BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

nie buat yg bangga and seneng tinngal di jakarta... gw ada s

edited December 2008 in BoyzStyle
nie buat yg bangga and seneng tinngal di jakarta... gw ada sedikit penjelasan.

Jakarta: In Need of Improvements

Andre Vitchek
Worldpress.org contributing editor
July 26, 2007

Pada saat ini, gedung pencakar langit, jalanan macet dipadati oleh ratusan ribu kendaraan, dan mal-mal raksasa telah menjadi pusat kebudayaan Jakarta, yang notabene merupakan kota terbesar ke-4 di dunia. Terjepit di antara gedung tinggi, terhampar perkampungan di mana bermukim sebagian besar penduduk Jakarta yang tidak memiliki akses sanitasi dasar, air bersih atau pengelolaan limbah.
Di saat hampir semua kota-kota utama lain di Asia Tenggara menginvestasikan dana besar-besaran untuk transportasi publik, taman kota, taman bermain, trotoar besar, dan lembaga kebudayaan seperti museum, gedung konser, dan pusat pameran, Jakarta tumbuh secara BRUTAL dengan berpihak hanya pada PEMILIK MODAL dan TIDAK PEDULI akan nasib mayoritas penduduknya yang MISKIN.
Kebanyakan penduduk Jakarta belum pernah pergi ke luar negeri,
sehingga mereka tidak dapat membandingkan kota Jakarta dengan Kuala Lumpur atau Singapura, Hanoi atau Bangkok. Liputan dan statistik pembanding juga jarang ditampilkan oleh media massa setempat. Meskipun bagi para wisatawan asing Jakarta merupakan NERAKA DUNIA, media massa setempat menggambarkan Jakarta sebagai kota "modern", "kosmopolitan" , dan "metropolis" .

Para pendatang/wisatawan seringkali terheran-heran dengan kondisi
Jakarta yang tidak memiliki taman rekreasi publik. Bangkok, yang tidak dikenal
sebagai kota yang ramah publik, masih memiliki beberapa taman yang menawan. Bahkan, Port Moresby, ibukota Papua Nugini, yang miskin, terkenal akan taman bermain yang besar, pantai dan jalan setapak di pinggir laut yang indah.

Di Jakarta kita perlu biaya untuk segala sesuatu. Banyak lahan hijau diubah menjadi lapangan golf demi kepentingan orang kaya. Kawasan Monas seluas kurang lebih 1 km persegi bisa jadi merupakan satu-satunya kawasan publik di kota berpenduduk lebih dari 10 juta ini. Meskipun menyandang predikat kota maritim, Jakarta telah terpisah dari laut dengan Ancol menjadi satu-satunya lokasi rekreasi yang sebenarnya hanya berupa pantai kotor.

Bahkan kalau mau jalan-jalan ke Ancol, satu keluarga dengan 4 orang anggota keluarga harus mengeluarkan uang Rp 40.000 untuk tiket masuk, satu hal yang tak masuk akal di belahan lain dunia. Beberapa taman publik kecil kondisinya menyedihkan dan tidak aman.

Sama sekali tidak ditemui tempat pejalan kaki di seluruh penjuru kota (tempat pejalan kaki yang dimaksud adalah sesuai dengan standar "internasional"). Nyaris seluruh kota-kota di dunia (kecuali beberapa kota di AS, seperti Houston dan LA) ramah terhadap pejalan kaki. Mobil seringkali tidak diperkenankan berkeliaran di pusat kota . Trotoar yang lebar merupakan sarana transportasi publik jarak pendek yang paling efisien, sehat, dan ramah lingkungan di daerah yang padat penduduk.

Di Jakarta, nyaris tidak dijumpai bangku untuk duduk dan rileks, tidak
ada keran air minum gratis atau toilet umum. Ini memang remeh, tapi sangat
penting, merupakan suatu detil yang menjadi simbol kehidupan perkotaan di bagian lain dunia.

Sebagian besar kota-kota dunia, ingin dikunjungi dan dikenang akan kebudayaannya. Singapura sedang berupaya mengubah citra kota
belanjanya menjadi jantung kesenian Asia Tenggara. Esplanade Theatre yang
monumental telah mengubah wajah kota Singapura, dimana ia menawarkan konser musik klasik, balet, dan opera internasional kelas satu, di samping pertunjukan artis kontemporer kawasan. Banyak pertunjukan yang disubsidi dan seringkali gratis atau murah, bila dibandingkan dengan pendapatan warga kota yang relatif tinggi.

Kuala Lumpur menghabiskan $100 juta untuk membangun balai konser
philharmonic yang terletak persis di bawah Petronas Tower, salah satu gedung
tertinggi di dunia. Balai konser prestisius dan impresif ini mempertunjukkan
grup orkestra lokal dan internasional. Kuala Lumpur juga sedang
menginvestasikan beberapa juta dolar untuk memugar museum dan galeri, dari
Museum Nasional hingga Galeri Seni Nasional.

Hanoi bangga akan budaya dan seninya, yang dipromosikan guna menarik jutaan turis untuk mengunjungi galeri-galeri lukisan yang tak terhitung jumlahnya, di mana lukisan tersebut merupakan salah satu yang terbaik di Asia Tenggara. Gedung Operanya yang dipugar secara reguler mempertunjukkan pagelaran musik Asia dan Barat.

Candi-candi dan istana kolosal di Bangkok eksis berdampingan dengan teater dan festival film internasional, klub jazz yang tak terhitung jumlahnya, dan juga pilihan kuliner otentik dari segala penjuru dunia. Kalau bicara musik dan kehidupan malam, tak ada kota di Asia Tenggara yang semeriah Manila .

Nah, sekarang balik ke Jakarta . Siapapun yang bernah berkunjung
ke "perpustakaan umum" atau gedung Arsip Nasional pasti tahu bedanya. Tak heran, dalam pendidikan Indonesia, budaya dan seni tidak dianggap "menguntungkan" (kecuali musik pop), sehingga menjadi tidak relevan. Indonesia merupakan negara dengan ANGGARAN PENDIDIKAN TERENDAH nomor 3 di dunia (menurut The Economist, hanya 1,2% dari PDB) setelah Guyana Khatulistiwa dan Ekuador (di kedua negara tersebut keadaan sekarang berkembang cepat berkat pemerintahan baru yang progresif).

Museum di Jakarta berada dalam kondisi memprihatinkan, sama sekali tidak
menawarkan eksibisi internasional. Museum tersebut terlihat seperti berasal dari zaman baheula dan tak heran kalau Belanda yang membangun semuanya. Tidak hanya koleksinya yang tak terawat, tapi juga ketiadaan unsur-unsur modern seperti kafe, toko cinderamata, toko buku atau perpustakaan publik. Kelihatannya manajemen museum tidak punya visi atau kreativitas. Bahkan, meskipun mereka punya visi atau kreativitas, pasti akan terkendala dengan ketiadaan dana.

Sepertinya Jakarta tidak punya perencana kota, hanya ada pengembang
swasta yang tidak punya respek atau kepedulian akan mayoritas penduduk yang miskin (mayoritas besar, tak peduli apa yang dikatakan oleh data statistik yang seringkali DIMANIPULIR pemerintah). Kota Jakarta praktis menyerahkan dirinya ke sektor swasta, yang kini nyaris mengendalikan semua hal, mulai dari perumahan hingga ke area publik.

Sedangkan beberapa dekade yang lalu di Singapura, dan baru-baru ini di Kuala Lumpur, mereka berhasil menghilangkan total perkampungan kumuh dari wilayah kota, namun Jakarta tidak mampu atau tidak mau memberikan
warganya perumahan bersubsidi dengan harga terjangkau yang dilengkapi dengan air ledeng, listrik, sistem pembuangan limbah, taman bermain, trotoar dan sistem transportasi massal.

Selain Singapura, Kuala Lumpur dengan berpenduduk hanya 2 juta jiwa memiliki satu jalur Metro (Putra Line), satu monorail, beberapa jalur LRT Star yang efisien, dan jaringan kereta api kecepatan tinggi yang menghubungkan kota dengan ibu kota baru Putrajaya. Sistem "Rapid" memiliki ratusan bus modern, bersih, dan ber-AC. Tarifnya disubsidi, tiket bus Rapid hanya sekitar 2 Ringgit (kurang lebih Rp 4.600,00) untuk penggunaan tak terbatas sepanjang hari di jalur yang sama. Tiket abonemen bulanan dan harian yang sangat murah juga tersedia.

Bangkok menunjuk kontraktor Siemens dari Jerman untuk membangun 2 jalur panjang "Sky Train" dan satu jalur metro. Bangkok juga memanfaatkan sungai dan kanal sebagai transportasi publik dan objek wisata. Pemerintahan kota Bangkok juga mengklaim bahwa mereka sedang membangun jalur
tambahan sepanjang 80 km untuk sistem tersebut guna meyakinkan penduduk untuk meninggalkan mobil mereka di rumah dan memanfaatkan transportasi umum. Bus-bus kuno yang berpolusi sudah sepenuhnya dilarang beroperasi di Hanoi , Singapura, Kualalumpur, dan Bangkok. Jakarta? Berkat korupsi dan pejabat pemerintahan yang tak kompeten, Jakarta tenggelam dalam kondisi yang berkebalikan dengan kota-kota tersebut.

Mercer Human Resource Consulting, dalam laporannya tentang kualitas hidup, menempatkan Jakarta di posisi setara dengan kota-kota miskin di Afrika dan Asia Selatan, bahkan di bawah kota Nairobi dan Medellin

Walaupun Jakarta menjadi salah satu ibukota terburuk di dunia, hidup di sana tidaklah murah. Menurut Survey Mercer Human Resource Consulting tahun 2006, Jakarta menduduki peringkat 48 kota termahal di dunia untuk ekspatriat, jauh di atas Berlin (peringkat 72), Melbourne (74) dan Washington DC (83). Nah, kalau untuk ekspatriat saja mahal, apalagi buat penduduk lokal yang pendapatan per kapita DI BAWAH $1000??

Anehnya, orang Jakarta diam seribu bahasa. Mereka pasrah akan kualitas udara yang jelek, terbiasa dengan pemandangan pengemis di perempatan jalan, dengan kampung kumuh di bawah jalan layang dan di pinggir sungai yang kotor dan penuh limbah beracun, dengan kemacetan berjam-jam, dengan banjir dan tikus.

Kalau saja ada sedikit harapan, kebenaran pasti akan terucap, dan semakin cepat semakin baik. Hanya diagnosis kejam dan realistis yang bisa mengarah pada obat. Betapapun pahitnya kebenaran, tetap saja lebih baik ketimbang dusta dan penipuan. Jakarta telah tertinggal jauh di belakang ibukota lain negara tetangga dalam hal estetika, pemukiman, kebudayaan, transportasi, dan kualitas dan higiene makanan. Sekarang Jakarta telah kehilangan kebanggaan dan mesti belajar dari Kuala Lumpur, Singapura, Brisbane, dan bahkan dalam beberapa hal dari tetangganya yang lebih miskin seperti Port Moresby, Manila, dan Hanoi.

Data statistik harus transparan dan tersedia luas. Warga harus belajar bertanya dan bagaimana untuk memperoleh jawaban dan akuntabilitas. Hanya kalau mereka memahami seberapa dalamnya kota mereka telah terperosok, maka barulah ada harapan. "Kita harus berhati-hati" kata produser film Malaysia dalam perayaan tahun baru di Kualalumpur. " Malaysia punya banyak masalah. Kalau kita tidak hati-hati, dalam 20-30 tahun Kuala Lumpur akan bernasib sama seperti Jakarta!"

Dapatkah pernyataan ini dibalik? Mampukah Jakarta menemukan kekuatan dan solidaritas untuk mobilisasi sehingga dapat menyaingi Kuala Lumpur? Mampukah kecukupan mengatasi keserakahan? Dapatkah korupsi diberantas dan diganti dengan kreatifitas? Akankah ukuran vila pribadi mengecil, dan kawasan hijau, perumahan publik, taman bermain, perpustakaan,
sekolah dan rumah sakit berkembang pesat?

Orang luar seperti saya hanya dapat mengamati, bercerita, dan bertanya. Dan hanya masyarakat Jakarta yang punya jawaban dan solusinya.

beberapa bln yang lalu setelah proses melamar pekerjaan, psyco test, dan intyerview gw sempet diterima bekerja di slh satu persh swasta besar dan ditempatkan di jakarta, sbg fresh graduatet gw ditawarin gaji hampir 3 juta, tapi tanpa pikir 2 kali aku menolak karena setelah dengar banyak cerita dan lihat di TV serta membaca, jakarta bukan kota yg sehat,nice dan bagus untuk pertumbuhan dan perkembangan mental.

sory to say guyz... bukannya aku mau menjelek2kan ibukota sendiri tapi ini kenyataannya...

Sorry klo kepanjangan artikelnya...
Mudah-mudahan ada manfaatnya gw reposting artikel ini.
«13

Comments

  • jakarta emang kecil...lagi tuh monas ada tamannya kan,senayan juga ada......cape dech...sudahlah.......
  • nie org goblok knp sih suka muncul di thread gw, minggir sono... jakarta tuh gede... mauk 4 kota terbsar di dunia, dengan perhitungan itu... tempat publik di jakarta msh blm memadahi... makanya kuliah cong... biar pinteran dikit, bisa diajak berpikir rasional
  • nie org goblok knp sih suka muncul di thread gw, minggir sono... jakarta tuh gede... mauk 4 kota terbsar di dunia, dengan perhitungan itu... tempat publik di jakarta msh blm memadahi... makanya kuliah cong... biar pinteran dikit, bisa diajak berpikir rasional
    kenapa ga lo aja cong ke jakarta biar liat sendiri.....cape dech.......
  • satu lg yg bikin aku enegh... gaya ngomong mu yg pake " cape deh" helllloooooooooo km idup thn brp man... jadul dah ngga musim deh kayaknya... up to date dikit ngapa... biar ngga katrok
  • satu lg yg bikin aku enegh... gaya ngomong mu yg pake " cape deh" helllloooooooooo km idup thn brp man... jadul dah ngga musim deh kayaknya... up to date dikit ngapa... biar ngga katrok
    cape dech...... :roll:
  • siapa suruh datang jakarta.........
  • pilatme wrote:
    siapa suruh datang jakarta.........
    bener..namanya juga ibukota......polusi dll sich itu biasa...


  • tetep Jakarte gudang duit




    8) 8) 8)
  • nie buat yg bangga and seneng tinngal di jakarta... gw ada sedikit penjelasan.

    Jakarta: In Need of Improvements

    Andre Vitchek
    Worldpress.org contributing editor
    July 26, 2007

    Pada saat ini, gedung pencakar langit, jalanan macet dipadati oleh ratusan ribu kendaraan, dan mal-mal raksasa telah menjadi pusat kebudayaan Jakarta, yang notabene merupakan kota terbesar ke-4 di dunia. Terjepit di antara gedung tinggi, terhampar perkampungan di mana bermukim sebagian besar penduduk Jakarta yang tidak memiliki akses sanitasi dasar, air bersih atau pengelolaan limbah.
    Di saat hampir semua kota-kota utama lain di Asia Tenggara menginvestasikan dana besar-besaran untuk transportasi publik, taman kota, taman bermain, trotoar besar, dan lembaga kebudayaan seperti museum, gedung konser, dan pusat pameran, Jakarta tumbuh secara BRUTAL dengan berpihak hanya pada PEMILIK MODAL dan TIDAK PEDULI akan nasib mayoritas penduduknya yang MISKIN.
    Kebanyakan penduduk Jakarta belum pernah pergi ke luar negeri,
    sehingga mereka tidak dapat membandingkan kota Jakarta dengan Kuala Lumpur atau Singapura, Hanoi atau Bangkok. Liputan dan statistik pembanding juga jarang ditampilkan oleh media massa setempat. Meskipun bagi para wisatawan asing Jakarta merupakan NERAKA DUNIA, media massa setempat menggambarkan Jakarta sebagai kota "modern", "kosmopolitan" , dan "metropolis" .

    Para pendatang/wisatawan seringkali terheran-heran dengan kondisi
    Jakarta yang tidak memiliki taman rekreasi publik. Bangkok, yang tidak dikenal
    sebagai kota yang ramah publik, masih memiliki beberapa taman yang menawan. Bahkan, Port Moresby, ibukota Papua Nugini, yang miskin, terkenal akan taman bermain yang besar, pantai dan jalan setapak di pinggir laut yang indah.

    Di Jakarta kita perlu biaya untuk segala sesuatu. Banyak lahan hijau diubah menjadi lapangan golf demi kepentingan orang kaya. Kawasan Monas seluas kurang lebih 1 km persegi bisa jadi merupakan satu-satunya kawasan publik di kota berpenduduk lebih dari 10 juta ini. Meskipun menyandang predikat kota maritim, Jakarta telah terpisah dari laut dengan Ancol menjadi satu-satunya lokasi rekreasi yang sebenarnya hanya berupa pantai kotor.

    Bahkan kalau mau jalan-jalan ke Ancol, satu keluarga dengan 4 orang anggota keluarga harus mengeluarkan uang Rp 40.000 untuk tiket masuk, satu hal yang tak masuk akal di belahan lain dunia. Beberapa taman publik kecil kondisinya menyedihkan dan tidak aman.

    Sama sekali tidak ditemui tempat pejalan kaki di seluruh penjuru kota (tempat pejalan kaki yang dimaksud adalah sesuai dengan standar "internasional"). Nyaris seluruh kota-kota di dunia (kecuali beberapa kota di AS, seperti Houston dan LA) ramah terhadap pejalan kaki. Mobil seringkali tidak diperkenankan berkeliaran di pusat kota . Trotoar yang lebar merupakan sarana transportasi publik jarak pendek yang paling efisien, sehat, dan ramah lingkungan di daerah yang padat penduduk.

    Di Jakarta, nyaris tidak dijumpai bangku untuk duduk dan rileks, tidak
    ada keran air minum gratis atau toilet umum. Ini memang remeh, tapi sangat
    penting, merupakan suatu detil yang menjadi simbol kehidupan perkotaan di bagian lain dunia.

    Sebagian besar kota-kota dunia, ingin dikunjungi dan dikenang akan kebudayaannya. Singapura sedang berupaya mengubah citra kota
    belanjanya menjadi jantung kesenian Asia Tenggara. Esplanade Theatre yang
    monumental telah mengubah wajah kota Singapura, dimana ia menawarkan konser musik klasik, balet, dan opera internasional kelas satu, di samping pertunjukan artis kontemporer kawasan. Banyak pertunjukan yang disubsidi dan seringkali gratis atau murah, bila dibandingkan dengan pendapatan warga kota yang relatif tinggi.

    Kuala Lumpur menghabiskan $100 juta untuk membangun balai konser
    philharmonic yang terletak persis di bawah Petronas Tower, salah satu gedung
    tertinggi di dunia. Balai konser prestisius dan impresif ini mempertunjukkan
    grup orkestra lokal dan internasional. Kuala Lumpur juga sedang
    menginvestasikan beberapa juta dolar untuk memugar museum dan galeri, dari
    Museum Nasional hingga Galeri Seni Nasional.

    Hanoi bangga akan budaya dan seninya, yang dipromosikan guna menarik jutaan turis untuk mengunjungi galeri-galeri lukisan yang tak terhitung jumlahnya, di mana lukisan tersebut merupakan salah satu yang terbaik di Asia Tenggara. Gedung Operanya yang dipugar secara reguler mempertunjukkan pagelaran musik Asia dan Barat.

    Candi-candi dan istana kolosal di Bangkok eksis berdampingan dengan teater dan festival film internasional, klub jazz yang tak terhitung jumlahnya, dan juga pilihan kuliner otentik dari segala penjuru dunia. Kalau bicara musik dan kehidupan malam, tak ada kota di Asia Tenggara yang semeriah Manila .

    Nah, sekarang balik ke Jakarta . Siapapun yang bernah berkunjung
    ke "perpustakaan umum" atau gedung Arsip Nasional pasti tahu bedanya. Tak heran, dalam pendidikan Indonesia, budaya dan seni tidak dianggap "menguntungkan" (kecuali musik pop), sehingga menjadi tidak relevan. Indonesia merupakan negara dengan ANGGARAN PENDIDIKAN TERENDAH nomor 3 di dunia (menurut The Economist, hanya 1,2% dari PDB) setelah Guyana Khatulistiwa dan Ekuador (di kedua negara tersebut keadaan sekarang berkembang cepat berkat pemerintahan baru yang progresif).

    Museum di Jakarta berada dalam kondisi memprihatinkan, sama sekali tidak
    menawarkan eksibisi internasional. Museum tersebut terlihat seperti berasal dari zaman baheula dan tak heran kalau Belanda yang membangun semuanya. Tidak hanya koleksinya yang tak terawat, tapi juga ketiadaan unsur-unsur modern seperti kafe, toko cinderamata, toko buku atau perpustakaan publik. Kelihatannya manajemen museum tidak punya visi atau kreativitas. Bahkan, meskipun mereka punya visi atau kreativitas, pasti akan terkendala dengan ketiadaan dana.

    Sepertinya Jakarta tidak punya perencana kota, hanya ada pengembang
    swasta yang tidak punya respek atau kepedulian akan mayoritas penduduk yang miskin (mayoritas besar, tak peduli apa yang dikatakan oleh data statistik yang seringkali DIMANIPULIR pemerintah). Kota Jakarta praktis menyerahkan dirinya ke sektor swasta, yang kini nyaris mengendalikan semua hal, mulai dari perumahan hingga ke area publik.

    Sedangkan beberapa dekade yang lalu di Singapura, dan baru-baru ini di Kuala Lumpur, mereka berhasil menghilangkan total perkampungan kumuh dari wilayah kota, namun Jakarta tidak mampu atau tidak mau memberikan
    warganya perumahan bersubsidi dengan harga terjangkau yang dilengkapi dengan air ledeng, listrik, sistem pembuangan limbah, taman bermain, trotoar dan sistem transportasi massal.

    Selain Singapura, Kuala Lumpur dengan berpenduduk hanya 2 juta jiwa memiliki satu jalur Metro (Putra Line), satu monorail, beberapa jalur LRT Star yang efisien, dan jaringan kereta api kecepatan tinggi yang menghubungkan kota dengan ibu kota baru Putrajaya. Sistem "Rapid" memiliki ratusan bus modern, bersih, dan ber-AC. Tarifnya disubsidi, tiket bus Rapid hanya sekitar 2 Ringgit (kurang lebih Rp 4.600,00) untuk penggunaan tak terbatas sepanjang hari di jalur yang sama. Tiket abonemen bulanan dan harian yang sangat murah juga tersedia.

    Bangkok menunjuk kontraktor Siemens dari Jerman untuk membangun 2 jalur panjang "Sky Train" dan satu jalur metro. Bangkok juga memanfaatkan sungai dan kanal sebagai transportasi publik dan objek wisata. Pemerintahan kota Bangkok juga mengklaim bahwa mereka sedang membangun jalur
    tambahan sepanjang 80 km untuk sistem tersebut guna meyakinkan penduduk untuk meninggalkan mobil mereka di rumah dan memanfaatkan transportasi umum. Bus-bus kuno yang berpolusi sudah sepenuhnya dilarang beroperasi di Hanoi , Singapura, Kualalumpur, dan Bangkok. Jakarta? Berkat korupsi dan pejabat pemerintahan yang tak kompeten, Jakarta tenggelam dalam kondisi yang berkebalikan dengan kota-kota tersebut.

    Mercer Human Resource Consulting, dalam laporannya tentang kualitas hidup, menempatkan Jakarta di posisi setara dengan kota-kota miskin di Afrika dan Asia Selatan, bahkan di bawah kota Nairobi dan Medellin

    Walaupun Jakarta menjadi salah satu ibukota terburuk di dunia, hidup di sana tidaklah murah. Menurut Survey Mercer Human Resource Consulting tahun 2006, Jakarta menduduki peringkat 48 kota termahal di dunia untuk ekspatriat, jauh di atas Berlin (peringkat 72), Melbourne (74) dan Washington DC (83). Nah, kalau untuk ekspatriat saja mahal, apalagi buat penduduk lokal yang pendapatan per kapita DI BAWAH $1000??

    Anehnya, orang Jakarta diam seribu bahasa. Mereka pasrah akan kualitas udara yang jelek, terbiasa dengan pemandangan pengemis di perempatan jalan, dengan kampung kumuh di bawah jalan layang dan di pinggir sungai yang kotor dan penuh limbah beracun, dengan kemacetan berjam-jam, dengan banjir dan tikus.

    Kalau saja ada sedikit harapan, kebenaran pasti akan terucap, dan semakin cepat semakin baik. Hanya diagnosis kejam dan realistis yang bisa mengarah pada obat. Betapapun pahitnya kebenaran, tetap saja lebih baik ketimbang dusta dan penipuan. Jakarta telah tertinggal jauh di belakang ibukota lain negara tetangga dalam hal estetika, pemukiman, kebudayaan, transportasi, dan kualitas dan higiene makanan. Sekarang Jakarta telah kehilangan kebanggaan dan mesti belajar dari Kuala Lumpur, Singapura, Brisbane, dan bahkan dalam beberapa hal dari tetangganya yang lebih miskin seperti Port Moresby, Manila, dan Hanoi.

    Data statistik harus transparan dan tersedia luas. Warga harus belajar bertanya dan bagaimana untuk memperoleh jawaban dan akuntabilitas. Hanya kalau mereka memahami seberapa dalamnya kota mereka telah terperosok, maka barulah ada harapan. "Kita harus berhati-hati" kata produser film Malaysia dalam perayaan tahun baru di Kualalumpur. " Malaysia punya banyak masalah. Kalau kita tidak hati-hati, dalam 20-30 tahun Kuala Lumpur akan bernasib sama seperti Jakarta!"

    Dapatkah pernyataan ini dibalik? Mampukah Jakarta menemukan kekuatan dan solidaritas untuk mobilisasi sehingga dapat menyaingi Kuala Lumpur? Mampukah kecukupan mengatasi keserakahan? Dapatkah korupsi diberantas dan diganti dengan kreatifitas? Akankah ukuran vila pribadi mengecil, dan kawasan hijau, perumahan publik, taman bermain, perpustakaan,
    sekolah dan rumah sakit berkembang pesat?

    Orang luar seperti saya hanya dapat mengamati, bercerita, dan bertanya. Dan hanya masyarakat Jakarta yang punya jawaban dan solusinya.

    beberapa bln yang lalu setelah proses melamar pekerjaan, psyco test, dan intyerview gw sempet diterima bekerja di slh satu persh swasta besar dan ditempatkan di jakarta, sbg fresh graduatet gw ditawarin gaji hampir 3 juta, tapi tanpa pikir 2 kali aku menolak karena setelah dengar banyak cerita dan lihat di TV serta membaca, jakarta bukan kota yg sehat,nice dan bagus untuk pertumbuhan dan perkembangan mental.

    sory to say guyz... bukannya aku mau menjelek2kan ibukota sendiri tapi ini kenyataannya...

    Sorry klo kepanjangan artikelnya...
    Mudah-mudahan ada manfaatnya gw reposting artikel ini.

    hem,....memang setiap orang punya sudut pandang yang berbeda-beda, namun apapun pendapat setiap orang itu tak terlepas dari apa yang sudah dilihat dan dirasakan baik negative maupun positif. dan biasanya orang yang terbiasa menjalani hidup dalam tekanan dan kesulitan biasanya merekalah yang akan menjadi pemenangnya.Sebaiknya kita lebih arif menyikapinya....mungkin pandangan diatas ada benarnya namun juga tak sepenuhnya bisa dianggap benar...itulah realita hidup....menurut gw lebih baik kita menjalani kehidupan tanpa menghakimi siapapun. Apapun yang sudah terjadi di jakarta atau dinegeri tercinta kita ini, adalah sebuah proses yang juga pernah dilewati oleh bangsa lain dimanapun...ada pepatah hujan emas dinegeri orang masih lebih baik hujan batu dinegeri sendiri....so,...silahkan menentukan pilihan....APAKAH RASA NASIONALISME ITU MASIH ADA DI JIWA KITA???
  • nie buat yg bangga and seneng tinngal di jakarta... gw ada sedikit penjelasan.

    Jakarta: In Need of Improvements

    Andre Vitchek
    Worldpress.org contributing editor
    July 26, 2007

    Pada saat ini, gedung pencakar langit, jalanan macet dipadati oleh ratusan ribu kendaraan, dan mal-mal raksasa telah menjadi pusat kebudayaan Jakarta, yang notabene merupakan kota terbesar ke-4 di dunia. Terjepit di antara gedung tinggi, terhampar perkampungan di mana bermukim sebagian besar penduduk Jakarta yang tidak memiliki akses sanitasi dasar, air bersih atau pengelolaan limbah.
    Di saat hampir semua kota-kota utama lain di Asia Tenggara menginvestasikan dana besar-besaran untuk transportasi publik, taman kota, taman bermain, trotoar besar, dan lembaga kebudayaan seperti museum, gedung konser, dan pusat pameran, Jakarta tumbuh secara BRUTAL dengan berpihak hanya pada PEMILIK MODAL dan TIDAK PEDULI akan nasib mayoritas penduduknya yang MISKIN.
    Kebanyakan penduduk Jakarta belum pernah pergi ke luar negeri,
    sehingga mereka tidak dapat membandingkan kota Jakarta dengan Kuala Lumpur atau Singapura, Hanoi atau Bangkok. Liputan dan statistik pembanding juga jarang ditampilkan oleh media massa setempat. Meskipun bagi para wisatawan asing Jakarta merupakan NERAKA DUNIA, media massa setempat menggambarkan Jakarta sebagai kota "modern", "kosmopolitan" , dan "metropolis" .

    Para pendatang/wisatawan seringkali terheran-heran dengan kondisi
    Jakarta yang tidak memiliki taman rekreasi publik. Bangkok, yang tidak dikenal
    sebagai kota yang ramah publik, masih memiliki beberapa taman yang menawan. Bahkan, Port Moresby, ibukota Papua Nugini, yang miskin, terkenal akan taman bermain yang besar, pantai dan jalan setapak di pinggir laut yang indah.

    Di Jakarta kita perlu biaya untuk segala sesuatu. Banyak lahan hijau diubah menjadi lapangan golf demi kepentingan orang kaya. Kawasan Monas seluas kurang lebih 1 km persegi bisa jadi merupakan satu-satunya kawasan publik di kota berpenduduk lebih dari 10 juta ini. Meskipun menyandang predikat kota maritim, Jakarta telah terpisah dari laut dengan Ancol menjadi satu-satunya lokasi rekreasi yang sebenarnya hanya berupa pantai kotor.

    Bahkan kalau mau jalan-jalan ke Ancol, satu keluarga dengan 4 orang anggota keluarga harus mengeluarkan uang Rp 40.000 untuk tiket masuk, satu hal yang tak masuk akal di belahan lain dunia. Beberapa taman publik kecil kondisinya menyedihkan dan tidak aman.

    Sama sekali tidak ditemui tempat pejalan kaki di seluruh penjuru kota (tempat pejalan kaki yang dimaksud adalah sesuai dengan standar "internasional"). Nyaris seluruh kota-kota di dunia (kecuali beberapa kota di AS, seperti Houston dan LA) ramah terhadap pejalan kaki. Mobil seringkali tidak diperkenankan berkeliaran di pusat kota . Trotoar yang lebar merupakan sarana transportasi publik jarak pendek yang paling efisien, sehat, dan ramah lingkungan di daerah yang padat penduduk.

    Di Jakarta, nyaris tidak dijumpai bangku untuk duduk dan rileks, tidak
    ada keran air minum gratis atau toilet umum. Ini memang remeh, tapi sangat
    penting, merupakan suatu detil yang menjadi simbol kehidupan perkotaan di bagian lain dunia.

    Sebagian besar kota-kota dunia, ingin dikunjungi dan dikenang akan kebudayaannya. Singapura sedang berupaya mengubah citra kota
    belanjanya menjadi jantung kesenian Asia Tenggara. Esplanade Theatre yang
    monumental telah mengubah wajah kota Singapura, dimana ia menawarkan konser musik klasik, balet, dan opera internasional kelas satu, di samping pertunjukan artis kontemporer kawasan. Banyak pertunjukan yang disubsidi dan seringkali gratis atau murah, bila dibandingkan dengan pendapatan warga kota yang relatif tinggi.

    Kuala Lumpur menghabiskan $100 juta untuk membangun balai konser
    philharmonic yang terletak persis di bawah Petronas Tower, salah satu gedung
    tertinggi di dunia. Balai konser prestisius dan impresif ini mempertunjukkan
    grup orkestra lokal dan internasional. Kuala Lumpur juga sedang
    menginvestasikan beberapa juta dolar untuk memugar museum dan galeri, dari
    Museum Nasional hingga Galeri Seni Nasional.

    Hanoi bangga akan budaya dan seninya, yang dipromosikan guna menarik jutaan turis untuk mengunjungi galeri-galeri lukisan yang tak terhitung jumlahnya, di mana lukisan tersebut merupakan salah satu yang terbaik di Asia Tenggara. Gedung Operanya yang dipugar secara reguler mempertunjukkan pagelaran musik Asia dan Barat.

    Candi-candi dan istana kolosal di Bangkok eksis berdampingan dengan teater dan festival film internasional, klub jazz yang tak terhitung jumlahnya, dan juga pilihan kuliner otentik dari segala penjuru dunia. Kalau bicara musik dan kehidupan malam, tak ada kota di Asia Tenggara yang semeriah Manila .

    Nah, sekarang balik ke Jakarta . Siapapun yang bernah berkunjung
    ke "perpustakaan umum" atau gedung Arsip Nasional pasti tahu bedanya. Tak heran, dalam pendidikan Indonesia, budaya dan seni tidak dianggap "menguntungkan" (kecuali musik pop), sehingga menjadi tidak relevan. Indonesia merupakan negara dengan ANGGARAN PENDIDIKAN TERENDAH nomor 3 di dunia (menurut The Economist, hanya 1,2% dari PDB) setelah Guyana Khatulistiwa dan Ekuador (di kedua negara tersebut keadaan sekarang berkembang cepat berkat pemerintahan baru yang progresif).

    Museum di Jakarta berada dalam kondisi memprihatinkan, sama sekali tidak
    menawarkan eksibisi internasional. Museum tersebut terlihat seperti berasal dari zaman baheula dan tak heran kalau Belanda yang membangun semuanya. Tidak hanya koleksinya yang tak terawat, tapi juga ketiadaan unsur-unsur modern seperti kafe, toko cinderamata, toko buku atau perpustakaan publik. Kelihatannya manajemen museum tidak punya visi atau kreativitas. Bahkan, meskipun mereka punya visi atau kreativitas, pasti akan terkendala dengan ketiadaan dana.

    Sepertinya Jakarta tidak punya perencana kota, hanya ada pengembang
    swasta yang tidak punya respek atau kepedulian akan mayoritas penduduk yang miskin (mayoritas besar, tak peduli apa yang dikatakan oleh data statistik yang seringkali DIMANIPULIR pemerintah). Kota Jakarta praktis menyerahkan dirinya ke sektor swasta, yang kini nyaris mengendalikan semua hal, mulai dari perumahan hingga ke area publik.

    Sedangkan beberapa dekade yang lalu di Singapura, dan baru-baru ini di Kuala Lumpur, mereka berhasil menghilangkan total perkampungan kumuh dari wilayah kota, namun Jakarta tidak mampu atau tidak mau memberikan
    warganya perumahan bersubsidi dengan harga terjangkau yang dilengkapi dengan air ledeng, listrik, sistem pembuangan limbah, taman bermain, trotoar dan sistem transportasi massal.

    Selain Singapura, Kuala Lumpur dengan berpenduduk hanya 2 juta jiwa memiliki satu jalur Metro (Putra Line), satu monorail, beberapa jalur LRT Star yang efisien, dan jaringan kereta api kecepatan tinggi yang menghubungkan kota dengan ibu kota baru Putrajaya. Sistem "Rapid" memiliki ratusan bus modern, bersih, dan ber-AC. Tarifnya disubsidi, tiket bus Rapid hanya sekitar 2 Ringgit (kurang lebih Rp 4.600,00) untuk penggunaan tak terbatas sepanjang hari di jalur yang sama. Tiket abonemen bulanan dan harian yang sangat murah juga tersedia.

    Bangkok menunjuk kontraktor Siemens dari Jerman untuk membangun 2 jalur panjang "Sky Train" dan satu jalur metro. Bangkok juga memanfaatkan sungai dan kanal sebagai transportasi publik dan objek wisata. Pemerintahan kota Bangkok juga mengklaim bahwa mereka sedang membangun jalur
    tambahan sepanjang 80 km untuk sistem tersebut guna meyakinkan penduduk untuk meninggalkan mobil mereka di rumah dan memanfaatkan transportasi umum. Bus-bus kuno yang berpolusi sudah sepenuhnya dilarang beroperasi di Hanoi , Singapura, Kualalumpur, dan Bangkok. Jakarta? Berkat korupsi dan pejabat pemerintahan yang tak kompeten, Jakarta tenggelam dalam kondisi yang berkebalikan dengan kota-kota tersebut.

    Mercer Human Resource Consulting, dalam laporannya tentang kualitas hidup, menempatkan Jakarta di posisi setara dengan kota-kota miskin di Afrika dan Asia Selatan, bahkan di bawah kota Nairobi dan Medellin

    Walaupun Jakarta menjadi salah satu ibukota terburuk di dunia, hidup di sana tidaklah murah. Menurut Survey Mercer Human Resource Consulting tahun 2006, Jakarta menduduki peringkat 48 kota termahal di dunia untuk ekspatriat, jauh di atas Berlin (peringkat 72), Melbourne (74) dan Washington DC (83). Nah, kalau untuk ekspatriat saja mahal, apalagi buat penduduk lokal yang pendapatan per kapita DI BAWAH $1000??

    Anehnya, orang Jakarta diam seribu bahasa. Mereka pasrah akan kualitas udara yang jelek, terbiasa dengan pemandangan pengemis di perempatan jalan, dengan kampung kumuh di bawah jalan layang dan di pinggir sungai yang kotor dan penuh limbah beracun, dengan kemacetan berjam-jam, dengan banjir dan tikus.

    Kalau saja ada sedikit harapan, kebenaran pasti akan terucap, dan semakin cepat semakin baik. Hanya diagnosis kejam dan realistis yang bisa mengarah pada obat. Betapapun pahitnya kebenaran, tetap saja lebih baik ketimbang dusta dan penipuan. Jakarta telah tertinggal jauh di belakang ibukota lain negara tetangga dalam hal estetika, pemukiman, kebudayaan, transportasi, dan kualitas dan higiene makanan. Sekarang Jakarta telah kehilangan kebanggaan dan mesti belajar dari Kuala Lumpur, Singapura, Brisbane, dan bahkan dalam beberapa hal dari tetangganya yang lebih miskin seperti Port Moresby, Manila, dan Hanoi.

    Data statistik harus transparan dan tersedia luas. Warga harus belajar bertanya dan bagaimana untuk memperoleh jawaban dan akuntabilitas. Hanya kalau mereka memahami seberapa dalamnya kota mereka telah terperosok, maka barulah ada harapan. "Kita harus berhati-hati" kata produser film Malaysia dalam perayaan tahun baru di Kualalumpur. " Malaysia punya banyak masalah. Kalau kita tidak hati-hati, dalam 20-30 tahun Kuala Lumpur akan bernasib sama seperti Jakarta!"

    Dapatkah pernyataan ini dibalik? Mampukah Jakarta menemukan kekuatan dan solidaritas untuk mobilisasi sehingga dapat menyaingi Kuala Lumpur? Mampukah kecukupan mengatasi keserakahan? Dapatkah korupsi diberantas dan diganti dengan kreatifitas? Akankah ukuran vila pribadi mengecil, dan kawasan hijau, perumahan publik, taman bermain, perpustakaan,
    sekolah dan rumah sakit berkembang pesat?

    Orang luar seperti saya hanya dapat mengamati, bercerita, dan bertanya. Dan hanya masyarakat Jakarta yang punya jawaban dan solusinya.

    beberapa bln yang lalu setelah proses melamar pekerjaan, psyco test, dan intyerview gw sempet diterima bekerja di slh satu persh swasta besar dan ditempatkan di jakarta, sbg fresh graduatet gw ditawarin gaji hampir 3 juta, tapi tanpa pikir 2 kali aku menolak karena setelah dengar banyak cerita dan lihat di TV serta membaca, jakarta bukan kota yg sehat,nice dan bagus untuk pertumbuhan dan perkembangan mental.

    sory to say guyz... bukannya aku mau menjelek2kan ibukota sendiri tapi ini kenyataannya...

    Sorry klo kepanjangan artikelnya...
    Mudah-mudahan ada manfaatnya gw reposting artikel ini.

    Teuteup gw kangen ma jakarta pas gi gawe di spore..

    Hidup JAKARTA!..

    walau gw setuju seh harusnya isa lebih berbenah lagi...
  • Sedangkan beberapa dekade yang lalu di Singapura, dan baru-baru ini di Kuala Lumpur, mereka berhasil menghilangkan total perkampungan kumuh dari wilayah kota, namun Jakarta tidak mampu atau tidak mau memberikan
    warganya perumahan bersubsidi dengan harga terjangkau yang dilengkapi dengan air ledeng, listrik, sistem pembuangan limbah, taman bermain, trotoar dan sistem transportasi massal.

    Selain Singapura, Kuala Lumpur dengan berpenduduk hanya 2 juta jiwa memiliki satu jalur Metro (Putra Line), satu monorail, beberapa jalur LRT Star yang efisien, dan jaringan kereta api kecepatan tinggi yang menghubungkan kota dengan ibu kota baru Putrajaya. Sistem "Rapid" memiliki ratusan bus modern, bersih, dan ber-AC. Tarifnya disubsidi, tiket bus Rapid hanya sekitar 2 Ringgit (kurang lebih Rp 4.600,00) untuk penggunaan tak terbatas sepanjang hari di jalur yang sama. Tiket abonemen bulanan dan harian yang sangat murah juga tersedia.


    yakin lo kuala lumpur sgitu indahnya..???

    gak kalii.. masih banyak kok di daerah2 yg rumah dan kawasannya kumuh.. bau sampah ama banyak rampok..

    orangnya gk ada yg ramah,, apalagi yg asli melayu..

    satu lagi,, sekarang 2 ringgit itu kurang lebih Rp.7000,00 bang..

    oo iyaa putrajaya,, gersangnya serasa di guruun..
  • Ironis ya... biarpun sebaik apapun di negara lain, ada taman, ke doketr gratis,, ujan emas etc etc etc.. tapi tetp tempat dimaan lo dibesarin tetap punya tempat di hati lo, biarpun se'dekil" apapun, biarpun lo diperlakukan ga adil, didiskriminasi, dipandang aneh, diperes, etc etc...

    Ah yea, manusia memang tidak pernah puas.
    langit wrote:
    nie buat yg bangga and seneng tinngal di jakarta... gw ada sedikit penjelasan.

    Jakarta: In Need of Improvements

    Andre Vitchek
    Worldpress.org contributing editor
    July 26, 2007
    .

    hem,....memang setiap orang punya sudut pandang yang berbeda-beda, namun apapun pendapat setiap orang itu tak terlepas dari apa yang sudah dilihat dan dirasakan baik negative maupun positif. dan biasanya orang yang terbiasa menjalani hidup dalam tekanan dan kesulitan biasanya merekalah yang akan menjadi pemenangnya.Sebaiknya kita lebih arif menyikapinya....mungkin pandangan diatas ada benarnya namun juga tak sepenuhnya bisa dianggap benar...itulah realita hidup....menurut gw lebih baik kita menjalani kehidupan tanpa menghakimi siapapun. Apapun yang sudah terjadi di jakarta atau dinegeri tercinta kita ini, adalah sebuah proses yang juga pernah dilewati oleh bangsa lain dimanapun...ada pepatah hujan emas dinegeri orang masih lebih baik hujan batu dinegeri sendiri....so,...silahkan menentukan pilihan....APAKAH RASA NASIONALISME ITU MASIH ADA DI JIWA KITA???
  • buat temen2 di sini TS bukan bermaksud membuat kita membanding bandingkan dengan negara tetangga, tapi kenapa Jakarta yang sbesar ini belum mampu mengakomodir para penduduk yang tinggal di dalamnya.... Kenapa ke pantai harus bayar ? Kenapa bangunan tua hanya sekedar menjadi bangunan tua saja ? Kenapa jalur hijau di jakarta jauh lebih sedikit dibanding gedung2 pncakar langit? dan lain sebagainya.... Dan gw respek sama TS karena mau memberikan bahan diskusi buat kita.... gak perlu jadi orang pinter kok kalo untuk sekedar merubah kondisi Jakarta tapi butuh niat baik dari semuanya.....

    Lanjuuuut...kalo disitu disebut Jakrta kurang menghargai SENI karena mungkin Seni itu lebih dihargai oleh kalangan atas kali ya dibandingkan orang2 menegah ke bawah, yg notabene mayoritas penduduk Jaarta termasuk gw heheheehehe, kecuali kalo emang dibesarkan di liingkungan Seni ya....... tapi ya memang apresiasi seni di jakarta sangat kurang apa mau dikata semua karena terbentur Ekonomi....
  • jakarta, polusi, macet, dugem, love, sex, entertainment....seru abis...dah ada orang yg musingin mslh2 beginian...jd kita mah enjoy aja...enjoy jakarta 2009...
  • beberapa bln yang lalu setelah proses melamar pekerjaan, psyco test, dan intyerview gw sempet diterima bekerja di slh satu persh swasta besar dan ditempatkan di jakarta, sbg fresh graduatet gw ditawarin gaji hampir 3 juta, tapi tanpa pikir 2 kali aku menolak karena setelah dengar banyak cerita dan lihat di TV serta membaca, jakarta bukan kota yg sehat,nice dan bagus untuk pertumbuhan dan perkembangan mental.

    Wah2... TS benar-benar orang yang tidak bersyukur nih kayaknya. Ckckck... fresh graduate dengan gaji 3 JUTA langsung ditolak!! Beuh... mantab banget gan... Orang di luar sana pontang panting nyari kerja sana sini, yang ini udah dapet dengan jadi yang cukup gede untuk standart fresh graduate malah dibuang cuma gara2 denger dan baca Jakarta bukan kota yang sehat, nice dan bagus untuk pertumbuhan dan perkembangan mental.

    Gw akuin emang Jakarta polusinya udah kacau karena bus yang udah tua dan angkot serta makin banyaknya motor sehingga bikin kota ini jadi nggak sehat. Tapi Jakarta adalah kota yang nice kok menurut gw. Orang Jakarta tuh ramah-ramah. Mereka masih tau sopan santun.

    Dan pastinya orang Jakarta lebih tau diri dibandingin orang Kuala Lumpur yang hobinya MALING BUDAYA ORANG LAIN!! Batik diaku2in!! Terus beberapa tarian juga!! Buah Manggis juga sampe mau diaku2in itu original buah dari sana!!! Hiih..

    Hmm... pokoknya gw bangga kok jadi orang Jakarta walaupun sering macet karena udah makin padat.

    Selama masih ada yang korupsi mah Jakarta bakalan terus melarat dan semakin melarat kok...
Sign In or Register to comment.