It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Hatiku berdegup kencang ketika meniti redan. Pelan-pelan, akhirnya aku tiba di ruangan dalam Jambur. Aku melihatnya berdiri di depan pintun perik, menerawang ke luar seolah tak peduli dengan kedatanganku. Perlahan aku mendekatinya. Dia masih membelakangiku. Aku terdiam, terbawa ikut menerawang dari balik pundaknya. Pandanganku menyelinap ke luar pintun perik itu, ke hamparan sabah yang tengah menguning di bawah kaki bukit-bukit hijau di kejauhan. Senyap, kami diam terpaku.
Boma, dia seseorang yang sangat dekat di hatiku. Ada perasaan yang tak kuduga bisa tumbuh di hati kami. Perasaan yang akhirnya seperti menjebakku dalam rasa resah ini.
“Aku harus pergi hari ini, Boma. Aku ingin kau melepasku. Buat aku lebih yakin bahwa aku bisa pergi tanpa kehilangan kamu di hatiku...” desahku pada akhirnya, tertimbun resah.
Boma masih membisu, diam seperti membeku. Dengan menahan rasa sedihku aku masih mencoba mencairkan hatinya. “Kau mengerti cita-citaku sejak kita berkarib. Kita saling mengerti bahwa saat seperti ini pasti datang. Ini saatnya, Boma. Aku ingin kita berpisah dengan suasana yang baik.”
Boma seketika membalikkan badannya, menatapku. Dengan gemetar dia membuka kata-kata, “Berkarib? Bukankah tak cukup hanya itu? Apa kau mengatakan itu supaya kau lebih mudah untuk pergi?”
“Boma, aku pergi bukan untuk berhenti menyayangimu… Aku pergi demi cita-cita…” jawabku. Aku terdiam lagi. Tapi akhirnya aku tak mampu menahan gejolak batin yang selama ini paling membuatku resah. “Dan supaya perasaan kita tidak menjadi lebih dari ini…” tercekat hatiku saat kalimat itu terlontar dari mulutku.
Boma menatap mataku. Terlihat ada rasa sakit dalam dirinya. “Kenapa?” ucapnya lirih tapi tajam. “Jadi selama ini apa…?”
“Aku tak mengingkari apa yang sudah kita jalani. Tapi jangan lebih dari itu, Boma… Aku takut kalau itu nanti jadi dosa…” jawabku getir.
“Aku tak tahu dosa itu apa! Katakan padaku dosa itu apa?!!!” bentak Boma gundah.
“Dosa karena melanggar aturan Tuhan, Boma! Terimalah kenyataan! Kita tak mungkin menjalani lebih dari ini! Siapa yang akan mengijinkan kita?!!” balasku meluap-luap. “Aku hanya ingin kau membiarkan aku pergi dengan baik-baik…” ucapku kelu.
Boma menunduk. Bibirnya gemetar. “Aku tak siap… Aku takut kau tak akan mengingatku lagi… Kalau Tuhan saja menghalangi kita, apa yang bisa aku harapkan kalau kau benar-benar pergi? Meski kita tak bisa jadi satu seperti orang lain, setidaknya kau jangan pergi dariku…”
Kata-kata Boma terasa menghantamku. Dadaku rasanya seperti luruh, lututku seakan mau runtuh. Aku menghela nafas mengatur diri. Aku menatap Boma lekat-lekat. Aku mulai melembutkan hatinya lagi, “Ini hanya sementara Boma, bukan selamanya… Kau masih tetap yang terdekat di hatiku lebih dari orang lain…Masih…”
Boma menunduk, mengusap matanya yang basah. “Aku pasti kembali…” janjiku padanya.
Akhirnya langkahku meniti tapak demi tapak meninggalkan Jambur itu. Aku menoleh lagi ke belakang untuk sesaat. Boma di sana berdiri, di depan Jambur menyaksikan kepergianku. Segera kupalingkan wajahku lagi. Aku tak sanggup meresapi kesedihan lebih dalam. Karena aku ingin tetap berdiri di atas keyakinanku. Aku akan berangkat ke Jawa hari ini. Demi masa depan yang tak mungkin kugantung pada sikap naïf terhadap perasaan dalam hatiku.
Kulewati sabah, menembus alunan sedih kulcapi dan suling yang dimainkan para petani yang tengah istirahat. Gunung Sibayak yang megah berwarna kebiruan seolah ingin memahami kegalauanku. Tapi aku harus tegar meninggalkan Tanah Karo yang aku cintai ini. Tegar meninggalkan semua yang aku sayangi. Tegar meninggalkan Boma…
Langkah demi langkah kutinggalkan. Dalam hati aku berbisik. “Selamat tinggal…”
***
Suasana di rumah ini sungguh riuh. Seharian orang-orang di rumah ini sibuk mengemasi barang-barang mereka. Rasanya damai berada di tengah keluarga yang begini hangat. Berlelah-lelah, kemudian beristirahat dalam cengkrama sambil menjamu diri dengan makan minum bersama. Bagiku merupakan sebuah masa-masa pertemuan yang menyenangkan.
Keluarga Batak memang memiliki solidaritas klan yang kuat. Di Jakarta ini, selama kuliah aku ikut tinggal dengan Tulang Hotma yang merupakan adik dari ibuku. Kebetulan keluarga Tulang-ku ini juga belum memiliki anak, sehingga aku sudah dianggap seperti anak mereka sendiri. Di rumah Tulang-ku, juga ikut tinggal Tulang Dama. Tulang Dama sebenarnya juga bukan keluarga sedarah secara langsung. Hanya karena marga yang sama dan sebuah rasa kepercayaan, Tulang Hotma mengijinkan Tulang Dama untuk tinggal di rumah ini sejak kira-kira sebulan yang lalu.
Sore nanti, kami akan berangkat untuk pulang ke kampung halaman kami. Keluarga besar kami berniat merayakan wisudaku beberapa hari lalu. Aku anak semata wayang dari kedua orang tuaku, aku merasa bangga bisa membuat mereka bangga padaku. Tulang Dama ternyata juga berniat ikut seperjalanan dengan kami, karena dia tampaknya juga ingin pulang ke kampung halamannya.
“Kau telah lulus Sarjana Theologia, keluarga pasti sangat bangga padamu...” ucap Tulang Dama memecah lamunanku yang tengah istirahat di ruang samping rumah. “Tapi aku berpesan satu hal padamu.”
“Apa itu, Tulang?” tanyaku tertarik.
Tulang Dama duduk di sampingku. “Janus, aku tahu kau ingin menjadi pelayan Tuhan. Layanilah dengan jujur. Aku sudah kenyang dengan pelayan Tuhan 'jadi-jadian', yang khotbahnya dijual hanya untuk cari untung. Jangan seperti mereka!” ujar Tulang Dama.
“Aku mengerti...” jawabku dengan anggukan kecil.
“Ya. Dulu aku juga sudah pernah menceritakannya padamu…” sahut Tulang Dama.
“Sudahlah... Kau mau menceritakannya lagi? Janus tak akan seperti itu...” Tulang Hotma tiba-tiba datang menimpali Tulang Dama.
Tulang Dama tersenyum. Ya, dia memang sudah beberapa kali bercerita padaku tentang masa lalunya.
Tulang Dama pernah bercerita tentang pemberontakan yang katanya dilakukan oleh PKI, yang terjadi pada tahun 1965. Orang-orang komunis menjadi buronan aparat militer. Kelompok-kelompok agama ikut memburu orang-orang komunis itu dengan alasan menumpas atheisme. Mereka menjagal orang-orang komunis itu, membantai dengan tak kalah kejam.
Suatu ketika Tulang Dama menemukan seorang pemuda yang baru lepas remaja, bersembunyi di kamar asramanya. Pemuda itu ternyata seorang buronan, dia meminta perlindungan kepada Tulang Dama. Pemuda itu berkata bahwa dia tak tahu apa-apa. Tapi malang, aparat militer tahu lalu segera menangkap pemuda itu. Tulang Dama menyaksikan dia dibantai oleh aparat militer dan laskar-laskar dari kelompok agama di sebuah lapangan, bersama buronan-buronan yang lain.
Tulang Dama pun tak luput dari masalah. Dia didakwa melindungi orang komunis. Dia dijebloskan ke penjara tanpa bisa membela diri. Beberapa bulan saja dipenjara membuat perubahan besar dalam hidupnya. Dia tak diterima lagi ketika akan meneruskan studinya di sebuah sekolah theologia di Jogja. Keluarga yang mendengar kabarnya memaki-maki dirinya. Dia dianggap sama dengan orang komunis, musuh orang-orang beragama.
Ayah Tulang Dama jadi sakit-sakitan sejak tahu masalah yang menimpa anaknya di Jawa. Hingga akhirnya Tulang Dama harus pulang ke kampung halamannya untuk mengiring pemakaman ayahnya, menyusul ibunya yang sudah lebih dulu meninggal. Sejak itu, katanya dia lantas merantau ke Jakarta hingga sekarang.
“Tak usah kau ulangi lagi cerita soal pelayan-pelayan Tuhan yang mengambil untung dari pertobatan massal orang-orang komunis, atau apa sajalah yang intinya sama...” ujar Tulang Hotma kepada Tulang Dama dengan nada menyindir “Sudahlah. Percayalah Janus sudah dididik untuk jujur.” timpalnya lagi sambil menepuk bahuku seraya tersenyum hangat.
Siang itu cukup canda tawa kami lewatkan bersama. Siang itu mungkin juga akan menjadi kebersamaan kami yang terakhir di rumah itu bersama Tulang Dama. Sore nanti kami akan menuju Bandara Soekarno-Hatta. Kami akan terbang menuju kampung halaman kami di Tanah Karo.
Di sela-sela detik-detik terakhir kebersamaan kami di rumah itu, aku sekejap menatap lekat-lekat wajah Tulang Dama. Usianya mungkin sudah di ambang 60-an. Hidupnya seolah terlalu banyak dihiasi duka, sehingga meninggalkan kerutan sedih yang tak terhapus di wajahnya. Mungkin juga kesepian yang amat sangat... Setahuku dia tak pernah menikah.
Tulang Dama pernah berkata padaku..., katanya wajahku mirip dengan seseorang... Entah siapa. Tapi sudahlah. Saatnya bersiap-siap untuk berangkat ke bandara.
***
Aku tiba di depan pekarangan besar, di mana berdiri rumah Siwaluh Jabu yang sudah sangat tua namun masih tetap kokoh. Sebuah rumah kebanggaan keluarga Karo, namun kini sudah tak berpenghuni lagi. Aku lalu berjalan melewati pohon-pohon rindang di areal yang tak terurus itu, hingga aku sampai di depan sebuah bangunan yang lain. Aku berdiri di depan Jambur. Bangunan dari masa lalu yang kini telah kusam dikalahkan oleh jaman.
Aku mencoba meniti redan setelah aku yakin akan kekokohan bangunan tua itu. Melewati pintu, aku akhirnya berada di ruangan dalam Jambur. Memori dari masa lalu seketika menyelimuti ruang ini, membawaku menembus waktu-waktu yang telah lama kutinggalkan...
Lama aku telah meninggalkan tempat ini. Pintun perik itu masih di situ, tempat di mana dulu aku bersama Boma sering menatap indahnya Gunung Sibayak dengan sabah dan juma berhamparan di kakinya. Dulu dia sering memelukku, begitu juga aku suka memeluknya, dan dengan pandai menutupinya dari orang-orang yang tak sempat melihat sedekat apa kami sebenarnya. Ketika kami sedang mengintip alam dari jendela itu pula, aku pernah memberi sebuah kecupan di pipinya.
Kini kulihat pemandangan di luar melalui jendela tua itu. Tak ada lagi sabah yang luas. Hanya ada bangunan-bangunan baru yang tak berdiri dengan rapi. Tapi masih mampu kubayangkan seperti apa dulu. Di pinggiran sabah dulu ada parit kecil yang deras dan sejuk airnya. Aku dan Boma sering bercengkrama di pinggir parit itu sambil mencelupkan kaki kami ke air. Lalu Boma memainkan kulcapi, dan aku melantunkan nyanyian-nyayian alam berbahasa Karo. Di saat seperti itu juga, dulu aku sering mengajarinya lagu-lagu gereja.
Aku kembali mengalihkan pandanganku ke dalam ruangan. Kayu-kayu tua yang menjadi dinding Jambur itu menjadi saksi keakrabanku dengan Boma. Kami dulu juga suka bercengkrama di ruangan ini. Aku ingat dulu Boma pernah mengajariku menganyam tali ret-ret berbentuk dua binatang cicak untuk mengikat tiang rumah. Jari Boma tersayat pisau, dan aku yang membalutnya dengan kain. Kami sering tidur di ruang itu sambil merasakan belaian angin yang masuk dari pintun perik dan membawa suara kulcapi dan suling yang dimainkan petani di kejauhan.
Tak seorang pun mencurigai kedekatan kami. Kami sebenarnya juga tak pernah melakukan apapun yang melanggar norma umum di adat kami, meski aku dan Boma saling mengerti seperti apa perasaan kami sesungguhnya. Kami saling mencintai. Kami sebagaimana layaknya dua pemuda karib di akhir usia belasan. Kelaziman yang berlaku, tak memberi kami harapan untuk melakukan lebih dari yang telah kami lakukan. Aku menyadari kenyataan itu. Dan sebagai seorang yang dibesarkan dalam keluarga religius, di antara cinta dan keinginan untuk selalu dekat dengannya, suatu ketika aku merasa khilaf.
Aku ragu untuk meneruskan ungkapan rasa cintaku, di saat Boma justru semakin bergantung pada kedekatan kami. Dia tak memiliki orang lain yang sedekat aku di hatinya. Dia ingin aku bertahan di dekatnya meskipun hubungan kami tak akan mendapat tempat di tengah orang lain. Tapi aku semakin takut terhadap apa yang disebut orang sebagai 'dosa'.
Dalam khilaf saat itu, aku merasa cita-citaku dapat menyelamatkanku dari cinta yang tak 'diijinkan' itu. Aku adalah anak tunggal dari kedua orang tuaku. Aku meninggalkan Boma ketika ayahku ingin aku meneruskan pendidikan ke sekolah theologia. Aku meninggalkan Boma saat itu. Aku berat, dia pun berat. Aku mencintainya, tapi ada rasa takut dalam diriku untuk memilikinya sepenuhnya.
Aku masuk ke sekolah theologia di Jogja dengan membawa rekomendasi dari Tulang-ku yang menjadi salah satu pengajar di sana. Belajar theologia menjadi cita-cita sekaligus 'persembunyianku'. Berharap aku bisa menjadi pendeta, melayani Tuhan, dan menghindari dosa yang dapat terjadi karena cintaku pada Boma, cinta yang jatuh pada seorang laki-laki yang sama seperti diriku.
Tapi aku tak mampu menebak takdir. Ya. Aku tak pernah menduga kalau peristiwa tahun 1965 ternyata mengacaukan harapanku, jalan hidupku. Bahkan telah merobohkan imanku selama ini.
Dulu aku sempat kembali ke desa ini pada waktu pemakaman ayahku. Itu lima tahun setelah aku hidup di Jawa untuk sekolah theologia dan menjalani masa-masa pahit yang tak terduga. Tapi aku tak menyangka... Kepulanganku saat itu juga untuk mendengar kabar pahit yang lain.
Demam tinggi... begitulah orang-orang memberitahuku penyebab meninggalnya Boma. Aku menziarahi makam Boma dengan air mata yang hampir tak berhenti seharian. Lima tahun tak kusangka begitu cukup untuk mendatangkan segudang kesedihan yang tak akan lenyap sampai seumur hidupku.
Boma adalah laki-laki yang selalu kucintai. Dia adalah laki-laki yang pernah aku tinggalkan, tapi kini akulah yang merasa telah kehilangan dirinya karena dia meninggalkanku. Aku tak merasa terlambat untuk menyadari bahwa cintanya adalah cinta sejati bagiku, tapi aku merasa terlambat menepati kata-kataku bahwa aku akan kembali lagi ke tempat ini, tempat di mana cinta kami tumbuh. Aku tak sempat memeluknya ketika berpisah dulu, ketika aku kembali aku pun tak bisa memeluknya.
Tigapuluh lima tahun aku merantau ke Jakarta tanpa pulang ke desa ini lagi. Tigapuluh lima tahun aku takut kembali ke Tanah Karo karena merasa terlalu muda untuk hidup di tempat yang penuh dengan kenangan pahit. Tapi kini, apa yang harus aku takuti? Umurku sudah cukup tua untuk takut dengan apapun. Aku tinggal melewati sedikit tahun lagi untuk menjemput saat-saat terakhirku. Dan aku memutuskan menjalaninya di tempat terindah dan terpahit dalam hidupku. Di tanah kelahiranku.
Aku beranjak meninggalkan Jambur tua yang penuh kenangan itu. Aku berjalan melewati jalanan tanah di tengah suasana yang telah jauh berbeda dengan puluhan tahun lalu. Kutinggalkan rumah Siwaluh Jabu yang telah dilupakan tuannya itu, yang akan segera runtuh dikalahkan jaman. Hanya Gunung Sibayak, yang masih dengan biru sendunya seperti dulu.
“Tulang Dama... sudah?” Janus menyambutku.
Aku menghampiri Janus yang dari tadi menunggu di ujung jalan. “Sudah di tempat ini. Tapi tolong antarkan aku ke satu tempat lagi...” pintaku pada Janus. Dia mengangguk. Kami pun segera masuk ke dalam mobil. Janus duduk di kursi setir dan aku duduk di sampingnya.
Sambil berjalan, di dalam mobil aku mencoba mengingat arah ke makam Boma. Aku mencium bunga mawar putih yang tadi kupetik beberapa tangkai dari pekarangan di depan Jambur. Aku ingat, Boma suka dengan aroma bunga itu. Aku sesekali melirik ke wajah Janus, anak muda yang wajahnya selalu mengingatkanku pada wajah Boma yang kuingat polos dan teduh...
Aku hanya bisa menghela nafas dalam-dalam melarutkan semua kepenatan bermain dengan angan-angan. Aku merasa suntuk mengarungi banyak peristiwa dalam kehidupan. Kini aku ingin istirahat dengan semua rasa cinta dari masa lalu yang masih tersisa, di Tanah Karo yang aku cintai...
***end***
Penjelasan istilah:
- Siwaluh Jabu: rumah tradisional masyarakat Batak Karo, yang didiami antara 4-16 keluarga.
- Jambur: rumah lain di sekitar Siwaluh Jabu yang berfungsi sebagai tempat pertemuan keluarga, tempat tidur anak yang sudah berusia di atas 14 tahun atau masih bujangan, dan juga sebagai lumbung padi.
- Redan: tangga untuk menaiki Jambur atau Siwaluh Jabu.
- Pintun Perik: jendela yg terdapat pada ruang Jambur ataupun Siwaluh Jabu.
- Tali ret-ret: simpul tali untuk mengikat tiang rumah.
- Sabah : sawah.
- Juma: ladang.
- Kulcapi: kecapi tradisional Karo.
- Suling: alat musik tiup tradisional Karo.
- Tulang: saudara laki-laki dari ibu (paman).
Hmm.... Entah kenapa gw udah bisa nebak dr awal crita klo si Boma bakalan meninggal...
So klimaksnya gw gak dapet
Tp scr keseluruhan mantap lah cerpennya
Peace..!
di cerita ini memang aku sendiri nggak merasa endingnya jadi klimaks. karena yang ada di pikiranku waktu membuatnya, aku ingin menggambarkan perasaan sesal dan hambar dr tokoh utama karena dia tak punya kesempatan lagi untuk memperbaikinya.
aku juga menulis cerita ini sebagai semacam angan-angan karena ketakjubanku pada budaya dan suasana kehidupan Batak. aku lebih bermain di bagian 'atmosfernya' dan bukan di bagian runtutan konflik. jadi memang akhirnya aku kehilangan klimaks untuk cerita ini.
sebenarnya "Memoar" lebih dulu aku buat, baru kemudian kubuat cerpen "Dalam Kenangan". dan "memoar" adalah cerpen bertema 'gayslove' pertama yang aku buat. kurasa ini awal dari pembelajaranku.
thanks to Chrome.
Maap lho klo gw cuma bs kritik
Gw sebenernya salut bgt ma solitude yg bs bikin cerita kayak gini...
Sedangkan gw?? Bikin surat izin sakit aja bingung kata2nya gmn.... Hehehe...
trus soal komen crome gue jg ingat teori menulis yg ditulis didik wijaya di www.escaeva.Com dibilang gini "show,don't tell", mungkin unsur ini yg kurang di cerita ini.
trus soal komen crome gue jg ingat teori menulis yg ditulis didik wijaya di www.escaeva.Com dibilang gini "show,don't tell", mungkin unsur ini yg kurang di cerita ini.
tapi jujur, huhuhuhuh .. kadang nggak terlalu suka baca novel dengan kata - kata yang terlalu sastra .. ntah kenapa, karena tidak smua orang Indonesia suka membaca sesuatu yang berat . dalam artian bahasanya bikin orang mikir ..
mungkin kalau orang yang benar - benar mencintai sastra, mau sejelimet apa kata2nya pun pasti akan dilahap .
coba solitude sekali2 bikin cerita yang seperti orang kebanyakan. dalam artian, kehidupan sehari - hari, yang dikatakan orang sehari - hari pada umumnya, kalau sisipan sastranya mungkin jangan di percakapannya (dialog antar peran) mending dibuat saat menjelaskan sesuatu nya saja.
tapi kalau emang itu gaya tutur yang Solitude punya sih nggak masalah .. aku baca awal2nya dulu, udah berat, jadi besok aja, sepintas tadi scroll2 kebawah kok seru, besok harus baca
itu aja saranku ^^
trus .. mampir jg ke warungku, kasih saran buat aku .. kritik juga boleh, apalagi kripik, aku terima dengan senang hati
soal gaya bahasa, memang aku sendiri tak menyangkal pentingnya sebuah gaya penceritaan yang ringan, santai, tanpa mengurangi bobot dari yang diceritakan. karena memang ini sangat menentukan kestabilan niat orang ketika sudah membacanya.
sebenarnya aku juga sudah mencoba menulis cerita dengan gaya bahasa yang lebih modern dan casual. tapi begitu aku membacanya sendiri, aku merasa minder. seperti orang jawa yang harus bicara pake logat betawi, terus terang aku malah minder apakah bicaraku nanti jadi 'bener' atau malah jadi norak. itulah yang belum aku kuasai.
di sisi lain, aku sendiri takut mencampuradukkan gaya bahasa, karena sebenarnya aku masih lemah dalam menjaga konsistensi porsi bahasa, takutnya mixing yang kulakukan akan menjadi mixing yang buruk. makanya aku lebih banyak memakai gaya bahasa yang konstan sejak awal.
cerpen Memoar adalah cerpen pertamaku. waktu aku selesai menulisnya, aku juga meminta pendapat dari teman2ku karena ini adalah cerpen pertamaku. dan memang mereka menilai bahasaku masih kaku.
aku lalu mencoba memperbaiki bahasaku saat menulis cerpen "Dalam Kenangan" (cerpen keduaku). tapi di forum ini, aku memposting cerpen "Dalam Kenangan" lebih dulu. dan cerpen2 yang lain karena suatu hal tidak aku publish di forum.
mungkin cerpen terbaruku "Di Bawah Langit Bali" bisa untuk alat menilai juga, apakah gaya bahasaku masih kaku. aku sendiri masih belum yakin apakah bahasa yang kupakai sudah tepat.
buat teman2 yang hobi membaca, tolong jangan lelah kasih masukan ya..
terima kasih buat atensinya...