BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

cerpen : Polisi, Sahabat Lamaku

edited November 2010 in BoyzLove
Polisi, Sahabat Lamaku


Setelah seharian berkutat dengan pekerjaan yang tidak ada habisnya, seolah tenagaku tersedot habis. Aku capek, sehingga tidak bisa konsentrasi penuh saat mengemudikan mobil, sepulangku kerja. Berkali aku gelagapan saat tiba-tiba bunyi klakson mobil lain tertuju padaku. Sebenarnya jarak Jogja-Solo tidaklah seberapa untuk ukuranku yang memang dari muda suka petualang, sehingga ketika ada tawaran dari bosku untuk mengambil job di Solo pun langsung aku sambar, hitung-hitung melebarkan wawasan. Tapi entah kenapa sore ini aku merasa gamang, sehingga harus lebih dari tiga kali aku menghentikan mobil untuk sekedar menghimpun konsentrasi.

“Ah, sampai juga”, aku lirih berguman, begitu mobilku meninggalkan Klaten, memasuki kawasan Prambanan saat matahari sudah benar-benar tenggelam.

Rasa kantuk dan capek tidak bisa aku tahan lagi, sehingga aku mempercepat mobilku. Tetapi sial, tiba-tiba ada sepeda motor yang memotong jalanku, saat aku hendak mencuri lampu kuning untuk tancap gas di pertigaan ke arah Lanud Adi Sucipto. Aku gelagapan dan refleks membanting setir ke kiri.

Celaka dua belas, mobilku melaju ke arah pos polisi. Aku semakin tidak bisa mengendalikannya. Tak ayal, dua motor polisi yang sedang parkir di samping pos, terhantam. Untungnya aku sempat menginjak remnya, sehingga kejadian berikutnya tidak separah yang aku bayangkan.

Aku terpaku di mobil, terus menerus mengucap sukur. Jantungku masih berdecak kencang, sementara tubuhku bergetar hebat. Aku baru tersadar sepenuhnya saat ada polisi yang mengetok kaca mobil. Aku tersentak. Ada empat polisi yang menungguku di luar, yang meski remang-remang, wajah garang mereka sempat aku lihat. Mati aku, gumanku.

Tanpa mengulur waktu lagi aku bergegas keluar mobil. Beberapa pengendara sempat memperlambat kendaraannya, menoleh ke arahku untuk kemudian tancap lagi.

“Bapak tidak apa-apa?”, meski sepertinya menanyakan keadaanku, tetapi nada ketus dari polisi tersebut membuat nyaliku semakin ciut. Aku hanya mengangguk. Satu polisi memapahku, mungkin dia tahu tubuhku yang mulai limbung.

“Kalau nyetir hati-hati dong. Untung hanya motor, coba kalau kamu hantam pos kami, akan jadi apa ceritanya?”, satu polisi yang sejak tadi mengecek motor yang aku hantam, menghampiriku. Mungkin dia salah satu pemilik dari dua motor yang aku tabrak. Aku masih terdiam. Hanya anggukan sebagai bahasa isaratku.

“Makanya, lain kali sesibuk apapun Bapak, jangan sekali-kali melanggar lampu. Bahaya”, polisi yang memapahku ke pos, sedikit menenangkanku.
“Bapak harus tanggung segala kerusakan motorku!”, polisi yang sejak tadi uring-uringan langsung memberondongku begitu aku duduk di pos polisi. Aku tersenyum di dalam hati, ternyata polisi tetap manusia juga. Terkadang bisa terbawa emosi. Sudah barang tentu, mau tidak mau aku harus menanggung segala kerusakan yang aku lakukan, apalagi urusanku dengan polisi, tentu aku tidak bisa apa-apa selain sendiko dawuh.

Aku sedikit tertegun saat membaca nama yang tertempel di baju polisi yang masih uring-uringan saja, meski temannya sudah memeriksa kelengkapan surat-suratku.

“Maaf, apakah Bapak dulu pernah ngekos di Pondok Bujang, di kawasan UGM?”, aku kumpulkan segala keberanianku untuk menyakinkan diri.
“Memang kenapa?”, tiba-tiba saja wajah tidak bersabahatnya berubah, mungkin karena ada nostalgia yang menyentuh ingatannya.
“Apakah Bapak pernah mengenal djPaijo?”, aku semakin memberondongnya.
“Sepertinya iya, memang kenapa?”, pandangannya tajam ke arahku. Kali ini pandangan kami beradu. Dia sedikit tersentak, seolah ada sesuatu yang baru menyadarkannya. “Tunggu…., Bapakkah djPaijo-nya?”.

Aku mengangguk dengan senyum kubuat semanis mungkin. Entah kenapa, segala rasa yang sejak tadi menghimpitku tiba-tiba lenyap. Terlebih setelah kulihat wajah berbinar sang polisi tersebut.

“Kemana saja kamu, dj?”, belum sempat aku mengucap kata, Jandris Siregar, yang ternyata benar teman lamaku, menubrukku. Pelukannya erat sekali. Aku gelagapan. Polisi yang memeriksa kelengkapan suratku hanya melongo melihat kami.

“Bapak yang kemana saja?”, masih di dalam dekapannya, aku terbata menjawab.

Entah kenapa, keharuan menyelimuti hatiku. Sudah hampir lima belas tahun kami tidak bertemu. Meski hanya lima semester kami kenal dan tinggal satu kos, namun persahabatan yang sempat terbina benar-benar erat. Atau mungkinkah karena selama ini aku ingin sekali bertemu dengannya, karena dulu kami berpisah tidak dengan baik-baik. Biasa, masalah cewek. Kebetulan kami menyukai perempuan yang sama dan kami sama-sama ngotot ingin mendapatkannya.

Senyum terus saja mengembang di bibirku, apalagi saat mendengar celotehan Jandris yang tetap saja renyah dan terkadang konyol, meski sekarang sudah menjadi seorang polisi.

“Urusannya gimana, Pak”, aku semakin bersemangat. Terlebih Jandris bersedia menyetir mobilku, mengantarku pulang. Sebuah keberuntungan buatku karena urusannya kemudian menjadi sangat gampang.

“Alah, gampang”, Jandris meninju lenganku. “Jangan panggil Pak, dong. Najis”.
“Ok deh, Mas Polisi”, aku balas meninju lengan kekarnya.

Meski lama tidak bertemu, namun suasana cepat sekali cair dengan gurauan kami, seolah baru kemarin kami tidak bertemu. Sosok Jandris tidak banyak berubah. Masih strigth, tegap, kekar, tetapi cool. Hanya badannya lebih berisi. Satu lagi, bekas cukuran di jambang, jenggot dan kumisnya semakin lebat, menambah kesan jantan.

Tangan Jandris terus saja mencubit tubuhku, sekenanya. Mungkin gemes. Memang dulu ada rasa yang tidak biasa yang timbul dari persabatan kami, tetapi kami sama-sama menampiknya. Entah kenapa, dengan Jandris ada rasa aneh, tidak seperti dengan teman laki-lakiku yang lain. Aku nyaman ketika berdua dengannya. Rela berbagi apapun. Mungkin Jandris pun merasa yang sama. Makanya kami sering berdekapan, bahkan seringkali Jandris tiba-tiba melayangkan ciuman ke pipiku, meski harus mendapat pukulan untuk itu. Tidak hanya itu, tidurpun kami sering sekamar. Kalau tidak aku yang ke kamar Jandris, dia yang ke kamarku. Dan kalau sudah begitu, tidak jarang semalaman kami berdekapan. Tetapi hanya sebatas itu, tidak lebih.

Jandris lebih ngablak. Seringkali sehabis mandi, dia mampir ke kamarku. Dengan hanya berbalut handuk, dia berlama-lama di kamarku. Bikin minum, mie atau apalah. Edannya lagi, terkadang dia lepas handuknya dan hanya memakai cawat. Basah, alasannya. Aku terkadang yang tidak enak hati, apalagi kalau teman-teman lain suka menertawakan tingkahnya. Bukannya cuek, sering aku menegurnya, tetapi malah dia menyodor-nyodorkan penisnya. Bahkan kalau sedang kumat gilanya, cawatnya dipelorotkan, sehingga penisnya berayun-ayun tak karuan. Ambil saja kalau mau, begitu celotehnya. Kalau sudah begitu, aku yang lari tunggang langgang.

“Gimana kamu sekarang?”, aku menoleh ke arahnya, mencoba menerka arah bicaranya. “Keluargamu. Istri, atau anak mungkin?”.
“Istriku terbawa tsunami, Jan (begitu aku biasa memanggilnya). Anakku satu, laki-laki, sekarang di rumah sama baby sister”.
“Tsunami Aceh?, Jandris mengelus rambutku membuatku lebih nyaman.
“Iya, kami sedang liburan akhir tahun waktu itu, sekalian ngunjungi mertua”.
“Aku turut prihatin ya”, Jandris membenamkan kepalaku di dada bidangnya. Berbagai rasa berkecamuk kemudian. Haru, senang, bercampur sensasi. Apalagi tangan kekarnya tidak hentinya mengelus rambutku. “Tapi kamu harus bersukur, masih sempat dikaruniai anak, tidak sepertiku”.
“Istrimu meninggal juga?”, aku mengangkat kepalaku.
“Tidak, Do (begitu panggilannya kepadaku). Istriku meninggalkanku setelah mengetahui perselingkuhanku, di tahun pertama pernikahan kami”.
“Di tahun pertama?”, aku tercekat. “Memang tidak bisa dicegah?”.
“Tidak Do, dia ngotot sekali. Tapi aku mafhum, karena wanita manapun tidak mau diduakan, apalagi kalau madunya itu seorang lelaki”.
“Maksudnya?”, aku tersentak.
“Iya, selingkuhanku adalah teman kerjaku, satu kesatuan, sama-sama polisi, sama-sama sudah berkeluarga. Makanya dia shock berat waktu mengetahuinya. Untung dia mau diajak berpisah baik-baik. Kalau tidak, habis riwayatku”.
“Gila…..!”, aku lirih berguman. “Tapi kenapa harus dengan laki-laki?”.
“Jujur, aku juga bingung Do. Kenapa aku bisa mencintai perempuan, tapi dengan laki-laki juga bisa bergairah, meski kadang tidak dengan cinta”.
“Jadi temanmu itu hanya pelampiasan nafsu, begitu?”, aku mengernyit saat mendapat anggukan sebagai jawabannya. “Ah, kasihan ya, lelaki itu. Coba kalau…”,
“Kalau apa?”, Jandris langsung menyahut. “Kalau saja kamu, gitu?”.
“Yee, GR”.

Tanpa memberi isarat, Jandris menepikan mobil, dan berhenti. Tiba-tiba dia mendaratkan bibirnya di bibirku. Aku kelabakan. Bulu-bulu halus di dagu dan kumisnya membuai gairahku. Bukannya berontak, tapi aku justru membalasnya. Aku melayang. Inikah yang selama ini ingin aku dapatkan darinya?.

“Sudah Jan. Malu. Tuh ada yang menoleh ke arah kita”, aku sedikit mendorong tubuhnya. Meski sudah sore sudah beranjak malam, tapi tetap saja tidak enak.
“Biarin saja, Do. Aku tidak kuat lagi. Lima belas tahun, Do”.
“Jadi dari dulu kamu sudah ada rasa denganku?”.
“Iya. Kamu juga kan?. Aku tahu, inikan yang sebenarnya dari dulu kita inginkan, bisa berbuat lebih, tidak hanya berdekapan saat sedang tidur. Pura-pura tidak sadar?”.
“Kita?. Elu kali, gue kagak”.
“Kagak?. Tapi kenapa penismu keras gini?”, aku menggelinjang saat tangan Jandris meremas penisku yang memang sejak tadi mulai berdiri.
“Lepaskan tanganmu Jan”, aku mencoba menarik tangan Jandris yang terus meremas penisku, saat mobil kembali melaju pelan.
“Aku tidak akan melepaskan sebelum tahu alasanmu kenapa dulu kamu menghilang”, remasan tangan Jandris di penisku semakin kuat.
“Aku menghilang?”, aku protes. “Bukannya kamu yang lenyap entah kemana?”.
“Jadi benar kan sebetulnya kamu mencintaiku?”, Jandris menggodaku. “Ada kabar mendadak kalau di Medan ada peluang untuk jadi polisi, Do. Kamu tahu, dari kecil aku ingin sekali jadi polisi. Jadi begitu kabar itu kuterima, tanpa pikir panjang aku balik ke Medan. Aku baru ingat kalau kita baru ada masalah empat bulan berikutnya, makanya pas ada waktu, aku terbang ke Jogja, e...., kamunya lenyap. Patah hati kali”.
“Enak saja. Aku pindah kos, diajak ngontrak sama saudaraku. Aku sudah mengubur dalam-dalam kok sosokmu”.
“Benar?’. Tapi kenapa penis ini mudah sekali bangun. Nonsens kalau tidak ada rasa bagiku, untuk penis sekeras ini”, tangan Jandris terus saja meremas penisku. Bahkan mulai nekat membuka ritsletingnya. “Jujur, hanya kamulah cintaku Jo. Sulit sekali mencari penggantimu”.
“Penggantiku?. Bukankah kita tidak pernah jadian?”.
“Jadian memang tidak, tapi kemesraan kita, lebih dari sebuah komitmen, Do”.

Aku mencibirnya, tetapi dalam hati membenarkannya. Aku biarkan Jandris melakukan apapun, kemudian. Entah kenapa, aku begitu terbius olehnya. Mungkin sosoknya yang kini semakin gagah dengan balutan seragam polisi yang menambah nuansa lain dalam pertemuan kami.
“Besar juga ya punyamu”, Jandris berkali menyentil penisku, saat dia berhasil mengeluarkannya dari celanaku.

“Kalau tidak dilepas, nanti aku balas lho”, aku pura-pura menarik tangannya dari penisku. Padahal di dalam hati aku begitu bahagia mendapatkan sensasi tak terhingga.
“Coba saja kalau berani”, Jandris menantangku.
“Siapa takut”.

Bergegas aku melakukan hal sama. Tanganku meremas penisnya. Jandris menggelinjang saat remasanku kuperkuat. Tetapi dia hanya menyengir, seolah menantangku untuk meremasnya lebih keras. Aku semakin gemas.
“Sudah, keluarin saja. Jangan pura-pura gitu ah. Dari dulu sebenarnya kamu kan ingin mengelusnya to. Pura-pura lari ketakutan segala, padahal mau tuh”.

Aku balas menyentil penis Jandris yang sudah sangat tegak. Besar sekali, gumanku. Bulu pubicnya lebat dan keriting, hampir memenuhi selakangannya. Aku menjambaknya kuat. Jandris sedikit tercekat, tetapi kemudian hanya mendesah kecil.

Tak berapa lama kemudian tangan Jandris menekan kepalaku mengarahkan ke penisnya. Semula aku ragu, apalagi kondisi jalan masih ramai. Tetapi Jandris tidak kurang akal. Dibelokkannya mobil ke arah jalan persawahan menjauhi kota.

“Aku tidak ingin kehilangan kesempatan seperti ini lagi, Do. Aku bernar-benar terobsesi denganmu, please!”, Jandris merajuk. Dia semakin nekat, karena kemudian dia sedikit melorotkan celananya. “Please…., aku rela apapun untuk ini, Do”.

Agak ragu aku menundukkan kepalaku ke arah penisnya. Tapi tangan Jandris mantap membimbingku. Aku menciumi penisnya yang sudah sangat tegak, dibalik kemudi mobilku. Jandris semakin mendesah.
“Jo…., aku benar-benar menginginkanmu lebih dari apapun”.
Entah kenapa, kesan polisi yang garang dan galak, tiba-tiba lenyap begitu aku mendapati Jandris yang terus saja mendesah. Sebenarnya melihat Jandris dengan berbalut seragam polisinya saja sudah sangat menggairahkanku. Apalagi kini aku benar-benar mendapat kesempatan langka ini. Aku semakin melambung.

Aku tidak hanya menciumi penisnya, kemudian, tetapi gairah seolah menggerakkan mulutku untuk menjilati penisnya. Bau selakangan Jandris tidak membuatku jijik, tapi justru semakin melambungkanku. Penisnya yang besar dan panjang dengan pubic yang lebat dan keriting, menambah sensasi di otakku. Jandris semakin mendesah. Berkali dia mengangkat pinggulnya, sementara satu tangannya tidak lepas dari penisku.

Tangan Jandris yang terus meremas penisku, membuat kesadaranku seolah hilang. Aku mulai berani. Bahkan kini mulutku sudah mengulum penisnya. Entah kenapa tidak sedikitpun mual aku rasa, padahal aku pernah mual berhari-hari saat dulu pernah mencoba mengoral penis Aab, dosen Irakku.

Celana coklat tua bersaku banyak dengan gesper besar berkepala burung elang, menambah sensasi di otakku. Aku mulai kesetanan. Apalagi saat tanganku menyentuh sepatu botnya di dasar mobil, membuatku menggelinjang.
“Terus Do….ayoooo”, tangan Jandris semakin mempercepat rancapannya di penisku. Aku mendesah tertahan oleh penisnya yang masih di mulutku. Aku menggigit keras penisnya saat berbagai rasa mulai mengalir di daerah selakanganku. Otakku mulai kehabisan oksigen, karena darah seolah-olah hanya beredar di daerah kemaluanku. Aku semakin mendesah saat ujung penisku mulai basah oleh lendir. Bukannya memperlambat, Jandris semakin mempercepat rancapnnya, membuatku tersedak karena menahan gairah. Aku menggelinjang saat akhirnya aku tidak bisa lagi menahan sperma yang menyembur kuat dari penisku. Begitu kuatnya, sampai spermaku muncrat di baju Jandris.
Meski sedang on, tidak sedikit pun aku memperlambat mulutku. Apalagi saat aku melihat Jandris yang sudah mulai merem melek keenakan. Oh, yees. Berkali Jandris mendesah. Wajah tegangnya benar-benar membuatku gila. Apalagi saat mulutnya menganga menahan rasa. Hal gila yang dilakukan Jandris kemudian adalah menjilati spermaku yang menempel di tangannya, seolah sedang menjilat es krim.
“Terus Do…., aku sayang kamu. Aku butuh kamu”.

Tangankku mendekap erat pinggul Jandris saat aku merasa penisnya mulai menandakan gerakan spermanya. Desahan Jandris mulai berubah jadi erangan kecil, saat aku mulai merasakan lendir di mulutku. Segera aku mencabut mulutku, kemudian mengangkat kepalaku, tapi dicegahnya. Tangan Jandris membenamkan kepalaku di penisnya yang mulai menyemburkan sperma dengan kuatnya. Erangan tertahan, keluar dari mulutnya, seiring dengan denyutan di penisnya yang kurasakan di wajahku.

Sperma Jandris muncrat di mana-mana. Di setir mobil, kaca depan, terlebih di wajahku. Tapi entah kenapa aku tidak lagi jijik. Bahkan hangat spermanya seolah menuntun lidahku untuk menjilati sisa sperma di penisnya. Kalau saja perempuan, aku rela hamil untuk mendapatkan benih dari Jandris, lelaki tampan, jantan, hairy, baik. Pokoknya perfect. Bahkan harus beli sekalipun.

Kembali Jandris menghentikan mobil. Kali ini dia angkat kepalaku. Di tariknya wajahku ke arah wajahnya. Dia menjilati spermanya sendiri yang belepotan di wajahku. Aku pun membalas dengan menjilati wajahnya. Bulu-bulu halus di seantero wajahnya benar-benar memberi sensasi lain.

“Aku ingin lebih, Do”, Jandris tersenyum, kemudian mencium keningku.
“Maksudmu?”, aku kembali memasukkan penisku di celanaku.
“Aku ingin bercinta di rumahmu, atau di rumahku”.
“Masih kuat”, aku meledeknya.
“Sepuluh kali pun hayok. Paling-paling kamu yang s

Comments

Sign In or Register to comment.