JAKARTA, RABU - Kenaikan harga BBM mengancam pendidikan di kalangan rakyat miskin. Harga BBM belum naik saja, mereka sudah kesulitan mengakses pendidikan yang berkualitas. Apalagi jika harga BBM benar-benar naik nanti.
Tatang, supir angkutan Metromini 75 jurusan Blok M-Pasar Minggu mengaku sangat pusing saat ini. Putri bungsunya sekarang duduk di kelas VI Madrasah Ibtidaiyah di kawasan Srengseng Sawah dan sebentar lagi akan lulus. Ia bingung karena memikirkan biaya pendidikan lanjutan anaknya ke Madrasah Tsanawiyah (MTs) yang setingkat SMP.
"Ya, katanya kalau mau ngelanjut ke Tsanawiyah minimal bayar lima juta. Cicilnya cuma boleh dua kali, dapat dari mana duit segitu," keluh Tatang. Tatang dan istrinya sempat berpikir akan menyekolahkan putrinya itu ke pesantren di daerah aslinya di Tasikmalaya. Namun, dirinya tidak tega karena jika putrinya harus tinggal jauh dari orang tua. "Saya bilang ke dia, kalau ngelanjutin ke SMP biasa aja gimana. Dia sih mau-mau aja, daripada nggak sekolah. Tapi itu saya masih bingung juga," tandasnya.
Ketiga anak Tatang yang lain juga maksimal tamat di tingkat sekolah menengah umum. Anak pertama dan kedua cuma tamat SMP, sedangkan yang ketiga cukup beruntung, bisa tamat SMEA.
Orang-orang seperti Tatang bisa saja akan bertambah banyak dengan kenaikan harga BBM. Pasalnya, kenaikan harga BBM dapat menimbulkan efek domino ke kehidupan masyarakat, jangankan masyarakat miskin ke bawah, bahkan untuk masyarakat menengah.
"Kenaikan harga BBM akan mengancam kalangan miskin dalam mengakses pendidikan. Hak dan keberlangsungan pendidikan mereka akan semakin suram. Sebab mereka akan kesulitan untuk bersekolah. Masyarakat akan lebih mementingkan urusan perut ketimbang pendidikan," ujar Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PKS Aan Rohanah di Jakarta, Rabu (21/5).
Aan juga menambahkan akan banyak pelajar dan mahasiswa dari keluarga miskin yang drop out karena mereka kesulitan untuk mengikuti kegiatan pendidikan secara efektif. Pemicunya tentu saja adalah tingginya biaya hidup dan operasional pendidikan yang harus ditanggung, di antaranya biaya transportasi, harga beli buku pelajaran dan alat tulis yang semakin tinggi.
Oleh karena itu, menurut Aan, kenaikan harga BBM harus diikuti strategi khusus untuk kebijakan pendidikan. "Pemerintah harus benar-benar menyediakan dana tunai sebesar 20 persen dari APBN untuk sektor pendidikan sebagai konsekuensi dari kenaikan harga BBM ini," tandas Aan. (LIN)
Comments
klo BBM naek ya pasti penumpang metromini otomatis naekin dr harga biasa..
n otomatis jg gaji sopir metromini jg bakal dinaekin jg...
gt aja sih pendapat gue...
klo salah ya maaf2 aja...
RIZA FATHONI
Persiapan Distribusi Kupon BLT Petugas Kelurahan Sumur Batu, Kemayoran, Jakarta memisahkan kupon Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang akan dibagikan kepada warga berdasar rukun warga masing-masing, Selasa (20/5). Pemerintah akan menggunakan data lama dalam menyalurkan bantuan langsung tunai atau BLT tahun 2008. Ini disebabkan, dari 6.300 kecamatan di seluruh Indonesia, baru 1.000 kecamatan yang datanya sudah diperbarui oleh Badan Pusat Statistik atau BPS. Kompas/Riza Fathoni (RZF) 20-05-2008Kamis, 22 Mei 2008 | 14:51 WIB
Suparman (35), tukang ojek yang sering mangkal di depan Museum Nasional Jakarta, sekitar 100 meter dari Kantor Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, sudah menentukan skenario untuk bertahan hidup seandainya pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak atau BBM. Skenarionya hanya satu, yaitu pasrah. Bagi bapak dua anak ini, kenaikan harga BBM hingga 30 persen berarti beban ekonomi tambahan yang tak tergambarkan. Sebagai tukang ojek, dia tidak bisa seenaknya menaikkan tarif. Salah-salah menetapkan tarif, konsumen malah "lari".
Kalau ada pelanggan yang minta diantar ke suatu tempat yang jauh, pendapatannya mungkin agak lumayan. Namun, itu berarti Suparman harus mengalokasikan bensin lebih banyak. Bensin 8 liter yang biasa ia beli per hari mungkin tidak cukup. Untuk membeli 8 liter bensin cukup mengeluarkan Rp 36.000 dengan harga per liter Rp 4.500. Namun, jika harga bensin naik 30 persen menjadi Rp 6.000 per liter, setidaknya Suparman butuh Rp 48.000. Itu berarti uang susu anaknya bisa tersedot. "Kalau BBM naik 30 persen, berarti harga bensin naik jadi Rp 6.000 per liter. Harus berapa saya pasang tarif," ujarnya.
Padahal, belakangan ini untuk mendapat Rp 10.000 saja bagi Suparman sudah sangat sulit karena banyak orang yang memilih naik bus kota, sebab tarifnya memang lebih murah. Pasrah adalah yang terbaik bagi Suparman. Mengharapkan bantuan dari pemerintah hampir mustahil, bahkan sekadar berharap mendapatkan bantuan langsung tunai (BLT) pun tak terbayangkan baginya. Pemerintah mencatat ada 19,1 juta rumah tangga miskin yang menurut kriteria Badan Pusat Statistik (BPS) berpendapatan Rp 175.000 per bulan. Mereka digolongkan sebagai kelompok masyarakat miskin dan mendekati miskin, calon penerima BLT.
Kenaikan harga BBM diperkirakan akan semakin menekan daya beli masyarakat miskin. Untuk mengatasi itu, pemerintah menargetkan BLT siap didistribusikan pada 23 Mei 2008. Nilainya Rp 100.000 per keluarga per bulan. Namun, hingga Februari 2008, belum ada kabar soal pembagian BLT. Saat itu pemerintah belum memilih opsi menaikkan harga BBM di dalam negeri. Namun, pada Mei 2008 muncul alternatif menaikkan harga BBM seiring persetujuan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, kapan harga BBM dinaikkan hingga kini masih menjadi "rahasia" pemerintah.
Menurut Staf Khusus Menko Perekonomian Bidang Penanggulangan Kemiskinan Bayu Krisnamurthi, penentuan BLT terdorong niat pemerintah menaikkan harga BBM. ”Jika tidak ada kenaikan harga BBM, tidak akan ada program bantuan tambahan seperti BLT,” ujarnya.
Pemerintah menyadari BLT tak akan menutup seluruh kebutuhan masyarakat miskin. BLT hanya menopang kemampuan keuangannya agar tetap dapat membeli bahan bakar, atau setidaknya soal kesehatan atau pendidikan, tidak terganggu. Pemerintah mengaku mengerti pelaksanaan BLT tahun 2005 dan 2006 tidak sempurna. Ada kebocoran 5,83 persen. Namun, BLT tetap menjadi andalan pemerintah untuk memberikan kompensasi bagi masyarakat miskin saat harga BBM dinaikkan. "Tolong, jangan sampai kekurangan yang 5 persen ini dijadikan alasan menghentikan BLT karena ini pun sudah kurang, apalagi kalau sampai BLT digagalkan," tutur Bayu.
Akurasi data
Kontroversi di sekitar penyaluran BLT tidak hanya soal jumlah dana yang dibagikan, tetapi juga akurasi data keluarga miskin. Dari 6.300 kecamatan di Indonesia, baru 1.000 kecamatan yang dimutakhirkan datanya. Kepala BPS Rusman Heriawan mengatakan, pemutakhiran data di 1.000 kecamatan bukan dalam kerangka BLT, melainkan Program Keluarga Harapan (PKH). PKH dan BLT sama- sama bantuan tunai. Bedanya, PKH diberikan bagi keluarga miskin tertentu. Misalnya, ada ibu hamil yang diberi uang untuk mengecek kehamilannya atau yang anaknya sekolah untuk biaya sekolahnya.
PKH adalah BLT bersyarat. BLT yang dibagikan Mei adalah bantuan tunai, persis seperti tahun 2005 saat terjadi dua kali kenaikan harga BBM. Pemutakhiran menyeluruh di 6.300 kecamatan baru dilakukan BPS pada September 2008. Artinya, tiga bulan setelah BLT putaran pertama tahun ini dibagikan.
Kondisi itulah yang dikhawatirkan pengamat ekonomi Econit, Hendri Saparini. Ia mengatakan, BLT muncul tanpa perencanaan matang. Tidak direncanakan dalam rencana kerja pemerintah mana pun juga, baik di APBN 2008 maupun APBN Perubahan 2008. Pemerintah hanya punya sekitar 15 hari untuk menjalankan program saweran ini. Artinya, BLT tidak didahului proses pembelajaran apalagi survei. "Penetapan besaran uangnya diputuskan tanpa studi dan perhitungan yang jelas. Kita tidak tahu kebutuhan masyarakat miskin sesungguhnya setelah daya beli mereka digerogoti inflasi akibat kenaikan harga BBM. Ini kebijakan yang sejak awal diketahui bisa tidak tepat sasaran, tetapi dipaksakan," ujar Hendri.
Padahal, pada tahun 2005 dan 2006, BPS butuh waktu empat bulan untuk menyurvei 19,1 juta keluarga sasaran BLT. Itu pun masih bocor 5,83 persen. Kekhawatiran Hendri beralasan. Bayangkan, bila ada satu saja keluarga miskin yang tidak masuk daftar penerima BLT, sementara tetangganya masuk dalam daftar, ini bisa berkembang menjadi isu ketidakadilan. Selain itu, pemerintah baru siap menyalurkan BLT tahap pertama di 10 kota, yakni Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Medan, Palembang, Banjarmasin, Makassar, dan Kupang. Kota lainnya baru dua bulan kemudian.
Artinya, ada penduduk miskin di 441 kabupaten dan kota dari total 451 kota/kabupaten yang tidak mendapat BLT saat pemerintah menaikkan harga BBM. "Siapa yang akan mengompensasi beban ekonomi mereka dua bulan itu?" kata Hendri.
Hendri berharap pemerintah menyadari situasi tersebut. Satu-satunya jalan menghindarkan kesulitan adalah menunda kenaikan harga BBM. Harga BBM bisa dinaikkan setelah pemerintah siap membagikan BLT ke seluruh penduduk miskin yang membutuhkan. "Kalau dipaksakan saat ini, akan banyak lubang-lubang kelemahan BLT," tutur Hendri.
Namun, bagi pemerintah, konsep tentang keadilan tersebut berbeda. Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan Anggito Abimanyu menyebutkan, kini sudah terjadi ketidakadilan. Subsidi energi yang seharusnya meringankan kaum miskin justru dinikmati orang kaya. Jika pemerintah tidak menaikkan harga BBM, berarti subsidi BBM hingga akhir 2008 akan mencapai Rp 190 triliun. Padahal, 70 persen dari subsidi itu dinikmati 40 persen orang paling kaya di negeri ini. Artinya, Rp 142,5 triliun subsidi BBM tidak dinikmati orang seperti Suparman, tetapi oleh pemilik kendaraan mewah. "Bandingkan dengan anggaran program penanggulangan kemiskinan yang ditetapkan hanya Rp 60 triliun. Subsidi BBM menjadi sangat tidak adil. Agar adil, makanya kami ingin mengurangi subsidi BBM, tetapi tetap melindungi kepentingan yang lebih luas, misalnya bahan bakar untuk angkutan umum," ujar Anggito. (Orin Basuki/Kompas)