It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
awalnya gw sempet ngikutin, cerita lo, remy. tapi berhenti coz gw gak sabaran nunggu upcoming storiesnya. ternyata.....dah selesai....yah? gw compile stories lo, biar bacanya bisa dari awal pe akhir hehehehe.
Critanya asyik ya,kren bgtzz.
padahal tadinya mau kenalan sama remy .. hehe
good luck ya
ktany bang remy dah bliK k jakrte ya,
dtnggu dew lanjuTannye,
hyahahaha..
Aku menggoyang-goyangkan sandal gunungku untuk membuat butiran-butiran pasir putih yang menempel berjatuhan. Angin laut berhembus dengan kencang membuat rambutku yang kini sudah semakin panjang (aku malas mencari tukang cukur) berkibar-kibar tertiup angin. Aku kemudian duduk di atas pasir putih pantai laut Banda yang memantulkan cahaya matahari hingga membuatnya kontras dengan beningnya air laut. Pantai yang sangat Indah! pikirku. Beberapa kapal nelayan lewat dan kapal-kapal yang lebih besar melintas dikejauhan. Ombak laut banda di sekitar pulau Ambon yang tenang membuatnya aman dilalui kapal-kapal itu, padahal hujan hari-hari belakangan masih sering mengguyur, tapi rupanya matahari memilih untuk muncul sore itu.
Aku menoleh saat Paul di kejauhan melambaikan tangannya padaku. Dia mengangkat sebuah benda yang sepertinya cangkang kerang besar. Dia memakai kemeja pantai bercorak warna-warni menyolok dengan tiga kancing teratasnya yang sengaja dia lepas sehingga memperlihatkan dadanya yang bidang. Dia juga memakai celana pendek putih dan sandal jepit. Sambil tersenyum dia ikut duduk disampingku dan menyerahkan cangkang kerang besar itu.
"Ini yang paling besar... buat oleh-oleh." katanya.
"Thanks.." kataku. Walaupun aku tidak berniat membawanya ke Jakarta, aku tetap menerima cangkang kerang itu dari Paul. Paul kemudian terdiam memandang lurus ke arah laut lepas. Aku memperhatikannya. Paul kini terlihat makin tampan, kulitnya yang kini kecoklatan membuatnya terlihat lebih seksi. Tiga hari ini banyak kuhabiskan waktu bersama dengan Paul di Ambon sebelum aku kembali ke Jakarta. Dari mulai jalan-jalan hingga... tidur bersama.
"Pusarannya lagi enggak ada Rem.." Paul berkata sambil tetap menatap lurus ke depan. Aku tidak mengerti apa yang dia bicarakan.
"Pusaran?"
"Iya... Laut sekarang sedang tenang. Tapi kalau ada pusaran di tengah laut, kapal-kapal harus memutar jauh dulu atau nurunin mereka punya jangkar supaya mereka enggak keseret ke tengah pusaran, masuk ke dalam palung..."
Paul berkata dengan nada suara tenang dan dalam seolah-olah dia menyampaikan suatu maksud dalam ucapannya.
"Jadi kapan berangkat?" tanya Paul.
"Hari selasa."
Kami lalu terdiam. Tanganku kemudian memain-mainkan pasir putih disamping tempatku duduk.
"Enggak usah merasa bersalah Rem..." Kata Paul tiba-tiba.
"Maksud ente?" tanyaku tak mengerti.
"Gue enjoy nemenin kamu di sini... gue juga tahu kita berdua enggak mengarah kemana-mana Rem... gue juga udah punya cowok."
Aku kini mengerti maksud Paul. Aku memang sedikit (kalau tidak mau dibilang niat!) memanfaatkan Paul untuk mengisi kekosongan selama aku di sini. Aku tidak bisa memikirkan betapa 'Kering' nya aku kalau tidak bertemu dengan seorang cowok, sedangkan aku tidak mau menggunakan jasa pria-pria yang tidak aku kenal di tempat asing seperti ini.
"Makasih ya..." kataku.
"Buat?"
"The sexes... those were amazing with you bro!" kataku bercanda.
"You're welcome...!" Kata Paul tersenyum sambil merangkul bahuku dengan sebelah tangannya.
Kemudian kami menghabiskan minggu sore itu dengan berkeliling kota. Aku membonceng motor Paul dan dia mengantarku ke tempat-tempat dimana oleh-oleh terbaik dapat kubeli. Sesampainya di Hotel, Paul membantuku membawa beberapa bungkusan oleh-oleh hingga ke kamarku.
"Sori ya jadi ngerepotin. Berat ya?" tanyaku. Paul menggeleng sambil tersenyum.
"Fuuh.." desahku sambil mengelap dahi yang sebetulnya tidak berkeringat.
Paul tertawa, "cuma segitu aja sih enggak berat Rem!" katanya. Aku ikut tertawa.
"So... gue cabut dulu ya? kamu beres-beres dulu aja." Kata Paul sedikit canggung. Kemudian agak ragu-ragu dia berjalan menuju pintu.
"Paul?" Aku memanggil.
"Ya??" Paul langsung menghentikan langkahnya dan menoleh ke arahku.
Aku kemudian tersenyum penuh arti dan berkata, "for the last time? please?"
Mengerti apa yang aku bicarakan, Paul nyengir lalu berujar, "bukannya kemarin kamu bilang for the last time juga?"
"Well.. for the last time... hari ini..." kataku sambil menghampiri Paul dan melingkarkan lenganku di lehernya. Kini dapat kulihat dengan jelas barisan gigi Paul yang putih bersih saat dia tersenyum sambil meraih pinggangku sebelum bibir kami berdua bertemu.
Seks dengan Paul mau tidak mau membuatku membandingkan permainannya dengan permainan Iqbal. Seperti pada Hasan, aku sudah pasti menjadi seorang Top apabila bersama cowok yang lebih muda dariku. Kebalikannya dengan Iqbal, dia selalu menjadi Top saat bercinta denganku. Namun bila bersama Paul yang dua tahun lebih muda dariku, aku pasrah membiarkannya menjadi seorang Top untukku. Paul dengan kebanggaannya memiliki aset 'killer body' dan penis yang berukuran diatas rata-rata, membuatnya sangat percaya diri dapat menstimulasi tanpa harus bersusah payah melakukan teknik-teknik khusus yang membuat pegal seluruh badan.
Biasanya aku dengan mudah melihat ekspresi seringai kepuasan dan kebanggaan pada wajah Paul karena dia begitu mudahnya membuatku melayang ke langit ke tujuh. Kalau sudah begitu aku hanya tinggal menikmatinya dan aku tidak menyia-nyiakan waktu dengan membiarkan lenganku menjelajahi dan mengagumi setiap lekukan otot di tubuhnya.
Dengan Iqbal, permainannya berbeda walaupun sama menyenangkannya dengan permainan Paul. Iqbal yang juga memiliki aset yang tak kalah mengagumkan dengan Paul, pandai mencari dan menstimulus titik-titik di tubuhku yang dapat membuatku terangsang saat dia melakukan penetrasi. Baik dengan jemarinya maupun dengan seluruh bagian mulutnya hingga walau kadang Iqbal tidak dapat mencapai my G-spot, aku masih dapat meraih kenikmatan. Lagipula seperti yang pernah aku bilang, the sex is ten thousands much better with someone you love.
novel remy mengudara kembali...!!!
Terus gw liat jam..sekarang jam 3.15!! Gw ada kelas!!!!
dan secara ngga sadar..gw teriak "aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaahhhrrrrgghhh!!!!!"
temen gw dateng..knapa lw?
gw: ngga..gw kesel ajah..kelas gw lagi ngga sikon.
Hari sudah benar-benar gelap saat aku berada di Taksi menuju rumah orangtuaku. Aku memang berniat untuk mengambil cuti satu hari dari kantor. Saat tiba di rumah orangtua, aku mengobrol dengan keluargaku sambil memilah-milah oleh-oleh yang akan kubagikan.
"A, tau enggak? kemarin aku ketemu si Hasan lho!" ujar adikku sambil membuka salah satu bungkusan.
"Dimana?"
"Di lokasi syuting sinetron. Aku ngeliput ke sana, dia seneng banget, soalnya walau dapet peran cuma jadi figuran, setidaknya impian dia sudah nyaris terwujud."
Aku tertawa senang mendengar cerita adikku. Kemudian aku berniat untuk memeriksa akun e-mail yang sudah tidak kulihat dua hari ini. Tiga pesan masuk. Dua yang pertama tidak begitu penting karena hanyalah update terbaru dari friendster dan invitation. Namun yang membuatku merasa seperti 'separuh nafas' adalah e-mail dari Iqbal. Entah mengapa aku merasa loading halaman isi e-mail itu terasa sangat lama, isinya begini:
"Rem, mungkin lu pikir gw norak ya kirim e-mail ini buat lu? Tapi kayaknya gw gak bisa ngomong di telepon, takutnya ada hal-hal yang akhirnya enggak bisa gw sampein. Dua hari sebelum tanggal kepulangan lu, gw sempet nelepon ke HP lu malam hari. Mungkin Paul enggak cerita kalo dia yang ngangkat telepon waktu itu.So.. gw tahu elu lagi sama-sama paul malam itu.
Tapi intinya bukan itu Rem, disaat gw tau lu sedang bersama Paul, gw enggak ngerasain apa-apa... gw enggak marah... juga enggak cemburu. Itu yang bikin gw bingung Rem! apa gw dah paham sama sifat elu, atau emang gw dah enggak ada rasa lagi sama lu?
Jadi... saat lu balik, gw ngrasa gak bisa ngelanjutin lagi hubungan kita. Tapi gw masih pengen kita tetap berteman... tapi sebatas temanan di kereta aja. Enggak lebih! Haha...! mungkin lu anggap gw ini brengsek, pengecut atau apa... tapi gw ngerasa ini yang terbaik buat gw.. buat kita berdua... jadi, gw harap lu pulang dengan selamat.
Gw masih sayang sama lu Rem...
Send instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com"
Aku membaca e-mail itu beberapa kali berharap isinya akan berubah dan tidak seperti yang kubaca pertama kali. Namun sia-sia... Pernyataan putus dari Iqbal benar-benar tertulis di sana...
Jam setengah delapan malam. Pintu di depanku terbuka. Sekilas kulihat keterkejutan pada wajah pria yang membuka pintu, namun pria itu cepat-cepat menguasai diri dan kembali bersikap biasa.
"Om Remy....!" teriakan nyaring gadis kecil terdengar dari belakang pria itu sehingga memaksanya membuka daun pintu lebih lebar. Aku berlutut dan merentangkan tangan sambil tersenyum lebar menyambut Kayla yang menghambur ke pelukanku. Kuberikan ciuman pada pipinya yang menggemaskan, dan Kayla membalas mencium pipiku sesaat.
"Hei Rem! udah balik?" tanya Mbak Dini, Istri Iqbal.
"Iya Mbak! kemarin malam... nih! aku bawa oleh-oleh..." kataku sambil memberikan tas jinjing kertas berisi makanan khas daerah timur Indonesia.
"Wah.. makasih ya? pulang kerja langsung kemari?" tanya Mbak Dini.
Aku melirik ke arah pria itu yang sekarang sedang duduk di sofa. Pria itu adalah Iqbal, dia memberikan tatapan kurang suka ke arahku namun kuabaikan. Iqbal tampaknya baru selesai mandi, rambutnya masih basah dan mengenakan polo shirt biru dan celana training hitam. Pastilah dia juga belum lama tiba di rumah setelah pulang kerja.
"Enggak kok Mbak! aku cuti hari ini."
Kemudian Mbak Dini membiarkan aku dan Iqbal berdua saja. Kami memilih mengobrol di luar tak lama setelah Mbak Dini meletakkan dua gelas berisi teh hangat di atas meja.
Aku berjalan ke arah pagar depan rumah Iqbal dan bersandar pada salah satu pilarnya sambil memain-mainkan daun tanaman anggur yang menjalari bentangan kawat tak jauh dari pagar tersebut. Udara malam itu hangat karena memang sekarang musim kemarau, langit cerah hingga cahaya bulan tidak terhalang. Iqbal menyalakan rokoknya.
"Gue dah baca e-mail ente.." kataku membuka percakapan. Dari tadi Iqbal tidak berbicara sepatah katapun.
Iqbal tidak menjawab, dia malahan mengisap rokoknya dalam-dalam dan menghembuskannya.
Aku menatapnya menunggu jawaban. Terlalu lama kutatap akhirnya membuat Iqbal jengah juga.
"Kan udah gue bilang... kita berdua tetep bareng naik kereta.." Kata Iqbal akhirnya.
Aku mendengus kesal, "buat apa?"
Iqbal diam saja.
"Oke... gue ngalah! gue ikutin mau ente. Ini gue laku-in supaya kita tetep bersama. Gue tunggu... sampe ente enggak ragu-ragu lagi..." kataku mantap.
Ya! walau bagaimanapun aku tidak rela kalau harus kehilangan Iqbal lagi. Tugaskulah kini yang meyakinkannya disaat dia sedang gamang dan ragu tentang hubungan kita. Aku tidak punya pilihan lain selain harus tetap bersamanya di saat-saat seperti ini.
Namun janji tinggallah janji. Keesokan paginya aku tidak melihat Iqbal ada di stasiun sampai kereta akhirnya berangkat. Akhirnya, hari pertama aku kembali bekerja di Jakarta tanpa teman. Aku merasa seperti kembali ke masa saat aku belum berkenalan dengan Iqbal. Kereta dan gerbong yang sama, penumpang yang sama, dan aku hanya berdiri diam sambil mendengarkan lagu sendirian...
----
Betapa terkejutnya aku melihat sebuah benda yang sangat kukenali saat aku tiba di ruangan kerjaku. Cangkang kerang berwarna putih yang diberikan paul sudah tergeletak di atas mejaku.
Buru-buru aku menelepon resepsionis di lobby.
"Hallo? say? Paul datang ya?" tanyaku tak sabar.
"Iya say.. ada di ruangannya pak Dharma..." Jawab mbak Rissa si resepsionis.
Langkahku kupercepat menuju ruang kantor Pak Dharma. Pak Dharma adalah Manajer di divisi Properti tempat Paul yang menjadi salah satu arsitek bekerja. Dari ruangannya terdengar tawa Paul dan Pak Dharma.
Aku melongok ke dalam ruang kerja Pak Dharma yang pintunya memang terbuka itu. Pak Dharma yang melihatku langsung menyapa, "Hei! Rem! si Paul nih datang! katanya sempet ketemu di sana ya?"
Paul nyengir memamerkan giginya yang putih bersih.
"Kok ente gak bilang mau ke Jakarta juga Bro? tau gitu kan kita bisa bareng!" protesku pada Paul mengabaikan Pak Dharma.
"Sorry Rem, waktu itu gue juga enggak tahu pasti jadi berangkat apa enggak..." Jawab Paul.
Rupanya Paul ditugaskan untuk mengurus salah satu proyek pembangunan kantor baru yang rencananya akan kami tempati awal tahun depan. Pekerjaannya di Ambon sementara waktu dialihtugaskan kepada salah satu wakilnya.
"Nanti sore main ke tempat gue ya? bantuin beresin barang.." bisik Paul saat melewatiku keluar ruangan. Aku mengangguk mengiyakan.
----
Paul tinggal di bangunan tempat kos-kosan milik Oom nya. Salah satu kamar di tempat kost-an itu sengaja dikosongkan khusus untuk Paul. Sore itu selepas pulang kerja aku ikut ke tempat dia tinggal.
Aku mengikutinya masuk ke dalam kamar setelah Paul membuka pintu. Sudah lebih dari tiga bulan ditinggalkan, namun rupanya perabotan di kamar itu masih terjaga rapi karena sering dibersihkan. Hanya saja ranjang Paul dibiarkan terbuka tanpa sprei.
"Sprei nya mana?" tanyaku pada Paul.
Paul yang sedang mengeluarkan sesuatu dari kopornya, menoleh dan menunjuk ke arah lemari kayu di pojok ruangan. Aku berjalan ke arah yang ditunjuk oleh Paul, membuka pintu lemari itu dan menarik salah satu sprei dari tumpukan. Sepuluh menit aku berkutat memakaikan sprei itu pada ranjang berkasur pegas milik Paul. Setelah beres aku langsung menjatuhkan badanku ke atasnya.
"Hei... kok baru dipasang malah diacak-acak?" Canda Paul. Dia masih sibuk memasukkan tumpukan pakaiannya ke dalam lemari. Aku tiduran terlentang sambil menatap langit-langit kamar Paul. Di langit-langit itu tertempel huruf-huruf yang terbuat dari semacam styrofoam dicat merah bertuliskan namanya. Aku tersenyum dan mengeluarkan ponsel untuk mengabadikan huruf-huruf tersebut.
"Hayoo... foto apa?" tanya Paul sambil menjatuhkan tubuhnya tepat disampingku.
Aku tidak menjawab dan tersenyum sambil menyimpan file gambar itu.
"Buat kenang-kenangan ya?" tanya Paul.
"Enggak.. gue mau ente bikinin nama gue buat di tempel dikamar.." jawabku.
Paul tertawa.
"Paul, sori ya, kerangnya gue tinggal..." kataku dengan nada menyesal.
"Enggak apa-apa Rem, gue paham maksud kamu. Tadinya gue mau jemput kamu buat antar ke bandara, cuma kamu udah pergi. Trus si resepsionis bilang ada barang kamu yang ketinggalan dan dia orang titip sama gue." Kata Paul.
"Kamu seneng enggak gue datang? sori ya, enggak bilang-bilang..." Ucapnya sambil mendekatkan wajahnya ke wajahku. Aku tidak menjawab. Wajah Paul berubah serius, kemudian dia mengecup pipiku. Sadar aku membiarkannya, Paul kini menggeser tubuhnya hingga posisinya kini berada di atas dan menindihku. Dia membelai rambutku beberapa kali sementara matanya menatapku sebelum bibirnya menciumku lama sekali. Aku membalas ciuman Paul dengan melumat bagian bawah bibirnya dan membiarkan tanganku menyelusup ke dalam kemejanya.
kapan ni kejadian?
Iqbal gw mana???
baca yg bener donk ah... 8) 8) 8)