BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

HEART STATION

1767779818299

Comments

  • PoLLuX wrote:
    dah ga tahan nih :oops: :oops:

    Mau ngapain emang?? heheheh :D :D
  • semriwing wrote:
    Memantau.com 8) 8)

    Wedew...belum di lanjut juga...
    REMY..kalo ngg dilanjut juga jgn salahin kalo aku tiba2 datang ke kantor kamu yak......
    :evil: :evil:

    Hehehe.. ayooo... dateng aja... :lol:

    oh remi telah datang
    i miss u remi
  • semriwing wrote:
    Buat yg udah pernah ketemu bang remy , tolong kasih tau ciri cirinya dong , penasaran bgd nih .

    @bang remy : kita harus ketemu !

    maksa bgt ya?
    ciri2 remy entu gampang kok.
    punya mata, hidung, mulut
    dan yang pasti punya burung
    :lol: :lol: :lol:

    Ciri2nya gampang kok...senyumnya bikin luluh........
    melting asli.........aku yg cewe aja naksir.......
    Halah..........ampun REMMMMM........ :oops: :oops:

    tuh kan bkin tambah penasaran :oops:
    pasti charming bgd dh . duh bang remy mana sh ? kog blom posting lgy sih . ayoo dong bang kita janjian! :lol:


    LEBAAAAAAAAAAAAAAAAAAAYYYY............. wkwkwkwkwkwk... :lol: :lol: :lol:

  • oh remi telah datang
    i miss u remi

    I miss u too.. :) :)
  • A BLAST FROM THE PAST

    Pernahkah kamu membenci seseorang tapi tidak pernah tahu alasannya mengapa? Aku pernah. Dulu saat aku kelas tiga SMA, saat menemukan cinta pertama dengan Oppie, aku sempat berkawan dan membentuk sebuah geng dengan salah satu teman sekelasku yang bernama Novel (Yang baca thread Oppie, pasti sudah familiar dengan tokoh ini). Waktu itu sebenarnya aku sudah mengenal Novel sejak lama. Selain karena memang rumahnya yang tidak terlalu jauh dari rumah orangtuaku, aku juga pernah berada satu kelas dengannya di sekolah Madrasah. Madrasah? benar. Dulu selain bersekolah di SD negeri, pada siang harinya orangtuaku menyekolahkan aku juga di sekolah Madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD) sebagai dasar pengenalan Agama Islam. Cuma memang, aku baru dimasukkan ke Madrasah saat aku sudah berada di kelas 4 sekolah dasar. Jadinya saat itu, pada pagi hari aku adalah murid kelas 4 SD, sedang sore hari aku adalah murid kelas 1 Madrasah. Di SD, Novel tidak satu sekolah denganku, oleh karena itulah aku dan Novel menjadi akrab sejak sama-sama bersekolah di Madrasah yang sama.

    Mari kuceritakan sedikit tentang Novel. Anaknya gila! itulah yang bisa aku deskripsikan secara singkat mengenai karakternya. Fanatik pada Agama Islam, dan secara terang-terangan sangat mendukung Partai Berlambang Ka'bah pada Pemilu tahun 1997. Yang membuat aku menyebutnya gila adalah, Novel merupakan anak yang sangat gemar bercanda dan jahil berlebihan saat sekolah. Tak heran sebagian murid menyukai 'kegilaannya' sedangkan sebagian lagi membencinya karena sering menjadi korban kejahilannya itu. Karena berasal dari keluarga yang berada, Novel seringkali dimanfaatkan aku dan teman-teman lain sebagai donatur setiap acara atau kegiatan di sekolah, bahkan mobil Zebra Espass merah keluaran tahun 95 miliknya waktu itu seakan-akan adalah kendaraan operasional anggota geng kami. Setelah lulus SMA, dia lolos Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri dan kuliah di sebuah Universitas Negeri di Pontianak. Sejak saat itu aku tidak pernah mendengar kabarnya lagi sampai sekitar pertengahan tahun 2000, dia datang ke rumahku dengan penampilan yang berubah total. Berkopiah, berbaju koko, dan bercelana panjang 'ngatung', lengkap dengan dahi yang memar menghitam dan janggut yang dibiarkan tumbuh. Penampilan seperti itu yang kusebut sebagai 'dandanan ala ikhwan', ditunjukan padaku dengan datang ke rumah dan berceramah mengenai betapa dia menyayangkan aku yang menerima pekerjaan di Bank, lengkap dengan dalil dan hadist mengenai hukum riba dan penghasilan yang aku dapatkan dari pekerjaan di bank merupakan rezeki haram. Aku yang kaget dengan perubahan Novel, tidak berkomentar apa-apa saat itu. Bahkan aku bingung bagaimana harus bersikap. Novel sepertinya bukan lagi Novel yang dulu. Sejak kedatangannya ke rumahku, aku kembali tidak mendengar kabar apapun mengenai dia.

    Ketika terjadi pembajakan pesawat yang ditubrukkan pada gedung WTC di New York oleh teroris pada September 2001 dan menyebabkan Amerika Serikat melakukan agresi militer ke Afganistan, aku mendengar selentingan kabar bahwa Novel ikut mendaftarkan diri sebagai sukarelawan 'Jihad' ke Afganistan, padahal setahuku saat itu kuliahnya belum lagi tamat. Bahkan bekas teman-teman sekolahku mengatakan bahwa Novel ikut tewas di Afganistan, sesuatu yang aku tahu persis tidak menimpa dirinya belakangan hari karena dia pernah menelepon rumahku sekitar tahun 2005.

    Lalu apakah kamu mengira aku membenci Novel karena perubahan sikapnya? bukan itu. Bahkan sejak SMA pun aku merasakan sesuatu yang aneh apabila berhadapan dengannya. Rasa benci yang kadang-kadang muncul setiap kali aku hanya berdua dengannya, atau kapanpun aku tiba-tiba merasakannya. Rasa benci itu berbeda dengan misalnya ketika kamu tidak menyukai seseorang karena gayanya atau sikapnya, melainkan perasaan yang kadang muncul secara naluriah dan tiba-tiba. Mungkin aku hanya bersikap tidak realistis, tapi sikap Novel juga tidaklah membantu, kadang-kadang dia seperti menolak bertatapan mata denganku seakan-akan merasa bersalah. Itulah yang membuatku yakin bahwa kebencianku terhadap Novel bukanlah tanpa alasan.
  • Jumat tanggal 2 Januari tahun ini adalah perpanjangan masa liburan akhir tahun sebelum kembali bekerja. Saat itu aku menghabiskan liburan di rumah orangtua dan hari itu juga aku melaksanakan shalat Jumat di mesjid lingkungan rumah orangtuaku. Ketika di dalam mesjid itulah aku melihat Novel. Aku menyenggol lengan Papa memberitahukan kalau aku melihat Novel. Papaku menoleh ke arah yang aku tunjukkan, memicingkan mata, sebelum memastikan kalau orang berkopiah putih yang sedang duduk menunduk itu adalah Novel. Setelah kami tiba di rumah, Papa bertanya mengapa aku tidak menyapanya? padahal sudah lama aku tidak pernah mendengar kabarnya. Aku menggeleng menolak permintaan Papa.

    "Teleponlah Rem! kamu piara kebiasaan jelek sama temen.... suka enggak mau tau kabarnya..." protes Papa. Tapi aku tetap teguh pada pendirianku untuk tidak meneleponnya. Melihat Novel kembali membuat perasaan benciku padanya kembali muncul. Semakin aku memikirkan penyebabnya semakin senewen dan pusing kepalaku, hal-hal inilah yang kadang sering membuat moodku naik turun. Bahkan fluktuasinya kini makin terasa ekstrim...

    ******
  • ******

    "Cewek juga kalo lagi PMS moody-nya enggak gitu-gitu amat Rem." protes Iqbal suatu hari mengomentari mood ku yang sering naik-turun. Aku tidak menanggapi komentarnya dan malah membolak-balik halaman Koran Tempo yang aku pegang dengan gusar tanpa berkonsentrasi penuh pada isi beritanya. Saat itu kami berdua masih di dalam gerbong kereta dan hampir tiba di stasiun kota namun tertahan di lintasan antara Stasiun Jayakarta dan Stasiun Kota cukup lama hingga menyebabkan kereta tak bergerak lebih dari sepuluh menit.

    "Ada apaan sih? mau masuk stasiun aja lama banget! emang penuh apa ya, semua jalurnya?" tanyaku kesal sambil berusaha melongok ke luar jendela mencoba mencari tahu mengapa lampu sinyal masih berwarna merah yang artinya belum aman bagi kereta untuk melanjutkan perjalanan.
    "Pasti ada kereta ekonomi lagi yang mogok dan enggak dijalanin di stasiun kota! jadinya jalurnya penuh deh!" ujarku tak sabar sambil menarik tirai penutup jendela sehingga menibulkan suara hentakan yang cukup keras saat tirai itu menggulung ke atas. Beberapa orang memandang ke arahku dengan tatapan heran dan sebal. Iqbal yang duduk di sebelahku menjadi salah tingkah.

    "Sabar sedikit kenapa, sih Rem? emang elu kebelet kencing, apa? gue aja yang udah enggak tahan pengen ngerokok masih bisa nahan..." protes Iqbal sambil berbisik sementara mulutnya mengunyah permen karet makin cepat, entah karena gusar atau memang tak tahan ingin merokok.

    "Ya harusnya masinisnya mikir dong.... udah tahu sinyal merah gitu, buka pintu kek di Jayakarta tadi? orang kan jadi punya pilihan buat turun apa terusin sampai stasiun kota! dasar masinis bego! pasti bukan yang biasanya nih!" ujarku lagi masih sambil marah-marah. Memang dalam jadwalnya, selepas Manggarai kereta Pakuan Ekpress hanya berhenti di stasiun Gondangdia, Gambir, dan Juanda, lalu terus tak berhenti sampai stasiun kota. Namun terkadang bila kereta tertahan di sinyal merah seperti itu, masinis yang baik hati akan menghentikan keretanya di Stasiun Jayakarta, Stasiun pertama sebelum Stasiun Kota yang jaraknya sebenarnya tidak terlalu jauh itu, dan membukakan pintu agar penumpangnya bisa turun. Tentu saja orang-orang yang bekerja di daerah Jalan Pangeran Jayakarta akan sangat bergembira bila Masinis membuka pintu di stasiun itu, karena artinya kami tidak perlu ikut hingga stasiun kota dan 'mundur' kembali ke dareah Pangeran Jayakarta dengan berbagai macam alat transportasi seperti mobil omprengan, ojek, ataupun bajaj.

    "Ya elu sih enak! bisa tinggal jalan aja dari Stasiun Jayakarta ke kantor." kata Iqbal.
    "Emang kenapa? daripada kayak begini bikin telat absen! lagian ya, gue perhatiin, setengah isi gerbong ini tuh pada kerja di deket Stasiun Jayakarta. Jadi wajar dong kalau pintunya di buka di situ?!" aku beragumen tak mau kalah.

    Iqbal menatapku sambil menggelengkan kepala. "Kalau aja gue bawa segelas air es, pasti udah gue tumpahin di kepala elu yang otaknya udah mendidih itu Rem! ternyata selain moody, elu juga pemarah..."

    Sudah bisa aku tebak. Perkataan Iqbal itu sangat menyinggung perasaanku yang memang sedang sensitif. Akibatnya hari itu aku seperti orang yang sedih dan mau menangis serta sangat down hingga akibatnya sepanjang hari aku menjadi orang yang murung. Sebenarnya aku mengakui kalau perkataan Iqbal itu biasa saja, namun aku juga tidak mengerti mengapa aku harus sesensitif ini?
    Keluarga dan teman-teman dekatku sudah sangat mahfum dengan kelakuanku itu. Walau kadang aku merasa tak enak, tetapi rasanya sulit sekali tidak menunjukkan diri kalau sedang bad mood. Kalau sudah seperti itu aku malas ditanya-tanya, menekuk wajah dan murung sepanjang hari. Padahal kalau aku lagi ceria, aku bisa membuat mereka terbahak-bahak. Perubahan drastis seperti itu sebenarnya sangat mengganggu kehidupan sosialku. Bahkan kalau misalnya aku bercanda sedikit, mereka menilaiku sungguh-sungguh. Aku juga pernah kehilangan beberapa teman karena sikapku dan itu sangat tidak menyenangkan.
  • ******

    "Kamu kan punya sepupu yang jebolan psikologi, sekali-kali ngobrollah sana sama Kak Dhian.." saran papa suatu hari saat aku mengeluhkan penderitaanku yang sering mengalami mood naik turun.

    Benar juga kata Papa. Aku memiliki kakak sepupu wanita yang dulu pernah mengambil jurusan psikologi dan sempat menjadi seorang konselor di sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang menangani masalah kekerasan dalam rumah tangga. Dia sudah menikah dan dikaruniai seorang anak berusia dua tahun. Aku mempertimbangkan saran Papa untuk berbicara dengan Kak Dhian dan mengatur jadwal pertemuan.

    Sabtu di minggu itu aku menemui Kak Dhian di rumahnya. Sebagai anak yang berayahkan orang Bali, membuat Kak Dhian terpengaruh nuansa kampung halaman ayahnya tersebut dalam mendekorasi rumahnya. Kak Dhian adalah wanita cantik yang gerak-geriknya sangat terjaga dan anggun. Terakhir aku bertemu dengannya adalah saat lebaran kemarin, sehingga aku tidak begitu sungkan bertamu ke rumahnya. Saat itu dia baru saja memastikan Daffa, anaknya, sudah tidur dengan nyenyak sebelum kembali ke ruangan kerjanya.

    "Kalau kamu mau curhat, kakak bakal dengan senang hati dengerin. Jangan anggap kamu sebagai pasien, anggap aja kamu adik yang pengen cerita sama kakaknya ya?" kata Kak Dhian sambil menyuguhkan secangkir teh beraroma bunga chamomile di atas meja.

    "Benar ya Windy mau nikah?" tanya kak Dhian.

    Aku kemudian meletakkan kembali cangkir teh setelah sempat menghirup isinya sedikit. "Insya Allah, Kak." kataku.
    "Itu mempengaruhi kamu Rem?" tanya Kak Dhian.
    Aku menggeleng, "pengaruhnya bukan ke rasa iri, kak. Tapi lebih ke... apa ya?"
    "Kamu cemburu Rem. kamu kan deket banget sama Windy. Sekarang kamu bukan lagi prioritas utama dia melainkan calon suami dia dalam bercerita. Iya kan?"

    Aku mencerna kata-kata Kak Dhian yang memang ada benarnya itu. Dulu aku dan adikku suka menghabiskan waktu untuk membahas keadaan dan orang-orang di kantor kami masing-masing. Saling curhat, berkeluh kesah, dan kadang bergosip. Itulah sebabnya aku merasa kehilangan ketika waktunya kini telah terbagi dengan pacarnya. Lelaki yang dalam waktu singkat sudah berhasil merebut hati adikku sehingga mereka tak berlama-lama berpacaran dan memutuskan untuk segera menikah. untuk masalah ini Kak Dhian hanya bisa menyarankan agar aku bisa mencari waktu berdua dengan adikku dan sedikit demi sedikit menyuruhku agar bisa menerima keadaan kalau adikku tidak akan bisa selamanya meluangkan waktu sepenuhnya denganku. "Sekarang pentingkan kualitas bukan lagi kuantitas ya Rem?!"

    Aku mengangguk.

    "Tapi kak, gimana sih soal mood saya yang berubah-ubah?" Kemudian aku menjelaskan panjang lebar mengenai perasaan yang aku alami yang terkadang membuat bingung orang-orang disekitarku. Lalu aku juga bercerita saat aku merasa down sekali ketika sempat didiagnosa menderita tumor otak hingga sempat putus asa dan terkadang timbul keinginan untuk bunuh diri.
    "Sempat loh, Kak. Saya mikir pas nyeberang jalan, kenapa enggak berhenti aja di tengah dan membiarkan diri ditabrak kendaraan? dengan demikian segala permasalahan akan selesai... untunglah saya cepat tersadar."

    Lalu aku juga bercerita, kalau mood aku sangat berpengaruh ketika sedang menulis. Ide-ide liar mengalir begitu saja saat jemari ini menari di atas keyboard. Paragraf demi paragraf bisa kuselesaikan dengan cepat dan penuh semangat (bahkan ide cerita Fikri-Damar muncul begitu saja di suatu pagi dan aku berhasil menyelesaikan cerita itu seluruhnya hanya dalam waktu satu hari saja) namun di lain waktu aku bisa saja mengalami kebuntuan dalam menulis. Tata bahasa tak optimal dan tidak bisa menuangkan semua ide dalam bentuk tulisan. Sama halnya ketika aku merasa depresi dan gembira, maka seolah-olah aku bisa mengkonversi perasaan-perasan yang timbul itu ke dalam barisan kalimat dalam cerita.

    "Boleh saya lihat tulisan kamu Rem?" tanya Kak Dhian.
    "A-apa kak?" tanyaku gelagapan.
    "Iya... tulisan kamu yang kata kamu sudah diposting di sebuah forum?" tentu saja aku tidak menyebutkan bahwa forum yang aku maksud adalah forum gay.
    "Harus ya kak?" tanyaku.
    "Kalau kamu mau kakak bantu, ya kamu jangan menutup-nutupi semuanya, Rem! biar kakak bisa tahu permasalahannya. Lagipula kakak curiga kamu terkena suatu sindrom..."
    "Sindrom?"
    "Iya, tapi mungkin juga bukan sesuatu yang serius. Maka itu kakak minta kamu kasih tulisan kamu."
    "Sindrom apa kak?" tanyaku penasaran.

    Kak Dhian tidak menjawab. Dia menghela nafas dan membetulkan letak kacamatanya.
    "Pernah dengar istilah gangguan mood bipolar?" tanyanya sambil menatapku tajam.
    Aku hanya diam karena belum pernah mendengar itu sebelumnya. Namun siapkah aku membuka diri padanya demi mendapat kepastian bahwa yang aku alami adalah gangguan seperti itu atau malah bukan sesuatu yang serius?

    *******
  • *******

    Entah karena ada intervensi dari Kak Dhian atau memang adikku berinisiatif sendiri, Sabtu itu dia tiba-tiba menawarkan diri mengajakku jalan ikut dengannya ke sebuah liputan premiere pemutaran film dan keesokan harinya mengajakku ke acara peluncuran buku. Dua hari yang menyenangkan karena akhirnya aku dan Windy adikku bisa kembali meluangkan waktu bersama seperti dulu. Aku bahkan pernah berfikir, ketika adikku menikah nanti, di hari itu akulah yang akan menangis paling sedih karena harus rela melepaskannya.

    Pikiranku masih belum tenang. Di satu pihak aku ingin memastikan apakah aku mengalami gangguan mood bipolar seperti yang Kak Dhian sebutkan ataukah tidak, namun di pihak lain aku tidak ingin rahasia terbesarku sebagai seorang gay diketahui olehnya yang terhitung masih keluarga. Aku mencoba mendapatkan informasi mengenai gangguan mood bipolar tersebut dari internet, garis besarnya adalah bahwa gangguan mood bipolar yang juga disebut sebagai manic-depression membuat seseorang yang menderitanya mengalami gangguan emosi yang dirasakannya bagaikan menaiki roller coaster. Depresi dan euforia silih berganti menderanya, maka gangguan kejiwaan ini sering disebut mood swings. Secara sepihak, aku menilai diriku sendiri tidaklah separah itu, artinya aku tidak pernah benar-benar depresi maupun benar-benar mengalami episode mania berlebihan dimana energi yang aku rasakan untuk beraktivitas sangat tinggi. Namun memangnya siapakah aku yang berani mendiagnosa keadaan sendiri?

    Kemudian aku memutuskan, kalau aku mau menyelesaikan masalah yang sedang aku hadapi, aku harus menceritakan semuanya pada Kak Dhian. Aku percaya profesionalitas kerja yang dia pegang tidak akan membuatnya membocorkan rahasiaku kepada orang lain. Lalu aku mengirimkan cerita "Remy" yang sudah aku susun dalam satu file dan mengirimkan pada Kak Dhian via email.

    "Kak..? story nya udah aku email ya?" kata aku saat meneleponnya.
    "Oke Rem! nanti kakak baca ya?"

    Aku tidak menjawab dan dengan perasaan cemas dan perut mulas aku menutup telepon. Aku sangat-sangat mengkhawatirkan reaksi kak Dhian nantinya setelah membaca cerita itu.

    Keesokan harinya, Kak Dhian memintaku datang ke rumahnya. Jantung ini berdebar kencang tak karuan, apalagi saat Kak Dhian tidak berbicara banyak di telepon. Dia sudah tahu kondisi aku sebenarnya! duh! aku jadi menyesal telah membiarkan dia membaca kisah 'Remy'. Sampai aku tiba di rumahnya, aku tidak bisa berpikir tenang. Rasanya lambung ini ada yang meremas-remas hinggga terasa mual. Bagaimana kalau Kak Dhian bercerita pada orangtuanya? atau bahkan orangtuaku? Bagaimana kalau dia menggunakan alasan keluarga untuk menanggalkan baju profesionalismenya?

    "Enggak usah gugup Rem! Kakak sudah terbiasa enggak menghakimi siapapun. Dalam kasus ini, kakak cuma pengen bantu kamu cari penyelesaian masalah, dan bukan membahas pilihan hidup kamu..." Kata kak Dhian. Dia menatapku tajam hingga terasa lebih ke dalam otakku. Ya! karena aku merasa dia sudah tahu segala sesuatu tentang diriku.

    "Sebelum kita membahas mood kamu yang naik turun, yah, memang perlu pengujian lebih mendalam sih, tapi menurut kakak, kamu memang terkena gangguan mood bipolar walau tingkatannya masih tergolong ringan dan belum memerlukan pengobatan medis... lagipula pengobatan secara mental-pikiran masih bisa kamu jalanin Rem."

    "Yah.. kak! kenapa enggak dikasih resep obat aja?" tanyaku. Sifat ingin segala sesuatunya serba praktis membuatku mengajukan pertanyaan itu.

    "Belum perlu. Kamu cuma butuh selalu berpikiran positif... memang kedengarannya klise...(kak Dhian tertawa) tapi bukan berarti itu cuma omongan belaka. Satu lagi.... kamu masih sering shalat malam kayak dulu?" tanya kak Dhian.

    Aku menggeleng. Memang sudah lama sekali aku jarang menyengajakan diri bangun di tengah malam dan melaksanakan shalat malam seperti tahajud.

    "Mulai sekarang, coba rutinkan lagi... mudah-mudahan dengan banyak berdoa, beribadah, emosi kamu lebih bisa terkontrol. Kalau kamu ingin nangis, nangislah dan tumpahkan perasaan kamu kepada Tuhan. Siapa lagi yang bisa menjadi Pendengar yang baik selain Dia?"

    Aku diam. Kak Dhian menghela nafas.

    "Kakak lebih tertarik dulu membahas kebencian yang tidak kamu mengerti itu terhadap temanmu Novel."
    "Kok yang itu dulu? emang ada hubungannya ya?" protesku.
    "Kakak percaya, kalau pernah terjadi sesuatu di antara kalian dulu. Lagipula, apa yang terjadi di masa lalu bisa mempengaruhi keadaan kamu di masa depan."
    Aku tidak bisa mengira-ngira apa yang bisa mempengaruhi kehidupanku sekarang yang berhubungan dengan Novel, sementara kalau menyadari diriku seorang Gay adalah saat aku mengenal Oppie di kelas tiga SMA dulu.
    "Tapi kenapa saya lupa?" tanyaku.
    "Bukan lupa, tapi belum benar-benar lupa. Kamu menyuruh otak kamu melupakan dan tidak membahas itu lagi, tapi sebenarnya itu masih menyisa dan tertinggal dalam sebuah tempat di kepala kamu, hanya saja bentuknya kini sudah tak jelas, namun efek yang ditimbulkan peristiwa itu masih terus keluar bermaifestasi menjadi rasa benci."
  • Kini gantian aku yang menarik nafas. Otakku sudah mulai memanas mencoba mengira-ngira apa yang terjadi dulu.

    "Sekarang kamu habiskan teh itu dulu, lalu baring di sofa. Kakak enggak akan melakukan prosedur hipnoterapi karena yakin, dengan ingatan kamu yang tajam, kamu masih bisa ingat lagi apapun itu yang ada di masa lalu kamu, hanya saja harus dibuat tenang terlebih dahulu..."

    Aku menuruti saran Kak Dhian menghabiskan teh beraroma chamomile itu dan berbaring di sofa. Lalu aku berusaha tenang selama lima menit dalam kesunyian mencoba melepaskan segala macam pikiran.

    "Kita mulai ya Rem?" tanya Kak Dhian. Aku mengangguk.
    "Kapan kamu mulai kenal Novel?"
    "Ng... sewaktu sama-sama sekolah di Madrasah... umur 8 tahun"
    "Kamu akrab sama dia?"
    Aku mengangguk.
    "Kenapa kamu bisa akrab sama dia?"
    "Karena kita sama-sama duduk di kelas 4 SD... walau dia dua tahun lebih tua... lagian kalau bergaul dengan yang lain, saya kesulitan kak, karena teman-teman di madrasah sering mengobrol dengan bahasa sunda... sedangkan dengan Novel saya bebas berbicara dengan bahasa Indonesia..."
    "Kapan kamu mulai ngerasa enggak akrab lagi sama dia?"
    "Sewaktu kita semua naik ke kelas 6 SD, atau naik ke kelas tiga Madrasah... saya udah mulai menjauh dari dia..."
    "Yang kamu ingat awal mula kamu enggak suka... atau memilih menjauh dari Novel itu apa?"
    "Samenan...." kataku. Entah mengapa kata itu yang sudah lama tidak aku ucapkan bahkan aku lupakan terlontar tiba-tiba.
    "Samenan? apa itu? coba jelasin Rem." tanya Kak Dhian.
    "Samenan itu.... istilah di Madrasah semacam acara kenaikan kelas.... semua siswa di uji pengetahuannya sebelum naik kelas dan kita naik ke atas panggung untuk dites berpidato bertema Islam...."
    "Kamu dengan Novel ikut acara itu?"
    Aku mengangguk lagi.
    "Di ruangan kelas yang penyekatnya dibuka sehingga tiga kelas menjadi satu itu, semua murid di panggil satu persatu ke depan... saya sama Novel sudah maju terlebih dahulu... jadinya kami berdua duduk di deretan paling belakang... sambil menertawakan teman-teman yang lupa isi pidato..."
    "Kamu ngobrol sama Novel?"
    "Iya"
    "Apa yang kamu obrolkan?"
    "Waktu itu.... saya iseng tanya sama Novel... soal orang pacaran... soalnya saya penasaran apa sih yang dilakuin orang pacaran?"
    "Kenapa kamu bisa penasaran?"
    "Dulu Tante Ira, suka didatangi cowok yang juga pacarnya itu tiap malam minggu. Papa suka ngelarang saya mengganggu mereka dan membiarkan gorden di ruang tamu menutup..."
    Kak Dhian mengangguk-angguk. Tentu saja dia tahu Tante Ira. Dia adalah adik mamanya sekaligus adik bungsu papaku.
    "Saya tanya Novel... kalau Oom Alam dateng ke rumah buat pacaran sama Tante Ira, mereka ngapain aja sih?"
    "Lalu?"
    "Terus Novel tanya balik. Mau tahu? katanya. Lalu..."
    "Lalu kenapa Rem?"
    "Waktu itu bagian belakang deretan tempat duduk agak terlindung... enggak ada yang memperhatikan kita berdua di belakang..." entah mengapa nafasku mulai tak beraturan.
    "Pelan-pelan ceritanya Rem..."
    "Novel bilang, kalau mau tahu mereka ngapain, biar dia kasih liat... terus si Novel suruh saya terlentang di atas kursi... lagi-lagi enggak ada yang liat... Novel... dia nindih saya Kak! kopiah saya dia lepas... rambut saya diusap-usap... terus dengan ngikutin gaya film indonesia dia mulai ngerayu-rayu... bilang kalau dia sayang... saya coba lepasin diri... tapi tangan Novel terus nahan badan saya...." nafasku kembali mulai tak beraturan, lalu aku segera menghentikan ucapan saya dan terbangun dari sofa. Aku menatap kak Dhian sambil terheran-heran mengapa memori yang pernah aku coba simpan rapat-rapat itu akhirnya keluar juga. Kemudian aku meraba pipiku. Aku tidak sadar airmataku sudah meleleh...

    ******
  • Bang remy !! ini posting pertama gua di warung Bf , semua garagara ceritanya bang remy , selalu bikin penasaran .
    apalagi sama bang remy , penasaran bgd pgn kenalan . walaupun tanpa spengetahuan bini gue . hhe .
    Boleh kan bang?
    minta alamat facebook bang remy dong?

    Wah..wah..wah... kedemenan ane neeeeh.... :twisted: :twisted: :twisted:
    Buat yg udah pernah ketemu bang remy , tolong kasih tau ciri cirinya dong , penasaran bgd nih .

    @bang remy : kita harus ketemu !

    Hayuuuuk kapan??? *gatel mode : On* :lol: :lol:
  • wew katana ndak pingin nyentuh forum duluswt%20beaar.gif
    tpi kok tiba2 posting lanjutan ceritana bnyk bgtbear%20kaget.gif
    gi mood mendadak ya bang, hehehebear%20lick.gif
    but yg jelas thanks lo bang remy dah mau nglanjutin ceritana setelah sekian lamathanks%20beaar.gif
    bang remy ditunggu lo lanjutanna, jgn lama2 ya cakep%20bear.gif
  • akhirnya bang remy posting lagi , bang remy blum jwb pertanyaan gua nih . alamat facebooknya dongs ? lewat pm juga gpp . okok :)

    kapanpun bang remy mau ketemu , gua akan selalu siap dateng ! :oops: :oops:
  • woww... finding your forgotten past time? tapi hebat banget deh kak dhian itu langsung bisa membuka ingatan kamu tanpa hipnotheraphy..

    btw, kayaknya sekolah madrasah siang itu namanya madrasah diniyah deh (dan yang setingkat dengan sd itu disebut madrasah diniyah awwaliyah). kalau madrasah ibtidaiyah itu biasanya diselenggarakan pagi hari dan mengajarkan pula pelajaran-pelajaran umum seperti sd. sehingga lulusan madrasah ibtidaiyah ini bisa pula melanjutkan sekolahnya ke smp biasa. nah, kalau lulusan madrasah diniyah awaliyah ini nantinya hanya bisa melanjutkan pendidikannya ke madrasah diniyah wustha.

    jadi teringat masa kecil. pagi, sekolah di sd. siang sekolah di md. sore, mengaji di mesjid samping rumah.
    kok gedenya gw bisa bejat gini ya?
  • whuih mirip loe rem kaya hubby gue yg rada2 bipolar haha... belakangan ini di sedang mencoba itu positive thinking pula..... ngga tau suatu hari akan meledak ato ngga jadi serem mikirinnya. Tapi overall ketara sih bedanya....lebih kalem gitu
Sign In or Register to comment.