Artikel ini aku ambil dari Harian Kompas, Senin 4 Agustus 2004. Kenapa? karena kayaknya perlu juga, karena menurut di penulis Soe Tjen Marching, sebetulnya di Indoensia tersendiri budaya lokal sangat arif dan bijak, ini terbukti dengan adanya relif di beberapa Candi yang pernah juga aku sebutkan di beberapa ulasan atau postingku.
Apakah Pornografi itu? Menurut definisi Rancangan UU Antipornografi, "pornografi adalah bentuk ekspresi visual berupa gambar, likisan, tulisan, foto, film atau yang dipersamakan film, video,tayangan atau media komunikasi yang sengaja dibuat untuk memeprlihatkan terang-terangan atau tersamar kepada publik alat vital atau bagian-bagian tubuh serta gerakan erotis yang menonjolkan sensualitas dan/atau seksualitas, serta segala bentuk perilaku seksual dan hubungan seksual manusi yang panut diduga menimbulkan rangsangan nafsu birahi pada orang lain"
Namun ternyata sangat sulit menentukan gerakan erotis mana yang dapat menimbulkan birahi. Contoh kasus pada goyangan Inul, dimana Rhoma Irama sangat terangsang sehingga sangat mengecam, di lain pihak, Mas Butet Kertarajasa dan lainnya lebih terangsang yang berkebaya (goyangnya Camelia Malik).
Apa salahnya menonjolkan sensualitas jiak itu sebuah keindahan, bukankah ketelanjangan dan seksualitas tdapat ditemukan juga pada sejarah panjang budaya kita, dalam Serat Centini, patung-patung telanjang Ken Dedes, Simbol Lingga (alat kelamin pria). Penggambaran penis (k.on.to.l, kata asli Indoensia yang ada di Kamus Umum Bahasa Indoensia) dan Vagina dengan mudah kita ketemukan di Candi Sukuh yang terletak di Gunung Lawu.
Penis tegang dan arca tanpa kepala mengemgang penis (ko.n.t.o.l) akan menyambut di pintu gerbang masuk candi, bukan gambaran yang jorok dan tidak bermoral, melainkan itu semua adalah simbol-simbol agama (Hindu atau Budha) yang melambangkan harmoni dan keseimbangan alam. Penis atau k.o.n.t.o.l yang tegang sebagai lambang paku bumi atau perlambang kesuburan (asyikkan, itu di agama Hindu loh, baru orang barat mengikuti), saat itu ketelanjangan sangat identik dengan ketimuran, di Eropa saat itu ketelanjangan adalah ketimur-timuran, bandingkan dengan saat ini.
Sensualita dalam filsafat China, Yin-Yang ataupun Kama Sutra telah meresap dalam beberapa agama di India.
Cara menghentikan pornografi tidaklah dengan mengidentikkan sensualitas, seperti halnya sakit kepala tidaklah harus dengan memenggal kepala, karena sensualitas tidak dapat dibungkam atau ditiadakan.
Di denmark dan Finlandia yang amat terbuka akan sensualitas dan bahkan produk seks dijual di jalanan, ternyata angka kekerasan seksual malah rendah, karena pandangan dan pendidikan seks yang dewasa, keterbukaan akan seks tidak menjadikan kriminalitas seks merebak, bahkan sebaliknya. Bandingkan dengan di Negara-negara Arab (Timur Tengah), berapa banyak kasus pelecehan seksual yang menimpa para tenaga kerja Indoensia, pada hal di sana jelas tidak ada akses dan sangat tertutup, namun kasus itu ibarak puncak gunung es. Atau zaman kegelapan Eropa, ketika gereja yang Puritan menyebabkan beratus perempuan di bakar hanya karena tidak menurut aturan seks gereja, dalam Buku The Name of the rose, sempat dicatat biarawan yang sangat menghujat, namun sekaligus memangsa perempuan.
Begitupun zaman Victoria, pornografi ditekan dengan cara membungkam snesualitas dan menbayangkan kenikmatan seks dianggap dosa oleh gereja saat itu. Namun pelacuran gelap merajalela dan pemerkosaan terjadi dimana-mana, keadaannya sama dengan zaman Arab Jahiliah (mungkin juga saat ini). Zaman Victoria yang serba membungkam sensualitas, tetapi justru pada zaman itu sangat subur sensualitas karena fantasi dan pelecehan sensualitas terjadi di mana. Bandingan dengan di Denmark dan Filandia saat, di mana kebebasab sensualitas dan pornografi malah meredam kriminalitas seksual.
Jadi di negara kita yang diperlukan adalah bukan membukam sensualitas publik dan bukan undang-undang yang menekan, tetapi menerima dan pendidikan seks dan sensualitas secara terbuka. Malah UU Antipornografi dapat menghentikan kriminalitas seksual sepsrti telah dijelaskan di atas.
Lagipula apabila Undang-undang Antipornografi berlaku dan para aparat diharuskan konsekuen terhadapnya, apakah, candi-candi, relief-relif dan juga patung telanjang Ken Dedes harus berBH?
Comments
Emang nya ribet kalo UU di hubung hubungkan dengan kebudayaan atau lain lain nya....teteup ajah di mata UU salah...tahu dekh sekarang ga mau banyak komen...masalah nya juga eike gak terlalu ngerti banged ama hukum, takut salah ngomong ajah
perwakilan dari homoseksual dari arus pelangi, ardhanari institute dan our voice saat ini sedang menjadi pemohon dalam gugatan judicial review uu no 44 tahun 2008 tentang pornografi di mahkamah konstitusi.
semoga seluruh pasal bisa dibatalkan sesuai dengan petitum yang tim advokasi bhineka tunggal ika berikan....
mohon dukungannya ya
tp di revisi....
biar lbih diperjelas batsan2 ttg pornografi spt apa (tdk spt skrng yg multi tafsir)
klo soal eksistensi UU pornografi saya rasa kyknya emang perlu, tp tidak berlebihan laah...
(semua negara punya UU pornografi koq, malah cyber law ttg akses pornografi di australia lbih ketat. atau semisal sistem grading pd film, game, atau konten2 media konsumsi publik... misalnya film ato buku dgn grade "adult" atau "mature" tidak layak dikonsumsi anak2, atau "parental guide" yg mengimabau pengawasan ortu.)
semua juga bwt masa dpn generasi penerus indonesia koq...
miris juga kan anak2 SD skrng uda akrab ttg pornografi, apalagi media akses pornografi udah menjamur kyk HP, internet, komik, dll.
oiya, kmaren baca koran, katanya kalo 85% anak2 di jkt sudah pernah melihat adegan pornografi dewasa baik dr internet, video di HP, atau komik.
harusnya UU pornografi mengatur hal2 yg spt itu...
makasih