Pada tanggal 11 Nov 08 di Hotel Sahid, Yayasan Kalyanamitra mengadakan diskusi dengan tema Seksualitas yang di Tabu kan. Dalam hal ini pembicaranya antara lain Dede Utomo, dr Lukas (Psikiatri), Musda Mulia, Stanley (Komnas HAM), Ayu Utami dan Moderator Mariana.
Secara umum kegiatan tersebut sangat baik karena banyak dihadiri oleh banyak peserta sekaligus juga narasumber yang saya pikir memberikan pencerahan bagi peserta.
Dan menariknya lagi pesertanya bukan hanya dari LSM saja, tapi banyak mahasiswa dan beberapa orang yang seperti pekerja perusahaan minimal itu yang aku tahu.
Jadi ini menjadi satu indikator juga bahwa isu seksualitas khususnya LGBTIQ mulai diminati oleh banyak orang.
Btw, karena pada saat diskusi saya tidak diberikan kesempatan dengan Ibu Mariana untuk bertanya .
Makanya saya ingin berbagi minimal dari cara pandangku dalam melihat persoalan seksualitas dalam konteks diskusi tersebut.
Tapi sebelumnya saya ingin sampaikan bahwa ini sebatas masukan dari apa yang aku pahami soal isu LGBTIQ.
Jadi masih sangat mungkin untuk diperdebatkan dan dialogkan kembali.
Apakah Orientasi Seksual Itu GIVEN?
Dua narasumber menyatakan bahwa orientasi seksual adalah sebuah Given ataupun kodrat. Khususnya yang disampaikan oleh Ibu Musda dan dikuatkan lagi oleh teori yang disampaikan oleh Dr Lukas (Psikiatri FKUI).
Dari informasi yang saya dapat untuk persoalan orientasi seksual masih banyak memperdebatkan apakah ini given atau sebuah kontruksi sosial (pilihan).
Dan sampai saat ini masih terus diperdebatkan, tetapi kalangan feminis sebagian mengatakan bahwa orientasi seksual adalah sebuah pilihan.
Sehingga istilah orientasi seksual sendiri mulai ditinggalkan oleh beberapa aktivis feminis dan LGBTIQ. Tapi sayangnya dr Lukas menegaskan sekali bahwa istilah preferensi seksual itu adalah "SALAH". Karena yakin sekali bahwa homoseksual karena soal kromosom dan kelenjar2 yang lain.
Makanya ada istilah Preferensi seksual, minimal itu yang saya tahu dari pendapat Mbak Syarifah dan Mbak Gadis yang sering menuliskan preferensi seksual bukan orientasi seksual. Saya memang kurang begitu jelas soal perbedaan itu secara teori.
Mungkin mbak Gadis bisa jelaskan dikit soal ini....
Tapi sayangnya dr Lukas kurang konsisten menyampaikannya, disisi lain mengatakan bahwa homoseksual adalah kodrat tetapi disatu sisi menyampaikan juga bahwa homoseksual dapat berubah hanya saja sulit.
Sehingga pernyataan dr Lukas ini langsung saja dikomentari oleh seorang peserta yang bertanya ( perempuan dari KOHATI dan konservatif).
Penanya itu menyatakan kalau sulit berarti bisa kan berubah orientasi seksualnya, karena kan homoseksual sesuatu yang dosa.,jawab penanya tersebut. Jadi menurut saya pendapat dr Lukas tidak konsisten dan mudah sekali dipatahkan oleh pihak penolak misalnya.
Begitu juga kalau menganggap bahwa homoseksual given, artinya kalau seorang homoseksual menilai bahwa dirinya bukan given bagaimana? karena situasi ini juga ada bahwa seorang gay karena dia memang memilih.
Maksudnya kalau mau diadvokasi kenegara yang menjadi bumerang dan sulit kalau lawannya kritis.
Misalnya negara hanya membolehkan homoseksual yang kodrat saja.
Sekarang pertanyaannya bagaimana bisa tahu bahwa homoseksual yang ini given sedangkan yang lain itu pilihan.
Apa indikatornya, apakah cukup ditanya saja dengan individunya? Kan jadi lucu dan membingungkan sekali.
Lagian dr lukas juga tidak dapat memberikan indikator yang jelas bahwa homoseksual itu given secara biologis.
Misalnya kromosomnya jadi jumlahnya berbeda dengan hetero. Tapi setahu saya memang ada teori yang menyatakan beda kromoson, tetapi dibantah oleh penelitian yang lainnya. Jadi masih menjadi perdebatan panjang.
Beda kalau misalnya mau tes golongan darah kan ada penunjuknya bahwa ini golongan darah A, B, AB atau O. Terus gimana dengan homoseksual? Apa indikatornya?
Karena ini dapat menyebabkan diskriminasi bagi orang2 yang mengaku dirinya homoseksual bukan given.
Banyak juga seseorang "memilih" homoseksualnya, misalnya setelah dia punya anak.
Dan banyak juga misalnya kalangan Lesbian memilih seksualitasnya karena sebuah gerakan perlawanan terhadap budaya partriaki atau karena pilihan otoritas tubuhnya.
Sehingga menurut saya sekarang tidak terlalu penting apakah ini given ataupun pilihan homoseksual itu.
Yang penting bahwa ada homoseksual dan biseksual selain heteroseksual yang harus dihargai dan dihormati oleh negara maupun orang lain. Itu paling penting!!
Orientasi Seksual Dan Prilaku Seksual
Dalam pembahasan dr Lukas juga menekankan bahwa homoseksual bukan lah penyimpangan. Ini sebuah kemajuan bagi seorang psikiatri Indonesia, walaupun disisi lain sebuah keterlambatan.
Karena masih saja ada psikiatri Indonesia yang menilai ini menyimpang. Minimal mahasiswa KOHATI tadi yang ngaku jurusan psikologi juga masih menganggap menyimpang.
Padahal PPDGJ III (Pedoman Penggolongan Diagnosa Gangguan Jiwa) dari Depkes dan WHO sudah mengeluarkan homoseksual dari gangguan jiwa.
Sehingga POSISINYA setara dengan HETEROSEKSUAL dan BISEKSUAL.
dr Lukas sayangnya kurang begitu digali soal konsep gender, sehingga masih sering tidak konsisten pendapatnya.
Misalnya dia menyampaikan istilah Prilaku Homoseksual dan prilaku Heteroseksual.
Saya jadi bingung apa yang dimaksud dengan prilaku tersebut?
setahu saya prilaku itu sangat kontekstual bisa terjadi pada siapa saja. Misalnya prilaku anal, oral, berpelukan, berciuman bisa juga pada hetero dan juga pada homoseksual.Walaupun ada prilaku seksual yang spesipik hanya bisa dilakukan orientasi seksual tertentu. Misalnya Lesbian tidak bisa melakukan anal sex, walau mungkin bisa juga kalau menggunakan dildo misalnya.
Sudah itu dr Lukas menyakini bahwa kalau seorang anak secara genitis adalah homoseksual, maka dia pasti akan tumbuh dengan "kehomoannya" artinya anak itu akan suka main boneka - bonekaan. Mau dikasih mobil2an juga pasti dia akan tetap suka boneka2an...Wow saya kaget sekali. Emang begitu ya? sepengalaman saya tidak itu. Saya merasa gay sejak kecil atau bahkan tidak tahu mulainya, saya feminin tapi saya waktu kecil tidak suka menggunakan baju perempuan dan main bonekaan. Saya suka main yang berlari - lari itu. Saya suka main cari ikan yang umumnya dilakukan oleh anak laki - laki sebaya saya. Walaupun saya sering diejek banci dan katanya saya feminin.
Berarti masih ada anggapan bahwa kebiasaan atau prilaku seseorang ada hubungan dengan orientasi seksual seseorang. Apakah memang begitu? saya kok jadi ragu. Karena bagi saya kalau ada anak laki - laki "merasa" perempuan dan kemudian dia suka boneka - bonekaan, suka bunga, menari itu semua adalah sebuah kontruksi sosial.
Dan laki - laki suka boneka gak berhubungan langsung dengan orientasi seksualnya sehingga dia dijamin menjadi homoseksual. Bagaimana dengan orang yang crossdress??
Homoseksual Dan Nilai Kemanusiaan
Mbak Dewi salah seorang peserta menanyakan soal konsep biseksual, karena menurut mbak Dewi masih bingung dan apakah ini sama dengan "poligami".
Kalau tidak salah persepsi maksud mbak Dewi bahwa Biseksual adalah seseorang yang suka dengan dua jenis kelamin secara bersamaan dalam menjalin hubungan.
Ini yang mungkin disebut dengan Poligami yang sangat tidak disetujui oleh Mbak Dewi.
Ibu Musda sejak awal memang lumayan bagus sekali menyampaikan soal konsep berpasangan. Malah Ibu Musda menekankan bahwa dalam Islam sendiri sepengetahuannya bahwa tidak ada istilah suami - istri tapi pasangan, Tidak melihat laki - laki dan perempuan saja dalam berpasangan.
Menurut Ibu Musda yang paling penting dalam berhubungan adalah soal menjunjung tinggi nilai - nilai kemanusiaan pasanganya.
Artinya tidak ada kekerasan, penguasaan dan subordinat satu dengan lainnya.
Artinya Ibu Musda ingin menekankan bahwa kalau biseksual yang berhubungan dengan dua orang maka itu akan cenderung melanggar nilai - nilai kemanusiaan yang mungkin hampir sama dengan Poligami.Maka inilah yang dilarang dalam Islam, menurut Ibu Musda. lebih kurang begitu lah penjelasan Ibu Musda.
Kemudian ditambahkan oleh Mas Dede Utomo yang penganut open relationship,
sehingga dia berpendapat bahwa dia punya pengalaman hidup bersama pasangan lebih dari satu orang secara bersamaan.
Selagi saling terbuka dan semuanya menerimanya, artinya adanya keadilan, why not? menurut mas Dede.
Tapi sayangnya mas Dede ini juga jadi tidak konsisten waktu dia katakan bahwa sukar sekali untuk mengukur sebuah keadilan dalam berpasangan.
Tapi disisi lain mas Dede melakukan hubungan lebih dari satu pasangan secara bersamaan.
Ini kan jadi sama saja dengan orang - orang yang suka Poligami dalam konteks heteroseksual yang katanya sudah melakukan keadilan bagi pasangannya perempuannya. Padahal ukuran keadilan sukar diukurnya..
Belum lagi kita tidak bahas soal relasi kuasa dalam hubungan, karena biasanya kalau orang mau hidup bersama dengan lebih dari satu orang secara bersamaan ada relasi kekuasaan yang tidak seimbang antara yang satu dengan lainnya.
Kalau didunia gay atau hetero misalnya salah satu contohnya karena ada faktor ekonomi orang mau hidup dengan orang yang sudah punya pasangan ataupun karena penyebab lain.
Kemudian dr Lukas juga menekankan bahwa yang penting hidup itu damai dengan dirinya sendiri, Artinya seorang gay bisa dianggap mengalami gangguan jiwa kalau misalnya dia menolak atau ada persoalan dengan ke-gay annya.
Orang seperti inilah yang harus dibantu untuk damai dengan dirinya sendiri.
Hanya masalahnya dr lukas menyampaikan kalau misalnya yang membuat dia damai dengan cara menikah dan tetap dengan hubungan dengan laki - laki, maka menikah lah.. Saya malah jadi ragu dan rancu.
Sebab aku pikir kita menikah dengan perempuan bukan hanya untuk kepentingan diri kita sendiri. tetapi juga harus menjaga perasaan perempuan dalam hal ini pasangan kita.
Kalau mau nikah hanya karena untuk mendamaikan diri kita sebagai gay padahal istri nya tidak tahu dia masih saja berhubungan dengan laki - laki.
Bagi saya ini bukan sebuah kedamaian, tapi ini adalah penipuan dan egois saja.
Ini lah yang sering terjadi dengan banyak gay menikah yang saya temui.
Selalu bilang bahwa menikah lebih damai serta punya anak.
Tapi tetap saja keluyuran mencari satu laki - laki ke laki - laki lainnya.
Ih meyebalkan sekali lihat gay begini..Apakah ini juga masih dibiarkan saja? hanya untuk kata mendamaikan diri??
Budaya Warok
Mas Dede memaparkan bahwa prilaku seksual laki - laki dengan laki - laki. Apakah dia gay atau bukan banyak terjadi masa lalu di budaya Indonesia.
Misalnya di budaya Warok, calabay, ludruk, induk jawi anak jawi, budaya raja - raja melayu.
Tapi yang disampaikan budaya - budaya itu pada umumnya menggambarkan soal hubungan laki - laki dewasa dengan anak laki - laki (istilah brondong).
Saya pikir kalau ada relasi yang tidak seimbang misalnya antara raja dengan anak laki - laki. Apakah itu homoseksual?
Saya jadi bertanya, apa bedanya homoseksual dengan Phedofilia?
Apakah budaya warok, mairil dipesantren, induk jawi - anak jawi dipadang, serta raja dengan anak laki2 bisa dikatakan bahwa itu semata - mata sebuah orientasi seksual homoseksual??
Mungkin mesti dilihat lebih jauh lagi soal itu. Menurut saya sebagai seorang gay kurang setuju kalau budaya2 diatas sama dengan homoseksual.
Menurut pengamatan saya budaya2 diatas lebih mengedepankan budaya eksploitasi terhadap orang yang lemah dalam hal ini anak laki - laki.
Makanya sampai sekarang ada juga stigma bahwa gay sama dengan Phedofilia, mungkin karena pengaruh budaya diatas juga makanya stigma itu sampai sekarang masih ada.
Dan sekali lagi homoseksual dalam perjuangan sekarang adalah homoseksual yang menjunjung tinggi nilai - nilai kemanusiaan. Artinya tidak akan melakukan hubungan dengan anak - anak, ataupun tidak akan melakukan hubungan dengan seseorang yang sudah punya pasangan ( baik perempuan maupun laki - laki). Walau saya tahu ini berat pada pasangan gay dalam konteks sekarang.
Gay Lebih Kreatif
Menurut Mbak Ayu Utami dari hasil penelitian di Singapura bahwa pada umumnya kelompok gay lebih kreatif dalam hal kreativitas. Artinya kalau ada disatu wilayah toleransinya tinggi maka kreativitas akan maju. Kalau misalnya kelompok gay dihargai dalam satu masyarakat maka kreativitasnya akan baik pula. Akibatnya akan banyak memberikan sumbangan pada negara soal karya - karya dalam meningkatkan ekonomi bangsa. Misalnya dari mulai menjadi desainer, cooking, salon, pelukis dsb.
Begitu juga ditekankan kepada Pak Stanley bahwa gay ini lebih kreatif dan banyak ide sehingga lebih banyak disenangi oleh orang apalagi dalam bertutur sering membuat orang lain senang untuk diskusi. Menurut saya kalau memang begitu, apakah memang semata – mata karena dia gay atau mungkin ada factor social lain membuat banyak gay harus lebih kreatif??
Dalam konteks ini disatu sisi saya senang ada ungkapan hal - hal yang positip terhadap kelompok gay. Tapi menurut saya ini justru kadang menjadikan stigma lagi bagi kelompok gay. Misalnya bagaimana kalau ada seorang gay yang tidak kreatif ?? Situasi ini akan menjadi stigma sekali.
Saya ada pengalaman dengan diri saya sendiri. Menurut teman – teman saya biasanya gay itu selalu pembersih dan rapi.
Tapi saya ini termasuk orang kurang pembersih dan rapi.
Pernah ada teman saya bilang kamu ini gay kok jorok sekali dan tidak teratur??
Saya kemudian katakana dengan teman saya bahwa prilaku atau sifat pembersih harus dimiliki oleh setiap orang bukan karena dia gay atau bukan.
Sama dengan orang yang harus kreatif, jadi semua orang harus didorong kreatif.
Saya setuju situasi yang toleransi dan demokratis menjadikan kreativitas individu berkembang. Tapi mestinya itu dimiliki oleh setiap orang bukan hanya gay saja.
Ini kan sama saja stigma bahwa perempuan itu harus rajin dan teliti.
Disatu disisi ungkapan itu baik tapi disisi lain justru itu semakin menstigma perempuan, begitu juga untuk kasus yang saya ceritakan diatas.
Mungkin itu saja beberapa refleksi dari pertemuan mengikuti seminar seksualitas di Hotel Sahid yang diadakan oleh Kalyanamitra.
Sekali lagi saya menulis ini karena mungkin ada gunanya untuk bisa memperkaya wacana soal isu seksualitas khususnya homoseksual dan biseksual.
Selain karena mau bertanya tidak diberikan waktu oleh Ibu Moderator .
Tapi saya tetap sangat apresiasi dengan semua narasumber dan Kalyanamitra. Saya yakin banyak hal yang berguna untuk gerakan LGBTIQ kedepan.
Wasalam
Toyo
Comments
Banyak penelitian yg sudah di published mengenai kenapa seseorang memiliki orientasi sex (yg katanya) menyimpang. Dari faktor lingkungan sosial lah, efek traumatis, gaya hidup, genetik , dll. Jujur, sebagian dari kita pasti sempat mencari-cari alasan kenapa kita memiliki orientasi sex seperti sekarang ini, sampai di satu titik dimana kita sadar bahwa yang kita lakukan hanya mencari kebenaran semu yang sebenarnya lebih mengarah ke penyangkalan. Fakta yang diri kita temukan kemudian adalah bahwa ini Given, and it is not optional.
(terlepas dari kebiasaan2 sewaktu kita kecil yang 'mungkin' lebih menggemari sesuatu yg bersifar feminism) tapi bukannya justru ini sebenarnya membantah semua sebab2 lain menjadi gay selain gay adalah Given.
Kemudian saya sepaham dengan mas Toyo. IMHO, menurut saya parameter Gay itu bukan dilihat dari rapih tidaknya seseorang, tipe metrosexual atau tidak, pembersih atau tidak, memiliki empati yg lebih atau tidak dan lain-lain. Tetapi parameter Gay itu (IMHO) adalah orientasi sexual itu sendiri yang hanya bisa diukur oleh orang itu sendiri.
Intinya, gak peduli gw rapih atau tidak, pembersih atau tidak, metro atau tidak, tetapi karena aku sadar terlahir dengan orientasi sexual seperti ini, maka AKU GAY !
Mungkin sekian dari saya.... dan tetap IMHO/CMIIW
regards
~ART~
Ulasan yang kamu bikin sangat komprehensif. Dipadu dengan opini kamu sendiri, opini-opini dari beberapa orang itu bisa jadi wacana, baik untuk kaum homoseksual maupun heteroseksual (ataupun biseksual )
Gua mau ngasih komentar tentang beberapa hal.
Pertama, tentang gay yang menikah. Harus gua jelasin dulu posisi gua tentang poligami bahwa gua tidak bermasalah dengan poligami sepanjang disetujui istri-istrinya dan suami mampu menafkahi lahir batin semua istri-istrinya. Nah ... kalau di antara istri-istrinya itu ada cowok, gua juga gak masalah. Gua ngeliat ini seperti raja-raja jaman dulu, baik raja di Timur Tengah maupun Asia oriental (dan mungkin juga Nusantara???), yang punya istana harem tempat tinggal istri-istri raja non permaisuri dan di dalamnya terdapat cowok juga. Bahasa kasarnya istana harem itu mungkin rumah bordilnya raja. Selama tidak ada masalah antara raja, permaisuri dan selir-selirnya (baik cewek maupun cowok), gua sih gak ngeliat ada masalah. Ngomong-ngomong, kalo ngeliat gini, budaya poligami itu ada di Asia sedangkan monogami itu di Eropa ... hmm ... betul gak ini???
Kembali tentang gay yang menikah, sepanjang cowok itu jujur ke istrinya dan istrinya OK dengan itu, seharusnya tidak ada masalah. Tapi, bukan dengan cara bohong ke istri karena menurut gua, cara seperti ini gak fair buat perempuan. Lebih tepatnya mungkin orang yang seperti ini bukan gay lagi, tapi udah open bisexual. Udah ada beberapa contoh cowok yang udah menikah, punya istri dan anak, ditemukan dibunuh oleh pasangan cowoknya, kemudian keluarganya menampik kalo dia bukan gay. Contoh paling gampang diinget mungkin Heri Santoso yang dibunuh Ryan. Belakangan ada kasus lain yang dibunuh di Serpong kalo gak salah??? Orang-orang yang seperti ini bisa jadi sasaran pemerasan "kucing-kucing" yang mungkin "menjadi" gay karena alasan ekonomi. Dengan dasar ini, gua sependapat dengan Toyo kalau cowok gay menikahi perempuan dengan bohong ke istrinya itu tidak elok.
Kedua, tentang tradisi Nusantara jaman dulu yang punya praktek homoseksualitas. Tradisi seperti itu bisa jadi dianggap sebagai praktek pedofilia. Tapi di sisi lain ... kalau dilihat dari tradisi filosof kuno seperti Plato, Socrates, dll. ... praktek seperti itu ada juga bukan??? Tapi, gua ngeliatnya sebagai praktek belajar mengajar. Jadi, jaman dulu itu prakteknya homoseksualitas (yang terlihat pedofil) dalam rangka ngajarin, bukan eksploitasi. Masalah muncul ketika praktek itu hanya menjadi alasan pembenaran untuk eksploitasi dan adanya pemaksaan atau manipulasi. Nah, kalo berkaca dari kasusnya Syekh Puji, secara praktek itu adalah pedofilia. Tapi, ada banyak faktor lain yang bermain di situ seperti ekonomi. Nah, apakah Syekh Puji menggunakan ekonomi sebagai topeng untuk pedofilia atau dia benar-benar tulus ingin "mendidik" Ulfah (istrinya yang baru berusia 12 tahun itu), mungkin kita tidak akan pernah tahu.
Untuk masalah orientasi, identitas, preferensi, stigma dan lainnya, gua sependapat. Gak usah terlalu pusing lah kita berkutat dengan definisi karena toh ini bukan masalah hukum (beda kalo definisi udah masuk dalam bentuk hukum seperti undang-undang). Ini lebih ke masalah akademis yang perdebatannya bisa berlangsung sepanjang masa. "Time will tell" kata orang-orang, jadi kita gak perlu larut di dalamnya. Yang penting, kita menghargai diri sendiri apa adanya dan berbuat baik sebanyaknya ke sekitar. Kalau memang suka cowok, akuilah kalau memang suka. Gak usah cari alasan pembenaran kenapa suka cowok.
Peace yo all!!!
Preferensi seksual adalah pengertian yang dipakai untuk orang yang ingin
memilih keinginan diri untuk menyukai sesama jenis atau berlainan jenis.
Ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan karakter diri. Orang yang
sadar bahwa memilih pasangan sejenis atau berlainan jenis didasarkan oleh
kebebasannya untuk memilih. Artinya, orang ini bukan karena sakit (atau
istilah UUP menyimpang secara seksual), alamiah atau terdeterminasi.
Preferensi seksual diartikan sebagai kebebasan untuk memilih.
Jadi, misalnya anda, preferensi seksual anda saat ini adalah berlainan
jenis. Sedangkan si X misalnya sesama jenis. Baik anda maupun si X memilih
atas dasar kebebasannya, karena kalian memilih berhubungan sejenis atau
berlainan jenis. Jadi bukan atas dasar keharusan. Bisa saja suatu saat
anda atau si X berubah pendapat dan ini tidak menjadi masalah karena orang
bebas menentukan siapa yang ingin ia cintai.
Menjadi gay atau lesbian tidak selalu karena orientasi seksual yang
terdeterminasi atau alamiah. Memang ada kaum gay dan lesbian yang tertarik
sesama jenis karena merasa nalurinya secara alamiah (terdeterminasi)
menyukai sesama jenis (dari sononya begitu) sama seperti mereka yang
orientasi seksualnya yang hetero. Tapi ada yang memang secara sadar ingin
dan mau atau suka dengan sesama jenis atas pilihannya sendiri. Misalnya, si
X merasa lebih cocok dengan temannya yang sesama jenis dan kemudian
mencintainya.
Bisa saja seseorang coba2 untuk melakukan hubungan seksual dengan sesama
jenis. Bisa juga krena memang ia mencintai dan memang tertarik. Prilaku
ini tidak aneh karena dalam hubungan heteroseksual pun permainan coba2 juga
dilakukan. Ada orang yang berhubungan seksual dengan si anu dan si itu
(berlainan jenis) karena coba2 ada juga yang tidak karena serius.
Preferensi seksual hanyalah istilah bagi mereka yang merasa memilih
pasangannya karena keinginannya sendiri, otonomi diri untuk menentukan dan
bukan ditentukan oleh determinasi biologis atau keharusan norma2 tertentu.
Gadis Arivia.
Nah, ini dia nih yang bikin gw males ama "tokoh" Dede Oetomo itu. Gila, malu-maluin banget, merepresentasikan semua homosexuals kalau levelnya cuma gitu. Dari dulu yang diangkat ama dia warok lagi warok lagbi, kayaknya dia taunya cuma yang itu, dan yang lebih parah jangan-jangan itu dia pakai cuma untuk membenarkan preferensinya atas daun muda. Yikes.
Preferensi sexual ?? wah baru denger nih, kirain cuma ada 2 ajah... wah info yg sangat menarik... Thx mas Toyo, soalnya gw kemarin debat panjang ma temen masalah ini.... Hm...
Sebenarnya yang diungkapin Dede itu adalah budaya Pederastry, pederastry sangat dikenal dihampir semua kultur, seperti Yunani, Jepang, Cina dll
Beberapa budaya bahkan mengkaitkan hal ini sebagai salah satu pendekatan master-aprenticeship dalam meneruskan pengetahuan yang dimiliki individu dewasa ke individu yang lebih muda, so hubungan pederastry tidak murni selalu seksual, tetapi ada muatan lainnya
Sampai sekarang pun masih ada beberapa kultur didunia yang memakai pederastry sebagai salah satu pendekatan
Penjelasan dokter lukas masuk akal dan bukannya tidak konsisten kalau dilihat dari segi bahwa kita tidak bisa mengeneralisasi homoseksualitas seseorang, Generalist theorist biasanya selalu ingin melihat pattern/pola, padahal setiap individu organisms itu kompleks dan memang benar pada stage tertentu kita bisa melihat pola, tetapi jangan berharap pola itu ada disemua level.
Kalau saya tidak salah baca homoseksualitas seseorang dipengaruhi oleh paling tidak 3 hal yang sangat kompleks genetic, fisiologi, environmental development selama pre-natal dan post-natal, dan untuk post-natal masih terbagi dalam beberapa tahap lagi seperti, juvenile dan adolescent
Kalau saya tidak salah baca lagi, ada seporsi kecil dari gen yang diduga mendorong trait homoseksual (bukan gen khusus untuk gay, tetapi ada gen yang dapat memicu perkembangan anatomi dan hormonal yang berbeda, yang pada akhirnya dapat memicu seseorang menjadi homoseksual, tetapi hal ini juga tidak pasti 100%). Untuk fisiologi, dalam dalam lingkup pre-natal (masih dalam kandungan), ada indikasi bahwa pre-natal environment (kondisi hormonal ibu) juga dapat memicu perkembangan yang berbeda, terutama pada brain development (encephalonization) yang menentukan apakah anak mereka membawa trait homoseksual, ditingkat post-natal (Setelah lahir), gen yang membawa trait khusus (yang memicu perkembangan anatomi dan hormonal yang berbeda, seperti yang saya ungkapkan atas) juga bergantung pada lingkungan karena menyangkut masalah intake (sebagai contoh makanan dan early learning) yang mendukung perkembangan hormonal dan perilaku seseorang (ambil contoh, susu kedelai mengandung hormon estrogen yang besar, trus early learning pada umur antara 5-7 tahun berpengaruh pada sifat dan perilaku anak karena informasi yang didapat pada periode perkembangan ini akan disimpan secara permanen didalam otak), tetapi lingkungan juga tidak dapat secara independen menjadikan seseorang menjadi homoseksual, karena fisiologi dan perkembangan fisiologi straight dan homoseksual juga diindikasikan berbeda.
mana yang paling berpengaruh dalam menentukan homoseksualitas seseorang?tidak ada yang tahu pasti, masing2 orang (yang gay) pasti memiliki proporsi yang berbeda, ada yang 20% genetik-40% fisiologi-40% lingkungan, ada yang 30% genetik-40%fisiologi-30% lingkungan, kombinasinya sangat luas.
selain itu, dalam developmental biology & psychology, trait yang terbentuk jauh diawal (biasanya pre-natal, atau post-natal tapi ditingkat infant) hampir tidak mungkin bisa dirubah. artinya kemungkinan, semakin besar proporsi genetic dan fisiologi pada pre-natal atau early post natal, semakin kecil pula kemungkinan homoseksualitas seseorang dapat diubah