oleh : Prof. Siti Musdah Mulia (Peneliti Bagian Islam Untuk Litbang LIPI)
Halaman sebelumnyaMasyarakat kita senang dipuji sebagai masyarakat religius, tetapi religiusitas mereka sangat terkait dengan simbol-simbol agama, bukan dengan esensi agama itu sendri. Esensi ajaran agama adalah memanusiakan manusia, menghormati manusia dan memuliakannya. Tidak peduli apa pun ras, suku, warna kulit, jenis kelamin, status sosial, dan orientasi seksualnya. Bahkan, tidak peduli apa pun agamanya. Dalam konteks ini maka tidak ada perbedaan antara lesbi dan bukan lesbi. Demikian pula antara gay dan bukan gay. Di mata Tuhan, manusia semata-mata dinilai berdasarkan prestasi takwanya, dan bicara soal takwa hanya Tuhan yang punya hak prerogatif menilai, bukan manusia. Manusia cuma bisa berlomba berbuat amal kebajikan sesuai perintah Tuhan (fastabiqul kharat). Islam mengajarkan bahwa seorang lesbi sebagaimana manusia lainnya, sangat berpotensi menjadi orang yang saleh atau taqwa selama dia menjunjung tinggi nilai-nilai agama, yaitu tidak menduakan Tuhan (syirik), meyakini kerasulan Muhammad saw serta menjalankan ibadah yang di perintahkan. Dia tidak menyakiti pasangannya dan berbuat baik kepada sesama manusia, baik kepada sesama makhluk dan peduli kepada lingkungannya.
Masyarakat cenderung menilai kesalehan atau ketakwaan seseorang berdasarkan pada aspek-aspek susila ketimbang sosial. Tidak heran jika kalangan agama lebih peka pada persoalan lesbian, pornografi, prostitusi, homoseksualitas daripada problem sosial yang nyata, seperti kekerasan, kemiskinan, busung lapar, korupsi, kerusakan lingkungan, dan trafficking Itulah ironisnya! Lalu bagaimana dg kisah Nabi Luth yang dikisahkan dalam Al-Qur’an ( al-A’raf 80-84 dan Hud 77-82)? Sepanjang bacaan saya terhadap kisah ini, tidak ada larangan secara eksplisit baik utuk homo maupun lesbi. Yang dilarang adalah perilaku seksual dalam bentuk sodomi atau liwath. Umumnya, masyarakat mengira setiap homo pasti melakukan sodomi untuk pemuasan nafsu biologisnya, padahal tidak lah demikian. Sodomi bahkan dilakukan juga oleh orang-orang hetero.
Setiap manusia, apa pun orientasi seksualnya sangat potensial untuk menjadi religius. Sayangnya, penilaian religiusitas di masyarakat cenderung mengandalkan simbol-simbol agama yang pada gilirannya membawa seseorang lebih mementingkan aspek luar seperti jenis kelamin, orientasi seksual dan semacamnya. Pemahaman keagamaan yang kehilangan esensinya sangat berbahaya. Sebab, yang tersisa hanyalah simbol-simbol yang dapat digunakan oleh siapa saja, di mana saja, dan untuk kepentingan apa saja. Setiap orang lalu mengklaim simbol-simbol tadi sebagai indikasi perilaku kesalehan atau ketakwaan, dan di sinilah awal mula kehancuran dalam peradaban manusia. Agama yang hidup di masyarakat sama sekali tidak memberikan pilihan kepada manusia. Dalam hal orientasi seksual misalnya, hanya ada satu pilihan, heteroseksual. Homoseksual, lesbian, biseksual dan orientasi seksual lainnya dinilai menyimpang dan distigma sebagai dosa. Perkawinan pun hanya dibangun untuk pasangan lawan jenis, tidak ada koridor bagi pasangan sejenis. Perkawinan lawan jenis meski penuh diwarnai kekerasan, esksploitasi, dan kemunafikan lebih dihargai ketimbang perkawinan sejenis walaupun penuh dilimpahi cinta, kasih sayang dan kebahagiaan.
Penelitian saya terhadap 106 ayat Al-Qur’an yang bicara soal perkawinan menyimpulkan prinsip-prinsip perkawinan Islam sebagai berikut: prinsip monogami (tawahhud al-zawj). Perkawinan dilakukan atas prinsip kerelaan (al-taraadli), kesetaraan (al-musaawah), keadilan (al-'adaalah), kemaslahatan (al-mashlahat), pluralisme (al-ta'addudiyyah), dan demokratis (al-dimuqrathiyyah). Tujuan perkawinan adalah: untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang bahagia dan sejahtera (sakiinah) berlandaskan cinta dan kasih sayang (mawaddah dan rahmah); dan untuk memenuhi kebutuhan biologis secara legal, sehat, aman, nyaman, dan bertanggungjawab. Konsekuensinya, pengertian perkawinan menjadi: “Akad yang sangat kuat (mitsaaqan ghaliidzan) yang dilakukan secara sadar oleh dua orang untuk membentuk keluarga yang pelaksanaannya didasarkan pada kerelaan dan kesepakatan kedua belah pihak.”
Bahkan, menarik sekali membaca ayat-ayat Al-Qur’an soal hidup berpasangan (Ar-Rum, 21; Az-Zariyat 49 dan Yasin 36) di sana dijelaskan bahwa berpasangan itu tidak terkait dengan unsur jenis kelamin biologis. Artinya, berpasangan itu tidak mesti selalu dalam konteks hetero, melainkan bisa homo. Maha suci Allah yang menciptakan manusia dengan orientasi seksual yang beragam. Sayangnya tidak banyak manusia mau memahami ragam ciptaan-Nya. Wallahu a’lam bi al-shawab.
http://www.icrp-online.org/wmview.php?ArtID=597&page=2
Comments
Bukane aku religy banget gto, tapi dia kan klo menafsirkan ayat² dalam Al-Quran itu kan ada ilmunya, gak diartikan secara harfiah!
n setauku klo profesor itu memang menganut paham kebebasan.....
kenapa harus islam terus??? :roll: