Hujan sore ini, laksana panah-panah cair yang dilesatkan awan dari hamparan lembaran angkasa yang kelam terselimut mendung. Angin semilir merayap menelusuri setiap titik-titik udara, menjalar sepanjang nafas yang menggigil menahan dinginnya cuaca, yang seolah menampar asaku yang semu, menghantam hatiku yang sendu.
Disini, aku duduk menyendiri, di pojok teras rumahku yang berdinding tembok dan bercat warna putih. Masih teringat jelas, setahun yang lalu, aku pertama kali bertatap muka dengannya. Sungguh, aku langsung jatuh cinta. Seakan hari-hariku menjadi segegap gempita malam berhiaskan bintang gemintang, dengan puluhan kembang api yang serentak meledak. Sungguh mempesona.
Namun, hari ini, ditemani gemerisik hujan dan belaian angin senja, kesedihan menerkamku tiba-tiba. Pedih, ingin rasanya aku terbang layaknya merpati, meliuk-liuk di langit berhias surya, berharap segala yang aku alami, terbakar panasnya pancaran mentari, bebas lepas seolah aku tidak pernah mengenalnya, seseorang yang telah mencabut paksa hatiku dan memutilasinya tanpa perasaan!!
Namaku Rio, seorang yang baru merasakan, betapa sakit cinta itu sesungguhnya, serupa penyiksaan. hati disayat tipis oleh tajamnya derita, dan raga disiksa para algojo abstrak bergelar pembantai asmara.
Tidak lama berselang...
terlihat samar-samar sebuah siluet yang menantang hujan di ujung jalan sana, sembari setengah berlari. Semakin dekat semakin jelas terlihat bahwa dia ternyata Harry, Dia tersenyum.ketika sudah sampai di depan pagar. Aku menghampirinya dan membuka pagar besi berwarna biru, pembatas duniaku dan dunianya.
Aku mengajak Harry duduk di teras, menghindari serbuan tembakan beruntun air hujan yang tak kenal ampun.yang semakin membabi-buta tak karuan.
“Har, tumben kesini. Hujan-hujan lagi.”
“Nih, Laskar Pelangimu kebawa sama aku. Niatnya sih, mau dikembaliin kemaren, tapi kamunya ga ada.”
Harry menyerahkan bungkusan padaku.Aku tersenyum simpul, dan mengucapkan terima kasih padanya yang telah rela menembus sekat pembatas antara kering dan batas, untuk mengembalikan novelku. padahal, rumah Harry lumayan jauh dengan rumahku.
“Oh iya.Bryan Udah kamu tembak?”
Ekspresiku berubah seketika, secepat membalikan telapak tangan. Tak segera kujawab pertanyaannya. Hening sekejap, dan akhirnya aku angkat bicara.
“Aku ditolak.”
jawabku lirih, sendu. Tak berani kutatap wajah Harry yang terperangah,terlalu malu, terlalu pedih. Kesedihan menyeretku kedalam ruangan penuh air mata pilu. Aku seakan terhisap lubang hitam yang kemudian melemparku ke dimensi gelap gulita tanpa cahaya.
“Masa? Kamu ditolak?”air mukanya memancarkan keheranan yang meluap-luap, tak terbendung.
“Emang, apa alasannya sampai kamu ditolaknya?” pertanyaan yang membuatku sesak untuk beberapa saat.
“Katanya, dia sudah punya pacar, dan tak kusangka seperti tertusuk jarum suntik berkali-kali, pacarnya adalah Anto, sobatku yang kusangka baik, tapi ternyata palsu, menusukku dari belakang, merebut gebetanku yang telah kucari dengan susah payah.” jelasku tanpa semangat.
Harry terdiam, sunyi, tanpa suara. Seakan dia mengerti, betapa hancur harap dan cita yang tercecer berantakan dalam nalar dan logika. Kemudian, Harry tersenyum penuh arti.
“Kalau gitu hasilnya, lebih baik kamu lupakan saja lelaki itu. Jangan pernah lagi memikirkannya, toh dia juga tak pernah memikirkanmu. Hapus segala kenangan pahit dan songsong hari esok dengan senyum memesona, jangan terlalu larut dalam derita.”
Nasihatnya membuatku tenang, seakan lantunan katanya menggusur hatiku, meninggalkan aura sendu sedan, ke alam berhias bunga mewangi dan kesejukan sepoi angin yang bersemilir merasuki setiap segmen rasa rindu yang kian menggebu.
Ketika kulirik dan kuperhatikan seksama, paras Harry ternyata tak kalah tampan dibanding Bryan. Bahkan Harry selalu menemaniku disaat sedihku, ada disampingku disaat ceriaku. Pelan perlahan, bubuk-bubuk asmara bertaburan disekitarku, melayang istimewa karena diterpa angin badai seperti apapun, bubuk itu tak bisa terhempas begitu saja. Setidaknya, itu menurutku.
Memang terasa begitu cepat, perasaan ini terlalu dini untuk singgah dihatiku saat ini. Namun ini cinta yang tak pernah kita tahu kapan datangnya dan pada siapa akan bersinggah.
Melihatku menatapnya, Harry tersenyum.“Ada apa? Ko ngeliatinnya kaya gitu, sih.”
Jujur, untuk melupakan Bryan, aku perlu waktu yang lamanya mungkin tak pasti. Aku tidak bisa begitu saja pindah ke lain hati, walaupun kini tiba-tiba dirongrong rasa cinta untuk yang kesekian kali.
“Har, aku tak kuat, melepuh sendiri. Yang kubutuhkan sekarang, hanya seseorang yang mampu membangkitkan semangatku, seperti dulu. Saat semua ini tak pernah terjadi. Dan aku telah menemukannya sekarang.” kataku tanpa ragu.
“Siapa itu?” tanyanya spontan.
“Kamu.”
jawabku singkat, dan jelas terlihat Harry setengah terkejut, seakan kakinya tergigit tarantula tanpa bisa.
“Aku? Gak salah?”ujarnya sambil tersenyum simpul.
Aku pegang tangannya dan berucap,
“Sungguh, aku serius. Maukah kamu jadi belahan jiwaku yang menemaniku setiap waktu?”
Harry benar-benar membeku, bisu, dan dengan berat dia berujar,
“Gak mungkin!!” Tangannya menepis tanganku. Aku terpatung, kaku.Tapi, keyakinanku menyuruhku bersuara,
”Sungguh, aku gak bercanda, Har. Jangan pernah kamu berpikir, aku memilihmu hanya sebagai pelarianku.” ungkapku meyakinkannya.
Bingung...,
Gundah...,
Resah...,
Menyeruak keluar dari ekspresi Harry, meyuruhku mengerti bahwa:
Cinta,
Logika,
Naluri dan
Perasaan, tidaklah semudah ku memetik bunga seroja.
Diam...,
Hening...,
Datar, dan sepi untuk sekejap
Hingga akhirnya kalimat yang kutunggu pun terlOntar juga,
“Ini terlalu cepat, Yo.” Aku lagi-lagi terdiam mematung.
“Memang ini terlalu cepat, aku mengerti itu. Tapi, apa kamu juga mengerti aku, Har? Perasaanku datang tanpa kuduga, selayak mentari yang terbit tiba-tiba dipagi hari, dan terbenam tanpa diminta di ufuk senja.” lirihku, dalam hati.
Angin menghembuskan butir-butir hujan,Aku sudah terlalu beku untuk bergerak, apalagi mengelak. Waktu sepertinya tengah menertawakanku terbahak, melihatku seolah burung nuri yang tak lagi mampu bernyanyi. Ku hanya terdiam seakan suaraku telah pergi, mati.
Harry bangkit dari duduknya, dan melangkah menjauhiku. Apa yang harus kuperbuat? Sel-sel dalam setiap jaringan tubuhku, seolah berlarian panik, memekik dan menjerit-jerit,Rio!! Apa yang kamu lakukan? Jangan diam saja, ayo kejar cintamu!! Jangan kau biarkan dia berlalu tanpamu dihatinya!!”
Aku sadar, aku tak mau lagi kehilangan belahan jiwaku untuk yang kesekian kalinya.Aku pun bangkit, mengejarnya, dan meraih tangannya. Harry berbalik, kami saling berhadapan, saling bertatapan. Sekaranglah saat yang tepat untukku mengutarakan semuanya.
“Harry, mungkin perasaan ini terlalu cepat untuk singgah di hatiku. Tapi, percayalah. Aku tak pernah ragu akan cinta. Aku menyukaimu. Karenamu lukaku sirna, karenamu bahagiaku ada, dan inilah perasaanku sesungguhnya.”
Setelah mendengar semuanya, Harry tersenyum. Senyuman yang walaupun terbaur air hujan, tapi instingku bisa merasakannya.
"Rio, aku percaya, cinta yang kita punya diberikan Tuhan untuk siapa saja termasuk kita. Aku juga percaya, rasa cinta itu akan datang kapan saja, dimana saja,dan singgah dihati siapa saja, tanpa kita duga sebelumnya…” Harry terdiam sejenak.
“Aku percaya semua itu. Jadi…”
Hujan mulai menipis,Awan kelam sudah hijrah entah ke galaksi mana. Yang terlihat sekarang, langit biru terbentang seluas mata memandang. Pelangi tergores indah dengan tinta tujuh warna, menambah indahnya lembaran senja hari ini.
“Aku mau.” jawab Harry sembari tersenyum penuh makna.
Aku tak percaya, Harry menerimaku. Aku peluk dia erat, sungguh terasa hangat. Hatiku melonjak girang, seakan aku tengah melayang terbang menembus awan berbentuk cinta, berputar-putar mengelilingi dunia, melampaui bintang-bintang alam semesta. Begitu indah.
Aku tersenyum menatap langit. Pelangi masih melengkung memesona. Seakan menyapaku dan membisikku syahdu, “Masih ada pelangi dibalik hujan.”
Comments