Tulisan ini saya dapat dari blog teman saya. Dia perempuan lahir dan besar di Aceh. Dia Dosen di IAIN Ar Raniry Banda Aceh dan juga pekerja LSM di Banda Aceh. Dia menuliskan tulisan ini "buat" saya. Mungkin bisa jadi refleksi teman - teman. Ini alamat blog nya:
http://www.rosnidasari-simahbengi.blogspot.com/
Sekitar 1,5 tahun yang lalu terjadi kasus pelecehan seksual di Aceh yang dilakukan oleh polisi pada salah seorang pekerja kemanusiaan yang bekerja di salah satu LSM di Aceh. Kebetulan yang dilecehkan itu adalah seseorang yang aku kenal.
Ceritanya begini:
Hari itu aku teringat untuk mengikuti rapat di salah satu lembaga kemanusiaan di Aceh untuk membicarakan ttg hasil evaluasi kerja teman-teman selama 1 tahun. sayangnya, saat itu aku berada di Jantho, Aceh Besar yang kira-kira 1 jam perjalanan naik mobil. Aku sms temanku, bilang bahwa aku akan datang terlambat karena masih berada di Jantho,smsku tidak dibalas. Jam 2 siang aku masih di Jantho sedangkan pertemuan diadakan jam 2. aku bilang bahwa aku akan datang terlambat. Smsku ini juga tidak dibalas.
Menurutku tidak biasanya temanku tidak membalas smsku,lalu aku telfon temanku yang lain dan kutanyakan apakah meeting akan dilaksanakan dan kukatakan juga bahwa aku mengSMS si Fulan tapi tidak dibalas. Temanku bilang bahwa Fulan ditahan di kantor polisi karena tadi malam ditangkap masyarakat karena telah berbuat mesum dikamarnya. Saat itu aku berfikiran bahwa temanku yang laki-laki ini membawa pacarnya (tentunya perempuan) kedalam kamarnya. Teman yang aku telfon ini bilang bahwa ada baiknya aku datang ke polsek tersebut untuk membesarkan hati temanku yang ditangkap polisi tadi.
Aku bergegas kesana, dan ternyata sudah banyak teman-teman (perempuan) yang datang menjenguk teman kami tadi. Saat aku masuk keruangan polisi, ternyata Fulan sedang ditemani oleh seorang perempuan (belakangan aku tahu adalah seorang pengacara), sekitar 2 orang polisi dan seorang laki-laki. Aku bertanya-tanya dimana teman wanitanya (karena dalam pandanganku seorang yang berhubungan intim itu adalah laki-laki dan perempuan). Saat berkumpul kembali dengan teman-teman diluar beranda kantor polisi barulah aku tahu bahwa laki-laki tadi adalah pasangannya temanku itu. Aku terkejut bukan main. Saat itu aku baru tau jika temanku itu adalah gay. Saat berada di ruangan polisi tadi, aku lihat temanku kumuh sekali, wajahnya lembam dan rambutnya kotor berlumpur. Begitu juga celana selutut yang dikenakannya kotor sekali. Aku sempat heran, tapi tidak bisa bertanya mengapa dia bisa begitu kotornya.
Dari pembicaraan dengan teman-teman diberanda tersebut, aku mengetahui bahwa Fulan disepak, dikencingi dan disuruh oral seks oleh polisi. Saat itu kita sempat mewacanakan kasus ini dimilis Gender Working Group, tapi tidak ada yang menyahuti.
1,5 tahun berlalu, kasus ini dibuka lagi. Kami sudah antusias bahwa kasus yang akan diadili itu adalah kasus penganiayaan yang dilakukan oleh polisi terhadap Fulan dan teman kencannya. Sayangnya saya datang terlambat, sidang sudah selesai saat saya tiba ditempat. Berita persidangan saya dapatkan dari teman-teman.
Ternyata di persidangan ceritanya berbicara lain. Hakim sama sekali tidak membicarakan tentang pengencingan dan oral seks yang dipaksakan oleh polisi. Yang dibicarakan adalah tindakan polisi yang menyepak teman saya. Hakim berkata bahwa perbuatan Polisi ini wajar karena kalau perbuatan seperti Fulan terjadi lagi maka Tsunami akan datang lagi ke Aceh. Karena perlakuan menyepak dan menendang tadi dianggap ringan (tipiring/tindak pidana ringan) oleh hakim maka para polisi tadi hanya dikenakan tahanan 3 bulan penjara dan membayar biaya sidang masing-masing Rp.1000. para terdakwa polisi ini ada 3 orang.
Meski saya bukan ahli hukum, tapi saya mersa janggal dengan apa yang dikatakan oleh Hakim. Saya berfikir, hakim adalah orang yang menengahi dan mengambil keputusan sidang, bukan orang yang menghakimi seseorang berdasarkan fikirannya sendiri. Jika seseorang sudah memilih untuk menjadi s eorang gay & lesbian, mengapa hakim mengatakan wajar orang seperti itu disepak? Bukankah hakim sendiri sudah mengajarkan kekerasan juga atas orang yang berbeda pilihan hidup dengan pak Hakim?bagaimana mungkin seorang hakim menyambut dengan antusias perlakukan kasar yang dilakukan oleh polisi pada seorang gay?
Orientasi seksual adalah pilihan. Mungkin untuk kita yang sudah terlahir laki-laki atau perempuan (dan merasa nyaman dengan itu), akan menerima begitu saja keberadaan kita sebagai laki-laki atau perempuan. Tapi jangan lupa, ada orang yang juga meski terlahir berjenis kelamin perempuan, tapi merasa bahwa ianyaman sebagai laki-laki sehingga penampilannya atau pembawaanya seperti laki-laki pada umumnya. Begitu juga laki-laki yang terlahir berjenis kelamin laki-laki tapi karena merasa bahwa ia nyaman sebagai perempuan sehingga penampilannya dan pembawaanya juga perempuan.(Meskipun pembawaan dan penampilan ini juga bukan satu-satunya factor yang menyebabkan orang memilih untuk memiliki orientasi seks yang berbeda dengan orang kebanyakan). Jadi jangan heran jika pasangan hidupnya juga akan berbeda seperti orang-orang kebanyakan.
Perbedaan seperti ini harus dihargai. Saya yakin tidak ada orang yang ingin berbeda dengan orang lain. Tidak ada orang yang ingin miskin, maka mereka mencoba merubah kemiskinannya (baik dgn cara positif atau negative), tidak ada orang yang ingin dibilang jelek dan tentu saja tidak ada orang yang ingin disebut gay atau lesbi. Saya yakin mereka juga ingin menjadi orang kebanyakan, orang yang dianggap normal oleh masyarakat mayoritas. Ingin berada di komunitas mayoritas bukan komunitas minoritas. Tapi jika memang mereka sudah memilih orientasi seks mereka seperti itu, pantaskah kita lalu menganggap mereka bukan manusia? Pantaskah kita bilang bahwa “wajar mereka dihina, disiksa dan dilecehkan, karena TIDAK SEPERTI ORANG KEBANYAKAN/ORANG YANG DIANGGAP NORMAL OLEH MASYARAKAT”???
Kita adalah manusia yang tidak punya hak untuk menentukan seseorang itu berdosa atau tidak. Urusan orientasi seksual (gay atau lesbi) jika dikaitkan dengan agama, itu adalah urusan si gay/lesbian dengan Tuhannya. Tidak ada hubungannya dengan kita. Jika selama ini seorang gay/lesbi bisa bekerja dengan baik, berhubungan social dengan orang lain dengan baik, lalu mengapa tiba-tiba kita bilang bahwa “sayang ya.. dia itu gay”. Apa hubungannya??
Ini mengingatkan saya pada seorang teman saya saat di Jogja dulu. Teman saya itu orang Jepang yang mengatakan bahwa dia tidak beragama (atheis). Saat dia pulang dari rumah saya, salah seorang teman bilang “dia baik sekali dengan orang-orang, tapi sayang ya.. dia bukan Islam”.Lho???? kenapa harus menjadi Islam jika untuk menjadi orang baik???.
Maka disinilah pentingnya untuk membuka pemikiran. Jangan jumud (merasa diri paling benar). Orang-orang minoritas juga ingin dihargai. Bukan dianggap sebagai sampah. Toh, ternyata mereka yang dianggap sebagai sampah itu banyak yang bisa bekerja secara professional dibidangnya, dibandingkan dengan mereka yang mengagung-agungkan bahwa dia orang”normal” tapi sebenarnya dialah yang sampah. Salah satunya karena tidak mampu bekerja secara professional.
Saat ini saya telah belajar sedikit tentang DUHAM (deklarasi Universal HAM), dan saya mengetahui bahwa polisi dan hakim tadi sudah melanggar beberapa pasal yang sudah disepakati secara internasional. Pasal tersebut adalah
- Pasal 1 (hak kesamaan derajat),
- pasal 2 (bebas dari diskriminasi),
- pasal 3 (hak atas hidup, kebebasan dan keselamatan),
- pasal 5 (bebas dari siksaan dan hukuman yang tidak manusiawi),
- pasal 6 (hak atas pengakuan sebagai seoarang pribadi dihadapan hukum),
- pasal 7 (hak mendapatkan persamaan dihadapan hukum),
- pasal 8 (hak mendapatkan bantuan/pembelaan didepan pengadilan),
- pasal 9 (bebas dari proses penangkapan dan penahanan yang sewenang-wenang),
- pasal 12 (bebas dari intervensi atas urusan pribadi, keluarga, rumah tangga dan hubungan surat menyuratnya)
dari 30 pasal yang ada di dalam deklarasi DUHAM maka hakim dan polisi sudah melakukan beberapa pelanggaran yang sudah saya tulis diatas, maka pantaslah jika kita katakan bahwa hakim dan polisi perlu mendapatkan traning HAM. Dan melihat dari penjelasan Kapolda NAD beberapa waktu lalu bahwa baru 8000 polisi yang detraining HAM dari 12.000 orang yang ada di NAD, maka sepertinya dipahami mengapa pelanggaran HAM yang dilakukan terhadap Fulan bisa begitu banyaknya.
Inilah sebenarnya yang menyebabkan mengapa banyak teman-teman yang membela Fulan. Banyak pelanggaran HAM yang sudah dilakukan oleh Polisi dan Hakim, yang ironisnya mereka yang seharusnya mengerti dengan jelas tentang HAM itu sendiri. Jika masyarakat sipil tidak begitu faham tentang HAM, bisa diterima. Tapi jika yang tidak mengerti itu para penegak hukum????
Comments
Salam
Toyo
bukankah sudah?