar tak sadarkan diri, sementara kedewasaan belum menyapa tubuh mungilnya.
Tak lagi digubrisnya rasa berat yang akan menghimpit pundaknya, Kisagotami memanggul putranya yang sudah tak bernyawa itu, menembus gelegar terik matahari. Dia hendak membawanya pada Sang guru bijaksana, Buddha. Tetapi, apa yang didapatkan kemudian, sungguh berada di luar perkiraannya. Harapannya akan mukjizat sirna sudah.
Dengan wajah tenang bersinar keperakan, Buddha berwejang dengan lembut, “Wahai, ibu yang sedang berduka, pergilah dan carilah biji lada milik keluarga yang belum pernah mengalami kematian bagi seluruh anggotanya.” Kisagotami melihat ada secercah harapan di depannya, maka tak disia-siakannya sedetik pun untuk segera beranjak dan memenuhi persyaratan itu. Gelepar cahaya matahari memanggang permukaan kulitnya; debu bertaburan mengisi relung udara. Satu demi satu rumah disambanginya. Tetapi, tak ada satu pun yang pernah tidak berkabung karena kematian salah seorang anggotanya.
Kisagotami barulah tersadar bahwa kematian adalah sebuah kepastian. Tak ada satu makhluk di dunia ini yang lolos dari jeratnya. Sebab apalah arti keabadian sesungguhnya, selain sebuah perubahan itu sendiri? Tak ada yang kekal, sebagaimana tubuh kita yang setiap hari selalu berubah susunan sel dan mekanismenya. Begitu pula, diri kita yang bertumbuh dari kecil hingga dewasa, semuanya selalu berubah. Tak ada yang statis.
Itulah, Ma. Kematian memang selama ini begitu mengerikan. Aku pun seringkali masih ketakutan tak keruan mendengar sepatah kata ‘mati’. Apalagi, bila ditinggal oleh orang yang kita cintai, pasti rasanya terpukul dan getir sekali. Tetapi, tahukah bila sesungguhnya kita semua telah memaknai salah terhadap kematian itu sendiri? Kematian adalah puncak eksistensi manusia. Pembebasan manusia untuk menyatu bersama rahasia terbesar dalam hidupnya selama ini. Kita sering kali menerka-nerka apa itu Tuhan dan beriman padanya tanpa pernah bertemu wujud. Dalam kematianlah, semua rahasia itu mendapat jawabannya.
Karena itu, mengapakah kita selalu takut pada kematian?
***
Di luar, hujan gerimis. Dari sisi jendela kamar yang terbuka, kulihat bulir airnya mengambang di udara selama beberapa saat sebelum akhirnya, jatuh menempa tanah. Kekasihku, Adhit sedang sibuk di kamarnya untuk mengerjakan tugas-tugas kantor yang sedang menumpuk. Aku sudah pamit padanya dan mengutarakan niatku untuk menulis buku tentang diriku sebagai hadiah ulang tahunmu pada pagi hari tadi saat kami berdua sedang bersantap pagi.
Cuaca pagi itu tidak cerah seperti kemarin-kemarin. Mendung tersaput pada bingkai langit. Tidak ada warna biru cerah yang bergelayut di sana, melainkan kelabu kehitaman. Terpaksa, kunyalakan lampu demi memberikan secercah cahaya pada ruangan apartemen ini.
“Kurasa itu ide yang bagus. Aku yakin, perlahan-lahan Mama pasti bisa menerima keadaan kita ini.” ujarnya sembari menuang susu segar ke dalam mangkuk berisi serealnya. Aku memandangi dirinya yang sudah berpakaian kemeja rapi dengan dasi bermotif garis biru tua-hitam.
“Kuharap juga begitu. Mudah-mudahan dia bisa mengerti dan menerima semua ini. Mimpi buruk kemarin membuatku tersadar untuk menuntaskan kesalahpahaman ini. Mama mungkin adalag generasi lama yang belum bisa menerima keberadaan anaknya yang gay ini.” Aku meneguk susu, kemudian melanjutkan, “Ya, Mudah-mudahan saja semuanya berjalan seperti yang kita harapakan.”
Hidup memang penuh dengan ketidakpastian, sedangkan harapan menjadi penghibur manusia.
Adhit tertawa tiba-tiba. Mataku terbelalak heran.
“Kenapa sih kamu tiba-tiba tertawa?” tanyaku penuh selidik. Tetapi, dia malah mencondongkan tubuhnya dan seketika, tangan kanannya membasuh permukaan bibirku.
Oh, aku sadar. Pasti di bibirku, ada noda susu yang melekat.
“Tadi mukanya jadi kelihatan seperti kucing garong, tahu? Coba kalau teman-temanmu di kampus melihatnya, pasti mereka cekikikan.” ujarnya sembari mengerling ke arahku.
“Ya, itu ‘kan tugas kamu untuk mengingatkanku. Lagian, mana bisa aku melihat diriku sendiri, sayang?” kilahku tak mau kalah.
“Iya deh.” Adhit mengangguk-anggukan kepalanya. Tak ingin memperpanjang debat tak berbobot ini. Dia sudah memahami sikap tak mau kalah dan egoisku.
“Oh ya, hari ini aku mungkin pulang agak maleman.” Dia membuka suaranya setelah beberapa saat ruangan itu sempat terbungkus keheningan.
“Karena kerjaan yang lagi numpuk ya? Akhir bulan sih ya, jadi banyak laporan yang harus diselesaikan.” Tebakku. Memang pekerjaan Adhit sebagai seorang manajer perusahaan multinasional menuntut jam terbang yang lebih.
Adhit menggelengkan kepalanya. “Bukan, bukan itu.”
Aku mengernyitkan kening. Penasaran. Sepasang mataku pun ikut memincing.
“Tapi kamu jangan marah ya…” Ada getar dalam suaranya. Sepertinya, dia tak ingin menyakitiku. Atau membuatku marah.
Kuangkat kedua bahuku, “Tenang saja, aku nggak akan marah kok. Memangnya ada urusan mendadak apa sih? Kok sampe rahasia-rahasiaan gitu.”
“Aku ingin ketemu anakku dulu.”
Jawaban itu terhambur dari mulutnya begitu saja. Pantaskah aku marah terhadapnya yang ingin bertemu dengan buah hatinya sendiri? Haruskah aku menghalanginya?
Aku tertawa kecil. Bangkitlah aku dari kursi, menghampirinya, dan menggenggam tangannya yang tergeletak di atas meja. Kedua pasang mata kami saling bersitatap. Mengalirkan aliran listrik bertegangan jutaan. Ada kehangatan yang tersusup di dalam sana.
“Buat apa aku marah, sayang? Kamu jangan sering beranggapan kalau aku ini pemarah dong. Masa sih aku segalak itu?” candaku diiringi tawa.
Dia menjawil pipiku dengan nakal. “Habis kamu ‘kan paling judes kalau sama aku.”
“Aku nggak marah kok. Wajar, seorang ayah merindukan darah dagingnya sendiri.” Timpalku pelan.
Adhit mengangguk perlahan, “Sudah hampir sebulan ini, aku tidak mengunjungi Reinathan. Mudah-mudahan dia baik-baik saja.”
Beberapa kali, aku pernah melihat Reinathan yang masih berusia dua tahun itu. Pipinya yang gemuk, kulitnya yang putih bersih, tatap matanya yang polos semakin membuatku gemas. Sayang, pasti Kindy tak akan mengizinkanku untuk bertemu dengan Reinathan lagi.
“Begitu selesai kuliah, aku langsung pulang. Soalnya, aku mau merapikan kamar kita yang sudah berantakan sekali. Coba deh, kapan terakhir kali kita merapikannya?” Aku berusaha mengalihkan pembicaraan. Tak ingin memperpanjang percakapan tentang kehidupan mantan keluarga Adhit.
“Hmmm…kira-kira seminggu yang lalu.” Jawabnya seiring dengan kunyahan mulutnya.
“Tuh ‘kan, masa sih kamu nggak ngerasa kalau lantainya sudah begitu lengket dan berdebu?” Aku mengambil sebuah cracker dan mencelupkannya ke dalam susu, sebelum melahapnya.
“Iya sih, cuma aku tahan-tahanin aja.” Dia tertawa kecil.
“Huh, dasar jorok.” Aku mencibir. Kembali dia memanyunkan bibirnya.
“Kurasa lebih baik weekend nanti deh kita beres-beres bareng. Aku nggak mau melihat pacarku kecapekan sendirian.”
“Huh, dasar gombal.”
Keseharianku bersama Adhit selama ini selalu dipenuhi dengan keceriaan dan kebahagiaan, meskipun terkadang pertengkaran tak bisa kami elakkan. Meskipun demikian, kami tak pernah menunda masalah itu hingga berlarut-larut. Kami selalu menyelesaikannya pada detik itu juga, supaya tidak berkembang makin ruwet.
Kulirik jam dinding yang tergantung di atas meja tulisku. Ternyata, sudah pukul sebelas hampir. Tanganku pun sudah terasa dihimpit lelah, menulis pembuka sepanjang ini. Berkali-kali tadi pun aku menguap. Mungkin karena tadi aku kuliah pagi, jadi mudah terkantuk-kantuk. Mungkin kusudahi dulu catatan untuk hari ini. Masih ada dua belas hari ke depan yang akan kugunakan untuk terus bercerita tentang kisah hidupku untukmu, Mama. Mudah-mudahan kau tak bosan mengikuti perjalanan hidupku.
Oh ya, Mama. Tidak lupa aku pun menitipkan salam hangat untuk Papa. Bagaimana kabarnya dia sekarang? Apakah dia masih rajin makan beras glukemiknya? Apakah dia masih rutin konsultasi kadar gulanya? Kuharap, kondisi dia baik-baik saja. Jujur saja, di sela-sela rutinitasku, aku seringkali khawatir terhadap penyakit diabetes Papa. Mudah-mudahan dia tidak nakal dan sembunyi-sembunyi makan camilan manis-manis. Aku juga takut kehilangan dirinya. Aku masih belum siap.
Ma, malam sudah semakin larut. Kantuk sudah semakin menjerat pengelihatanku. Aku tidur dulu ya. Selamat malam.
Aku sayang Mama.
Comments