" Ketika kamu bingung dalam menghadapi sebuah masalah, tutup matamu dan bayangkan wajah mama,papa dan orang2 yang kamu sayangi, baca basmalah dan jangan pernah menitikkan air mata di kala kamu sedih, dan ketika kamu berhasil dalam mencapai sesuatu tersenyumlah untuk mereka yang kamu sayangi" (Adhitya)
…………………………
Base on the true story of Awan elshirazhy
(Berdasarkan Kisah Hidup Awan elshirazhy)
diceritakan kembali oleh Kiki Revengel
…………………………
Aku memandang anak kelas G itu yang kuketahui bernama Adhitya dengan pandangan menantang. Dia rival terberatku di kegiatan pramuka ini. Kami sama-sama di tingkat 1 ( SMP kelas 1), tapi sayang dia hanya kelas G yang nggak ada apa-apanya dibanding aku yang di kelas A. Sistem pembagian kelas di sekolahku berdasarkan tingkatan ranking prestasi tiap siswa. Yang paling pinter ada di kelas A dan yang paling jongkok iq-nya di kelas G.
Meskipun di kegiatan pramuka ini kita rival tapi nggak di pelajaran deh… Adhit memandangku juga dengan pandangan yang sama.
“Huh… liat aja nanti.. lo pasti gue kalahin..” kataku sambil menjauh darinya diikuti pandangan matanya sampai aku menjauh.
Kami melakukan kegiatan camping yang diadakan secara rutin. Sekolahku yang terletak di daerah Magelang termasuk sekolah terkenal karena semua murid berasal dari berbagai daerah di seluruh indonesia. Dan dibawah pengawasan yayasan milik TNI. Kami tinggal di barak (asrama) tapi berbeda-beda.
Aku sebel sekali waktu dikalahin teamnya dia di lomba Lintas alam. Matanya seakan memandang remeh kearahku. Dadaku seakan meledak waktu berpapasan dengannya di depan tendaku. Ingin rasanya kutinju mukanya biar penyok. Tapi kupikir aku masih punya satu keunggulan darinya. Morse… aku mahir menggunakan sandi morse. Jangankan sandi morse, sandi rumput, batu, paku dan semuanya aku kuasai dengan mudah. Dan apa yang kubayangkan akhirnya terjadi juga. Dia kalah telak dalam menggunakan sandi..
“Hehehe… otak lo kurang encer buat ngafal semuanya itu, Adhit…” Aku berbisik ditelinganya pas lomba itu selesai. Dia memandangku dengan pandangan yang sama denganku. Pandangan penuh amarah. Puas aku ngalahin dia…
Ketika latihan berbaris kulihat Adhit berdiri paling depan memimpin regunya. Aku memimpin reguku. Kulihat dia memandangku dari jauh. Aku jadi sebel dia ngeliatin aku terus. Aku mendekatinya.
“Ngapain lo liat-liat ke gue?” tanyaku ketus.
“Apa mau nantang aku lagi..?”
“Nggak kok… siapa yang ngeliatin kamu? Lo aja yang berpikiran aneh.. sana deh liat regu kamu ntar tersesat lagi..” katanya mirip ejekan.
“Awas lo….” Kataku sambil mengancungkan tinjuku kearahnya.
Begitulah sehari-hari aku dengan mahluk yang bernama Adhitya itu. Selalu saja ada pertengkaran diantara kami.
Pada suatu kali, diadakan camping lagi seperti biasanya. Dan regu kami berada di depannya regu Adhitya. Karena kakiku lecet, maka sepatu kulepaskan. Tapi tanpa kusadari, ketika melewati pemukiman penduduk, kakiku terinjak pecahan kaca. Sakit sekali rasanya. Teman-teman regu begitu histeris meluhat darah yang keluar dari kakiku banyak sekali. Mereka ketakutan sampai tak bisa berbuat apa-apa.
“Ada apa?.. “ tanya seseorang.
“Nih Awan kena pecahan kaca…. Gimana yah?? Aduh…” kata seorang teman regu dengan gugup.
Aku hanya terduduk sambil memegang kakiku.
“Sini… kulihat…” Orang itu mendekat.
Dia Adhitya. Rivalku… Kenapa orang ini? Mau ngejek aku ya?
“Udah… gue gak perlu bantuan lo… “ kataku mencoba berdiri ketika Adhit duduk di depamku. Tapi rasa sakit itu tak bisa kutahan lagi. Aku terduduk lagi.
“Udahhh sini…. “ kata orang itu sambil memandangku tersenyum.
Adhitya mengambil sapu tangan dari kantong celananya. Dibalutnya kakiku setelah terlebih dahulu membersihkannya.
“Awww…. pelan-pelan bodoh!!... lo mau bunuh gue ya?” kataku sengit. Sakit sekali berdenyut-denyut rasanya. Kulihat Adhitya tersenyum.
“Puas lo ketawain guee..?” kataku lagi. Adhit masih tersenyum. Wuih…. Ingin kutonjok mukanya saat itu.
“Yukk kita ke tenda… ntar dikasih obat.. lukanya cuman kecil kok….” Dia membungkuk didepanku.
“Ngapain lo?...” tanyaku heran. Dia menoleh kearahku.
“Naik sini… cepetan… “
Gila.. dia mau gendong gue. Aku menurut saja karena udah gak tahan lagi rasa sakit pada lukaku. Aku memeluk lehernya. Dia mengangkat tubuhku.
“Awww… jangan kuat-kuat meluk leherku… gak bisa napas..” Aku melonggarkan pelukanku.
“Biarin…. Gue pingin cekik lo sampe mati…” kataku sebel.
“Udah… cekiknya nanti aja… kalo udah di tenda… badan lo berat banget…hahhhhh….hahhhhh…” kata Adhit terengah-engah.
Akhirnya sampai juga di tenda. Aku membaringkan tubuhku tanpa memandang orang itu. Sebel aku ditolong mahluk itu.
“Awwww… sakittt…” teriakku ketika kakiku dipegangnya. Aku memandangnya marah.
“Aku ngasih obat dulu…biar gak infeksi.. tenang aja lo…” katanya sambil tersenyum
“Sok tau lo….!! pelajaran aja parah… ” Balasku.
Kata-kataku itu pasti menyakiti hatinya. Aku berharap dia tersinggung dan pergi dari sini. Aku menatapnya. Adhitya memandangku.. tapi dia tersenyum…!!! Orang aneh.
Akhirnya lima hari yang seharusnya yangat berarti bagiku di camping itu jadi sesuatu yang sangat membosankan. Apalagi ada si “mupeng” (muka gepeng) yang menjengkelkan itu. Dia ditugaskan untuk menjaga aku selama camping. Tak terbayangkan betapa menderitanya aku. Jangankan bicara dengannya, melihat dia saja aku sudah muak.
“udah nggak sakit lagi, kan?” Tanya si mupeng yang entah kenapa setia duduk menungguku di tenda.
Aku yang sedang membaca tak menghiraukan pertanyaannya. Aku hanya meliriknya yang memandang kearahku.
“Gue ganti perbannya, ya…”
Aku menjulurkan kakiku tanpa melihatnya. Hmm, enak juga punya pelayan kayak dia…
“Auuhhhhh… pelan-pelan dong!! Ntar lukanya makin parah deh…” Aku meringis kesakitan ketika dia tak sengaja memegang lukaku.
“Sori… gak sengaja..” katanya pelan.
“Gak sengaja apa lo pingin bunuh gue, ya?...” kataku sengit.
“Ntar sore udah mo pulang, kan… jadi lo harus rajin ngebersiin lukanya, biar cepat sembuh…” katanya mengingatkan. Aku pura-pura tak mendengarnya.
“Atau aku nanti ke barak lo buat liat lukanya?....” tanya dia.
“Gak perlu… gue bisa urus sendiri. Lagian apa kata orang nanti? Ada anak kelas G masuk ke kamar anak kelas A…. ihhhh… malu-maluin…”
Kulihat dia tersenyum lagi.
“Ya udah… nggak apa-apa. Yang penting udah diingatkan. Kalo lukanya infeksi… gue gak tanggung jawab ya…”
Aku jadi merinding mendengar ucapannya. Emang bener luka ini bisa infeksi? Aku menurunkan bacaanku. Memandangnya..
“Ajarin gue gimana masang perbannya… “ kataku. Aku jadi termakan dengan kata-katanya yang menakut-nakuti aku.
“Hehehe…. Takut nih ye…” tawanya.
Plak!! Buku yang kupegang mengenai kepalanya. Dia mengelus kepalanya dengan meringis.
“Ketawa lagi… gue timpuk bibir lo pake buku ini… biar memble…” kataku sengit.
Kulihat dia menutup mulutnya menahan tawa. Akhhh… gimana lagi gue ngehadapin dia??
Akhirnya dia mengajari aku memasang perban.
Comments
ditunggu kelnjtannya..
hoii, tmn2 laen, setuju???
“Perlu bantuan..?” terdengar suara di sampingku.
Aku menoleh. Eh…. Si mupeng. Ngapain dia? Aku cuek aja dan terus berjalan.
“Gak infeksi, kan?” tanya dia lagi. Aku memandangnya tajam.
“Ngapain sih, lo… pake nanya-nanya… gue baek-baek aja kok… jangan jalan sama aku sana.. “ kataku sadis. Dia hanya terdiam.
“Meskipun lo udah nolongin gue waktu itu. Bukan berarti gue harus terima kasih sama lo… juga gue gak akan nganggap lo temen. Ingat…. Kita rival di pramuka…” kataku sambil menoleh kearahnya.
Dia tidak ada disampingku. Aku menoleh kebelakang. Kulihat dia berjalan berlawanan arah denganku. Rasain kamu… dasar anak Kelas G.. bodoh-bodoh…
Pagi itu kakiku sudah tidak sakit lagi. Kini dengan langkah normal aku menuju ke ruangan kelas. Ulangan matematika saat itu. Pelajaran yang paling kusukai. Karena otakku encer jadi semua soal kulahap dengan tanpa kesulitan apa-apa. Pasti kalo si Mupeng itu sudah kewalahan dia… hehehe…tampangnya aja bodoh gitu… apalagi otaknya. Ihh…. Ngapain aku ingat dia?
Ketika makan di kantin, aku merasa aneh. Tidak ada si mupeng yang obral gombal disana. Kemana dia?
Aku berjalan kearah perpustakaan melewati kelasnya. Aku menengok kedalam kelas. Dia tidak ada juga disitu. Di perpustakaan juga. Aneh…
Besoknya juga gak ada. Lusanya juga. Sampai hari ke lima aku jadi penasaran banget. Kuhampiri Guru piket dan bertanya.
“Dia lagi sakit… di rumah sakit..” kata temannyaGuru piket itu.
Welehh… bisa sakit juga anak itu… pingin aku ngolok-ngolok dia.
Aku memandang wali kelasku. Dia memanggilku ke ruangan guru. Mo ngapain?
“Wan, kamu teman pramukanya si Adhitya, kan?...”
Aku memandang dengan kening berkerut. Kenapa dia? Apa dia sudah……. Ya ampun…
“Maksud bapak…. Si Mup… eh.. Adhitya… sudah…” tanyaku gemetaran.
“Nogmong apa sih, kamu…?? Dia di rumah sakit sekarang. Terkena Typus. Dari kelas kita, kamu saja yang pergi jenguk dia… kan kamu yang lebih dekat sama dia.
Ahh… kirain dia udah mati!! Ihh… kenapa aku yang harus kesana? Aku kan bukan temannya. Tapi ingin aku ngolok-ngolok dia disana biar tambah parah penyakitnya.
“Baik, pak…. Nanti aku kesana..permisi..”
Aku berjalan melalui beberapa kamar di rumah sakit itu. Tuh kamarnya. Kamar 3C. Aku mengetuk pintu kamar itu. Seseorang membuka pintu. Seorang wanita, mungkin ibunya.
“Permisi, bu… bisa ketemu Adhitya? Saya teman sekolahnya…”
Wanita itu tersenyum. Mempersilahkan aku masuk. Kulihat anak itu terbaring di tempat tidur yang serba putih itu. Ada jarum infus di tangannya. Tidurnya miring membelakangi kami.
“Adhit…. Nih ada teman kamu dari sekolah…”
Tubuh itu berbalik menghadap. Kulihat kekagetan di wajahnya melihatku. Aku berpaling menghindari tatapan matanya.
“Silahkan duduk, nak…. Dhit, ibu keluar dulu sebentar… biar kalian ngobrol dulu..” Ibu Adhit meninggalkan kemi berdua.
Aku duduk menghadap tempat tidurnya. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutku.
“Makasih udah jenguk aku, Wan…..” kata Adhit. suara itu bergetar.
“Eit… jangan lo ge-er dulu….” Kataku dingin sambil memandangnya.
“Gue kesini karena disuruh ama wali kelasku buat ngejengukin lo….. “
Kulihat dia tersenyum. Idih… kenapa sih dia?
“Aku pingin cepat sembuh.. biar sekolah lagi. Biar ikut pramuka lagi…” katanya sambil tersenyum.
“Iya… biar gue kalahin lo… biar lo kapok berurusan sama Awan…” kataku menyambung pembicaraan.
Adhit tertawa. Gila kali, nih anak…
Adhit bangkit sambil mengambil sesuatu. Dia ngambil gelas. Gelasnya kosong. Aku bangkit mengambilkan air hangat untuknya. Dia memandangku sambil mengulurkan tangannya mengambil gelas dari tanganku. Diminumnya obat yang lumayan banyak itu dengan sekali telan. Setelah itu dia berbaring lagi.
“Makasih, Wan….” Katanya.
Aku pura-pura tak mendengarnya.
“Kenapa sih lo sinis gitu ama gue…?” tanya Adhit pelan. Dadaku berdesir aneh mendengar pertanyaannya.
“Apa salah gue… hingga lo nganggap aku musuh. Apa karena gue cuman kelas G lalu lo gitu ama gue…??”
Aku terdiam memikirkan pertanyaannya. Apa ya? Apa salah dia ke gue? Gak ada tuh… trus kenapa gue sinis gitu ke dia? Ah,… dia rivalku di pramuka. Itu saja…. Hanya itu alasanku?
Aku terdiam seribu bahasa. Tidak ada kata-kata lagi yang keluar dari mulutku. Kami hanya saling memandang. Aku permisi pulang saja. Dia memandangku hingga di pintu.
“Lo rivalku di Pramuka…. Itu saja alasanku… ngerti kan, lo…?” Kataku dari pintu kamar. Aku berjalan keluar dari kamar rumah sakit itu.
Hari itu kami camping lagi. Tapi aku merasa aneh lagi. Tidak ada si mupeng. Kenapa dia? Padahal dia tuh antusias banget ngikutin kegiatan pramuka. Lalu gue harus gimana? Siapa lagi sih yang jadi rival gue? Jadi gak seru.
Aku bertanya ke kak pembina. Kenapa sih Adhit tidak mengikuti kegiatan ini.
“Adhitya mengundurkan diri dari kegiatan pramuka..” kata kak pembina.
Aku melongo. Lho… apa alasannya? Sakit? Dia sudah sembuh kok…
Teman -temanku yang mengetahui pengunduran diri Adhit nganggap aku penyebabnya. Apalagi teman-teman cewek yang mengidolakan dia. Mereka membenci aku. Karena aku hingga dia ngundurkan diri? Kenapa? Gue harus tanya dia…
Setelah camping yang menjemukan itu aku mencari Adhit ke kelasnya. Kulihat dia duduk sambil menulis di bangkunya. Aku duduk di bangku didepannya. Dia melihat kearahku sambil terdiam.
“Kenapa kesini?... apa gak malu, kalo anak kelas A masuk ke kelas G…??” katanya datar.
Aku hanya memandang wajah itu. Wajah yang tampan sehingga banyak teman cewek di Pramuka mengidolakan dia.
“Kenapa lo ngundurkan diri dari pramuka…?” tanyaku sambil tetap memandangnya.
Dia tersenyum. Senyum itu indah banget. Senyum yang tak kulihat beberapa hari ini di camping. Aku merindukan senyum itu.
“Aku cuman gak mau rasa benci lo padaku makin besar… kalo gak ada saingan lagi, kan lebih enak…”
Kulihat senyuman itu makin indah. Sederet gigi putihnya terlihat. Kata-kataku jadi tercekat di kerongkongan.
“Aku cuman ingin berteman sama kamu….” Katanya pelan.
Suara itu meluluhkan segala keangkuhanku. Segala halangan yang ada kini lenyap sudah. Dadaku bergemuruh.
“Maafkan gue….” Akhirnya keluar juga kata itu dari bibirku. Tak bisa lagi aku menahan rasa itu.
Aku memalingkan wajahku sambil menyembunyikan airmataku yang tiba-tiba mengalir.
Kurasakan sentuhan hangat di pipiku. Adhit memeluk kepalaku dan menyandarkan ke dadanya. Aku mengusap airmataku.
“Aku ingin berteman sama kamu… bisa kan?” tanya dia.
Aku mengangguk. Kini aku bisa merasakan kedamaian dalam hatiku. Terjawab sudah perasaanku padanya.
Kini hari-hariku bersamanya sebagai seorang sahabat dan bukan lagi sebagai rival.
Masih panjang kok....!!! don't worry....
tunggu aja kelanjutannya.
Btw, sekedar info... ini tulisan terakhir gue lho. mo istirahat dolo..
thanks ya udah baca tulisan2ku.
Jangan kelamaan buat fans2 lo nunggu y ...
Bagus lho critana..
Ngmng2 emang smp taruna ada ya??bkannya adanya sma taruna doank(setau wa sich)
trz pmbagian kelasnya brdasarkan ranking getu?
*mau tau blh kan, soalna org yg wa sukai lu2san sma taruna, b0di n wajahnya brbanding lurus, good looking..
di forum tetangga ada kah cerita ini??
atau aku baca dimana ya?
ceritanya bagus,of course,hehe